Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan sumber

daya manusia (SDM) yang handal. Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk masa yang akan datang yang harus dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap perrnasalahan yang dihadapinya. Dalam pendidikan banyak sekali ilmu yang digali untuk meningkatkan kualitas SDM, salah satunya adalah ilmu matematika. Hal ini sesuai degan pendapat Cockroft (dalam Abdurrahman, 2009 : 253) mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika menuntut siswa kepada pengembangan pola pikir untuk memecahkan masalah. Matematika tidak hanya menuntut siswa mampu memecahkan masalah matematika tetapi juga masalah pada kehidupan seharihari. Seperti yang dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrahman, 2009 : 253) mengemukakan alasan perlunya siswa belajar matematika: Lima alasan perlunya siswa belajar matematika karena matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; (3) sarana mengenal polapola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Sekalipun demikian, mata pelajaran matematika belum menjadi mata pelajaran yang diminati oleh banyak siswa. Siswa masih beranggapan matematika

itu sulit. Pandangan siswa bahwa pelajaran matematika sulit disebabkan oleh pandangan mereka bahwa matematika merupakan seperangkat fakta-fakta atau rumus-rumus yang harus dihadapi. Selain itu objek matematika yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya yang banyak memanipulasi bentuk-bentuk dan menghubungkan ide-ide matematika ternyata menimbulkan anggapan siswa bahwa matematika itu sulit. Dalam dunia pendidikan, kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau dengan kehidupan sehari-hari berperan penting dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika. Didalam matematika memuat beberapa kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai siswa, salah satunya adalah kemampuan dalam melakukan koneksi matematis. Melalui kemampuan koneksi matematis, kemampuan berfikir siswa terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi matematis dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya. Tanpa menerapkan konsep dengan pengalaman siswa, maka ia akan sulit mengingat suatu materi yang disampaikan. Terdapat tiga tujuan koneksi matematis di sekolah menurut NCTM (dalam Puspitasari 2011:109) yaitu: Pertama, memperluas wawasan pengetahuan siswa. Kedua, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi dan manfaat baik di sekolah maupun di luar sekolah. Salah satu aspek yang juga ditekankan dalam kurikulum adalah meningkatkan kemampuan koneksi matematis. Namun, kemampuan koneksi matematis siswa masih rendah. Terutama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari atau soal cerita. Siswa masih kurang bisa menentukan data-data apa saja yang dapat diperoleh dari soal cerita itu, bagaimana menghubungkannya dengan materi matematika dan melihat

keterkaitannya dengan materi yang lain. Hal ini berarti siswa kurang mampu memahami keterkaitan antar materi sehingga kemampuan koneksi matematis siswa rendah.

Kemampuan koneksi matematis siswa yang masih jauh dari harapan dapat dilihat dari kemampuan siswa menyelesaikan soal yang membutuhkan koneksi, baik koneksi antar topik matematika, koneksi matematis dengan disiplin ilmu lain maupun dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu materi matematika yang sering disajikan dalam bentuk soal cerita adalah bangun datar segitiga dan segiempat yaitu yang terbagi atas bangun segitiga, persegi, persegi panjang, jajargenjang, trapesium, belah ketupat dan layang-layang . Meskipun sekilas materi ini terlihat tidak rumit namun dalam praktiknya siswa masih sering mengalami kesulitan menerjemahkan soal-soal bangun datar segiempat yang disajikan dalam bentuk soal cerita. Padahal jika disadari bangun datar segiempat adalah materi yang contoh bentuknya mudah dikaitkan dengan kehidupan seharihari siswa. Misal pada contoh soal berikut, Sebidang tanah berbentuk segitiga dengan panjang tiap sisi tanah berturut-turut 4m, 5m, dan 7m. Di sekeliling tanah tersebut akan dipasang pagar dengan biaya Rp.85.000,00 per meter. Berapakah biaya yang diperlukan untuk pemasangan pagar tersebut? Siswa mengalami kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, siswa mengalami kesulitan dalam menerjemahkan soal tersebut ke dalam bentuk matematis. Umumnya siswa mengetahui soal tersebut adalah penghitungan keliling tanah, namun siswa tidak paham apa langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan jumlah biaya yang diperlukan untuk pemasangan pagar. Kemudian ditemukan juga kelemahan siswa dalam melakukan koneksi matematis dengan disiplin ilmu lain. Jika sebuah mobil melaju di sirkuit yang berbentuk jajargenjang dengan kecepatan 80 km/jam. Jika ukuran sirkuit tersebut 3 km x 1 km. Berapakah waktu yang dibutuhkan mobil tersebut untuk mengelilingi sirkuit tersebut satu putaran penuh? Siswa juga mengalami kesulitan menjawab soal tersebut dengan benar, kesalahan yang dilakukan siswa dalam menjawab soal tersebut karena siswa tidak tahu bagaimana menentukan waktunya. Siswa mengalami kesulitan dalam menghubungkan kecepatan mobil, panjang lintasan sirkuit yang berbentuk

jajargenjang dan waktu yang dibutuhkan. Padahal mereka telah mempelajari materi tersebut dalam pelajaran fisika. Rendahnya kemampuan koneksi matematis siswa ini bisa terjadi karena model pembelajaran yang digunakan guru bidang studi matematika kurang melatih keterampilan atau kemampuan koneksi matematis siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Syamsinar, S.Pd, guru matematika di kelas VII-C MTs Istiqal Delitua, ditemukan bahwa siswa di kelas tersebut masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal koneksi,. Ditemukan bahwa rendahnya kemampuan koneksi matematis siswa juga disebabkan karena pembelajaran yang berlangsung selama ini mengabaikan aspek keterkaitan matematik dengan topik matematik sebelumnya, dengan disiplin ilmu lain dan dengan masalah-masalah nyata di sekitar kehidupan sehari-hari siswa. Penggunaan model pembelajaran dalam menyajikan pelajaran sangat berpengaruh terhadap kemampuan koneksi matematis siswa. Pada prinsipnya tidak satupun model pembelajaran yang dapat dipandang sempurna dan cocok untuk semua materi yang ada dalam setiap mata pelajaran. Guru yang professional dan kreatif hanya akan memilih model pembelajaran yang lebih tepat. Setelah menetapkan topik pembahasan materi dan tujuan pembelajaran serta jenis kegiatan belajar siswa yang dibutuhkan dengan adanya persiapan guru maka pembelajaran akan berjalan dengan baik. Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung teacher oriented sehingga siswa menjadi pasif. Sehingga siswa merasa jenuh dan bosan yang mnyebabkan pencapain hasil belajar tidak optimal. Trianto (2009 : 5) mengemukakan bahwa: Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan

tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri memalui penemuan dalam proses berpikirnya. Hasil observasi kegiatan pembelajaran matematika di kelas VII-C MTs, diperoleh gambaran bahwa proses belajar mengajar yang terjadi masih bersifat teacher oriented. Guru lebih banyak menjelaskan dan memberikan informasi tentang konsep-konsep yang akan dibahas. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktivitas dalam proses belajar seperti mengemukakan pendapat, berdiskusi, melakukan presentasi dan mengambil kesimpulan mengenai materi yang dibahas. Guru juga kurang memberikan latihan-latihan yang mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus mampu memilih dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan kebutuhan belajar. Salah satu metode pembelajaran yang bisa digunakan dalam membantu meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa adalah

Pembelajaran Kontekstual. Hal ini sesuai dengan pendapat Muslich (2008:40) dalam bukunya mengatakan "Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam dunia nyata". Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual menekankan pembelajaran yang terpusat pada siswa, guru mengaktifkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL), merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka. Terjadinya proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta kemampuan akademiknya secara aktif dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar kelas. Sehingga pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) diharapkan dapat sebagai solusi untuk menciptakan paradigma siswa belajar bukan paradikma guru mengajar seperti yang terjadi pada pembelajaran konvensional.

Ciri khas pembelajaran kontekstual ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu: konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya

(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Rusman, 2011 : 191). Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik. Pada Komponen pembelajaran kontekstual terdapat konstruktivisme dan inkuiri. Konstaruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, di dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk berpikir mandiri dengan membangun pengetahuan yang baru melalui pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelumnya baik dari segi akademik maupun nonakademik (kehidupan sehari-hari). Hal ini tentunya bermuara pada kemampuan siswa tersebut dalam menghubungkan (mengkoneksikan) antara apa yang akan mereka pelajari dengan topik-topik sebelumnya atau bahkan di luar matematika sehingga pada akhirnya siswa bisa menemukan (inkuiri) sendiri konsep, prinsip, skill yang baru.. Dalam menerapkan komponen kontekstual tersebut dalam belajar matematika maka sangat memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Dari uraian diatas, berarti pembelajaran kontekstual berpeluang meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa dengan Menerapkan Model Pembelajaran

Kontekstual pada Materi Pengukuran Keliling dan Luas Bangun Segitiga dan Segiempat di Kelas VII MTs Istiqlal Delitua Tahun Ajaran 2013/2014.

1.2.

Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan

beberapa masalah sebagai berikut: 1. 2. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit. Kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal materi segitiga dan segiempat yang berbentuk soal cerita. 3. Siswa cenderung hanya mengingat materi yang sedang dipelajari saja dan lupa pada materi yang telah lalu. 4. Siswa mengalami kesulitan dalam menjawab soal yang berupa koneksi antar topik, disiplin ilmu lain maupun dengan kehidupan nyata. 5. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru.

1.3.

Batasan Masalah Agar masalah yang diteliti lebih jelas dan terarah maka perlu ada

pembatasan masalah dari identifikasi masalah. Adapun masalah dalam penelitian ini dibatasi pada penerapan pembelajaran kontekstual pada materi pengukuran keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa di kelas VII MTs Istiqlal Delitua Tahun Ajaran 2013/2014.

1.4.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah dan

batasan masalah maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah kemampuan koneksi matematis siswa dapat meningkat dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual pada materi pengukuran keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat di kelas VII MTs Istiqlal Delitua Tahun Ajaran 2013/2014?

1.5.

Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam

penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa pada materi pengukuran keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat di kelas VII MTs Istiqlal Delitua tahun ajaran 2013/2014.

1.6.

Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1.

Bagi siswa, untuk membantu meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa dan dapat mengembangkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.

2.

Bagi guru dan calon guru, sebagai masukan untuk memilih pembelajaran matematika yang mengembangkan keterampilan siswa dalam memahami kegunaan belajar dalam kehidupan.

3.

Bagi

sekolah,

sebagai

masukan

dan

sumbangan

pemikiran

dalam

meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa serta sebagai informasi tentang model pembelajaran kontekstual dalam proses belajar mengajar.

Anda mungkin juga menyukai