Anda di halaman 1dari 10

PERISTIWA SUPERSEMAR

DISUSUN OLEH:
DEVI MIRANDA

XII IPA 5 SMA NEGERI 1 MEDAN

Pengertian Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Naskah Supersemar
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SURAT PERINTAH I. Mengingat: 1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional 1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966 II. Menimbang: 2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi. 2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja III. Memutuskan/Memerintahkan: Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: 1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja. 3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas. IV. Selesai. Djakarta, 11 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S. SOEKARNO

Kronologi Peristiwa Supersemar

Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisasisa G-30-S boleh dikatakan sudah selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan. Sementara krisis ekonomi tambah parah. Laju inflasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi, uang bernilai Rp 1.000 turun menjadi Rp 1. Sementara itu harga-harga membubung naik. Tak ayal lagi, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) marak di mana-mana. Selama 60 hari, dengan dipelopori para mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibu kota dipenuhi demonstran. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.

Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, terjadi perbedaan pendapat antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sementara itu Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan berikutnya di antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden.

Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet (yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri" karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa melakukan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh.

Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Machmud, dengan seizin atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat Menpangad merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden.

Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan melaporkan kepada Presiden. Jadi, Soeharto diberi kewenangan untuk mengambil semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden. Teks surat dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama ketiga perwira tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagai sekretaris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh presiden. Serah terima secara resmi Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD kepada Soeharto dilaksanakan pada tanggal 11 Maret itu juga, sekira pukul 21.00 WIB, bertempat di markas Kostrad. Surat inilah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura, sudah dilaksanakan. Popularitas Soeharto pun meningkat. Ternyata setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan Presiden Soekarno tidak pulih. Antara tahun 19661967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban Supersemar yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.

Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok memulihkan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66.

Anda mungkin juga menyukai