Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN, DEMOKRATISASI DAN KEBANGKITAN NASIONAL1

Orasi Ilmiah pada Wisuda VII S-1 dan Dies Natalis X


STIE Mulia Pratama Bekasi 2008
Oleh: Prof Dr Hafid Abbas
Hotel Horizon Bekasi, 18 Oktober 2008

Yang saya hormati Koordinator Kopertis Wilayah IV, Walikota Kota Bekasi, Ketua STIE Mulia
Pratama, Ketua Yayasan Pencerdasan Bangsa, para Anggota Senat, Sivitas Akademika, para
Wisudawan, para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sungguh suatu kehormatan dan kebahagiaan yang tidak ternilai bagi saya dapat berdiri di sini untuk
menyampaikan beberapa pemikiran saya di hadapan para wisudawan dan civitas akademika STIE
Mulia Pratama dan hadirin sekalian. Apa yang akan saya ketengahkan di sini, menurut pandangan
saya adalah suatu masalah yang menyentuh kepentingan kita semua sebagai warga negara dari
bangsa yang besar, dan bahkan kepentingan kesinambungan generasi dan peradaban kita dari masa
lampau ke masa kini dan ke masa depan. Masalah itu adalah mengenai keputusan kolektif kita
sebagai bangsa yang tepat sepuluh tahun lalu, telah memilih strategi kebangkitan baru melalui jalan
demokrasi dengan memajukan hak asasi manusia.
Tuturan singkat saya di hadapan para wisudawan, civitas akademika dan hadirin sekalian tentulah
jauh dari memadai untuk mengulas hal-hal tersebut secara lebih utuh. Izinkanlah saya mengawali
uraian ini dengan menyampaikan: (1) beberapa catatan singkat atas pilihan kita di jalur demokrasi, (2)
tonggak-tonggak kebangkitan kita selama seabad yang lampau, dan (3) peluang dan harapan yang
terbentang di depan kita memasuki era kebangkitan bangsa fase abad kedua, dan sekaligus
bagaimana pendidikan berbasis hak asasi menjawab dinamika itu.
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Sebagai catatan tentang pilihan kita di jalur demokrasi, izinkan saya memetik pelajaran berharga dari
polarisasi-polarisasi kehidupan semut sebagai suatu pendekatan model yang lazim digunakan dalam
ilmu-ilmu sosial. Seorang warga negara Belgia, pemenang Hadiah Nobel di bidang Kimia, bernama
Ilya Prigogine, dalam artikelnya “The Die is not Cast” (UNESCO, 1999)2 melukiskan bagaimana pola
dan perilaku kehidupan semut. Dalam alam raya ini terdapat sekitar 12000 jenis spesies semut yang
sudah dikenal manusia. Kemungkinan masih terdapat jumlah yang lebih besar yang belum dikenal
hingga dewasa ini. Yang menarik ditelaah lebih dalam adalah pola perilaku kehidupan semut tersebut.
Jika mereka hidup dalam koloni atau kelompok yang kecil perilakunya sangat individualistik. Mereka
mencari makanan secara bebas kemudian membawa makanan itu ke sarangnya tanpa ada aturan.
Namun jika mereka hidup di koloni besar yang dapat bervariasi dari ratusan, ribuan hingga jutaan,
maka mereka diatur oleh suatu sistem kontrol melalui auto catalytic reaction antarsemut yang
kemudian melahirkan reaksi kimia yang berfungsi sebagai media pertukaran informasi yang mengatur
tata kehidupannya. Semakin besar jumlah semut dalam satu koloni maka semakin ketat mekanisme
kontrolnya untuk mengatur dirinya dan distribusi makanannya. Sekiranya ada semut yang melanggar
aturan dengan berperilaku semaunya maka reaksi kimia tadi meracuninya dan menyebabkannya
menjadi buta dan kemudian dimangsa oleh semut lainnya. Demikianlah pola kehidupan semut dari
corak individualistik ke hidup berkelompok.
Mari kita melihat analogi kehidupan semut ini dalam pola kehidupan umat manusia yang pada Maret
2008 lalu diperkirakan berjumlah sekitar 6,7 miliar jiwa.3 Seperti halnya semut, manusia mempunyai
pula pola polarisasi kehidupan. Polarisasi pertama adalah manusia yang hidup di dunia pertama yang
umumnya berada di AS dan Eropa Barat. Sumber-sumber ekonominya relatif lebih maju dibanding di
belahan bumi lainnya. Jumlah penduduknya relatif lebih kecil dan bahkan di negara-negara
1
Pokok-pokok pikiran ini sebagian sudah diangkat pada Orasi Pengukuhan Guru Besar Tetap UNJ, 16 Juni
2008.
2
UNESCO, Letters to Future Generation, (Paris: UNESCO, 1999), pp 133-140
3
http://www.internetworldstats.com/stats.htm
Scandinavia, tingkat pertumbuhannya sudah di bawah nol. Pola hidup warga masyarakatnya
cenderung lebih individualistik dan tidak begitu terikat dengan kehidupan kolektifnya. Dari sudut
pandang kehidupan ekonomi dan politiknya, mereka memprioritaskan pemajuan dan perlindungan
hak-hak ekonomi individu.
Polarisasi ke dua adalah pola perilaku kehidupan masyarakat di belahan dunia kedua yakni di negara-
negara sosialis, seperti China, Cuba, Eropa Timur, dan Uni Soviet dan sekarang Rusia. Penduduknya
berjumlah amat besar dengan sumber ekonomi yang relatif terbatas sehingga memaksa pola
kehidupan masyarakatnya membatasi kebebasan individu. Masyarakat di dunia ini yang dipentingkan
adalah pemajuan dan perlindungan hak-hak ekonomi kolektifnya. Mereka membatasi dan bahkan
mengorbankan kepentingan ekonomi individu apabila hal itu bersentuhan dengan kepentingan
kelompok atau kepentingan negara. Kebebasan berekspresipun begitu terbatas.
Polarisasi kehidupan 6,7 miliar penduduk dunia tersebut, mirip sekali dengan polarisasi kehidupan
semut. Belajar dari kehidupan semut itu, mari kita merenung sejenak, apakah kita sudah berada di
jalur pilihan perjalanan sejarah yang tepat? Apakah kita tidak menyesali pilihan itu di kemudian hari
atau mungkinkah kita dikutuk oleh generasi yang akan datang atas keputusan di jalur demokrasi itu?
Mari kita secara jernih melihatnya. Bukankah keledai saja dapat belajar dari apa yang pernah
dialaminya sehingga tidak pernah jatuh ke lubang yang sama untuk ke dua kalinya.
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Generasi kita, tanpa didikte oleh pihak manapun, telah mengambil keputusan monumental dengan
berani melakukan perubahan yang amat mendasar pada seluruh aspek kehidupan ekonomi, sosial
dan politik. Tuntutan penataan kembali (reformasi) itu dipicu oleh memburuknya keadaan ekonomi
nasional sebagai akibat krisis moneter yang melanda Thailand pada pertengahan 1997. Krisis ini
kemudian meluas, mewabah bagai virus penyakit ke kawasan dan membawa keterpurukan ekonomi
nasional (hyperinflation and depression) hingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kita pada 1998
mencapai -16,54%. Angka penduduk miskin tiba-tiba berlipatganda menjadi sekitar 79,4 juta orang
atau 39,1 % dari 202 juta penduduk, PHK terjadi di mana-mana. Kegoncangan ini kemudian
membawa pula kegoncangan sosial dan politik dan krisis multi dimensi yang memaksa sistem
pemerintahan sentralistik diakhiri yang kemudian melahirkan sistem pemerintahan desentralistik yang
bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Era otoritarianisme panjang pun harus
diakhiri. Era kekuasaan Orde Baru yang didukung oleh kekuatan bersenjata harus digantikan dengan
supremasi sipil dalam payung negara demokrasi, meski pada waktu itu kita belum mampu mengeja
huruf demi huruf dari kata demokrasi. Yang terjadi pada masa itu hanyalah sebuah keberanian untuk
berubah.
Akumulasi tuntutan reformasi itu dipicu oleh tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998. Ibarat sumbu petasan, peristiwa itulah yang meledakkan perubahan sosial-
politik. Peristiwa ini merupakan pintu gerbang lahirnya era demokratisasi yang telah mengantar
pergantian kepemimpinan nasional secara amat dramatis. Euforia demokratisasi, hak asasi manusia
dan kebebasan berekspresi seakan tidak terelakkan. Bahkan kebebasan seperti itu dinilai telah
melewati batas-batas kepatutan menurut ukuran-ukuran negara paling bebas dan paling demokratis
sekalipun. Kalau dulu dikenang semangat heroisme sekali merdeka tetap merdeka, sekarang
semangat itu bermakna ”sekali merdeka, merdeka sekali.”
Dilemma. Sebagai keputusan bersejarah yang emosional, tentu tidak dimungkinkan terdapat
pemikiran-pemikiran rasional yang sejuk dan aspiratif untuk memperhitungkan segala konsekuensi
dan implikasi yang akan ditimbulkan atas keputusan itu. Akibatnya, meski sudah satu dekade
berdemokrasi, kita masih terkesan kehilangan orientasi terhadap masa depan, bahkan kita seakan
masih mencari bentuk tatanan masyarakat demokratis yang kita tuju, sementara tatanan lama sudah
kita tinggalkan. Dengan alasan demokrasi, di berbagai kampus di tanah air, mahasiswa lebih banyak
menggunakan waktunya di jalan, berdemo, membakar ban bekas, daripada belajar di ruang-ruang
kuliah dan perpustakaan.
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Penjelasan para ahli tentang realitas ini bermacam-macam. Ada yang percaya bahwa kekecewaan
dan kegoncangan-kegoncangan seperti ini merupakan proses alamiah yang harus dilalui untuk
mencapai suatu keseimbangan baru. Walaupun penuh goncangan dipercaya akan berakhir dengan
hadirnya sebuah harmoni baru yang terutama ditandai oleh terjadinya konsensus tentang bagaimana
sebuah sistem politik baru dikelola secara kolektif.
Arah. Kata filosof René Descartes, jika kita tersesat di tengah perjalanan gelap, cara terbaik untuk
keluar dari ketersesatan itu adalah jangan pernah merubah arah perjalanan. Sejarah ternyata tidak
mengenal belas kasihan, yang berlaku adalah survival of the fittest, seperti kata Darwin. Sekiranya
pilihan kita di jalur demokrasi pada satu dekade lampau merupakan pilihan terakhir, ”the point of no
return”, kita tidak mungkin lagi merubah arah pilihan itu, apa yang harus kita lakukan? Saya ingin
menjawabnya, mari memperkuat dimensi pendidikan nasional yang berbasis hak asasi dalam proses
kebangkitan bangsa.
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Pilihan Demokrasi. Mari kita melihat apa, mengapa dan bagaimana pendidikan berbasis hak asasi
itu. Terlepas dari argumentasi-argumentasi pro dan kontra atas pilihan kita pada jalur demokrasi,
pembangunan sesungguhnya tidak mungkin berjalan tanpa adanya keamanan dan ketenteraman.
Sebaliknya keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan tidak mungkin pula terwujud tanpa
pembangunan. Ada hubungan resiprokal atau timbal balik antara pembangunan dan keamanan.
Namun, keamanan dan pembangunan tidak mungkin pula terwujud jika tidak terdapat pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia. Inti dari ikhtiar ini sesungguhnya adalah pembangunan berwawasan
HAM. Kofi Annan pada pidato terakhirnya, 12 Desember 2006 di Gedung PBB New York menuturkan:
‘’there will be no development without security, there will be no security without development, and
there will be no both without human rights.’’
Kerangka segitiga yakni pembangunan, keamanan dan HAM sesungguhnya dibingkai oleh paradigma
pembangunan yang berpusat pada manusianya (human centered development). Inti dari
pembangunan manusia tersebut adalah pendidikan. Pada Kerangka Aksi Dakar yang dicanangkan
pada World Education Forum di Dakar 2000 berisi satu pernyataan yang tegas bahwa pendidikan
adalah hak asasi fundamental dan mendasari pentingnya pelaksanaan pendidikan berbasis hak asasi
dalam pencapaian tujuan pendidikan untuk semua. UNESCO bersama sejumlah badan PBB lainnya,
aktif terus mendorong pelaksanaan pembangunan pendidikan berbasis hak asasi yang menjadi
prasyarat untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua.
Makna HAM. Di sisi lain, HAM yang diperjuangkan di Indonesia baik sebelum maupun sesudah
kemerdekaan tercermin dalam pemikiran besar tokoh-tokoh pendiri republik ini. Proklamator Bung
Hatta misalnya, dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan di muka
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Jogyakarta pada 2 September 1948 melukiskan peta
polarisasi dunia, ada dunia pertama, ada dunia ke dua dan ada dunia ke tiga. Mirip sekali pola
polarisasi kehidupan semut dalam pandangan Ilya. Polarisasi dunia ketiga ini membawa resonansi
politik ke seluruh dunia pada saat diselenggarakannya KTT Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, yang
melahirkan Dasa Sila Bandung. Dunia pertama adalah negara-negara kapitalis, dan dunia kedua
adalah dunia sosialis. Indonesia dalam pandangan Bung Hatta mendayung di antara dua karang,
tidak dipertentangkan antara keduanya, melainkan memetik nilai-nilai yang positif dari dunia satu dan
memetik pula yang positif dari dunia ke dua. Itulah sesungguhnya yang mengkristal dalam bingkai
kelima sila Pancasila.4

Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia

4
Pendidikan Berbasis Hak Asasi. Pengertian HAM inilah yang didefinisikan sebagai seperangkat hak yang
melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Karenanya pendidikan berbasis hak asasi dalam
pelaksanaannya sebagaimana yang dikembangkan oleh UNESCO ialah dengan mengintegrasikan nilai-nilai
universal HAM ke dalam seluruh proses perencanaan, pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pendidikan
yang berlangsung di semua jenjang, jenis dan jalur melalui ketersediaan (availability) pendidikan, perluasan
akses (accessibility), peningkatan mutu dan relevansi (acceptability), dan adaptabilitas (adaptability) pendidikan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar negara dan landasan yuridis kita. Saya ingin menambahkan satu dimensi
penting di keempat aspek itu yakni assessibility atau penilaian pendidikan
Sejalan dengan pandangan Kofi Annan, Komitmen Dakar, dengan menggunakan kerangka berpikir
pendidikan berbasis hak asasi, izinkan saya melihat secara singkat tonggak-tonggak kebangkitan kita
sebagai bangsa selama satu abad yang lalu.
Tonggak pertama, adalah lahirnya kesadaran akan kebangkitan nasional yang dipelopori oleh
angkatan Boedi Oetomo tahun 1908. Angkatan ini memperkenalkan adanya sekolah (availability)
untuk membangun kesadaran politik dari bangsa yang terjajah.
Tonggak ke dua adalah lahirnya Taman Siswa pada tahun 1922, oleh Ki Hadjar Dewantara. dengan
satu ikhtiar yakni mengangkat martabat, memajukan dan melindungi hak-hak asasi bangsa yang
terjajah.
Tonggak ke tiga, adalah tercetusnya kesepakatan 2 Mei 1928 di Batavia, untuk mengadakan Kongres
Pemuda yang kemudian telah mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. 5
Tonggak ke empat, adalah diproklamirkannya kemerdekaan tepat 17 Agustus 1945 yang di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah dirumuskan secara tegas ikhtiar untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.6
Tonggak ke lima, adalah lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950 yang secara de facto digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan dalam negara kesatuan RI.
Tonggak ke enam, adalah lahirnya angkatan 66 dengan semangat Trituranya yang bersama-sama
ABRI dan rakyat bangkit dan bersatupadu dalam satu angkatan yang dikenal dengan Orde Baru untuk
menumpas segala penyelewengan Orde Lama yang dipandang mengkhianati cita-cita perjuangan
bangsa. Angkatan ini menghasilkan salah satu yakni TAP No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama,
Pendidikan dan Kebudayaan, dengan rumusan tujuan pendidikan yakni membentuk manusia
Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan dan Isi
UUD 1945.
Tonggak ke tujuh, adalah dicanangkannya kembali Progam Wajib Belajar Enam Tahun pada 2 Mei
1984. Penerapan program ini menjangkau kelompok usia SD. Dalam rentang waktu 10 tahun,
gerakan nasional penuntasan wajib belajar itu dinilai berhasil sehingga pada tanggal 2 Mei 1994,
pemerintah mencanangkan kembali Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang akan menjangkau
anak kelompok SD dan SLTP. Atas keberhasilan tersebut, Indonesia mendapat Medali Aviciena,
penghargaan tertinggi UNESCO.
Tonggak ke delapan, adalah lahirnya UU Pokok Pendidikan Nasional No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya.7
Tonggak ke sembilan adalah lahirnya Era Reformasi pada 21 Mei 1998, sebagai era demokratisasi.
Pemerintahan Orde Baru dinilai belum berhasil melaksanakan visi dan misinya dan bahkan selama
lebih tiga dekade, Orde Baru telah membangun struktur kekuasaan yang ofensif guna kepentingan
tertentu yang tidak mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak. Akhirnya Era Reformasi lahir untuk
mengoreksi penyimpangan itu. Yang amat monumental pada era reformasi ini adalah dimuatnya 10
pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam batang tubuh UUD 1945,8 dan yang ke dua
ditetapkannnya anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD.

Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia

5
Dalam perjuangan itu nampak jelas peranan pendidikan dalam usaha membangkitkan kesadaran rakyat
(adaptability) untuk berjuang menempatkan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat yang sama dengan
bangsa-bangsa lainnya.
6
Bahkan hanya empat bulan setelah proklamasi, sudah dirumuskan pelaksanaan wajib belajar enam tahun
secara berangsur dalam waktu sepuluh tahun, dan di sekolah rendah agar tidak dipungut uang sekolah. Intinya
adalah sebuah kesadaran untuk bangkit melalui pendidikan berbasis hak asasi.
7
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
8
Pasal 28 a – dst.
Demikianlah tonggak-tonggak perjalanan panjang 100 tahun pertama era kebangkitan nasional yang
sesungguhnya berpijak pada pendidikan berbasis hak asasi manusia. Dengan tonggak-tongak itu
lahirlah generasi terdidik yang mampu membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan, lahirlah
kelompok masyarakat kelas menengah yang membuka pintu gerbang demokrasi. Dengan kekuatan
itu, mari kita menatap ke depan, bagaimana perspektif kehidupan kita sebagai bangsa pada era
kebangkitan nasional abad ke dua yang sudah kita jalani 4 bulan 28 hari.
Hadirin yang berbahagia
Berbagai konsep. Pada peringatan Harkitnas 20 Mei 2008 yang menandai dibukanya lembaran baru
kebangkitan kita 100 tahun ke depan, Presiden mencanangkan moto Indonesia Bisa. Seperti halnya
burung yang bisa terbang karena dalam pikirannya berkata bisa. Kualitas pikir, kualitas karya, dan
tingkat produktivitas seseorang bergantung pada kualitas pendidikannya.
Kesadaran seperti itu, seringkali bangkit bila ada tantangan. Sejarah umat manusia menunjukkan
seringkali lewat cobaan terberatlah yang dihadapi seseorang, seluruh kemampuan dan potensi yang
dimilikinya diaktualisasikan untuk bangkit karena terjadi dialog dengan relung-relung batinnya yang
paling. Lewat dialog itu otentitas dan koherensi dirinya ditemukan. Demikian pula halnya bagi sebuah
bangsa atau peradaban, Jepang bangkit karena kehancurannya dari tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Refleksi atas kehancuran itu, melahirkan gelora heroisme yang tinggi, What America can do Japan
can do much better.
Arnold Toynbee seorang sejarahwan terkemuka dunia berkebangsaan Inggeris menulis 12 jilid buku
A Study of History yang diterbitkan antara 1934-1961. Ia mengkaji jatuh bangunnya 23 peradaban
besar di dunia dalam rentang waktu 5000 tahun. Kemajuan atau kehancuran suatu peradaban
menurut Toynbee bergantung pada kemampuan beberapa elit intelektualnya (dozens of eminent
scholars) menghadapi tantangan zaman yang ada. Dari 23 peradaban besar itu, 22 hancur bukan
karena serangan dari luar tetapi adanya pelapukan dan pembusukan dari dalam yang diistilahkan
"civilizations die from suicide, not by murder." Kehancuran itu terjadi ketika elit-elitnya kehilangan
pegangan moral, ketika elit-elitnya menjadi benalu bagi bangsanya sendiri, mengeksploitasi
kepentingan umum dan membentuk kelompok-kelompok pendukung dari dalam atau dari luar.9
Keadaan ini mirip pada saat-saat awal kita berdemokrasi. Elit-elit kita larut dalam romantisme sempit
yang dibingkai oleh identitas politik, suku, agama, dsb. Elit-elit ini tiba-tiba membentuk polarisasi-
polarisasi dengan melahirkan lebih 400 Partai Politik baru, meski yang ikut Pemilu 1999, hanya 48
karena terhalang oleh persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh UU. Romantisme sempit elit-elit
tersebut telah menyebabkan kondisi bangsa semakin terpuruk ketika itu. Yang lebih berbahaya lagi,
dengan kepemimpinan koalisi mulai di tingkat kabupaten/kota hingga ke pusat, seringkali bila wakil
berasal dari partai yang berbeda dengan pasangannya, hubungan harmonis antar keduanya hanya
berlangsung singkat. Biasanya wakil berjuang untuk menyingkirkan pasangannya pada periode
Pilkada berikutnya. Akibatnya, keretakan kepemimpinan di akar bawah tidak mungkin dihindari.
Senada dengan pandangan tersebut, Talcott Parsons (1951)10 seorang sosiolog terkemuka dunia
yang pemikiran-pemikirannya dalam bidang sosiologi begitu berpengaruh sejak tahun 50-an hingga
saat ini. Dalam bukunya ”The Social System” ia memberi perspektif lain bahwa taraf kemajuan suatu
masyarakat, suatu bangsa, suatu peradaban ditentukan empat hal yang disebutnya AGIL Paradigms.
(A) adalah adaptation, atau kemampuan suatu bangsa menyesuaikan diri dengan perubahan yang
ada demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa itu. (G) adalah goal attainment, atau kemampuan
bangsa itu merumuskan dan mencapai tujuan yang hendak dicapai. (I) adalah integration, atau
kemampuan bangsa itu melakukan fungsi-fungsi integrasi atau mempertemukan kepentingan dari
berbagai pihak untuk kemajuan bersama. Terakhir adalah (L) yang berarti latency pattern
maintenance, yang berarti kemampuan bangsa itu memelihara nilai-nilai latennya, nilai-nilai
dasarnya, nilai-nilai budayanya yang sesuai dengan kepentingannya.

9
http://www.zenker.se/Books/toynbee.shtml
10
Talcott Parsons, The Social System, New York: the MacMillan, 1971, atau diakses di
http://en.wikipedia.org/wiki/Talcott_Parsons#Patern_variables: The procedure he adopted to analyze this system
and its subsystems is called the “AGIL Paradigm” or “AGIL scheme”. To survive or maintain equilibrium with
respect to its environment, any system must to some degree adapt to that environment (Adaption), attain its
goals (Goal attainment), integrate its components (Integration), and maintain its latent patern (Latency pattern
maintenance), a cultural template of some sort. These are called the system’s functional imperative.
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Pendidikan Berbasis Hak Asasi. Merujuk pada pemikiran Toynbee, Parsons, inspirasi kehidupan
semut yang digambarkan oleh Ilya, UNESCO dan Komisi HAM PBB dengan paradigma 4 A-nya yang
telah saya tambahkan satu sehinga menjadi 5 A, dan, mari kita menatap ke depan.
Persoalan besar yang akan kita hadapi 100 tahun ke depan adalah bagaimana menangani implikasi
yang ditimbulkan dari jumlah penduduk yang amat besar yang diperkirakan melebihi 500 juta jiwa
pada akhir abad kedua kebangkitan nasional jika pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan pada
tingkat 1,2%, terutama dalam kaitannya dengan indikator-indikator berikut.
Pertama (availability), dalam rangka menjamin ketersediaan pendidikan bagi semua warga negara,
ternyata Indonesia adalah satu di antara sedikit negara di dunia saat ini yang telah memberi komitmen
minimal 20% dari total APBN dan APBD-nya untuk pendidikan. Namun, dengan adanya keputusan
MK yang memasukkan komponen gaji pendidik dalam perhitungan anggaran pendidikan, lebih mudah
bagi Pemerintah bersama DPR untuk melaksanakan kewajiban sekurang-kurangnya 20% tersebut.
Keputusan MK ini dinilai banyak kalangan sebagai keputusan yang kontradiktif dari semangat UUD
1945.
Meskipun demikian, komitmen pemerintah tersebut patut dijadikan momentum untuk bangkit karena
berbeda dengan kecenderungan global terutama era pasca tragedi 11 September 2001. Politik hitam
putih AS kawan atau lawan dalam menghadapi terrorisme telah melahirkan suasana tidak aman
(human insecurity) masyarakat internasional yang mendorong perlombaan peningkatan anggaran
persenjataan dan militer di satu sisi dan semakin menurunnya anggaran pendidikan di sisi lain. AS
misalnya telah menghabiskan anggaran belanjanya sekitar US $ 3 trilun untuk invasi Iraq dan
Afganistan, dan membelanjakan sekitar US $ 626,1 miliard per tahun untuk belanja persenjataan dan
militer, sementara untuk pendidikan hanya sekitar 2%.11 Demikian pula Afganistan telah
menghabiskan sekitar lebih 30% anggarannya untuk militer, sementara untuk pendidikan hanya 1%.
Itulah sebabnya, di Pakistan hanya sekitar 12% penduduk perempuan yang bisa membaca dan
menulis. Keadaan inilah yang membawa krisis financial dan ekonomi global saat ini.12
Kita patut bersyukur pada Tuhan, Indonesia tidak memilih jalan tersesat itu. Kita mempunyai
komitmen konstitusional untuk meningkatkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan
APBD yang akan mulai diterapkan pada 2009 yang akan datang.
Kedua (accessibility), dalam rangka perluasan akses pendidikan bagi semua warga negara,
pendidikan harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi berdasarkan etnis, agama, gender, atau
apapun bentuknya.
Dilaporkan pula oleh PBB bahwa 40% dari siswa SD tidak mampu membeli buku karena persoalan
kemiskinan. Kelompok ini harus segera diselamatkan dengan berbagai program prioritas. Sebaliknya,
dalam laporan yang sama memperlihatkan bahwa etnis keturunan Tionghoa yang jumlahnya hanya
sekitar 3% dari seluruh jumlah penduduk, dapat menikmati akses dan kualitas pendidikan yang
bertaraf internasional. Mereka menguasai 70% kekuatan ekonomi nasional pada era Orde Baru.13
Karenanya upaya pemerataan ini kiranya diarahkan untuk mencegah terjadinya kesenjangan
pengetahuan antaranak karena dapat berimplikasi pada melebarnya kesenjangan sosial dan bahkan
keretakan sosial di masa depan.14
Ketiga (acceptability), agar pendidikan diterima oleh dunia kerja, sesuai perkembangan iptek, dan
tuntutan masyarakat, pendidikan harus bermutu. PBB melaporkan bahwa pendidikan Indonesia
berada pada urutan terendah di lingkungan ASEAN.
11
http://en.wikipedia.org/wiki/Military_budget_of_the_United_States
12
Isu penting lainnya adalah pengelolaan guru. Sebagaimana dikemukakan Bank Dunia bahwa Pemerintah
menerapkan kebijakan terselubung bagi guru dengan gaji yang rendah, jam kerja sedikit, memperbolehkan
mereka kerja hingga dua atau tiga jenis pekerjaan, bahkan terkadang empat. Guru-guru di kota lebih banyak lagi
tergoda untuk bekerja rangkap. Beban jam mengajar mereka rata-rata 2,5 jam per hari atau 15 jam per minggu
sehingga kemungkinan kerja rangkap itu terbuka lebar. Jumlah guru berkisar 50% dari jumlah seluruh PNS,
namun hanya sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan kemampuan mengajar.
13
Kita patut pula bersyukur karena payung hukum yang kita miliki saat ini, pendidikan tidak lagi disekat-sekat
secara dikotomis seperti di masa lalu. Momentum seperti ini dalam pandangan Parsons merupakan strategi
kebangkitan bangsa.
14
Loc cit, pp 12-13
Laporan PBB tersebut senada dengan hasil kajian komparatif yang telah dilakukan oleh Kantor Menko
Kesra pada 2003. Kajian itu menunjukkan bahwa tingkat kesukaran ujian akhir jenjang SD di Malaysia
untuk Bahasa Inggeris relatif sebanding dengan tingkat kesukaran ujian akhir jenjang SLTA di
Indonesia, untuk IPA dan Matematika tingkat kesukaran jenjang SLTP relatif sebanding dengan
jenjang SLTA. Artinya, Indonesia relatif tertinggal dari Malaysia 3-6 tahun dalam hal tingkat kesukaran
materi ujian nasional. Sedangkan standar kelulusan nasional Malaysia dengan tingkat kesukaran
tersebut pada 2003 adalah 6 sedangkan Indonesia 3. Ini berarti Indonesia baru mampu mencapai
keadaan Malaysia pada 2003 pada 2009. Dengan demikian, Indonesia tertinggal 9-12 tahun dari
Malaysia.15
Gambaran suram ini, jika diteruskan ke jenjang pendidikan tinggi diduga akan menunjukkan
kecenderungan yang relatif sama betapa kita tertinggal jauh dari Malaysia. Tentu gambaran ini akan
lebih suram lagi apabila dibandingkan dengan Singapura. Tentu akan terlebih suram lagi jika
dibandingkan dengan Jepang.
Salah satu implikasi yang memprihatinkan atas rendahnya mutu tersebut adalah rendahnya temuan-
temuan ilmiah yang dihasilkan oleh bangsa kita. Singapura misalnya meski negaranya amat kecil
sebanding dengan luas Pulau Samosir, namun berada pada urutan ke 16 di antara 20 negara
penyumbang hak paten terbesar di dunia. Pada tahun 2005, Singapura melaporkan sekitar 10.000
aplikasi hak paten, Jepang sekitar 440.000, AS sekitar 390.000. Jepang berada pada urutan teratas
kemudian disusul oleh AS, China, Korea, dan Jerman. Indonesia belum tercatat dalam tabel tesebut.
Ini berarti pendidikan di Indonesia belum memberi andil yang berarti bagi perkembangan peradaban
modern umat manusia.16
Keempat (adaptability), dalam rangka pengembangan pendidikan yang adaptif terhadap
perkembangan psikologis, sosiologis, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia secara universal,
berbagai hal masih perlu dibenahi. Dilaporkan oleh PBB bahwa pendidikan di Indonesia lebih
berorientasi pada perolehan ijazah, perolehan gelar, bukan mutu. Ijazah seringkali hanya diperlukan
untuk memasuki panggung politik. Kasus ijazah palsu seringkali sangat marak terjadi pada saat-saat
mendekati Pemilu, atau Pilkada di satu daerah. Misalnya di Jawa Tengah, pada Pemilu 2004, Panwas
Pemilu menemukan sebanyak 84 Caleg menggunakan ijazah palsu. Sulit menemukan ada
kabupaten/kota yang terbebas dari kasus pemalsuan tersebut.17

Yang timbul kemudian adalah pendidikan seringkali dinilai gagal sebagai perekat kohesi sosial
masyarakat, gagal membangun barisan SDM yang tangguh. Bahkan akhir-akhir ini, dunia kampus pun
seakan tidak pernah berhenti bergolak dengan demonstrasi yang seringkali berakhir brutal, membakar
15
Catatan yang direkam saat pertemuan dengan Menko Kesra Jusuf Kalla, 2003.
16
Atas keprihatinan terhadap rendahnya mutu pendidikan kita, tentu tidak cukup hanya membenahinya melalui
ujian nasional (UN). Penyederhanaan masalah seringkali akan melahirkan masalah baru yang lebih rumit. Yang
diperlukan sebenarnya adalah membenahi seluruh variabel yang tekait dengan peningkatan mutu itu termasuk
peningkatan kualifikasi guru, perbaikan sarana dan prasarana, dan sebagainya. Pemberlakuan UN hanyalah
salah satu strategi, namun sayang telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang melihat bahwa
pelaksanaan UN sebagai suatu pemborosan anggaran, dan bahkan sebagai pelanggaran hukum. Pro-kontra ini
sesungguhnya bersumber dari dua hal yakni pengelolaan pelaksanaan ujian nasional yang belum tertangani
dengan baik, dan ke dua, adanya pasal-pasal dalam UU No 20/2003 yang menimbulkan interpretasi yang
berbeda, misalnya pasal 57 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2. Akibatnya, penyelenggaraan UN telah melahirkan
kontroversi di masyarakat secara berkepanjangan. Kelihatannya UU ini perlu secepatnya diamandemen oleh
MK.

Pengalaman di sejumlah Negara menunjukkan, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada
kemandirian dan profesionalisme lembaga pengujiannya. Lembaga seperti ini di Malaysia dikenal dengan nama
Lembaga Peperiksaan Malaysia, di Inggeris disebut Cambridge Local Examination Syndicate, atau Oxford
Delegacy of Local Examination, di Hong Kong, Hong Kong Examination and Assessment Authority, dan
seterusnya. Lembaga-lembaga ini benar-benar mandiri, menghimpun para ahli dari semua bidang keilmuan dan
bidang studi untuk menyiapkan naskah ujian, menentukan standar, dan mengolah semua proses pelaksanaan
ujian, dan memberikan pengakuan. Kita tampaknya perlu belajar dari pengalaman Negara lain dalam
meningkatkan standar mutu pendidikan melalui suatu lembaga yang independen yang berbeda sekali dengan
keberadaan Badan Standarisasi Mutu Pendidikan kita.
17
Kompas, 15 Januari 2004
kampus sendiri, perkelahian, dan sebagainya. Salah satu penyebab dari dinamika itu adalah karena
lahirnya elit-elit lokal, tokoh-tokoh politik, anggota DPRD, Bupati/Walikota yang dulu dikenal sebagai
aktivis kampus yang banyak turun ke jalan. Realitas inilah yang memberi kesan bahwa untuk menjadi
tokoh diperlukan pengalaman berdemonstrasi.18
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Demikianlah beberapa dimensi penting pendidikan berbasis hak asasi yang dalam pandangan saya
merupakan prasyarat untuk bangkit menjadi Negara maju, sejahtera, damai dan demokratis pada era
kebangkitan nasional fase ke dua. Untuk bangkit, menarik ditelaah kata Peter F. Drucker, bahwa di
dunia ini sesungguhnya tidak ada Negara besar dan tidak ada Negara kecil, tidak ada Negara kaya
dan tidak ada Negara miskin, tidak ada Negara maju dan Negara tertinggal, yang ada adalah ada
Negara yang dikelola dengan baik dan ada yang tidak baik. Singapura, negara yang kecil, sebanding
dengan satu kotamadya di Jakarta, tidak punya sumber daya alam, bahkan tidak punya sumber air
minum, namun karena dikelola dengan baik dengan memberi prioritas pada pendidikan, Negara itu
bangkit sebagai satu kekuatan ekonomi raksasa yang diperhitungkan dunia.
Kesimpulan. Akhirnya, dari seluruh uraian tersebut, izinkan saya menarik kesimpulan-kesimpulan
berikut.
Pertama, jika pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan pada tingkat 1,2% setiap tahun, anggaran
pendidikan dapat terpenuhi 20% di luar gaji guru dengan pengelolaan secara profesional dan
akuntabel, Indonesia akan menjadi negara maju, damai, sejahtera dan demokratis pada 2029-2032.
Asumsi ini didasarkan atas pertimbangan ketertinggalan kemajuan mutu pendidikan Indonesia 9-12
tahun dari Malaysia yang akan menjadi negara maju dan sejahtera pada 2020. Lagi pula, Malaysia
sudah menerapkan alokasi anggaran pendidikannya di atas 20% sejak tahun 2000, sementara
Indonesia pada 2007 baru mencapai 11,8%. Data pendukung lainnya adalah laporan UNESCO
(2007) yang menetapkan peringkat pendidikan Indonesia pada urutan 62 dari 130 negara, sementara
Malaysia pada tahun yang sama berada pada urutan 56.19
Ke dua, dengan menggunakan perspektif pendidikan berbasis hak asasi, Indonesia sudah berada di
jalur yang benar (on the right track) menuju sebuah negara maju dan demokratis. Berbagai
kecenderungan yang menggembirakan antara lain: perluasan akses pendidikan di semua jenjang,
jenis dan jalur semakin luas, peningkatan HDI yang lebih signifikan dari 113 (1998) ke urutan 107
(2007), perbaikan indikator-indikator good governance, terutama dalam hal perlawanan terhadap
korupsi yang sudah melampaui Filipina dan Thailand dan sejumlah negara ASEAN lainnya,
pertumbuhan eknonomi yang signifikan meningkat dari -16,54% (1998) ke 6,3% pada 2007. Konflik
sosial di berbagai wilayah semuanya dapat diselesaikan secara sejuk dan damai. Semua ini adalah
indikator-indikator penting bagi kebangkitan kita sebagai bangsa.20
Ke tiga, jika pertumbuhan penduduk kita melampaui 1,2%, dan kita gagal menggerakkan seluruh
potensi bangsa melalui pendidikan, apalagi jika kita gagal menemukan keseimbangan-keseimbangan

18
Di balik keprihatinan itu, kecenderungan yang menggembirakan dalam masa paruh lima tahun ke dua
reformasi terutama di bahwa kepemimpinan Presiden Yudhoyono dan Jusuf Kalla, kita mencatat berbagai
keberhasilan di bidang ini. Konflik Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun telah berhasil diakhiri lewat
dialog damai. Demikian pula konflik Ambon dan Poso telah berhasil di atasi dengan sejuk melalui resolusi
Malino I dan Malino II. Semua terobosan ini membawa implikasi penting bagi dunia pendidikan. Karenanya,
sekolah perlu dijadikan sebagai pusat perdamaian dan pusat kebudayaan. Anak perlu terbiasa hidup bersama,
bekerja dan belajar kelompok, berlomba dalam kegiatan seni dan olahraga dengan teman-teman sekelasnya
atau teman sekolahnya yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda latar belakang sosial, sehingga bisa
diteladani oleh elit-elit lokal, tokoh-tokoh agama, dan politisi setempat yang seringkali menyebar kebencian
kepada pihak lain karena perbedaan kepentingan politik, terutama menjelang Pilkada.
Suasana pendidikan yang kondusif dan inklusif dan sejuk bagi semangat persaudaraan pilar kebangkitan kita.
19
http://old.thejakartapost.com/review2007/nat04.asp
20
Ke empat, paham politik ekonomi yang hendak kita wujudkan adalah paham Pancasila, paham yang tidak
mempertentangkan antara kemajuan individu dan kelompok, paham yang mempertemukan secara sejuk arus
semua nilai-nilai peradaban yang sesuai dengan kepentingan dan akar sejarah kita, paham yang
mempertemukan nilai-nilai ekonomi kapitalistik dan nilai-nilai sosialis, paham yang menyeimbangkan antara hak
dan kewajiban setiap warga negara, paham yang menyelaraskan kepentingan negara dan kepentingan setiap
warganya. Kita harus bangga betapa mulia dan indahnya paham Pancasila, paham yang kita anut menuju
sebuah negara maju, aman, sejahtera dan demokratis.
baru mengelola era Indonesia baru yang demokratis, batas impian menjadi negara maju dan
demokratis itu tentu akan semakin jauh. Yang lebih berbahaya lagi, jika kita mendekat ke paham
liberalisme. Jalan demokrasi yang telah kita pilih satu dekade lampau dapat memberi peluang besar
bagi gerakan separatisme dan disintegrasi. Jika pemerintahan baru hasil Pemilu 2009 yang akan
datang tidak berhasil mengangkat kesejahteraan rakyat dapat berakibat lebih fatal bagi keutuhan
NKRI sebelum Pemilu berikutnya pada 2014. Alternatif yang dapat ditempuh jika terjadi
kecenderungan kegagalan kita berdemokrasi adalah sesegera mungkin mengandemen UUD 1945
yang ke lima untuk kembali ke UUD 1945 yang asli sebelum diamandemen. Kita perlu belajar dari
pola kehidupan semut, diperlukan pemerintahan yang kuat untuk menegakkan supremasi hukum,
melakukan intervensi secara terbatas mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengembalikan
sentralisasi pengeloaan guru dan seluruh substansi pendidikan, dan memberikan prioritas pendidikan
berbasis hak bagi masyarakat kelompok rentan, masyarakat miskin, demi terwujudnya pendidikan
untuk semua.21
Para Wisudawan dan Hadirin yang berbahagia
Demikianlah seluruh uraian saya, selamat jalan para Wisudawan, selamat mengabdikan diri bagi
kemajuan bangsa dan negara. Ketahuilah bahwa lahan pengadian anda kini terbentang luas seakan
tidak bertepi. Janganlah pernah redup sedikit pun kecintaan anda pada mereka yang lemah, mereka
yang miskin, mereka yang tertinggal. Temukanlah kebahagiaan hakiki bersama mereka, mengangkat
harkat, martabat dan kehormatan mereka. Di sinilah inti kebangkitan kita sebagai bangsa. Akhirnya,
saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ketua STIE Mulia Pratama, segenap civitas
akademika dan seluruh hadirin yang telah berkenan mendengarkan tuturan, kerisauan dan optimisme
saya dari perjalanan bangsa kita 100 tahun lampau ke 100 tahun mendatang. Semoga Tuhan selalu
melimpahkan rakhmat-Nya kepada kita semua.
Amin Terima kasih. Wabillahi’taufiq Walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb

21
Sebagai bagian dari perjuangan melawan kebodohan dan keterbelakangan, sejak angkatan Boedi Oetomo
100 tahun lalu, seudah termuat dalam anggaran dasarnya yang menegaskan perlunya usaha pendidikan dalam
arti seluas-luasnya, dan menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan, bahkan sudah dicanangkan pembangunan
perpustakaan rakyat dan pendidikan untuk perempuan. Namun ternyata setelah 100 tahun, harapan itu belum
terwujud di 190 kabupaten/kota, yang berarti baru sekitar 55% yang terpenuhi. Karenanya dalam kerangka
pendidikan berbasis hak asasi, kiranya perlu juga dipikirkan pemanfaatan rumah-rumah ibadah, seperti Masjid,
Gereja, Pura, sebagai pusat pendidikan, pusat sumber belajar dan pusat kebangkitan masyarakat. Masjid yang
jumlahnya sudah sekitar 700.000, pemanfaatannya belum optimal, hanya untuk beribadah. Masjid dapat
berperan sebagai pusat kebudayaan, tempat belajar berbagai macam pengetahuan, keterampilan dan seni bagi
kebangkitan ekonomi masyarakat.
Curriculum Vitae

Nama : HAFID ABBAS (Prof. Dr. Dr. HC)


Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 27 Agustus 1957
NIP : 130609503
Jabatan Sekarang : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen
Hukum dan HAM, (September 2006- sekarang)
Pangkat/Golongan: Pembina Utama / IV/E
Pendidikan Terakhir : Doktor dalam Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Jakarta (1990),
Post Doctorate di Syracuse University, New York
(1991), dan
Doktor HC dalam bidang HAM dan Perdamaian
dari Hartford Seminary, Connecticut, USA (2008)
Riwayat Jabatan
1. Kepala Pusat Penelitian Universitas Negeri Jakarta, 1992-1997
2. Pembantu Rektor Bidang Akademik, Universitas Negeri Jakarta, 1997-
1999
3. Deputi Menteri Negara Urusan HAM, Kementerian Negara Urusan HAM,
1999-2001
4. Dirjen Perlindungan HAM, Departemen Kehakiman dan HAM, 2001-2006
5. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Hukum dan
HAM, 2006-sekarang
Pengalaman Internasional
1. Konsultan Internasional untuk Post-literacy and Poverty Alleviation di
Negara-negara Asia Timur yang mencakup: China, Pakistan, India,
Bangladesh, and Sri Lanka (UN ESCAP: Bangkok: 1996-1997
2. Konsultan Internasional Literacy Project di negara-negara kawasan Asia
Pasifik (UNESCO Principal Regional Office for Asia and the Pacific,
Bangkok:1994
3. Konsultan Internasional untuk Educational Policy, Planning and
Management for Basic Education Project (ADB 1998-2000)
4. Konsultan Internasional dan Team Leader Bank Dunia pada Community-
Based Education Project di Indonesia (Bappenas), 1996-1997
5. Visiting Professor/Visiting Speaker di: (i) Harvard University, USA (Oktober
2006), (ii) Academy of Social Science, Hanoi, Viet Nam, (2006), (iii)
University of Connecticut, USA (Oktober 2006), (iv) University of
Melbourne, Australia (July 2006), (v) McGill University, Montreal, Canada
(May 2006), (vi) University of Oslo (April 2005), (vii) Institute of Defence
and Strategic Studies, Nanyang Technological University, Singapore,
(Maret 2001)
Organisasi Internasional
Coordinator, Child Rights Asia Network (CRAN), 2000 - 2004
Secretary General, Alumni of the Youth/Student Exchange Programme
between Indonesia and ASEAN Countries, Japan, Canada, and Australia
Alumni of International Visitor Program, USA, 2004

Anda mungkin juga menyukai