Anda di halaman 1dari 8

Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia

1
1. EROSI DAN DEGRADASI LAHAN
KERING DI INDONESIA
Ai Dariah, Achmad Rachman, dan Undang Kurnia
Lahan kering didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah
tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau
sepanjang waktu. Lahan kering di Indonesia meliputi luas lebih dari 140 juta ha
(Hidayat dan Mulyani, 2002). Menurut BPS (2001), sekitar 56 juta ha lahan kering
di Indonesia (di luar Maluku dan Papua) sudah digunakan untuk pertanian.
Berdasarkan luasan, lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang
mempunyai potensi besar untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia.
Namun demikian, optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonsia masih
dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya dalam hal penanggulangan
degradasi lahan.
Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang
sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan
adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis.
Berdasarkan data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993)
terdapat 17,35 juta lahan kritis di areal lahan pertanian. Sedangkan berdasarkan
hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) di 11 propinsi di
Indonesia terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Berdasarkan data di 11 propinsi
tersebut, diperkirakan luas lahan kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih
besar lagi.
Erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan kering di Indonesia
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi
air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan,
terutama di Indonesia Bagian Barat. Bahkan di Indonesia Bagian Timur pun yang
tergolong daerah beriklim kering, masih banyak terjadi proses erosi yang cukup
tinggi, yaitu di daerah-daerah yang memiliki hujan dengan intensitas tinggi,
walaupun jumlah hujan tahunan relatif rendah (Abdurachman dan Sutono, 2002;
Undang Kurnia et al., 2002).
Faktor lereng juga merupakan penyebab besarnya potensi bahaya erosi
pada usaha tani lahan kering. Di Indonesia, usaha tani tanaman pangan banyak
dilakukan pada lahan kering berlereng. Hal ini sulit dihindari, karena sebagian
besar lahan kering di Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3% dengan
bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung, yang meliputi
Dariah et al.
2
77,4% dari seluruh daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan yang tergolong
datar seluas 42,6 juta ha atau 22,6% dari luas seluruh daratan (Abdurachman dan
Sutono, 2002), biasanya digunakan untuk persawahan, pemukiman dan fasilitas
umum, atau tanah marginal yang tidak produktif bila digunakan untuk pertanian.
Tanah yang peka erosi dan praktek pertanian yang tidak disertai upaya
pengendalian erosi juga turut menentukan tingkat kerawanan lahan-lahan
pertanian terhadap erosi.
Tingkat erosi yang semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan
penduduk membuka tanah-tanah pertanian tanpa pengelolaan yang benar, telah
ditunjukkan oleh hasil penelitian van Dijk dan Vogelzang (1948 dalamArsyad,
2000) di Sub Daerah Aliran Sungai Cilutung (DAS Cimanuk). Dari hasil analisis
perkiraan kandungan sedimen Sungai Cilutung pada tahun 1911/1912 mereka
mendapatkan besarnya erosi sekitar 13,2 t ha
-1
tahun
-1
, ekivalen dengan 0,9 mm
lapisan tanah. Pengukuran yang dilakukan pada tahun 1934/1935 menunjukkan
peningkatan erosi lebih dari dua kali laju erosi pada tahun 1911/1912 yakni 28,5 t
ha
-1
tahun
-1
atau ekivalen dengan 1,9 mm lapisan tanah. Di dalam masa antara
tahun 1948-1969 besarnya erosi telah meningkat menjadi 120 t ha
-1
tahun
-1
atau
8,0 mm tahun
-1
. Dames (1955 dalamAbdurachman dan Sutono, 2002) juga
melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta ha tanah di bagian Timur Jawa Tengah
(Yogyakarta, Surakarta, sebagian Karesidenan Semarang dan Jepara-Rembang),
telah mengalami erosi berat seluas 36,0%, erosi sedang 10,5%, erosi ringan 4,5%
dan tidak tererosi 49,0%. Selanjutnya Partosedono (1977) menunjukkan bahwa
laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm tahun
-1
, mencakup
areal 332 ribu ha. Tingkat bahaya erosi lahan pertanian khususnya yang ditanami
tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah ditunjukkan oleh beberapa
hasil penelitian skala petak. Hasil penelitian Suwardjo (1981) pada tanah Oxisol
Citayam, Jawa Barat dengan lereng 14%, laju erosi mencapai 25 mm tahun
-1
.
Hasil penelitian pada tanah Ultisol Lampung menunjukkan laju erosi mencapai 3
mm
-1
tahun
-1
, padahal kemiringan lahan hanya 3,5%. Pada kemiringan lahan 9-
10%, Abdurachman et al (1985) melaporkan bahwa erosi pada tanah Alfisol di
Putat, Jawa Tengah mencapai 15 mm tahun
-1
, dan pada Alfisol di Punung, Jawa
Timur mencapai 14 mm tahun
-1
.
Penelitian Konservasi Tanah di Indonesia
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa usaha-
usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi,
(2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan
produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari. Konservasi tanah
Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia
3
mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Konservasi air pada
prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian se-efisien
mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak
dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat dibagi dalam tiga
golongan utama, yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif (metode vegetatif), sering
juga disebut sebagai teknik konservasi (metode) biologi; (2) teknik konservasi
mekanik (metode mekanik), disebut juga sebagai teknik konservasi sipil teknis;
dan (3) teknik konservasi kimia (metode kimia).
Serangkaian penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan suatu teknik
konservasi tanah dan air yang sesuai untuk kondisi lahan di Indonesia telah
dilakukan oleh berbagai lembaga. Salah satu lembaga yang telah banyak
melakukan penelitian metode konservasi tanah dan air adalah Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Kegiatan penelitian
konservasi tanah di lembaga ini dimulai sejak tahun 1970. Penelitian-penelitian
tersebut diantaranya meliputi perbaikan sifat fisik tanah, pengendalian erosi, dan
pengelolaan air.
Penelitian perbaikkan sifat fisik tanah dengan menggunakan soil
conditioner, (seperti emulsi aspal, polyacrylamide/PAM, dan emulsi bitumen) telah
dilakukan oleh Puslitbangtanak sejak tahun 1970. Namun, hasil dari penelitian
tersebut sulit diterapkan pada level petani, karena bahan-bahan yang digunakan
sulit didapat dan harganya relatif mahal. Oleh karena itu, sejak tahun 1976,
penelitian perbaikkan sifat fisik tanah lebih diarahkan pada penggunaan bahan
alami yang mudah didapat, yakni bahan organik yang bersumber dari sisa-sisa
tanaman dan bahan hijauan dari tanaman penutup tanah, tanaman pagar,
tanaman strip,dan lain-lain, serta pupuk kandang. Perbaikkan sifat fisik tanah
dilakukan pula dengan mengembangkan teknik pengolahan tanah yang tepat
(olah tanah konservasi/OTK).
Penelitian rehabilitasi telah dilaksanakan pada tanah yang rusak karena
(1) pengaruh alat-alat berat pada waktu pembukaan lahan, (2) erosi, dan (3)
pencemaran oleh limbah pabrik (diantaraya pabrik tekstil), residu pestisida,
kegiatan pengeboran minyak bumi, tambang batu bara, dan penambangan mas.
Kegiatan penelitian pengendalian erosi meliputi: (1) pengembangan model
(metode) prediksi erosi, dan (2) penelitian untuk mencari dan/atau mengkaji teknik
pengendalian erosi. Metode (model) prediksi yang paling banyak dikembangkan
dan diaplikasikan di Indonesia adalah USLE (Universal Soil Loss Equation).
Dalam rangka pengembangan model tersebut, Puslitbangtanak telah melakukan
beberapa penelitian untuk mendapatkan nilai faktor-faktor R (erosivitas hujan), K
(erodibilitas tanah), C (vegetasi dan pengelolaan tanaman) dan P (konservasi
tanah). Hasil penelitian ini sering digunakan untuk menginventarisasi tingkat
Dariah et al.
4
bahaya erosi dan perencanaan penggunaan lahan serta pemilihan alternatif teknik
konservasi tanah. Model USLE hanya sesuai untuk digunakan pada skala
usahatani, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu model prediksi erosi untuk
skala yang lebih luas (skala DAS) yang sesuai untuk kondisi Indonesia.
Penelitian teknologi pengendalian erosi lebih banyak dilakukan untuk
penyempurnaan teknologi yang telah ada, diantaranya meliputi: (1) Teras bangku
dan teras gulud, yang ditekankan pada penelitian penggunaan berbagai tanaman
penguat teras (rumput atau legume tree) pada bibir teras bangku dan teras gulud
tersebut untuk stabilisasi teras dan sumber pakan; (2) rorak; (3) pertanaman
lorong, yang bertujuan untuk mendapatkan jenis tanaman pagar {hedgerow crop)
yang sesuai; (4) penggunaan mulsa (baik mulsa konvensional maupun mulsa
vertikal); (5) strip rumput, terutama efektivitas berbagai jenis rumput dalam
menekan erosi dan aliran permukaan, adaptasi berbagai jenis rumput di berbagai
lokasi di Indonesia dan faktor persaingan antara tanaman rumput dan tanaman
utama, dan (6) penelitian dan pengembangan teknik konservasi pada lahan
sayuran telah dilakukan di berbagai sentra produksi sayuran.
Penelitian koservasi tanah dan pengelolaan air khususnya pada lahan
kering telah dilakukan dengan mengembangkan teknik-teknik pemanenan air,
peningkatan kemampuan tanah menahan air (water holding capacity), dan
berbagai teknik pemberian air (irigasi).
Selain dilakukan secara on-station/off-farmresearch (tidak melibatkan
petani), penelitian konservasi tanah dan air telah dilakukan juga dengan
melibatkan petani (on-farmresearch), dengan tujuan untuk mendapatkan suatu
teknik konservasi tanah dan air yang selain sesuai secara biofisik juga sesuai
dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya petani.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbangtanak di berbagai
lokasi (khususnya lahan kering) di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Teknik konservasi tanah sebagai kunci usaha tani lahan kering
berkelanjutan
Salah satu masalah pokok yang kita hadapi dalam pengelolaan sumber
daya alam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah
bagaimana sumber daya alam tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan
lestari baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Munandar, 1995).
Usaha tani dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
bila penerapan teknik konservasi tanah senantiasa menjadi prioritas.
Agar teknik konservasi tanah dapat diterapkan secara tepat, efektif, dan
efisien, diperlukan perencanaan yang baik dan terarah. Untuk perencanaan
konservasi tanah diperlukan data erosi, yang dapat diperoleh dengan cara
Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia
5
melakukan pengukuran langsung di lapangan. Namun, pengukuran di lapangan
memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara yang cepat
dan murah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan penaksiran atau
prediksi. Data erodibilitas tanah merupakan salah satu informasi penting yang
diperlukan, baik dalam hubungannya dengan prediksi erosi maupun perencanaan
konservasi tanah.
Tabel 1. Berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan, serta teknologi yang
telah dihasilkan oleh Puslitbangtanak
Tahun/periode Bentuk/penelitian/output


1970-1980
1976-2004
1977-1998


1974-1992
1974-2003



1973-2005
2000-2003

1993-1996


1973-1980
1973-2004

A. On-station (tidak melibatkan petani)
a1. Perbaikkan sifat fisik tanah
- Soil conditioner
- Teknik/pengelolaan bahan organik tanah
- Teknik pengolahan tanah

a2. Pengendalian Erosi
- Pengembangan model prediksi erosi (USLE)
- Teknik pengendalian erosi (secara mekanik dan
vegetatif)

a3. Rehabilitasi lahan
- Teknik rehabilitasi lahan kering terdegradasi
- Teknik rehabilitasi lahan tercemar: logam berat,
residu pestisida, limbah industri
- Teknik rehabilitasi lahan bekas tambang

a4. Konservasi dan Pengelolaan air
- Teknik pengelolaan air pada lahan sawah
- Teknik pengelolaan air pada lahan kering



1982-1988
1984-1994

1986-1995

1990-1993

1992-1996

1993-1999

1995-2000

1999-2004

B. Penelitian konservasi tanah dalamsistemusahatani (on-farm
/melibatkan petani dan on-stasion)
b1. Proyek Citanduy II
b2. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T)
b3. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara
(P3NT)
b4. Penelitian peningkatan productivitas dan konservasi tanah untuk
mengatasi perladangan berpindah
b5. Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis
DIY (YUADP-Componen 8)
b6. Proyek Penelitian Usahatani Lahan kering-UFDP (Upland Farmers
Development Project)
b7. Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Lahan kering
b8. Managing of soil Erosion Consortium (MSEC)
Dariah et al.
6
Salah satu hal yang perlu disadari oleh para perencana dan pengambil
kebijakan adalah bahwa menghilangkan erosi pada lahan usaha tani sangatlah
tidak mungkin, karena gangguan terhadap lahan pertanian sebagai pemicu erosi
sulit dihindari. Oleh karena itu dalam perencanaan konservasi tanah.perlu juga
ditetapkan nilai atau jumlah erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss).
Dengan penetapan jumlah erosi yang masih dapat diabaikan, diharapkan tidak
akan terjadi penurunan produktivitas tanah, dan tanah tersebut dapat berproduksi
secara lestari.
Seperti diketahui, bahwa besarnya erosi pada sebidang lahan ditentukan
oleh faktor-faktor penyebab erosi, yaitu iklim, tanah, topografi, pengelolaan
tanaman/tumbuh-tumbuhan, dan aktivitas manusia. Oleh sebab itu, dalam
penanggulangan masalah erosi dan perencanaan teknik konservasi tanahnya
harus didasarkan kepada faktor-faktor penyebab erosi tersebut. Akan tetapi,
faktor-faktor erosi tersebut ada yang mudah dikuasai atau dikontrol, dan ada pula
yang tidak mudah dikontrol. Faktor penyebab erosi yang tidak mudah dikontrol,
pengaruhnya dapat diubah secara tidak langsung, yaitu dengan menerapkan
teknik konservasi tanah.
Penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat
kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik
mengendalikan erosi. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan metode
konservasi tanah baik secara mekanik maupun vegetatif. Pada prakteknya,
metode konservasi tanah mekanik dan vegetatif sulit untuk dipisahkan, karena
penerapan metode konservasi tanah mekanik akan lebih efektif dan efisien bila
disertai dengan penerapaan metode vegetatif. Sebaliknya, meskipun penerapan
metode vegetatif merupakan pilihan utama, namun perlakuan fisik mekanis
seperti pembuatan saluran pembuang air (SPA), bangunan terjunan (drop
structure), dan lain-lain masih tetap diperlukan.
Tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk
dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk
kondisi tanah tersebut, dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu,
penerapan teknik konservasi tanah tidak hanya ditujukan untuk mengendalikan
erosi, melainkan juga untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang
telah terdegradasi.
Tanah akan semakin peka terhadap erosi, karena curah hujan di Indonesia
umumnya tinggi, berkisar dari 1.500-3.000 mm atau lebih setiap tahunnya,
dengan intensitas hujannya yang juga tinggi. Di beberapa daerah Indonesia
bagian Timur, hujan terjadi dalam periode pendek dengan jumlah relatif kecil,
namun intensitasnya tinggi, maka bahaya erosi pada agroekosistem lahan kering
tersebut juga besar dan tidak bisa diabaikan. Teknik konservasi tanah di daerah
ini menjadi sangat spesifik, karena penerapannya tidak hanya untuk
Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia
7
mengendalikan erosi, melainkan juga harus ditujukan untuk memanen hujan atau
aliran permukaan.
Budi daya sayuran di dataran tinggi merupakan usaha tani yang unik,
sehingga memerlukan teknologi pengelolaan yang spesifik, mengingat
agroekosistem tersebut terletak di hulu daerah aliran sungai (DAS) dengan
kemiringan lahan yang curam, dan tanahnya tergolong peka terhadap erosi.
Selain itu, budidaya sayuran di dataran tinggi umumnya bersifat tradisional,
dilakukan pada bedengan-bedengan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah
konservasi tanah yang benar. Meskipun beberapa petani sudah ada yang
mengerti pentingnya upaya pengendalian erosi, namun kebanyakan petani tidak
mudah menerima teknologi hasil penelitian yang sebenarnya diketahui dapat
melestarikan lahan usaha taninya. Kondisi seperti itu merupakan salah satu
penyebab terhambatnya penerapan teknik konservasi tanah pada budidaya
sayuran dataran tinggi. Oleh sebab itu, teknologi konservasi tanah yang dapat
diterapkan pada lahan sayuran di dataran tinggi adalah penyempurnaan atau
pengembangan cara-cara yang biasa dilakukan petani pada lahan usaha taninya.
Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha
tani, khususnya usaha tani tanaman semusim. Pengolahan tanah utamanya
ditujukan untuk menyiapkan atau menciptakan media tanam yang baik untuk
pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman dapat berproduksi secara optimum.
Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan
tanah secara berlebih dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya
terjadinya penghancuran struktur tanah. Olah tanah konservasi merupakan suatu
metode pengolahan tanah dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari pengolahan tanah dapat ditekan
sekecil mungkin.
PENUTUP
Degradasi lahan khususnya yang disebabkan oleh erosi, merupakan salah
satu masalah utama dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering di
Indonesia. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi tanah dan air merupakan
kunci keberlanjutan usahatani pada lahan kering.
Berbagai teknik konservasi telah diteliti dan dikembangkan oleh berbagai
lembaga di Indonesia. Salah satu lembaga yang aktif dalam penelitian dan
pengembangan teknik konservasi tanah dan air adalah Puslitbangtanak. Namun
demikian aplikasi dari berbagai teknik konservasi (tanah dan air) tersebut pada
tingkat petani masih dihadapkan pada berbagai kendala. Agar teknik konservasi
dapat diterapkan secara tepat, efektif, dan efisien diperlukan perencanaan yang
baik dan terarah. Selain faktor biofisik lahan, faktor sosial ekonomi dan budaya
petani merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan
konservasi tanah dan air.
Dariah et al.
8
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia. 1985. Pengelolaan tanah dan tanaman
untuk usaha konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk. 3:7-
12. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. hlm. 103-146 dalamTeknologi Pengelolaan Lahan Kering
Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
BPS. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Indonesia.
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1993. Laporan
Inventarisasi/Identifikasi Lahan Marginal/Lahan Kritis pada Kawasan
Lahan Usaha Tani seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan, Jakarta.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34 dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan
Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah
Indonesia. Puslittanak-Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Munandar, S. 1995. Kebijakan pengelolaan pertanian lahan kering dalam
menunjang agribisnis. hlm. 43-54 dalam Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Buku I. 26-28 September 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian.
Partosedono, R.S. 1977. Effect of mans activity on erosion in erosion in rural
environments and a feasibility study for rehabilitation. In Publ. No. 113:
53-56. Paris IAHS-AISH.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air
dalam Usaha tani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca
Sarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan).
Undang Kurnia, Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan
reklamasi lahan kering. hlm. 147-182. dalamTeknologi Pengelolaan
Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai