Anda di halaman 1dari 9

Etiologi Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi dapat menyerang semua organ atau jaringan tubuh, misalnya pada lymph node, pleura dan area osteoartikular. Biasanya pada bagian tengah granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Alsagaff, 2010).

Secara mikrobiologi, Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan ZN (karbol fuksin). Kuman mycobacteria ini berbentuk batang dan berukuran panjang 2-4 dan lebar 0,2-0,4. Kuman MT tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO dapat merangsang
2

pertumbuhan. MT merupakan mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes (Amin, 2011).

MT hominis merupakan penyebab terbesar kasus tuberkulosis dengan reservoir infeksi biasanya ditemukan pada manusia dengan penyakit paru aktif. Penularan biasanya secara langsung, melalui inhalasi organisme di udara atau melalui sekret penderita. Basil ini adalah aerob obligat yang pertumbuhannya terhambat oleh pH <6,5 dan oleh asam lemak rantai panjang. Oleh karena itu basil ini sulit ditemukan pada bagian tengah nekrosis perkijuan besar karena terdapat anaerobiosis, pH rendah dan kadar asam yang meningkat (Alsagaff, 2010).

Tanda dan gejala Gambaran utama limfadenitis TB berupa massa yang dijumpai sekitar 75% dari pasien tanpa gejala khas. Demam, penurunan berat badan dan keringat malam bervariasi pada 10% hingga 100% pasien. Lama timbulnya gejala sebelum terdiagnosis berkisar antara beberapa minggu hingga bulan (Danusantoso, 2009). Pembesaran lymph node biasanya disertai rasa sakit disebabkan oleh karena periadenitis dan adhesi pada struktur jaringan sekitar yang dijumpai pada 50-70 kasus. Keterlibatan lokasi-lokasi multiple dijumpai lebih dari 20% pasien, termasuk inflamasi kulit, abscess formation atau cutaneous discharging sinus (Addy, 2009).

Gambaran klinis limfadenitis mikobakterium non TB terlokalisasi pada lokasi terlibat dan tumbuh secara cepat, jarang berhubungan dengan manifestasi sistemik. Komplikasi terlokalisasi pada lokasi lymph node yang terlibat seperti inflamasi kulit, abscess formation dan discharging cutaneous sinus, yang lebih sering dijumpai dibandingkan dengan limfadenitis TB (Alsagaff, 2010).

Gejala sistemik/umum: 1. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) 2. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul 3. Penurunan nafsu makan dan berat badan 4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah Gejala khusus: 1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi, suara nafas melemah yang disertai sesak. 2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. 3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. 4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. 5. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. 6. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Patofisiologis Tuberkulosis sekunder mungkin asimptomatik. Jika muncul, manifestasi penyakit biasanya perlahan; secara perlahan timbul gejala sistemik dan lokal. Gejala sistemik, yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag aktif (misal, TNF dan IL1), sering muncul pada awal perjalanan, mencakup malaise, anoreksia, penurunan berat, dan demam (Kumar, 2012). Umumnya demam ringan dan hilang timbul (muncul setiap malam dan kemudian mereda), dan timbul keringat malam. Peningkatan aktivitas TNF- di hipotalamus pada malam hari kemungkinan besar menjadi penyebab timbulnya keringat malam, walaupun masih ada perdebatan di kalangan beberapa ahli (Kumar, 2012). Seiring dengan keterlibatan paru yang semakin progresif, muncul sputum yang awalnya mukoid, kemudian menjadi purulen. Jika terdapat kavitasi, sputum mengandung basil tuberkulosis (Kumar, 2012). Pada sekitar separuh kasus tuberkulosis paru, sedikit banyak terjadi hemoptisis (Kumar, 2012). Nyeri pleura dapat terjadi akibat perluasan infeksi ke permukaan pleura (Kumar, 2012).

Mycobacterium tuberkulosis terhirup

Mengendap di paru

Koloni di Paru Replikasi dalam Makrofag alveolus

Reaksi Inflamasi

Metabolisme meningkat

Penumpukan eksudat di alveoli

Produksi Sputum Meningkat

Suhu tubuh Meningkat

Intake tidak adequat

Perubahan membran alveoli Proses difusi terganggu

Akumulasi di Jalan Nafas

Demam

Sekeresi asam lambung meningkat

Batuk dan sesak nafas

Mual (inisiasi muntah) Nafsu makan turun

Sesak Nafas

BB Turun

Penatalaksanaan Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO, melaksanakan suatu evaluasi bersama bernama WHO-Indonesia Joint Evaluation yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulan tuberkulosis (TB) di Indonesia yang kemudian disebut STRATEGI DOTS (Amin, 2006). Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (Amin, 2006). Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi (Amin, 2006). DOTS mengandung lima komponen, yaitu: 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana 2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis 3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) 4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB (Depkes RI, 2002).

Pengobatan TB 1. Tujuan pengobatan Pengobatan TB betujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penelusuran dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes, 2006) 2. Jenis, sifat, dan dosis OAT

(Depkes, 2006)

3. Prinsip pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup, dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan menggunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO) c. Pengbatan diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. 1) Tahap intesif Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung oleh PMO untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam kurun waktu 2 bulan. 2) Tahap lanjutan Pada tahan lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kekambuhan. 4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia a. paduan OAT yang digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberculosis di indonesia: 1) kategori 1 : 2(RHZE)/4(RH)3 2) kategori 2 : 2(RHZES)/(RHZE)/5(RH)3E3 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan(RHZE) 3) kategori anak : 2RHZ/4RH b. paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untk satu pasien. kuman persister sehingga mencegah terjadinya

c. Paket kombipak. Terdiri dari obat yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan untuk program mengatasi pasien yang menjalani efek samping OAT-KDT. 5. Paduan OAT dan peruntukannya a. Kategori-1 (2RHZE/4R3H3) Paduan ini diberikan untuk pasien baru: Pasien TB baru BTA positif Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif Pasien TB ekstra paru

(Depkes, 2006) b. Kategori-2 2RHZES/RHZE/5R3H3E3 Paduan ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan terputus

(Depkes, 2006)

c. OAT sisipan (RHZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori-1 yang diberikan selama satu bulan (28 hari)

(Depkes, 2006)

Daftar Pustaka

Addy, 2009. Gambaran Pengetahuan Pengunjung tentang Penyakit Tuberculosis Paru di ruang poli paru. Available from : http://addy1571.wordpress.com/2009/04/04/bagaimanakah-gambaran-pengetahuanpengunjung-tentang-penyakit-tuberculosis-paru-di-ruang-poli-paru/ Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul.2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi Ke 2. Airlangga University Press, Surabaya : 85-88, 88-96, 108-109. Amin, Z., Bahar, A. 2006. Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993. Amin, Z., Bahar, A. 2011. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II : 988-993. Danusantoso, H. 2009. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Edisi Ke 1. Penerbit Hipokrates, Jakarta : 97-108. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan pertama Hasibuan, Dini, Ariani. 2011. Gambaran Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Paru tentang Penyakit dan Pengobatan Tuberkulosis di RSUP. Adam Malik Medan 2010. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/-123456789/22007. Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran, Stanley R. Robbins. 2012. Buku Ajar Patologi Robbins: Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai