Anda di halaman 1dari 2

Kebahagiaan Untuk Ibu

Aku melihat kesedihan yang mendalam dari matanya. Matanya yang dulu semangat kini seakan rapuh, bagaikan pohon yang sudah berumur ratusan tahun. Aku merasa kasihan kepada ibu karena semenjak ayah meninggal, ia harus mencari nafkah sendiri untuk menghidupi aku dan adikku. Aku mendekapnya guna menyampaikan bahwa ia tidak sendiri kami akan terus berada di sampingnya sampai kapanpun, Ia segera mengemas kesedihannya juga mengokohkan batinnya. Ibu tidak apa-apa nak! suara lirihnya berusaha menyampaikan bahwa Ia cukup tegar dan ikhlas atas kepergian Ayah.

Tentu saja aku belum percaya, karena matanya masih tetap menggambarkan betapa sedih dan rapuh dirinya, karena kepergian ayah. Kini sudah 3 tahun ayah meninggal, pergi tanpa pesan dah hanya air mata terakhir yang ia perlihatkan. Entah itu pesan terakhir atau hanya tanda perpisahan, perpisahan terhadap penyakit yang bertahun-tahun dideritanya. Hanya waktu yang membuat aku, adikku dan Ibu ku lambat laun dapat mengikis kesedihan yang kami derita. Hari demi hari kami lewati bersama. Aktivitas, rutinitas dan kerja keras yang telah ibu lalui demi membesarkan kami pun tidak sia-sia.

Ibu mampu menyekolahkan aku dan adikku sampai perguruan tinggi, hingga aku berumur 25 tahun dan sudah bekerja. Terjejali dengan aktivitas dan rutinitasku di kantor yang tidak ada habisnya ini, bagiku rumah kini hanya menjadi tempat untuk beristirahat dan memejamkan mata. Malam pun datang, hingga di benakku terus memikirkan. Bagaimana Keadaannya?, Bagaimana Kondisinya?, Apakah Ia Sehat?, Apakah Ia Baik-baik Saja?. Terlebih adikku bekerja di luar kota, ia hanya pulang 1 bulan sekali, dan jarang sekali pulang untuk menemui Ibu.

Libur lebaran pun telah tiba aku dan adikku berencana pulang ke rumah untuk menemui ibu dan bersilaturahmi. Aku, Adikku, dan Ibu ku akhirnya berkumpul kembali, setelah lama tidak berjumpa karena kesibukan di kantorku. Kami asyik mengobrol, bercerita dan bercanda tawa sampai-sampai aku sudah lupa dengan semua letih yang aku alami karena kesibukanku. Aku pun bertanya kepada Ibu Ibu! Maaf aku tidak bisa selalu berada di samping Ibu! Ibu tersenyum Tidak apa-apa nak Ibu sudah bahagia bisa bertemu kamu walaupun sebentar! aku memeluk ibu dan bertanya Tapi setiap malam aku selalu memikirkan ibu!!, Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakan ibu? Ibu pun kaget dan terdiam beberapa saat, Ibu akan bahagia jika kamu menikah nak!, Kamu kan sudah umur 25 tahun, jadi sudah saatnya kamu punya istri! Aku pun juga kaget dan menjawab Tapi bu?, aku masih belum memikirkan hal itu, aku ingin membahagiakan ibu dulu! dengan lembut ibu berkata Dengan kamu menikah kamu sudah sangat membahagiakan ibu mu nakk!!. Aku masih memikirkan perkataan ibu tentang menikah, karena aku belum siap untuk itu. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk menikah dengan Rina, Rina adalah pacarku sejak aku masih kuliah hingga aku sudah bekerja. Aku bertanya kepada Rina, Rin maukah kamu menikah denganku, Untuk menjadi istriku dan demi membahagiakan ibuku? Rina menjawab Iya aku mau demi Cinta dan demi ibumu!. Hingga tanggal yang sudah kami rencanakan untuk menikah, tiba-tiba ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit aku sangat sedih, dan menyesal pada ibu. 1 hari sebelum aku menikah akhirnya ibu sembuh dan di perbolehkan untuk pulang, Aku sangat bahagia dan senang. Sampai tibalah waktu Ijab Qobul, dan aku telah menjadi suami halal Rina. Aku sangat senang karena bisa membahagiakan ibu, Aku memeluk ibu dan berkata, Ibu akhirnya aku bisa membahagiakan ibu! Ibu hanya meneteskan air mata, tanpa berkata apa-apa. Tiba-tiba saja ibu jatuh, dan ia meninggal dengan tenang. Aku, Adikku, dan Istriku pun meneteskan air mata, dan sangat kehilangan atas kepergian ibuku. Tetapi aku senang bisa MEMBAHAGIAKAN IBU di akhir hayatnya.

Anda mungkin juga menyukai