Anda di halaman 1dari 7

Draft TUGAS PROJEK:

DAFTAR ISI

BAB III : DERADIKALISASI DI INDONESIA ................................ 3.1. Pengertian Deradikalisasi (Farid) ................................... 3.2. Gambaran Pelaksanaan Deradikalisasi (Moel) ................ 3.3. Tantangan Deradikalisasi (Moel)..................................... 3.4. Visi dan Misi(Moel) ......................................................... 3.5. Tujuan Deradikalisasi (Moel) .......................................... 3.6. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Deradikalisasi (Farid) ........

3 3 3 3 3 3 3

Deradikalisasi adalah upaya mencegah dan meluruskan paham dan jaringan radikal terorisme baik secara individu maupun kelompok dan melakukan upaya rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi terhadap napi dan mantan napi terorisme, keluarga serta masyarakat melalui berbagai pendekatan dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan (Moel), (bahan diskusi)
Definisi dan tulisan di bawah ini diinspirasi dari hasil diksusi teman-teman, bnpt, rakor blue print dll

BAB III DERADIKALISASI DI INDONESIA

3.1. Pengertian Deradikalisasi (Baca tulisan Farid)

3.2. Gambaran Pelaksanaan Deradikalisasi (Moel) Besarnya potensi, ancaman, bahaya dan daya rusak aksi radikal terorisme mendorong pemerintah menjadikan fungsi pelaksanaan deradikalisasi sebagai salah satu tugas dan fungsi pokok Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sejak BNPT dibentuk pada tahun 2010 banyak kalangan dari berbagai lapisan masyarakat menaruh harapan besar terhadap pelaksanaan deradikalisasi radikal terorisme di Indonesia. Deradikalisasi merupakan langkah strategis dalam rangka penanggulangan radikalisme dan terorisme dengan mengedepankan soft power approach yaitu suatu pendekatan yang lebih mengedepankan interaksi dialogis, persuasif, edukatif, kolaboratif, legalistik dan humanistik. Lahirnya program deradikalisasi ini karena dinilai pendekatan hard power approach yang menggunakan kekuatan senjata secara represif untuk melawan terorisme tidak efektif karena melahirkan konflik dan aksi-aksi radikalisme dan terorisme baru. Pelaksanaan deradikalisasi dirancang sebagai usaha pembinaan dan bimbingan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kecenderungan paham dan sikap radikal terorisme di tengah masyarakat agar tidak berkembang dan menjadi ancaman bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Munculnya program deradikalisasi yang dikoordinasi langsung oleh BNPT berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 ini merupakan upaya mengajak masyarakat yang radikal termasuk narapidana teroris, mantan napi teroris, keluarga dan jaringannya agar kembali ke jalan yang benar berdasarkan aturan agama, moral dan etika yang senapas dengan esensi ajaran semua agama yang menghargai keragaman dan perbedaan.

Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dilakukan melalui cara prevensi (pencegahan) dengan sasaran kelompok masyarakat secara umum yang dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya paham radikal terorisme di tengah masyarakat. Pada tingkat prevensi, deradikalisasi juga dilakukan terhadap pendukung dan simpatisan radikal terorisme untuk memperoleh pencerahan dan pemahaman yang benar guna meluruskan paham dan sikap salah yang mereka yakini. Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia juga dilakukan melalui proses rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi terhadap narapidana teroris, mantan napi teroris, keluarga dan masyarakat. Rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya mengobati, menyembuhkan dan menghilangkan paham dan sikap radikalnya yang beriringan dengan proses pemberdayaan berupa pemberian kegiatan-kegiatan keterampilan dan keahlian. Reedukasi merupakan proses pencerahan dengan mengisi kembali pengetahuan dan pemahaman yang benar. Sedangkan resosialisasi adalah mengembalikan narapidana

teroris ke tengah keluarga dan masyarakat setelah habis masa tahanannya dalam kondisi siap secara mental, memiliki keahlian dan memiliki paham dan sikap yang benar. Pelaksanaan deradikalisasi pada semua tahapan ini dimaksudkan agar narapidana teroris termasuk keluarga dan lingkungan terdekatnya memperoleh pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian dengan melibatkan seluruh unsur pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu lembaga pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan sebagainya . Beberapa negara menarapkan deradikalisasi dengan pendekatan dan program yang beragam. Negara Yaman sebagai pionir dalam program deradikalisasi menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Committee for Dialogue. Program ini memprioritaskan dialog dan debat intelektual yang bertujuan meyakinkan kelompok yang menganut paham radikal bahwa pemahaman yang mereka miliki adalah salah. Program ini juga mempromosikan pemahaman Islam yang mendelegitimasi kekerasan. Dengan pendekatan yang berbeda, Arab Saudi memprioritaskan program deradikalisasinya melaui program PRA yaitu prevention (pencegahan), rehabilitation (rehabilitasi) dan aftercare (perawatan). Program ini ditujukan kepada para tersangka terorisme dengan menggunakan pendekatan bersama dengan para dokter, psikolog dan ulama untuk mengikis dukungan kepada ideologi kekerasan. Selain itu, kampanye publik

juga dilakukan dengan menunjukkan efek kekerasan yang diderita para korban. Hal ini dilakukan untuk menurunkan dukungan masyarakat atas ideologi kekerasan. Pendekatan serupa dilakukan oleh Mesir, Malaysia dan Singapura, pemerintah mengadakan program rehabilitasi dengan pendekatan agama dan psikologi yang melibatkan para tahanan dan keluarganya.1 Berdasarkan hasil pengamatan Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) terdapat 11 kunci strategis program deradikalisasi yang telah dilaksanakan di berbagai negara, antara lain yaitu: 1) pelibatan masyarakat umum; 2) pelaksanaan program khusus dalam penjara; 3) program pendidikan; 4) pengembangan dialog lintas budaya; 5) pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi; 6) kerjasama global dalam penanggulangan terorisme; 7) pengawasan terhadap cyberterrorism; 8) perbaikan perangkat undang-undang; 9) program rehabilitasi; 10) pengembangan dan penyebaran informasi baik skala regional maupun internasional; 11) pelatihan serta kualifikasi para pihak yang terlibat dalam melaksanakan kebijakan kontra radikalisasi.2 Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia perlu dirancang secara komprehensif dan terintegrasi untuk menghadapi dinamika dan perkembangan modus, gerakan dan aksi radikal terorisme sekaligus menjawab permasalahan dan tantangan dalam seluruh tahapan pelaksanaan deradikalisasi mulai dari tahap prevensi, rehabilitasi, reedukasi sampai pada tahap resosialisasi.

3.3. Tantangan Pelaksanaan Deradikalisasi (Moel) Tantangan pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. Dasar Hukum pelaksanaan deradikalisasi. Dasar Hukum pelaksanaan deradikalisasi perlu diupayakan untuk dipertegas dalam payung hukum yang lebih tinggi. UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mengatur secara jelas mengenai pelaksanaan deradikalisasi meskipun deradikalisasi merupakan salah satu program yang dilaksanakan oleh BNPT yang
1

http://salihara.org/media/documents/2011/05/14/s/e/sejarah_paham_dan_gerakan_jihad_di_Indonesia._pdf.pdf

Petrus Golose, Deradikalisasi terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, YPKIK, Jakarta, 2009, h. 88

dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010. Dasar Hukum pelaksanaan deradikalisasi yang lebih tinggi dalam bentuk undang-undang memberikan kekuatan yuridis yang lebih kuat dalam melakukan koordinasi lintas kementerian dan kelembagaan serta memudahkan untuk menyusun kebijakankebijakan lainnya; 3 2. Koordinasi antar lembaga pemerintahan. Koordinasi antar lembaga pemerintahan perlu dioptimalkan baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Di tingkat eksekutif, koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L) sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih (overlap), menjaga konsistensi (consistency) dan keberlanjutan (sustanaibility) program deradikalisasi. Pada tingkat legislatif diharapkan muncul perundang-undangan yang tidak hanya berbasis pada hukuman, tetapi juga mengarah pada pembinaan yang dapat menimbulkan efek jera, pencegahan bahkan pemberdayaan. Sedangkan pada tingkat yudikatif diharapkan menjalankan fungsinya secara profesional tanpa diskriminasi dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan mengedepankan aspek keadilan dalam menangani perkara radikalisme dan terorisme. 3. Sinergitas lembaga pemerintah. Pelaksanaan deradikalisasi membutuhkan sinergitas antara lembaga pemerintah dengan lembaga masyarakat sipil (civil society organization), lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga bisnis (private sector), tokoh agama, tokoh adat dan lainnya; 4. Sistem pengeloalaan program deradikalisasi. Menghadapi tantangan dan kompleksitas pelaksanaan deradikalisasi mulai dari tahapan prevensi, rehabilitasi, reedukasi sampai resosialisasi membutuhkan sistem pengeloalaan program deradikalisasi yang terintegrasi dan profesional. Pengembangan program deradikalisasi di tingkat perencanaan, pengoraganisasian, pelaksanaan dan pengawasan harus terintegrasi dalam suatu sistem yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang profesional. 5. Sumber daya manusia (SDM). Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih dan profesional akan meningkatkan efektifitas pelaksanaan deradikalisasi.

Dhyah Madya Ruth, Position Paper, Terorisme Kapankah Usai? Rekomendasi dan Catatan Kritis untuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Lazuardi Birru, Jakarta, 2011, h. 27

6. Infrastruktur. Ketersedian infrasturktur yang terencana dan memadai akan mendukung sitem pelaksanaan deradikalisasi baik infrastruktur yang sifatya fisik maupun teknis. 7. Pembiayaan. Pelaksanaan deradikalisasi sebagai salah satu stretegi pemerintah dalam pencegahan radikal terorisme membutuhkan dukungan kebijakan pembiayaan yang memihak. 8. Kolaborasi Media. Meskipun ada kesulitan mengontrol isi pemeberitaan media, namun kolaborasi media perlu terus dioptimalkan oleh seluruh pemangku kepentingan sebab peran media sangat efektif sebagai medium untuk

mempublikasikan informasi dan program-program yang mendidik masyarakat. 9. Kerjasama internasional. Persoalan radikalisme dan terorisme adalah permasalahan global. Karena itu, diperlukan kerjasama yang kuat untuk menyusun langkah dan startegi dalam mengimplementasikan program-program deradikalisasi.

3.4. Visi dan Misi (Moel) 3.4.1. Visi Muwujudkan pengelolaan pelaksanaan deradikalisasi yang terencana,

terintegrasi dan profesional untuk mengefektifkan pencegahan radikalisme dan terorisme yang mengedepankan nilai-nilai kedamaian, keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan

3.4.2. Misi Mengacu pada visi di atas, maka misi pelaksanaan deradikalisasi adalah:

1. Melakukan serangakain program prevensi untuk mencegah penyebaran dan


perkembangan paham radikalisme serta meluruskan paham dan sikap radikal di tengah masyarakat oleh seluruh elemen masyarakat melalui pendekatan agama, sosial, ekonomi dan budaya;

2. Memperkuat sistem pelaksanaan prevensi, rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi


melalui penguatan kebijakan, peningkatan sumber daya manusia (SDM), penyediaan infrastruktur dan pengmbangan program-program pembinaan dan pemberdayaan bagi nara pidana terorisme, mantan nara pidana terorisme, keluarga dan masyarakat;

3. Memperkuat koordinasi kelembagaan pemerintahan, membangun sinergitas dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memperkuat kerjasama nasional dan internasional untuk menjaga dan mengendalikan berkembangnya paham dan jaringan radikal terorisme.

3.5. Tujuan Deradikalisasi (Moel) 1. Mencegah penyebaran dan perkembangan paham dan jaringan radikalisme; 2. Meluruskan paham dan sikap radikalisme yang berkembang di tengah masyarakat; 3. Membina dan membimbing narapidana terorisme agar sadar dan bersedia untuk kembali hidup normal yang jauh dari pikiran, sikap dan tindakan radikal terorisme; 4. Membina dan membimbing narapidana terorisme dengan pembinaan kemandirian berupa keterampilan dan keahlian dan pembinaan kepribadian; 5. Mengedukasi narapidana terorisme dengan pengetehauan agama yang benar, damai dan toleran serta member pengetahuan dan wawasan kebangsaan; 6. Membina dan membimbing narapidana terorisme untuk persiapan kembali berkumpul dengan keluarga dan berbaur dengan masyarakat; 7. Membina keluarga narapidana terorisme dan mengedukasi masyarakat agar dapat menerima mantan narapidana teroris untuk bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakatnya; 8. Memberdayakan mantan narapidana terorisme, keluarga dan masyarakat dengan pendekatan agama, sosial, budaya dan ekonomi.

3.6. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Deradikalisasi (Baca Tulisan Farid)

Anda mungkin juga menyukai