KELOMPOK V :
1. Ratna Agustin
2. Erni Setyorini
3. Hindyah Ike S
4. Puji H
BAB 1
PENDAHULUAN
sistem surveilans sentinel HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), melakukan
surveilans perilaku, serta upaya pemanfaatan data surveilans tersebut untuk
perencanaan kegiatankegiatan penanggulangan yang bersifat strategik baik di
tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, sudah cukup mendesak adanya
informasi yang akurat tentang jumlah populasi rawan tertular HIV dan jumlah
orang yang telah tertular HIV di Indonesia. karena tidak saja diperlukan untuk
penyusunan
kebijaksanaan
maupun
perumusan
kegiatan-kegiatan
akan semakin besar. Terjadinya dampak yang lebih buruk akibat peningkatan
epidemi HIV tersebut perlu dicegah dan ditanggulangi secara bersamasama.
Para ahli memperkirakan bahwa sampai tahun 2002 ada sekitar 12-19 juta
orang di Indonesia yang rawan tertular HIV1. Jenis kelompok rawan tertular HIV
yang diidentifikasi antara lain adalah:
Pengguna napza suntik
Wanita penjaja seks
Lelaki pelanggan dari wanita penjaja seks
Lelaki suka seks dengan lelaki, antara lain Lelaki penjaja seks, dan gay
Waria penjaja seks dan pelanggannya
Pasangan seks dari kelompok berisiko tersebut
Berdasarkan hasil-hasil surveilans HIV dan beberapa studi pada
kelompokkelompok rawan tersebut, diperkirakan ada sekitar 90-130 ribu orang
tertular HIV sampai tahun 2002; Sekitar 25 persen diantaranya adalah perempuan.
Secara keseluruhan cara penularan pada pengguna napza suntik dan pelanggan
penjaja seks berkontribusi cukup besar pada jumlah orang tertular HIV.
Diperkirakan pula, ada 14 persen pasangan seks (isteri atau suami) dari
kelompokkelompok rawan tersebut juga telah tertular HIV (lihat gambar 2.1).
Walaupun pasangan tetap tersebut hanya mempunyai satu pasangan saja, yaitu
suaminya. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, karena selama ini kegiatan
penanggulangan HIV belum banyak menjangkau pasangan-pasangan tetap dari
individu-individu yang berisiko tersebut.
1.2 Tujuan Umum
Mempelajari surveilans HIV / AIDS di Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Depkes juga melaporkan laju peningkatan kasus baru AIDS yang semakin
cepat terutama dalam 3 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari jumlah kasus baru
AIDS sebanyak 2.873 pada tahun 2006. Jumlah ini dua kali lipat dibanding
jumlah yang pernah dilaporkan pada 17 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia, yang jumlahnya 1.371. Dari jumlah kasus baru itu, 82% adalah
laki-laki, dan yang berusia kurang dari 30 tahun sebanyak 74%.
Seiring dengan pertambahan total kasus AIDS, jumlah daerah yang
melaporkan kasus AIDS pun bertambah. Pada akhir tahun 2000, terdapat 16
provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir tahun 2003
jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat tajam
pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia
yang sudah melaporkan adanya kasus AIDS.
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa
Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan
8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada subpopulasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta
orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya
paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam
infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar
169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS
14%.
penerus
bangsa,
yang
secara
langsung
membahayakan
2. Respons Indonesia
Kebijakan nasional diterjemahkan dalam beberapa kegiatan berikut:
a. Penyediaan landasan pelaksanaan program
Dokumen penting telah dikeluarkan pemerintah dan merupakan dasar dari
pelaksanaan program penanggulangan AIDS, antara lain adalah sebagai
berikut:
1) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan KPA Daerah sebagai
lembaga
pemerintah
yang
mengkoordinasikan
pelaksanaan
Peningkatan
upaya
pencegahan,
perawatan,
dukungan
dan
pengobatan
Kebijakan dan respons pemerintah Indonesia dalam penanggulangan
AIDS membawa perubahan dalam pelaksanaan setiap program yang
dilaksanakan di berbagai tingkatan. Di bawah ini adalah situasi programprogram utama penanggulangan AIDS baik dari sisi pencapaian maupun
hambatan. Secara umum, telah banyak program yang dilakukan, namun
ternyata jangkauannyanya masih terbatas.
1) Program Pencegahan
Rencana aksi
Dikeluarkannya
peraturan
daerah
tentang
C. JUSTIFIKASI
Ada empat justifikasi RAN, yaitu sebagai berikut:
Pertama, jalan epidemi HIV di Indonesia bisa diubah dengan melakukan
program respons yang komprehensif, efektif dan diperluas sejak tahun 2007
sampai 2010. Program yang dikembangkan harus dapat mencegah infeksi
baru
sebanyak
mungkin
di
sub-populasi
berisiko,
sehingga
dapat
menghindarkan 50% infeksi baru HIV pada tahun 2010. Kedua, infeksi baru
dapat dicegah bila program difokuskan pada populasi yang paling berisiko
tertular HIV dengan program yang efektif di wilayah yang jumlah populasi
risiko tinggi terbanyak.
Adapun target
kunci RAN adalah, (1) 80% populasi yang paling berisiko terjangkau oleh
program pencegahan yang komprehensif, (2) perubahan perilaku pada 60%
populasi paling berisiko, (3) semua ODHA yang memenuhi syarat menerima
pengobatan ARV dan perawatan, dukungan dan pengobatan sesuai kebutuhan,
(4) lingkungan yang memberdayakan, yaitu masyarakat sipil berperan aktif,
dan penghapusan stigma dan diskriminasi, (5) sumber-sumber daya dan dana
baik domestik dan internasional memenuhi estimasi kebutuhan pada tahun
2008, (6) 60% ibu hamil HIV positif menerima ARV profilaksis, (7) yatim
piatu dan anak terlantar (OVC) menerima paket dukungan, dan (8)
berkurangnya infeksi baru sebanyak 50%, atau terdapat 35 ribu infeksi baru
dibandingkan dengan proyeksi sejumlah 70 ribu infeksi baru pada tahun 2010
seandainya cakupan program masih sama dengan saat ini.
Ketiga, sebanyak 80% populasi yang paling berisiko tersebut harus dicapai
berdasarkan estimasi jumlah populasi rawan, ODHA dan laporan kasus AIDS,
maka program yang komprehensif dan efektif perlu diarahkan berdasarkan
prioritas wilayah, yaitu pada 19 provinsi di Indonesia termasuk 2 provinsi di
Tanah Papua (lihat gambar 4 dan tabel 1). Populasi paling berisiko pada
provinsi lainnya yang tidak lebih dari 20% akan dilakukan pendekatan
implementasi program yang sesuai dengan kebutuhan spesifik setempat.
(7)
meningkatkan
kemampuan
sumber
daya
manusia
dan
dan
berkaitan
dengan
intervensi,
(9)
menciptakan
dan
Propi
WPS
Penas
Waria
LSL
WBP
ODH
Kasus
nsi
Sumat
8.900
un
16.230
1.230
41.590
11.660
A
10.390
AIDS
242
8.120
6.580
4.240
8.190
2.000
1.320
14.530
20.050
3.970
4.360
4.440
5.930
97
91
era
2
3
Utara
Riau
Sumat
era
Selata
n
Lampu
4.140
4.870
630
21.030
1.400
3.380
102
ng
Kepul
10.920
5.160
370
5.860
320
3.990
203
auan
6
Riau
DKI
38.910
33.750
1.340
45.630
9.240
27.670
2.565
Jakarta
Jawa
25.330
24.710
3.640
170.21
19.250
19.490
940
Barat
Jawa
13.620
7.910
1.560
0
98.700
5.760
7.970
290
2.690
5.590
520
11.600
950
3.320
89
26.070
27.330
3.710
132.01
11.560
20.810
863
3.330
8.540
3.710
9.650
3.420
4.300
250
370
1.070
0
37.930
11.730
14.900
4.440
1.240
1.110
6.590
5.570
3.020
42
399
553
11.450
9.500
2.580
12.600
1.180
6.130
10
5.230
12.110
1.050
22.060
1.790
7.610
143
3.770
1.980
460
7.960
1.370
1.640
101
Tenga
9
h
DI
Yogya
10
11
12
13
karta
Jawa
Timur
Banten
Bali
Kalim
antan
14
Barat
Kalim
antan
15
Timur
Sulaw
esi
Selata
16
n
Sulaw
esi
17
Utara
Maluk
3.400
820
400
3.690
340
1.190
119
18
u
Papua
2.670
240
320
1.260
130
7.160
58
Barat
Papua
5.020
430
270
4.730
140 22.210
221.000 219.000
28.000 766.000
96.000 193.000
87%
82%
82%
89%
84%
87%
947
8.196
96%
19
Indonesia
% 19
Propinsi :
Indonesia
Definisi kasus surveilans untuk infeksi HIV pada orang dewasa, remaja,
dan anak berusia di bawah 18 bulan dan untuk infeksi HIV serta AIDS pada anak
berusia 18 bulan sampai 13 tahun. Hal ini berdasarkan laporan yang diterbitkan
Morbidity & Mortality Weekly Report, edisi 5 Desember 2008. Definisi kasus
tersebut ditujukan hanya untuk surveilans kesehatan masyarakat dan bukan
sebagai pedoman untuk diagnosis secara klinis.
Sejak awal epidemi HIV, definisi kasus infeksi HIV dan AIDS telah
diubah beberapa kali untuk menanggapi kemajuan diagnostik dan terapeutik serta
untuk memperbaiki standardisasi dan kemampuan untuk membandingkan data
surveilans sehubungan dengan stadium penyakit HIV pasien, ditulis oleh Eileen
Schneider MD, dan rekan dari Division of HIV/AIDS Prevention, National Center
for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention. Tes HIV sekarang
sudah tersedia secara luas, dan tes diagnostik terus membaik; perubahan tersebut
tercermin dalam definisi kasus infeksi HIV yang diperbarui pada 2008, yang
sekarang memerlukan bukti infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium untuk memenuhi definisi kasus pada orang dewasa, remaja, dan anak
berusia 18 bulan hingga 13 tahun .
Pembaruan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Apabila jumlah CD4 dan persentase CD4 tidak sesuai dengan stadium
penyakit yang sama, kasus tersebut harus digolongkan sebagai stadium
yang lebih berat.
Infeksi HIV akut, yang muncul kurang lebih dari saat terinfeksi HIV
sampai terjadinya serokonversi, didiagnosis dari viral load HIV yang
terdeteksi atau DNA atau antigen p24 dalam darah apabila hasil tes
antibodi HIV pada hari yang sama adalah negatif atau tidak dapat
ditentukan.
Hasil tes skrining antibodi HIV adalah positif (misalnya, reactive enzyme
immunoassay) dikonfirmasi dengan tambahan hasil tes antibodi HIV yang
positif (misalnya tes Western blot atau indirect immunofluorescence
assay); atau
Hasil yang positif atau laporan viral load yang terdeteksi dari salah satu tes
virologi HIV berikut ini: tes untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV
(misalnya polymerase chain reaction); tes antigen HIV p24, termasuk
neutralization assay; atau isolasi HIV (biakan virus).
Stadium 1: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 di atas
500 atau persentase CD4 di atas 29%.
Stadium 2: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 200-499
atau persentase CD4 14-28%.
Untuk anak berusia di bawah 13 tahun, definisi kasus infeksi HIV telah
diperbarui.
Untuk anak berusia di bawah 18 bulan, definisi kasus infeksi HIV menggantikan
definisi yang diterbitkan pada 1999 dan diberlakukan untuk seluruh tipe HIV.
Definisi baru itu memperhitungkan teknologi tes yang tersedia.
Kriteria tes laboratorium untuk anak berusia di bawah 18 bulan telah diperbarui
untuk kategori dugaan tidak terinfeksi HIV, tetapi tidak ada perubahan yang
bermakna yang dibuat pada tiga kategori lainnya (pasti terinfeksi HIV, diduga
terinfeksi HIV, pasti tidak terinfeksi HIV).
Untuk tujuan surveilans, anak berusia di bawah 18 bulan yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi HIV dikategorikan sebagai dugaan tidak terinfeksi HIV apabila
kriteria untuk pasti tidak terinfeksi HIV tidak terpenuhi, apabila tidak ada bukti
laboratorium lain atau bukti klinis adanya infeksi HIV, dan apabila paling sedikit
satu dari kriteria laboratorium di bawah ini terpenuhi:
Dua hasil tes RNA atau DNA yang negatif, dari dua contoh yang terpisah,
kedua contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari dua minggu dan satu
lagi waktu berusia lebih dari empat minggu; atau
Satu hasil tes RNA atau DNA yang negatif, tes virologi dari contoh
diperoleh waktu anak berusia lebih dari delapan minggu; atau
Satu hasil tes antibodi HIV yang negatif, dari contoh diperoleh waktu anak
berusia lebih dari enam bulan; atau
Satu hasil tes virologi HIV yang positif diikuti dengan dua atau lebih hasil
tes yang negatif dari dua contoh yang terpisah, satu dari tes tersebut dari
contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari delapan minggu atau satu
tes antibodi HIV dari contoh diperoleh waktu anak berusia lebih dari enam
bulan.
Untuk anak berusia 18 bulan sampai 13 tahun, infeksi HIV yang dikonfirmasi
dengan tes laboratorium kini diperlukan untuk memenuhi definisi surveilans kasus
infeksi HIV. Tanpa bukti tersebut, konfirmasi diagnosis kondisi terdefinisi AIDS
saja tidak lagi cukup untuk menggolongkan anak sebagai terinfeksi HIV untuk
tujuan surveilans.
Untuk anak berusia 18 bulan sampai 13 tahun, definisi kasus AIDS telah
diperbarui dan sekarang membutuhkan bukti yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium terhadap infeksi HIV.
BAB 3
PENUTUP
Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti
yang sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi
melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada
hubungan seksual. Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang
berperilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab, yakni : hanya
mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami/isteri sendiri),
kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam
DAFTAR PUSTAKA