Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PENERAPAN EPIDEMIOLOGI DALAM KEPERAWATAN

SUVEILANS HIV / AIDS

KELOMPOK V :
1. Ratna Agustin
2. Erni Setyorini
3. Hindyah Ike S
4. Puji H

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2011

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan
turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit
infeksi. Potensi ancaman epidemi HIV/AIDS di Indonesia semakin besar. Jawa
Timur saat ini berada di jajaran bersama dengan 5 propinsi lain sebagai propinsi
yang secara epidemiologi terkonsentrasi (prevalensi HIV/AIDS pada kelompok
resiko tinggi > 5 %). Jika tidak ditanggulangi maka HIV akan semakin menyebar
ke populasi umum. Oleh karena itu diperlukan surveilans sentinel HIV yang baik
untuk mencegah penyebaran atau mengurangi dampak buruk yang dapat terjadi di
masyarakat.
Sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS pada
tanggal 23 April 2002, dirasakan sekali kebutuhan yang sangat mendesak tentang
informasi terbaru situasi epidemi HIV serta faktor perilaku yang mempengaruhi
penyebarannya. Informasi tersebut tidak hanya berguna dalam memahami secara
lebih baik perjalanan epidemi HIV di kawasan nusantara, juga untuk
memfokuskan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia agar
berhasilguna. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi informasi
tersebut antara lain penguatan sistem pemantauan HIV di Indonesia. Tahun ini
Departemen Kesehatan telah melaksanakan surveilans HIV generasi kedua di
beberapa propinsi uji-coba. Adapun yang sistematik dilakukan yaitu memperkuat

sistem surveilans sentinel HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), melakukan
surveilans perilaku, serta upaya pemanfaatan data surveilans tersebut untuk
perencanaan kegiatankegiatan penanggulangan yang bersifat strategik baik di
tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, sudah cukup mendesak adanya
informasi yang akurat tentang jumlah populasi rawan tertular HIV dan jumlah
orang yang telah tertular HIV di Indonesia. karena tidak saja diperlukan untuk
penyusunan

kebijaksanaan

maupun

perumusan

kegiatan-kegiatan

penanggulangan, serta perlunya dukungan dari berbagai pihak agar masalah


epidemi HIV menjadi masalah bersama dan ditanggulangi secara bersama.
Pada penyusunan kebijaksanaan, informasi tersebut diperlukan dalam
kegiatankegiatan advokasi, perencanaan strategis, pengalokasian sumber-daya
yang relatif terbatas, serta melakukan proyeksi dan mengestimasi beban masalah
kesehatan akibat dampak perluasan epidemi HIV.
Pada penyusuan program penanggulangan, informasi tersebut diperlukan
dalam penyusunan rencana intervensi, penetapan target sasaran, strategi
penjangkauan, dan pemantauan serta penilaian keberhasilan program-program
penanggulangan HIV.
Disadari pula bahwa kita perlu memperbarui tekad bersama dengan berbasiskan
informasi terakhir tentang situasi epidemi HIV di Indonesia agar bersama dapat
merespon dan menyadari bersama tentang potensial masalah yang akan terjadi
bila kita terlambat meresponnya.
Saat ini tingkat epidemi HIV di Indonesia sudah dalam kategori
terkonsentrasi, karena prevalensi HIV pada beberapa sub-populasi berisiko telah
jauh melampui 5 persen secara konsisten, tetapi belum mencapai 1 persen pada

kelompok ibu hamil yang berkunjung ke pusat-pusat pelayananan kesehatan.


Yang perlu kita sadari bersama bahwa tingkat epidemi tersebut menunjukkan
bahwa adanya jaringan perilaku berisiko yang sangat aktif, sehingga HIV
ditularkan dari individu yang satu ke individu lain yang berisiko tersebut.
Perluasan epidemi selanjutnya ditentukan oleh besarnya jalur lintas perilaku
berisiko antara kelompok-kelompok berisiko yang berbeda dan juga penularan
meluas ke pasangan-pasangan tetap mereka. Yang perlu diantisipasi adalah
mencegah perluasan epidemi HIV selanjutnya dengan meningkatkan upaya-upaya
penanggulangan HIV di Indonesia. Kita perlu mencegah kemungkinan penularan
HIV dari kelompok pengguna napza suntik yang sudah tinggi melampaui 50
persen itu ke kelompok lain yang dapat ditularkan melalui jalur seksual.
Laporan ini disusun setelah kita memiliki informasi yang jauh lebih
banyak dan lebih jelas dalam memahami perjalanan epidemi HIV di Indonesia
sampai saat ini serta prediksinya di masa datang. Ini merupakan hasil dari
penguatan sistem surveilans HIV dan ditambah dengan informasi dari studi-studi
lain yang terkait. Diharapkan laporan ini sangat berguna untuk memfokuskan
perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan di Indonesia, dalam merespon
dan mengantisipasi perkembangan penularan HIV yang relatif cepat serta
mencegah dampak buruk epidemi tersebut pada kesejahteraan sosial-ekonomi
masyarakat.
Tidak mudah untuk memperkirakan jumlah orang yang telah tertular HIV
di Indonesia. Disadari bahwa perkiraan jumlah orang tertular HIV sangat penting
untuk memperkirakan dampak buruk sosial-ekonomi yang perlu ditanggulangi
serta menyadari bahwa jika penularan terus berlangsung maka beban tersebut

akan semakin besar. Terjadinya dampak yang lebih buruk akibat peningkatan
epidemi HIV tersebut perlu dicegah dan ditanggulangi secara bersamasama.
Para ahli memperkirakan bahwa sampai tahun 2002 ada sekitar 12-19 juta
orang di Indonesia yang rawan tertular HIV1. Jenis kelompok rawan tertular HIV
yang diidentifikasi antara lain adalah:
Pengguna napza suntik
Wanita penjaja seks
Lelaki pelanggan dari wanita penjaja seks
Lelaki suka seks dengan lelaki, antara lain Lelaki penjaja seks, dan gay
Waria penjaja seks dan pelanggannya
Pasangan seks dari kelompok berisiko tersebut
Berdasarkan hasil-hasil surveilans HIV dan beberapa studi pada
kelompokkelompok rawan tersebut, diperkirakan ada sekitar 90-130 ribu orang
tertular HIV sampai tahun 2002; Sekitar 25 persen diantaranya adalah perempuan.
Secara keseluruhan cara penularan pada pengguna napza suntik dan pelanggan
penjaja seks berkontribusi cukup besar pada jumlah orang tertular HIV.
Diperkirakan pula, ada 14 persen pasangan seks (isteri atau suami) dari
kelompokkelompok rawan tersebut juga telah tertular HIV (lihat gambar 2.1).
Walaupun pasangan tetap tersebut hanya mempunyai satu pasangan saja, yaitu
suaminya. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, karena selama ini kegiatan
penanggulangan HIV belum banyak menjangkau pasangan-pasangan tetap dari
individu-individu yang berisiko tersebut.
1.2 Tujuan Umum
Mempelajari surveilans HIV / AIDS di Indonesia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Situasi Epidemi HIV


Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000
epidemi tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian
menunjukkan

bahwa pada umumnya

Indonesia berada pada tahap

concentrated epidemic. Dalam lima tahun terakhir, jumlah orang yang


dilaporkan mengidap AIDS bertambah cepat. Situasi percepatan ini
disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak
steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua
(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah
menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan
seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di
Tanah Papua menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic.
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen
Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai
konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari
beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar 21%
52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria.

Depkes juga melaporkan laju peningkatan kasus baru AIDS yang semakin
cepat terutama dalam 3 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari jumlah kasus baru
AIDS sebanyak 2.873 pada tahun 2006. Jumlah ini dua kali lipat dibanding
jumlah yang pernah dilaporkan pada 17 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia, yang jumlahnya 1.371. Dari jumlah kasus baru itu, 82% adalah
laki-laki, dan yang berusia kurang dari 30 tahun sebanyak 74%.
Seiring dengan pertambahan total kasus AIDS, jumlah daerah yang
melaporkan kasus AIDS pun bertambah. Pada akhir tahun 2000, terdapat 16
provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir tahun 2003
jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat tajam
pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia
yang sudah melaporkan adanya kasus AIDS.
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa
Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan
8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada subpopulasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta
orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya
paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam
infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar
169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS
14%.

Selain pada sub-populasi yang secara tradisional dikenal sangat berisiko


tertular HIV, ternyata 14% estimasi ODHA juga berasal dari masyarakat
umum di Tanah Papua. Hasil tersebut didukung data surveilans HIV pada
beberapa sub-populasi masyarakat umum, seperti ibu hamil dan anak sekolah
di beberapa kabupaten di Tanah Papua yang menunjukkan adanya
peningkatan prevalens HIV cukup berarti dalam beberapa tahun terakhir ini.
Prevalens HIV di masyarakat umum di Tanah Papua tahun 2006 adalah 2,4%
(BPS dan Depkes, 2007)
Bila respons yang masih terbatas seperti saat ini dimana cakupan program
yang rendah berlangsung terus, maka hasil pemodelan epidemi HIV
mengindikasikan tingkat penularan akan terus meningkat di Indonesia.
Diperkirakan akan ada sekitar 400.000 orang terinfeksi HIV pada tahun 2010,
dan 100.000 orang diantaranya meninggal atau ada 1 juta ODHA pada tahun
2015 dengan 350.000 kematian.
Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang
berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau
istrinya, bahkan anaknya. Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi
penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan
dari ibu yang terinfeksi HIV. Para ibu ini sebagian besar tertular dari
suaminya. Rencana aksi Penanggulangan HiV dan a 2007-2010

2.2 Situasi Respons terhadap Epidemi


1. Kebijakan Nasional
HIV adalah epidemi yang mengancam kesehatan dan kehidupan
generasi

penerus

bangsa,

yang

secara

langsung

membahayakan

perkembangan sosial dan ekonomi, serta keamanan negara. Oleh karena


itu, upaya penanggulangannya harus diangggap sebagai masalah yang
penting dengan tingkat urgensi yang tinggi dan merupakan program
jangka panjang yang membutuhkan koordinasi multipihak, serta
mobilisasi sumber daya yang intensif dari seluruh lapisan masyarakat
untuk mempercepat dan memperluas cakupan program.
Pemerintah menjamin mobilisasi semua sumber daya yang disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi dan keadaan negara untuk penanggulangan
AIDS, dan mengurangi stigma dan diskriminasi. Pemerintah juga
mendorong meningkatkan tanggung jawab keluarga dan masyarakat
terhadap ODHA. Sebaliknya, upaya untuk meningkatkan tanggung jawab
ODHA untuk menjaga keluarga dan masyarakat agar tidak tertular juga
perlu ditingkatkan.
Mengingat epidemi HIV sudah menjadi masalah global, pemerintah
Indonesia berkomitmen menjalankan kesepakatan internasional untuk
penanggulangan AIDS, mempromosikan kerja sama multilateral dan
bilateral, serta memperluas kerja sama dengan negara tetangga dalam
Program Penanggulangan AIDS.

2. Respons Indonesia
Kebijakan nasional diterjemahkan dalam beberapa kegiatan berikut:
a. Penyediaan landasan pelaksanaan program
Dokumen penting telah dikeluarkan pemerintah dan merupakan dasar dari
pelaksanaan program penanggulangan AIDS, antara lain adalah sebagai
berikut:
1) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan KPA Daerah sebagai
lembaga

pemerintah

yang

mengkoordinasikan

pelaksanaan

penanggulangan AIDS. Ini diikuti dengan Strategi Nasional (Stranas)


AIDS Pertama, Rencana Strategis 1995 1999, Stranas 2003 - 2007
dan terakhir Stranas 2007 - 2010.Rencana aksi Penanggulangan HiV
dan a 2007-2010

2) Mengadopsi komitmen United Nations General Assembly Special


Session on HIV and AIDS (UNGASS) pada tahun 2001, sebagai
kerangka kerja dalam memperluas respons penanggulangan AIDS.
3) Penandatanganan Komitmen Sentani pada tahun 2004 oleh enam
provinsi dengan tingkat epidemi HIV tertinggi sebagai gerakan
bersama memerangi AIDS.
4) Memorandum of Understanding (MoU) BNN dan KPA yang
ditindaklanjuti dengan Permenko Kesra Nomor 2/2007 tentang
pengurangan dampak buruk terhadap penggunaan Napza.
b. Penguatan kepemimpinan
Dalam rangka memperkuat kepemimpinan dan komitmen maka
dilaksanakan sidang kabinet sesi khusus HIV dan AIDS pada tahun 2002
dan 2003, yang dilanjutkan dengan pencanangan Gerakan Nasional
Penanggulangan AIDS.
c. Penguatan kelembagaan KPA
Untuk memperkuat kelembagaan KPA di pusat dan daerah telah
dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 tentang KPA yang
menetapkan kembali struktur KPA agar dapat meningkatkan upaya yang
lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi.
d.

Peningkatan

upaya

pencegahan,

perawatan,

dukungan

dan

pengobatan
Kebijakan dan respons pemerintah Indonesia dalam penanggulangan
AIDS membawa perubahan dalam pelaksanaan setiap program yang

dilaksanakan di berbagai tingkatan. Di bawah ini adalah situasi programprogram utama penanggulangan AIDS baik dari sisi pencapaian maupun
hambatan. Secara umum, telah banyak program yang dilakukan, namun
ternyata jangkauannyanya masih terbatas.
1) Program Pencegahan

a) Intervensi Perubahan Perilaku


Pencapaian: Dalam beberapa tahun terakhir ini, program
komunikasi, informasi dan edukasi sudah dilakukan oleh
masyarakat sipil termasuk ODHA di beberapa daerah. Program
dilakukan dalam berbagai bentuk dan berkontribusi pada
peningkatan pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan
HIV di beberapa populasi risiko tinggi.
Penanggulangan HiV dan a 2007-2010

Rencana aksi

Kendala: Orientasi, bentuk, cakupan dan kualitas program masih


belum dapat memenuhi kebutuhan untuk mengubah norma sosial
dan perilaku risiko di populasi yang paling berisiko tertular HIV.
b) Penggunaan Kondom 100%
Pencapaian:

Dikeluarkannya

peraturan

daerah

tentang

penggunaan kondom 100% pada hubungan seksual berisiko di


beberapa daerah untuk membantu pelaksanaan intervensi
perubahan perilaku.
Kendala: Belum ada sistem pelaksanaan dan pengawasan
terhadap berbagai upaya untuk meningkatkan pemakaian kondom
pada hubungan seksual berisiko, dan belum tercipta lingkungan
kondusif untuk mendukung Program Pemakaian Kondom 100 %.
c) Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun
Pencapaian: Program jangka pendek dan pragmatis sudah
dilaksanakan di sejumlah wilayah pada beberapa tempat layanan
kesehatan. Program tersebut dilakukan agar pemulihan dan
abstinensia sebagai tujuan program jangka panjang memiliki arti.
Upaya tersebut diikuti dengan keluarnya Permenko Kesra Nomor
02 Tahun 2007 untuk mengkoordinasikannya dengan berbagai
instansi pemerintah.
Kendala: Cakupan program yang masih sangat rendah dan
terbatasnya dokumen legal untuk mendukung pelaksanaan
beberapa program dan perluasannya.

d) Manajemen Infeksi Menular Seksual (IMS)


Pencapaian: Upaya memutus mata rantai penularan IMS
melalui pemeriksaan dan pengobatan berkala penjaja seks (PS)
telah dilakukan di beberapa provinsi melalui klinik IMS yang
terintegrasi dengan Puskesmas maupun program pencegahan
lainnya.
Kendala: Rendahnya cakupan program dan tingkat pemakaian
kondom serta tingginya tingkat resistensi beberapa obat IMS
yang biasa digunakan menyebabkan dampak dari program ini
belum terlihat.Rencana aksi Penanggulangan HiV dan a 20072010

e) Konseling dan Tes HIV Sukarela


Pencapaian: Sampai saat ini ada 290 layanan konseling dan tes
HIV sukarela (VCT) di 118 kabupaten/kota yang terintegrasi
dengan Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya seperti Rumah
Sakit, klinik swasta, klinik IMS.
Kendala: Rendahnya pemanfaatan layanan yang tersedia dan
terbatasnya jumlah layanan di daerah tertentu.
2) Perawatan, Dukungan dan Pengobatan untuk ODHA
Sampai akhir 2006 tercatat 7.219 ODHA (57% dari target Indonesia
dalam program 3 by 5) sudah pernah menerima pengobatan ARV
melalui 153 Rumah Sakit yang telah ditunjuk dan dilatih oleh Depkes.
Sebanyak 4.256 diantaranya masih menjalani pengobatan, 1.658
meninggal dan sisanya tidak melanjutkan pengobatan.
e. Penguatan koordinasi dan mobilisasi multipihak serta peran serta
masyarakat
Untuk meningkatkan koordinasi dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan AIDS, upaya yang telah dilakukan antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Program akselerasi 100 kabupaten dan kota di provinsi-provinsi
dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi.
2) Peran serta masyarakat sipil dalam penanggulangan AIDS, yang antara
lain diwujudkan dalam perumusan kebijakan dan implementasi
program.
3) Koordinasi perencanaan sektoral.

C. JUSTIFIKASI
Ada empat justifikasi RAN, yaitu sebagai berikut:
Pertama, jalan epidemi HIV di Indonesia bisa diubah dengan melakukan
program respons yang komprehensif, efektif dan diperluas sejak tahun 2007
sampai 2010. Program yang dikembangkan harus dapat mencegah infeksi
baru

sebanyak

mungkin

di

sub-populasi

berisiko,

sehingga

dapat

menghindarkan 50% infeksi baru HIV pada tahun 2010. Kedua, infeksi baru
dapat dicegah bila program difokuskan pada populasi yang paling berisiko
tertular HIV dengan program yang efektif di wilayah yang jumlah populasi
risiko tinggi terbanyak.
Adapun target

kunci RAN adalah, (1) 80% populasi yang paling berisiko terjangkau oleh
program pencegahan yang komprehensif, (2) perubahan perilaku pada 60%
populasi paling berisiko, (3) semua ODHA yang memenuhi syarat menerima
pengobatan ARV dan perawatan, dukungan dan pengobatan sesuai kebutuhan,
(4) lingkungan yang memberdayakan, yaitu masyarakat sipil berperan aktif,
dan penghapusan stigma dan diskriminasi, (5) sumber-sumber daya dan dana
baik domestik dan internasional memenuhi estimasi kebutuhan pada tahun
2008, (6) 60% ibu hamil HIV positif menerima ARV profilaksis, (7) yatim
piatu dan anak terlantar (OVC) menerima paket dukungan, dan (8)
berkurangnya infeksi baru sebanyak 50%, atau terdapat 35 ribu infeksi baru
dibandingkan dengan proyeksi sejumlah 70 ribu infeksi baru pada tahun 2010
seandainya cakupan program masih sama dengan saat ini.
Ketiga, sebanyak 80% populasi yang paling berisiko tersebut harus dicapai
berdasarkan estimasi jumlah populasi rawan, ODHA dan laporan kasus AIDS,
maka program yang komprehensif dan efektif perlu diarahkan berdasarkan
prioritas wilayah, yaitu pada 19 provinsi di Indonesia termasuk 2 provinsi di
Tanah Papua (lihat gambar 4 dan tabel 1). Populasi paling berisiko pada
provinsi lainnya yang tidak lebih dari 20% akan dilakukan pendekatan
implementasi program yang sesuai dengan kebutuhan spesifik setempat.

Keempat, sebagai acuan Program Penanggulangan AIDS, RAN tidak hanya


berisi kegiatan-kegiatan yang perlu diimplementasikan, namun juga berisi
perhitungan sumber dana yang dibutuhkan. Adapun prinsip pokok RAN
adalah sebagai berikut: (1) mencapai target 2010 sesuai dengan universal
access, (2) memilih prioritas program, sasaran dan wilayah berbasis evidens,
(3) mendekatkan pelayanan komprehensif dilengkapi dengan sistem rujukan,
pembinaan dan pengawasan, (4) menjalin kemitraan antara pemerintah pusat
dan daerah dengan mitra internacional, donor bilateral dan multilateral,
masyarakat sipil, dan lainnya, (5) meningkatkan kepemimpinan pemerintah
daerah yang dibantu oleh KPAN dan KPA Daerah, (6) menyediakan anggaran
dari APBN dan APBD berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun
2006,

(7)

meningkatkan

kemampuan

sumber

daya

manusia

dan

mengembangkan petunjuk teknis, (8) melakukan penelitian yang berorientasi


kebijakan

dan

berkaitan

dengan

intervensi,

(9)

menciptakan

dan

mengembangkan monitoring dan evaluasi yang handal.


Tabel 1. Estimasi Jumlah Populasi Rawan dan ODHA serta Laporan Kasus AIDS
di 19 Provinsi Prioritas RAN 2007 2010
No

Propi

WPS

Penas

Waria

LSL

WBP

ODH

Kasus

nsi
Sumat

8.900

un
16.230

1.230

41.590

11.660

A
10.390

AIDS
242

8.120
6.580

4.240
8.190

2.000
1.320

14.530
20.050

3.970
4.360

4.440
5.930

97
91

era
2
3

Utara
Riau
Sumat
era
Selata

n
Lampu

4.140

4.870

630

21.030

1.400

3.380

102

ng
Kepul

10.920

5.160

370

5.860

320

3.990

203

auan
6

Riau
DKI

38.910

33.750

1.340

45.630

9.240

27.670

2.565

Jakarta
Jawa

25.330

24.710

3.640

170.21

19.250

19.490

940

Barat
Jawa

13.620

7.910

1.560

0
98.700

5.760

7.970

290

2.690

5.590

520

11.600

950

3.320

89

26.070

27.330

3.710

132.01

11.560

20.810

863

3.330
8.540
3.710

9.650
3.420
4.300

250
370
1.070

0
37.930
11.730
14.900

4.440
1.240
1.110

6.590
5.570
3.020

42
399
553

11.450

9.500

2.580

12.600

1.180

6.130

10

5.230

12.110

1.050

22.060

1.790

7.610

143

3.770

1.980

460

7.960

1.370

1.640

101

Tenga
9

h
DI
Yogya

10

11
12
13

karta
Jawa
Timur
Banten
Bali
Kalim
antan

14

Barat
Kalim
antan

15

Timur
Sulaw
esi
Selata

16

n
Sulaw
esi

17

Utara
Maluk

3.400

820

400

3.690

340

1.190

119

18

u
Papua

2.670

240

320

1.260

130

7.160

58

Barat
Papua
5.020
430
270
4.730
140 22.210
221.000 219.000
28.000 766.000
96.000 193.000
87%
82%
82%
89%
84%
87%

947
8.196
96%

19
Indonesia
% 19
Propinsi :
Indonesia

2.3 Definisi surveilans HIV / AIDS

Definisi kasus surveilans untuk infeksi HIV pada orang dewasa, remaja,
dan anak berusia di bawah 18 bulan dan untuk infeksi HIV serta AIDS pada anak
berusia 18 bulan sampai 13 tahun. Hal ini berdasarkan laporan yang diterbitkan
Morbidity & Mortality Weekly Report, edisi 5 Desember 2008. Definisi kasus
tersebut ditujukan hanya untuk surveilans kesehatan masyarakat dan bukan
sebagai pedoman untuk diagnosis secara klinis.
Sejak awal epidemi HIV, definisi kasus infeksi HIV dan AIDS telah
diubah beberapa kali untuk menanggapi kemajuan diagnostik dan terapeutik serta
untuk memperbaiki standardisasi dan kemampuan untuk membandingkan data
surveilans sehubungan dengan stadium penyakit HIV pasien, ditulis oleh Eileen
Schneider MD, dan rekan dari Division of HIV/AIDS Prevention, National Center
for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention. Tes HIV sekarang
sudah tersedia secara luas, dan tes diagnostik terus membaik; perubahan tersebut
tercermin dalam definisi kasus infeksi HIV yang diperbarui pada 2008, yang
sekarang memerlukan bukti infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium untuk memenuhi definisi kasus pada orang dewasa, remaja, dan anak
berusia 18 bulan hingga 13 tahun .
Pembaruan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Untuk orang dewasa dan remaja berusia di atas 13 tahun, sistem


penggolongan infeksi HIV dan AIDS serta definisi kasus surveilans telah
diubah dan dikombinasikan menjadi satu definisi saja untuk kasus infeksi
HIV.

Definisi kasus surveilans pada kelompok itu membutuhkan bukti infeksi


HIV yang dikonfirmasi dengan tes laboratorium. Stadium infeksi
ditentukan dari jumlah CD4 terendah (atau persentase CD4) atau dari
kejadian kondisi terdefinisi AIDS.

Apabila jumlah CD4 dan persentase CD4 tidak sesuai dengan stadium
penyakit yang sama, kasus tersebut harus digolongkan sebagai stadium
yang lebih berat.

Infeksi HIV akut, yang muncul kurang lebih dari saat terinfeksi HIV
sampai terjadinya serokonversi, didiagnosis dari viral load HIV yang
terdeteksi atau DNA atau antigen p24 dalam darah apabila hasil tes
antibodi HIV pada hari yang sama adalah negatif atau tidak dapat
ditentukan.

Kriteria hasil laboratorium untuk infeksi HIV adalah:

Hasil tes skrining antibodi HIV adalah positif (misalnya, reactive enzyme
immunoassay) dikonfirmasi dengan tambahan hasil tes antibodi HIV yang
positif (misalnya tes Western blot atau indirect immunofluorescence
assay); atau

Hasil yang positif atau laporan viral load yang terdeteksi dari salah satu tes
virologi HIV berikut ini: tes untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV
(misalnya polymerase chain reaction); tes antigen HIV p24, termasuk
neutralization assay; atau isolasi HIV (biakan virus).

Penggolongan kasus untuk stadium infeksi HIV adalah sebagai berikut:

Stadium 1: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 di atas
500 atau persentase CD4 di atas 29%.

Stadium 2: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 200-499
atau persentase CD4 14-28%.

Stadium 3 (AIDS): Infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes


laboratorium dan jumlah CD4 di atas 200 atau persentase CD4 di atas
14%, atau catatan kondisi terdefinisi AIDS (yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium).

Stadium tidak diketahui: Infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes


laboratorium dan tidak ada data tentang jumlah atau persentase CD4 dan
tidak ada informasi tentang munculnya kondisi terdefinisi AIDS.

Untuk anak berusia di bawah 13 tahun, definisi kasus infeksi HIV telah
diperbarui.
Untuk anak berusia di bawah 18 bulan, definisi kasus infeksi HIV menggantikan
definisi yang diterbitkan pada 1999 dan diberlakukan untuk seluruh tipe HIV.
Definisi baru itu memperhitungkan teknologi tes yang tersedia.
Kriteria tes laboratorium untuk anak berusia di bawah 18 bulan telah diperbarui
untuk kategori dugaan tidak terinfeksi HIV, tetapi tidak ada perubahan yang
bermakna yang dibuat pada tiga kategori lainnya (pasti terinfeksi HIV, diduga
terinfeksi HIV, pasti tidak terinfeksi HIV).
Untuk tujuan surveilans, anak berusia di bawah 18 bulan yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi HIV dikategorikan sebagai dugaan tidak terinfeksi HIV apabila

kriteria untuk pasti tidak terinfeksi HIV tidak terpenuhi, apabila tidak ada bukti
laboratorium lain atau bukti klinis adanya infeksi HIV, dan apabila paling sedikit
satu dari kriteria laboratorium di bawah ini terpenuhi:

Dua hasil tes RNA atau DNA yang negatif, dari dua contoh yang terpisah,
kedua contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari dua minggu dan satu
lagi waktu berusia lebih dari empat minggu; atau

Satu hasil tes RNA atau DNA yang negatif, tes virologi dari contoh
diperoleh waktu anak berusia lebih dari delapan minggu; atau

Satu hasil tes antibodi HIV yang negatif, dari contoh diperoleh waktu anak
berusia lebih dari enam bulan; atau

Satu hasil tes virologi HIV yang positif diikuti dengan dua atau lebih hasil
tes yang negatif dari dua contoh yang terpisah, satu dari tes tersebut dari
contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari delapan minggu atau satu
tes antibodi HIV dari contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari enam
bulan.

Untuk anak berusia 18 bulan sampai 13 tahun, infeksi HIV yang dikonfirmasi
dengan tes laboratorium kini diperlukan untuk memenuhi definisi surveilans kasus
infeksi HIV. Tanpa bukti tersebut, konfirmasi diagnosis kondisi terdefinisi AIDS
saja tidak lagi cukup untuk menggolongkan anak sebagai terinfeksi HIV untuk
tujuan surveilans.

Untuk anak berusia 18 bulan sampai 13 tahun, definisi kasus AIDS telah
diperbarui dan sekarang membutuhkan bukti yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium terhadap infeksi HIV.

Untuk anak berusia di bawah 18 bulan , tidak terjadi perubahan pada


definisi kasus AIDS.

Untuk anak berusia di bawah 13 tahun , tidak terjadi perubahan pada


sistem klasifikasi infeksi HIV atau pada 24 kondisi terdefinisi AIDS.

Data surveilans kesehatan masyarakat dipakai terutama untuk memantau epidemi


HIV dan untuk perencanaan di tingkat masyarakat, bukan untuk membuat
keputusan secara klinis bagi pasien secara individu, para penulis menulis.
Centers for Disease Control and Prevention dan Council of State and Territorial
Epidemiologists, menyarankan seluruh negara bagian dan wilayah untuk
melakukan surveilans kasus infeksi HIV dan AIDS dengan memakai definisi
surveilans kasus 2008, belaku segera.

BAB 3
PENUTUP

Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti
yang sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi
melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada
hubungan seksual. Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang
berperilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab, yakni : hanya
mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami/isteri sendiri),
kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam

melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar,


mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan
seksual di luar nikah.
b. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara
memastikan bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi
tidak tercemar virus HIV, jangan menerima donor darah dari orang yang
berisiko tinggi tertular AIDS, gunakan alat-alat kesehatan seperti jarum suntik,
alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.
c. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).
Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak
hamil. Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada
beberapa cara pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung
ikut mencegah penularan atau penyebaran HIV/AIDS. Kegiatan tersebut
berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalam
implementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan
kondomisasi, yang ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang
potensial tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang dilakukannya.
Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus menerus akan mendapat
informasi yang baru (up to date) tentang HIV/AIDS sehingga keluarga akan lebih
waspada dan mampu mengembangkan langkah langkah praktis untuk
melindungi anggota keluarganya dari penularan HIV serta untuk mwngurangi
tumbuhnya sikap yang menganggap bahwa keluarganya sendiri tidak mungkin
akan terinfeksi oleh virus AIDS ini.

Pelaksanaan sistem surveilans sentinel HIV Dinas Kesehatan Propinsi


Jawa Timur masih ada yang belum memenuhi atribut surveilans. Pelaksanaannya
mudah dan sederhana hanya pengiriman laporan membutuhkan waktu cukup
panjang. Fleksibilitas belum bisa diukur. Form laporan yang diterima telah diisi
lengkap dan jelas disertai laporan BLK. Terkadang terjadi penolakan responden
saat pengumpulan data. Terdapat beberapa form yang tidak dikerjakan
sebagaimana mestinya namun sudah ada pihak yang memanfaatkan data
surveilans. Proporsi kasus HIV pada kelompok populasi risiko tinggi sudah
mampu dideteksi. Pendeteksian kasus melalui pemeriksaan sebanyak 3 kali.
Laporan kasus yang dikirim ke pusat sudah sesuai dengan kejadian yang ada dan
mencakup variabel epidemiologi kecuali variabel umur dan jenis kelamin. Belum
ada jadwal pasti pelaksanaan surveilans sentinel. Pengumpulan dan manajemen
data telah dilakukan dengan mudah dan tidak pernah terjadi kerusakan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pembenahan pelaksanaan sistem
surveilans yang sedang berjalan serta melibatkan pihak terkait dalam penyusunan
dan pelaksanaan program. Intensitas penyebaran informasi juga perlu ditingkatkan
untuk menambah pemahaman dan kewaspadaan masyarakat akan ancaman
HIV/AIDS.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai