Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi selaput organ perut yaitu peritoneum.

Peritoeneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse,riwayat akut atau kronik dan pathogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptic. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai bakteremia atau sepsis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organorgan abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan peritonitis.

BAB II PEMBAHASAN 1. ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONEUM Peritoneum merupakan selaput serosa yang dapat dibedakan dalam peritoneum parietale yang membatasi rongga abdomen dan peritoneum viserale yang meliputi organ-organ yang terdapat di dalam rongga itu. Celah di antara kedua selaput peritoneum itu disebut rongga peritoneum atau peritoneal cavity. Ruang diluarnya disebut spatium extraperitoneale. Di dalam cavum peritonealis antara peritoneum parietale dan visceral terdapat cairan peritoneum yang berfungsi sebagai pelumas sehingga organ-organ di dalamnya dapat bergerak satu terhadap yang lain tanpa gesekan berarti.1,2 Cavum peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tapi pada wanita berhubungan dengan dunia luar melalui tuba uterine,uterus dan vagina. Alat yang terletak di dalam cavum peritoneal disebut letak intra-peritoneal tempat alat-alat dibungkus oleh peritoneum visceral seperti pada lambung,jejunum,ileum dan limpa,sedang yang

eterletak dibelakang peritoneum parietale disebut mempunyai letak retroperitoneal seperti pada ginjal dan pancreas. Gambar 1. Anatomi peritoneum

Gambar 2 .Organ extraperitoneal dan intraperitoneal.

Peritoneum adalah lapisan semipermeable yang mengontrol jumlah cairan dalam periteoneal cavity,membantu eliminasi bakteri dari rongga peritoneal dan migrasi sel-sel inflamasi dari mikrovaskulatur ke dalam rongga peritoneal. Fungsi lain dari peritoneum antaranya adalah : 1 o Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis. o Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan. o Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen. o Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi. Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

(1) Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini

(2) Penghancuran bakteri oleh sel imun Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi .Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin .3 Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ .3

(3) Lokalisasi infeksi sebagai abses Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah
4

protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi .

2. DEFINISI PERITONITIS Peritonitis didefinisikan sebagai peradangan membran serosa yang melapisi rongga perut dan organ-organ yang terkandung di dalamnya . Peritoneum , yang merupakan lingkungan yang steril, bereaksi terhadap berbagai rangsangan patologis dengan respon inflamasi yang cukup seragam. Tergantung pada patologi yang mendasari , peritonitis mungkin disebabkan oleh infeksi atau steril ( misalnya , kimia atau mekanik ) . Sepsis intraabdomen adalah peradangan pada peritoneum yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen dan produk mereka . Proses inflamasi dapat terlokalisir ( abses ) atau menyebar di dalam rongga peritoneum.2,4 Peritonitis yang paling sering disebabkan oleh infeksi ke lingkungan peritoneal yang dinyatakan steril melalui perforasi organ, tetapi juga dapat mengakibatkan iritasi dari yang lain, seperti benda asing, perforasi kandung empedu atau laserasi dari hepar, atau asam lambung dari ulkus perforasi. Perempuan juga mengalami peritonitis lokal dari tuba fallopi terinfeksi atau kista ovarium pecah. Pasien mungkin hadir dengan onset akut atau gejala ringan, penyakit terbatas dan ringan , atau penyakit sistemik dan berat dengan syok sepsis.

3. KLASIFIKASI PERITONITIS Infeksi peritoneal berdasarkan etiologinya diklasifikasikan sebagai berikut : Primer yaitu, dari penyebaran hematogen, biasanya dalam pengaturan sistem imun. Peritonitis primer yang paling sering adalah Spontaneous Bacterial Peritonitis ( SBP ) yang disebabkan oleh penyakit hati kronis.2

Sekunder misalnya, terkait dengan proses patologis pada organ visceral , seperti perforasi atau trauma, termasuk trauma iatrogenik). Peritonitis sekunder adalah bentuk paling umum dari peritonitis dijumpai dalam praktek klinis.4

Tersier yaitu , infeksi persisten atau berulang setelah terapi awal yang memadai . Peritonitis tersier sering berkembang tanpa adanya kelainan awal dari organ visceral.

3.1 PERITONITIS PRIMER Peritonitis primer atau Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah terjadinya peritonitis tanpa adanya perforasi gastrointestinal atau tidak ditemukan focus infeksi pada intraperitoneal. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga sebagai hasil dari translokasi bakteri di dinding usus atau limfatik mesenterika dan lebih jarang melalui penyebaran hematogen.SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. 2 a. Insidens Anak-anak dengan nephrosis atau lupus eritematosus sistemik yang memiliki asites memiliki risiko tinggi mengembangkan SBP. Secara khusus, penurunan fungsi hati sintetis dengan tingkat rendah terkait total protein , kadar komplemen yang rendah , atau waktu protrombin memanjang (PT ) dikaitkan dengan risiko maksimum. Pasien dengan kadar protein rendah dalam cairan asites ( < 1 g / dl ) memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami SBP dibandingkan dengan tingkat protein lebih dari 1 g / dl . Sekitar 10-30 % pasien dengan sirosis dan asites mengembangkan SBP . [ 5 ] Insiden meningkat menjadi lebih dari 40 % dengan asites isi protein cairan kurang dari 1 g / dl (yang terjadi 15 % dari pasien) , mungkin karena penurunan kegiatan opsonic cairan asites.

b. Etiologi Lebih dari 90 % kasus SBP disebabkan oleh infeksi monomicrobakterial. Patogen yang paling umum meliputi organisme gram negatif (misalnya, E.coli (40%), K. pneumoniae (7%), pseudomonas spesies, spesies proteus, spesies gram negatif lainnya (20 %) dan gram - positif organisme ( misalnya , Strep.pneumoniae ( (15%), spesies streptococcus lainnya (15%) , spesies staphylococcus (3%) ). Namun, beberapa data menunjukkan bahwa persentase infeksi gram - positif dapat

meningkat. Satu studi mengutip sebuah insiden 34,2 % dari streptokokus , peringkat di posisi kedua setelah enterobacteriaceae. Kelompok streptokokus viridans menyumbang 73,8 % dari isolat streptokokus. Organisme tunggal dicatat dalam 92 % kasus , dan 8 % dari kasus polimikrobial. Mikroorganisme anaerobik ditemukan pada kurang dari 5% dari kasus , dan beberapa isolat ditemukan dalam waktu kurang dari 10 %.

c. Manifestasi klinis Berbagai tanda dan gejala yang terlihat pada peritonitis bakteri spontan ( SBP ) . Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi harus dipertahankan ketika merawat pasien dengan asites , terutama mereka dengan perburukan klinis akut . Sebanyak 30 % pasien yang benar-benar tanpa gejala . Manifestasi dari SBP mungkin termasuk yang berikut : Demam dan menggigil ( sebanyak 80 % dari pasien) Nyeri perut atau ketidaknyamanan ( ditemukan di sebanyak 70 % dari pasien) Distensi abdomen dan nyeri lepas abdomen Diare Asites yang tidak meningkatkan administrasi berikut obat diuretik Memburuknya atau gagal ginjal onset baru Ileus

Kebanyakan pasien menunjukkan manifestasi klinis dan biokimia sirosis dan nephrosis. Leukositosis,hipoalbuminemia dan pemanjangan masa prothrombin
7

merupakan manifestasi laboratories yang sering. Diagnosa SBP berkisar pada pemeriksaan cairan asites yang menunjukkan peningkatan hitung sel darah putih lebih dari 500/L dan lebih dari 25% leukosit polimorfonuklear. Gradient albumin dalam cairan asites darah melebihi 1.1g/dL,peningkatan kadar asam laktat dalam serum (>33mg/dL) atau penurunan PH cairan asites (<7.31) mendukung diagnosis SBP. Penemuan bakteri pada pewarnaan gram hanya pada 25% kasus. 2 3.2 PERITONITIS SEKUNDER Peritonitis sekunder adalah hasil dari kontaminasi bakteri yang berasal dari visera atau dari sumber eksternal (misalnya trauma penetrasi) peritonitis yang mengikuti suatu

infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. 2,4 a. Etiologi Umumnya etiologi peritonitis sekunder termasuk perforasi appendiks, lambung atau perforasi ulkus duodenum, perforasi (sigmoid) usus yang disebabkan oleh diverticulitis, volvulus, atau kanker , dan strangulasi dari usus kecil. Pankreatitis yang nekrosis juga dapat dikaitkan dengan peritonitis dalam kasus infeksi pada jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat dalam peritonis sekunder berbeda dalam saluran pencernaan proksimal dan distal . Organisme gram-positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam saluran GI atas pada pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari usus kecil distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan pelepasan beberapa ratus spesies bakteri ( dan jamur). Hasil peritonitis hampir selalu polymicrobakterial, berisi campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15 % pasien yang mengalami sirosis dengan asites yang awalnya dianggap memiliki sbp memiliki peritonitis sekunder. Pada banyak pasien , tanda dan gejala klinis saja tidak sensitif atau cukup spesifik untuk andal membedakan
8

antara 2 entitas. Antara faktor yang turut mempengaruhi keparahan peritonitis adalah jenis bakteri atau jamur yang mengkontaminasi rongga peritoneum, durasi cedera serta nutrisi dan sistem imun penjamu. Table 1. Penyebab tersering peritonitis sekunder 2

Tabel 2 . Flora bakteri dari peritonitis sekunder

b. Penemuan klinis i. Tanda dan gejala Manifestasi klinis peritonitis tergantung keparahan dan durasi infeksi serta umur dan keadaan umum pasien. Peritonitis akut sering bermansifestasi sebagai suatu akut abdomen dan penemuan gejala peritonitis dapat dibagi kepada: 2,3,4 (1) Manifestasi local ( gejala pada abdominal) Nyeri abdomen Distensi abdomen Bising usus menghilang - Nyeri tekan - Guarding or rigidity - Udara bebas peritoneal

( menggambarkan iritasi peritoneal yang akhirnya menyebabkan ileus ) (2) Manifestasi sistemik Demam mengigil Berkeringat Dehidrasi Disorientasi Syok refraktori (kombinasi efek syok hhipovolemik dan septicemia dengan multiple disfungsi organ) ii. Laboratories Pemeriksaan darah harus termasuk hitung darah lengkap, crossmatching,analisa gas darah arteri,elektrolit, profil koagulasi darah serta pemeriksaan fungsi hati dan ginjal. Sampel untuk kultur darah,urin,sputum dan sebelum pemberian antibiotic. cairan peritoneum harus dimulakan - Takikardia - Takipneu - Oliguria

c. Penyebab akut abdomen antara lain : 1. Appendicitis akut Appendicitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada appendiks yang terletak di distal dari kolon sigmoid. Appendiksitis perforasi adalah merupakan komplikasi utama dari appendiks, dimana appendiks telah pecah sehingga isi appendiks keluar menuju rongga peritonium yang dapat menyebabkan peritonitis atau abses.

10

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. 4,5 (a) Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Mc Burney sign: Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum, Nyeri lepas: Rebound tenderness adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney . Rovsing sign: Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan. Defans musculer karena rangsangan M.Rektus abdominis. Defance muscular adalah nyeri tekan kuadran kanan bawah abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium Pada auskultasi didapatkan bising usus (+) menurun. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka bunyi peristaltik usus atau tidak terdengar sama sekali. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan nyeri tekan(+) jam 9-12. (b) Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis moderat (10.00020.000/ L). Jika leukosit lebih tinggi biasanya dicurigai telah terjadi perforasi. Pada pemeriksaan urinalisa dapat ditemukan hematuria dan piuria pada 25 % pasien
11

(c) Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu diagnosis adalah USG, pada kondisi perforasi gambarannya dapat berupa lesi tubuler dengan air-fluid level di regio iliaca dextra. Boleh juga menggunakan appendikogram untuk melihat struktur appendiks

2. Perforasi ulkus gastrointestinal Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta). Pada orang dewasa, perforasi ulkus peptik adalah penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu. Angka kejadian menurun secara paralel dengan penurunan umum dari prevalensi ulkus peptik. Ulkus duodenum 23 kali lebih sering dari perforasi ulkus gaster. Sekitar satu pertiga perforasi gaster berkaitan dengan karsinoma gaster.5 a. Etiologi Perforasi non-trauma, misalnya : o Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia o Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer o Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada pasien usia lanjut. o Adanya faktor predisposisi : termasuk ulkus peptic o Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma o Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis. Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya : o Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi. o Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)

12

o Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk pengaman.

b. Patofisiologi Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial kemudian. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi. c. Tanda dan Gejala Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal perforasi,
13

belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator. d. Pemeriksaan Penunjang Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya. Radiologi Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang sangat
14

kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi. Ultrasonografi Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas. CT scan CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster 3. Salfingitis akut 5 Salpingitis adalah Inflamasi pada uterus, tuba fallopi, dan ovarium yang mengarah ke perlukaan dengan perlengketan pada jaringan dan organ sekitar. Salpingitis Akut adalah suatu infeksi tuba fallopi yang dapat gonore atau piogenik.. Salpingitis Subakut adalah stadium infeksi pertengahan diantara salpingitis akut dan kronis. Salpingitis Kronis adalah stadium infeksi tuba fallopi setelah stadium subakut. Tipe ini dapat timbul dalam 4 bentuk yaitu: piosalping, hidrosalping, salpingitis interstisialis kronis atau salpigitis ismika nodosa. Terjadi dalam trimester pertama kehamilan, akibat migrasi bakteri ke atas dari serviks hingga mencapai endosalping. Begitu terjadi penyatuan korion dengan desidua sehingga menyumbat total kavum uteri alam trimester kedua, lintasan untuk penyebaran bakteri yang asenderen ini melalui mukosa uterus akan terputus. Dengan demikian inflamasi akut primer pada tuba dan ovarium jarang terjadi sekalipun abses tubo-ovarium dapat terbentuk dalam struktur yang sebelumnya sudah mengalami kerusakan itu. Organisme penyebab infeksi ini diperkirakan mencapai tuba falopii dan ovarium yang sebelumnya
15

sudah cidera tersebut lewat cairan limfe atau darah. Pada salah satu dari dua kasus tuboovarium yang menjadi komplikasi dalampertengahan kehamilan dan di rawat di RS dilakukan histerektomi di samping salpingo-ooforektomi bilateral. Pasien dapat disembuhkan setelah menjalani proses kesembuhan pasca bedah yang sangat rumit. Walaupun terjadi perlekatan yang luas dalam rongga panggul akibat infeksi pelvis sebelumnya, pasien biasanya tidak mengalami efek yang selama kehamilannya. a. Gejala/tanda awal Nyeri Abdomen:. Pada mulanya rasa nyeri unilateral, bilateral, atau suprapubik, dan sering berkembang sewaktu atau segera setelah suatu periode menstruasi. Keparahannya meningkat secara bertahap setelah beberapa jam sampai beberapa hari, rasa nyeri cenderung menetap, bilateral pada abdomen bagian bawah, dan semakin berat dengan adanya pergerakan. Perdarahan pervaginam atau sekret vagina: perdarahan antar menstruasi atau meningkatnya aliran menstruasi atau kedua-duanya dapat merupakan akibat langsung dari endometritis atau pengaruh tidak langsung dari perubahan-peubahan hormonalyang berkaitan dengan ooforitis. Sekret vagina dapat disebabkan oleh servitis. Gejala-gejala penyerta: menggigil dan demam lazim ditemukan. Anoreksia, nausea dan vomitus berkaitan dengan iritasi peritoneum. Disuria dan sering kencing menunjukkan adanyan keterkaitan dengan uretritis dan sistitis. Nyeri bahu atau nyeri kuadran kanan atas mungkin merupakan gejala dari perihepatitis gonokokus. Riwayat Menstruasi: menstruasi dapat meningkat dalam jumlah dan lamanya. Salpingitis dapat menjadi simptomatik pada hari keempat atau kelimadari siklus menstruasi. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Umum: suhu biasanya meningkat, sering sampai 120F atau 103F. Tekanan darah biasanya normal, walaupun deyut nadi seringkali cepat. Pada saat itu, pasien berjalan kedalam ruang gawat darurat degan postur tubuh membungkuk.

16

Pemeriksaan Abdomen: nyeri maksimum pada kedua kuadran bawah. Nyeri lepas, ragiditas otot, defance muscular, bising usus menurun dan distensi merupakan tanda peradangan peritoneum. Nyeri tekan pada hepar dapat diamati pada 30% pasien. Pemeriksaan Pelvis: sering sulit dan tidak memuaskan karena pasien mersa tidak nyaman dan rigiditas abdomen. Pada pemeriksaan dengan spekulum, sekret purulen akan terlihat keluar dari ostium ueteri. Serviks sangat nyeri bila digerakkan. Uterus ukurannya normal, nyeri (terutama bila digerakkan) dan sering terfiksir pada poisinya. Adneksa bilateral sangat nyeri. Masa definitif jarang terpalpasi kecuali telah terbentuk piosalping atau abses tuboovarium. c. Tes Laboratorium a. Hitung darah lengkap dan Apusan darah: hitung leukosit cenderung meningkat

dan dapat sampai 20.000 dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear dan peningkatan rasio bentuk batang dengan segmen. Kadar hemoglobin dan hemokrit biasanya dalam batas-batas normal. Penigkatan kadarnya berkaitan dengan dehidrasi.

4. Diverkulitis Diverticulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau dengan perforasi. Biasanya radang disebabkan oleh retensi feses di dalamnya. Tekanan tinggi di dalam sigmoid yang berperan pada terjadinya divertikel juga berperan pada terjadinya retensi isi usus di dalam divertikel. Perforasi akibat diverticulitis menyebabkan peridivertikulitis terbatas, abses, atau peritoneum dan menyebabkan umum dalam lumen usus atau lumen kandung kemih. Mungkin juga abses menembus ke dalam lumen, menyebabkan fistel interna ke usus atau kandung kemih. Obstruksi kronik dapat timbul karena fibrosis. a. Gejala klinis Peritonitis lokal pada diverticulitis menyerupai apendisitis akut tetapi tempatnya berbeda. Serangan akut berupa nyeri lokal kiri bawah atau suprapubik. Sering terdapat konstipasi atau diare. Gejala mual atau muntah bergantung pada lokasi dan hebatnya serangan. Selain itu, ditemukan demam sedang, distensi perut sedang, massa di daerah pelvis atau kiri bawah, mungkin disertai rangsangan peritoneal dan leukositosis sedang.
17

b. Pemeriksaan foto rontgen barium tidak dapat dilakukan pada fase akut. Endoskopi baru dapat dibuat setelah proses akut mereda. Penyulit dapat berupa perforasi, abses terbuka, fistel, obstruksi parsial dan perdarahan. Perforasi terbuka menyebabkan peritonitis umum yang dapat terjadi berangsur-angsur.

5. Perforasi usus kecil Perforasi usus kecil non trauma jarang terjadi tetapi bisa fatal. Penyebab yang paling sering adalah infeksi dari tifoid dan tuberculosis yang bisa menyebabkan peritonitis apabila terjadinya perforasi. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.

6. Kolesistitis gangrenosa Kolesistitis gengrenosa adalah komplikasi dari kolesistitis akut dimana terjadinya perforasi. Perforasi dapat berupa perforasi bebas di ringga perut atau perforasi yang dibatasi oleh perlekatan perikolesistitis yang membentuk massa radang kanan di duodenum. Kolesistitis akut biasa terjadi akibat dari sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak di dalam kantong Hartman. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, dapat dit emukan pasca bedah.

Pada kolesistitis akut, factor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisosin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit,
18

peran bacteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi. Perjalanan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit, tetapi kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi spontan, tanda radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai berbulan-bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada. Keluhan utama adalah nyeri akut di perut kuadran kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke belakang di daerah scapula. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan, nyeri lepas dan defens muscular otot dinding perut. Kadang kandung empedu yang membesar dapat diraba. Pada separuh penderita, nyeri disetai mual dan muntah. Ikterus yang ringan agak jarang ditemukan. Suhu badan sekitar 38oC. apabila timbul demam dan menggigil, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat atau penyakit lain. Pada laboratorium jumlah leukosit meningkat atau dalam batas normal. Apabila jumlah leukosit melebihi 15,000, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat. Kadar bilirubin meningkat sedang, mungkin karena penjalaran radang ke duktus koledukus. Fosfatase alkali sering mengalami kenaikan sedang, demikian juga kadar amylase darah. Ultrasonografi dapat menggambarkan batu di dalam kandung empedu, lumpur empedu dan penebalan dinding kandung empedu. Ultrsonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan gambaran destruksi dinding dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu.

7. Pankreatitis nekrosis akut


Pancreatitis adalah radang pancreas yang disertai oleh manifestasi lokal dan sistemik dan kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus melainkan akibat autodigesti oleh enzim pancreas selanjutnya enzim ini merembes ke organ sekitarnya. Pada pancreatitis akut ringan, secara patologi ada udem interstisial ringan. Mekanisme perubahan dari pancreatitis akut ringan menjadi berat disebut juga pancreatitis nekrotikan. Banyak berpendapat bahwa enzim pancreas aktif yang lepas dari sel asiner
19

yang rusak akan menyebabkan mikrosirkulasi pancreas menurun, sehingga menimbulkan iskemia yang disertai trauma ezimatik serta menyebabkan nekrosis parenkim pancreas dan jaringan lemak peripankreas. Serangan pancreatitis timbul setelah makan kenyang atau setelah minum alcohol. Nyeri perut timbul tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah pertengahan epigastrium dan biasanya menjalar menembus belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang. Muntah tanpa didahului mual sering dikeluhkan dan muntah sering terjadi saat lambung sudah kosong. Gambaran klinis tergantung pada beratnya radang. Kadang, terjadi serangan selama satu dua hari saja dengan udem dan inflitrasi ringan. Kadang terdapat serangan berat dengan inflitrasi difus yang hebat. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kirakira 90% disertai demam, takikardi dan leukositosis. Syok dapat terjadi bila banyak cairan dan darah hilang di daerah retroperitoneum atau intraperitoneum, apalagi bila disetai muntah. Rangsangan cairan pancreas dapat menyebar ke perut bawah atau ke rongga dada kiri sehingga terjadi efusi pleura kiri. Umumnya, tampak usus yang paralitik di sekitar pancreas yang meradang, dan dapat diikuti syok sepsis gangguan fungsi paru dan ginjal. 3.3 PERITONITIS TERSIER Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang signifikan . Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa komplikasi , insiden peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan masuk ICU untuk infeksi perut yang parah mungkin setinggi 50-74 % . Tuberkulosis peritonitis(TP) jarang di Amerika Serikat (< 2 % dari semua penyebab peritonitis), tetapi terus menjadi masalah yang signifikan di negara-negara berkembang dan di antara pasien dengan Human Immunodeficiency Virus ( HIV). Gejala yang muncul sering tidak spesifik dan onset perlahan (misalnya , demam , anoreksia , penurunan berat
20

badan ) . Banyak pasien dengan TP telah mendasari sirosis . Lebih dari 95 % pasien dengan TP memiliki bukti asites pada studi pencitraan , dan lebih dari setengah dari pasien ini memiliki asites klinis jelas . Dalam kebanyakan kasus , temuan radiografi dada pada pasien dengan peritonitis TP yang abnormal , penyakit paru aktif jarang (< 30 %). Hasil pada pewarnaan Gram dari cairan asites jarang positif , dan hasil kultur mungkin palsu negatif pada sampai dengan 80 % dari pasien. Tingkat protein cairan peritoneal lebih besar dari 2,5 g / dL , sebuah laktat dehidrogenase ( LDH ) tingkat yang lebih besar dari 90 U / mL, atau jumlah sel mononuklear dominan lebih besar dari 500 sel / L harus meningkatkan kecurigaan TP tetapi memiliki spesifisitas terbatas untuk diagnosis. Laparoskopi dan visualisasi granuloma pada spesimen biopsi peritoneum, serta kultur ( memerlukan 4-6 minggu ), mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif , namun , terapi empirik harus dimulai segera 3.4 PERITONITIS KIMIA Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi seperti empedu, darah, barium, atau bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral (misalnya , Crohn penyakit ) tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal . Tanda dan gejala klinis yang bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal , dan pendekatan diagnostik dan terapeutik harus sama. 3.5 ABSES PERITONEAL Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang terinfeksi di dalam kapsul oleh eksudat fibrinosa , omentum , dan / atau organ visceral yang berdekatan. Kebanyakan abses terjadi setelah SP. Pembentukan abses mungkin

komplikasi operasi . Insiden pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-2 % , bahkan ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses meningkat menjadi 10-30 % pada kasus perforasi pra operasi dari viskus berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal , iskemia usus , diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan kebutuhan untuk operasi semula, serta pengaturan imunosupresi . Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan pengembangan peritonitis tersier .
21

3.6 PERITONITIS TUBERKULOSIS Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genitalia interna. Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara 1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru 2. Melalui dinding usus yang terinfeksi 3. Dari kelenjar limfe mesenterium 4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten Dorman infection) Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa a. Bentuk eksudatif Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.

22

b. Bentuk adhesif Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor,

kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar. c. Bentuk campuran Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive. Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkanjaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.

4. DIAGNOSIS a. Temuan klinis Pasien dengan peritonitis umumnya muncul tidak sehat dan dalam distres akut . Banyak dari mereka memiliki suhu yang melebihi 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat dapat menjadi hipotermia . Takikardia dapat hadir , sebagai akibat dari pelepasan mediator inflamasi , hipovolemia intravaskular dari anoreksia muntah dan demam , dan kerugian ketiga ruang ke dalam rongga peritoneal . Dengan dehidrasi yang progresif , pasien mungkin menjadi hipotensi ( 5-14 % dari pasien) , serta oliguria atau anuric , dengan peritonitis berat , mereka mungkin hadir dalam syok septic. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut . Kenaikan perut nada otot dinding mungkin sukarela, dalam menanggapi atau dalam mengantisipasi pemeriksaan abdomen , atau paksa karena iritasi peritoneal . Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul
23

mereka tertekuk untuk meredakan ketegangan dinding perut . Perut buncit sering , dengan peristalsis usus menurun . Temuan ini mencerminkan ileus umum dan mungkin tidak akan hadir jika infeksi baik lokal . Kadang-kadang, pemeriksaan abdomen mengungkapkan massa inflamasi. Pemeriksaan colok dubur sering memunculkan peningkatan nyeri perut, terutama dengan peradangan pada organ panggul , tapi jarang menunjukkan diagnosis spesifik.2,3,4 b. Temuan laboratories Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata .Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.2 c. Temuan radiologis Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen. Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus .

24

5. PENATALAKSANAAN Prinsip umum pengobatan peritonitis adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: 2 (1) Kontrol infeksi yang terjadi (2) Membersihkan bakteri dan racun (3) Memperbaiki fungsi organ (4) Mengontrol proses inflamasi

5.1 Penanganan preoperatif a. Penggantian cairan intravena Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial .Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang Suplemen kalium

sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi .

b. Terapi antibiotik Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum. Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih
25

terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas .

c. Oksigen dan ventilator Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal .

d. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis .

e. Pemberian analgesik untuk mengatasi nyeri. f. Antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah.

5.2 Penatalaksanaan operatif Pembedahan dilakukan bertujuan untuk : Mengeliminasi sumber infeksi. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

26

Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis. Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain: Tindakan pembedahan : (1) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya. Segala usaha harus dilakukan untuk membuang semaksimun mungkin benda asing dan material-material infeksisius. (2) Pencucian ronga peritoneum: Dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis. Peritoneal lavage : lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri

Gambar 3. Peritonel lavage

27

Peritoneal drainage Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Indikasi drainase adalah : (2.6.8) Pengumpulan pus yang terlokalisir. Suatu daerah dari jaringan mati yang tidak dapatdibuang.Penutupan organ berongga yang tidak aman. Kebocoran cairan tubuh seperti empedu, cairan pankreas, urin, cairan usus, darah yang tidak dapat dihentikan dengan operasi. Kontaminasi retroperitoneal dengan faeces, pus, dan darah Gambar 4. Drainage peritoneal

(3) Debridement : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin. (4) Irigasi kontinyu pasca operasi.

28

Terapi post operasi antara lain : Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi. Pemberian antibiotic biasanya 10-14 hari tergantung tingkat keparahan. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen. 6. KOMPLIKASI Komplikasi dari peritonitis adalah penyakit sekunder atau gejala. Jika tidak ditangani dengan baik dan awal, peritonitis dapat memiliki banyak komplikasi seperti: Peristaltik isi usus berhenti bergerak. Ileus paralitik; yang berarti penyumbatan usus. Asites : Cairan dari kebocoran aliran darah ke rongga perut terjadi karena karena faktor antibakteri menurun dalam cairan asites. Dehidrasi: kekurangan yang berlebihan cairan dan mineral dari tubuh. Akibat cairan yang bergeser ke dalam rongga peritoneum, dapat menyebabkan dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit. Shock septic: tubuh tidak memiliki cukup darah. Syok septik adalah jenis sepsis yang menyebabkan penurunan besar dalam tekanan darah. Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C) Tachypneu (respiratory rate >20/menit) Tachycardia (pulse >100/menit) Leukocytosis >12.000/mm3 Leukopoenia <4.000/mm3 10% >cell imature Suspected infection i. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 gejala sebagai berikut

Derajat Sepsis

Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C) Tachypneu (resp >20/menit) Tachycardia (pulse >100/menit)


29

Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm 10% >cell imature

ii. Sepsis: Infeksi disertai SIRS iii. Sepsis Berat: Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria. iv. Sepsis dengan hipotensi: Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg). Syok septic: Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan

7. PROGNOSIS Tingkat mortalitas dari peritonitis ganeralisata adalah sekitar 40%. Faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multiple sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforate atau appendicitis , pada usia muda,p ada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri dan pada pasienyang terdiagnosis lebih awal.

30

BAB III PENTUTUP

Kesimpulan Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum. Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. 2.

Harjadi W.Anatomi abdomen. Jakarta ; Penerbit buku kedokteran EGC :2009 .h.1-8. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment. 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2006.h.464-78.

3.

Marshall, JC.Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2003.h. 2228-37

4.

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 28 November 2013. http://emedicine.medscape.com /article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa Fauci et al. Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1.USA: McGraw Hill, Peritonitis ; 2008. H. 808-810, 1916-1917

5.

32

Anda mungkin juga menyukai