Anda di halaman 1dari 6

Pengukuran Efisiensi Teknis .. (Ihwan S.

& Muzakar Isa) : 19 - 29

PENGUKURAN EFISIENSI TEKNIS USAHA MEBEL DENGAN

DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)


Ihwan Susila dan Muzakar Isa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta E-mail: ihwan_ss@yahoo.com; muzakarisa@yahoo.com
Abstract

The aims of this research is to measure of furniture industry technical efficiency, and to analyze of furniture industry technical efficiency in Serenan Klaten based material input, capital, owner education, owner experiences, and labor. This research executed in Serenan Klaten, the center of furniture industry, on January 2006. Population in this research is all furniture industry in Serenan Klaten amounting 465 unit. The sample size is 93 unit industries, which is 20% of the total population. The sampling technique used in this research is random sampling. Method of data collection in this research is conducted by interview with owner furniture industry. An analyzer used in this research is data envelopment analysis (DEA). According to result of DEA analysis show value of rate technical efficiency is 68,69, its explain furniture industry in Serenan Klaten has not efficient yet. From 93 industries there are 32 unit industries (34,41%) is not efficient and 61 unit industries (65,59%) efficient. The result of DEA measurement shows that the main cause of furniture industry inefficient mainly comes from capital, education, material input, labor and owner experience. Capital is the most efficient variable than another inefficient variable.

Keywords: Technical Efficiency, DEA, Furniture Industry


PENDAHULUAN Perjalanan ekonomi Indonesia pascakrisis ekonomi menunjukkan bahwa sumbangan usaha kecil dan menengah (UKM) terhadap pembentukan PDB menjadi semakin besar. Besaran PDB yang diciptakan UKM tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun atau 56,7% dari total PDB Nasional, dengan perincian 41,1% berasal dari usaha kecil dan 15,6% dari usaha menengah. Pada tahun 2000, sumbangan UKM baru mencapai 54,5% terhadap total PDB Nasional berasal dari usaha kecil (39,7%) dan usaha menengah (14,8%) (BPS, 2004). Berdasarkan BPS, jumlah usaha kecil dan menengah tahun 2003 sebesar 42,4 juta, atau naik 9,5% dibanding dengan tahun 2000, sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor UKM tahun 2003 tercatat 79,0 juta pekerja yaitu lebih tinggi 8,6 juta pekerja dibanding tahun 2000 dengan 70,4 juta pekerja, atau selama periode 2000-2003 meningkat sebesar 12,2% atau rata-rata 4,1% per tahun. Di Indonesia, pengembangan usaha kecil sangat penting dilakukan mengingat usaha kecil memiliki fungsi sosial ekonomi. Proporsi usaha skala kecil sebesar 99% dari seluruh unit usaha dan

Pengukuran Efisiensi Teknis .. (Ihwan S. & Muzakar Isa) : 19 - 29

mempunyai daya serap tenaga kerja sangat besar (Tambunan, 2001). Usaha kecil memberikan kontribusi yang besar bagi kesempatan kerja dan pendapatan, khususnya di daerah perdesaan dan bagi keluarga berpendapatan rendah. Usaha kecil memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan di Indonesia (Kuncoro dan Wijayanto, 2001). Usaha kecil juga berperan sebagai salah satu motor penggerak yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi dan komunitas lokal. Selain itu, usaha kecil memiliki peranan sebagai salah satu faktor utama pendorong perkembangan dan pertumbuhan ekspor non-migas. Industri kecil juga merupakan industri pendukung usaha berskala besar dengan memainkan perannya sebagai pembuat komponen-komponen melalui keterkaitan produksi (Tambunan, 2001). Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, industri kecil harus berusaha keras untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan mutu produknya dan meningkatkan efisiensi dalam produknya. Industri kecil memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis, meskipun jika dilihat dari indikator-indikator makro, yaitu tingkat inflasi, tingkat bunga, dan perkembangan pertumbuhan ekspor, daya saing produk Indonesia masih rendah. Dua hal pokok sebagai penyebab rendahnya daya saing adalah efisiensi relatif rendah dan masalah ekonomi biaya tinggi. Selain alasan tersebut, daya saing produk industri Indoneisa masih rendah karena kualitas dan kuantitas serta kontinuitas persediaan produk industri sebagian besar belum memenuhi syarat perdagangan dunia.

Untuk mendukung daya saing produk industri, sebenarnya pemerintah telah banyak melakukan berbagai kebijakan, baik yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan yang bergerak pada sisi permintaan dan kebijakan yang bergerak pada sisi penawaran. Selama ini kebijakan usaha kecil terlihat lebih menonjol pada sisi penawaran, yaitu kebijakan yang bergerak pada sisi permodalan, khususnya perkreditan, kebijakan pengembangan kelembagaan bagi usaha kecil, dan kebijakan dalam pengembangan SDM dalam bentuk pelatihan. Sedangkan jenis kebijakan sisi permintaan antara lain berbentuk kebijakan anti monopoli, kebijakan harga minimum, kebijakan investasi, kebijakan perdagangan yang mempengaruhi ekspor dan impor, serta kebijakan moneter yang mempengaruhi jumlah dan bunga kredit konsumsi belum banyak dilakukan (Haryadi, dkk, 1998). Indonesia memiliki beberapa daerah potensial hasil industri. Salah satunya di Propinsi Jawa Tengah. Di wilayah ini, industri mebel kayu merupakan komoditas utama ekspor non-migas, setelah kayu lapis dan tekstil. Kabupaten Klaten merupakan sentra industri mebel kayu terbesar kedua setelah Kabupaten Jepara. Usaha mebel kayu di Kabupaten Klaten merupakan komoditi unggulan daerah, selain genteng dan keramik, pakaian jadi, cor logam, pande besi, dan tembakau. Sentra industri mebel Serenan merupakan sentra industri mebel terbesar di Kabupaten Klaten, dimana 75% penduduknya bekerja sebagai pengrajin. Sisanya bekerja sebagai PNS, petani, dan usaha dagang atau wiraswasta. Meskipun telah memiliki

20 BENEFIT, Vol. 11, No. 1, Juni 2007

pekerjaan utama, mereka tetap melakukan kerja sambilan sebagai pengrajin mebel. Secara umum dilihat dari berbagai indikator industri, usaha mebel di Serenan Kabupaten Klaten Tahun 2000-2004 mengalami penurunan. Pertumbuhan jumlah unit usaha mebel di Serenan tahun 2002-2004 negatif, berturut-turut sebesar -23,96%, -14,53%, dan -2,87%. Dari sisi pertumbuhan jumlah tenaga kerja, tahun 2000-2004 berfluktuasi, sedangkan tahun 2003-2004, pertumbuhan tenaga kerja mencapai angka negatif, berturut-turut sebesar -56,38% dan -5,34%. Begitu juga pertumbuhan nilai investasi tahun 20002004 yang juga fluktuatif, dan tahun 2004 pertumbuhan nilai investasi negatif sebesar -28,09. Hal yang sama juga dialami kondisi nilai produksi mebel. Pada tahun 2002-2004, pertumbuhan nilai produksi mebel negatif sebesar -0,59, -47,35 dan 6,79 (Disperindagkop dan Penanaman Modal Kabupaten Klaten, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diperkirakan terdapat in-efisiensi dalam pengelolaan usaha mebel di Serenan. Untuk itu, perlu dilakukan pengukuran tingkat efisiensi usaha sehingga akan ditemukannya faktor-faktor penyebab penurunan usaha mebel. Hasilnya akan dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk untuk meningkatkan kinerjanya. Tulisan ini menyajikan hasil analisis tingkat efisiensi teknis usaha mebel di Serenan Kabupaten Klaten tahun 2006. Efisiensi teknis didasarkan pada faktor bahan baku, modal, pendidikan pengusaha, pengalaman kerja dan tenaga kerja. Hasil penelitian ini memberikan tambahan wawasan bagi pengrajin dalam mensikapi kemungkinan timbulnya permasalahan dan

pengambilan kebijakan dalam peningkatan kinerjanya. Hasil penelitian ini juga akan dapat menjadi tambahan masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pembangunan sektor industri, khususnya sub sektor industri mebel. Dalam kajian teori, produksi adalah suatu proses mengubah input menjadi output sehingga nilai barang tersebut bertambah (Sudarsono,1995), membedakan produksi menjadi dua, Pertama, produksi secara ekonomis dan yang kedua, produksi secara teknis. Secara ekonomis, produksi didefinisikan sebagai kegiatan untuk menaikkan nilai tambah pada suatu barang, baik melalui penambahan guna bentuk (form utility), guna waktu (time utility), dan guna tempat (place utility). Sedangkan secara teknis, produksi adalah hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil produksi. Produksi akan menghasilkan harga yang kompetitif dan laba yang maksimal apabila dilakukan dengan efisien. Secara sederhana, produksi yang efisien adalah produksi yang dapat menghasilkan produk yang optimal. Efisiensi adalah rasio antara output dengan input. Dari definisi tersebut, terdapat tiga situasi yang dapat dikategorikan sebagai produksi yang efisien. Pertama, apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar. Kedua, apabila dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan yang terakhir dengan input yang lebih besar menghasilkan output yang lebih besar (Lipsey, 1995). Salah satu cara mengukur efiensi secara teknis adalah menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Menurut Wimboh dkk, (2003) dan Kurnia (2005), (DEA) merupakan ukuran efisiensi relatif,

21 Pengukuran Efisiensi Teknis .. (Ihwan S. & Muzakar Isa) : 19 - 29

baik antar organisasi yang berorentasi laba maupun tidak, yang mengukur in-efisiensi unit-unit usaha yang dibandingkan dengan unit lain yang dianggap paling efisien dalam set data yang ada. Dalam analisis DEA, dimungkinkan beberapa unit mempunyai tingkat efisiensi 100% yang artinya bahwa unit tersebut merupakan unit yang terefisien dalam set data tertentu dan waktu tertentu. Analisis DEA didesain secara spesifik untuk mengukur efisiensi relatif suatu unit produksi dalam kondisi terdapat banyak input maupun banyak output, yang biasanya sulit disiasati secara sempurna oleh teknik analisis pengukuran efisiensi lainnya (Alvarez and Crespi, 2003). Menurut Wimboh dkk (2003), keuntungan analisis efisiensi menggunakan DEA adalah karena DEA dapat melihat sumber ketidaksfisienan dengan ukuran peningkatan potensial dari masing-masing input. Dalam kasus produksi yang hanya melibatkan dua input dan satu output, efisiensi dapat digambarkan secara grafis sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Garis efficient frontier yang diperoleh melalui analisis DEA menghubungkan unit kegiatan Ekonomi (UKE) 1, 2, 6 dan 4 (K1, K2, K6, dan K4). Artinya UKE 1, 2, 6, dan 4 adalah UKE yang produksinya efisien (terletak pada garis efficient frontier) dan merupakan UKE acuan. Nilai efisiensi UKE yang efisien adalah satu. Sedangkan UKE 3, 5 dan 7 adalah UKE yang tidak efisien dibandingkan UKE acuan karena berada di luar garis efficient frontier yang lainnya < 1. Nilai efisiensi bagi UKE yang tidak efisien misalnya UKE 3 (K3) adalah rasio antara garis OK3/OK3 yang nilainya <1.

bagi UKE 3 yang tidak efisien kebijakan yang bisa diambil untuk meningkatkan efisiensinya adalah dengan menurunkan rasio input2/output dan input1/output menuju titik K3 dimana nilai K3 diperoleh melalui rata-rata tertimbang input1/output dan input2/output pada titik-titik (K1, K2, K6, dan K4). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan dapat disimpulkan bahwa 38,7% usaha mebel di Serenan sudah efisien dan 61,3% tidak efisien dengan nilai rata-rata efisiensi teknis usaha mebel sebesar 68,69. Hasil studi menunjukkan bahwa usaha mebel di Serenan belum mencapai tingkat efisiensi teknis. Untuk meningkatkan usaha mebel di Serenan masih terus diharapkan adanya pembinaan dari pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga lain yang terkait, yaitu dengan cara penambahan modal, pelatihan manajemen produksi, SDM, keuangan dan pelatihan pemasaran dan lain sebagainya sehingga diharapkan dapat memperbaiki efisiensi teknisnya. Peneliti menyadari bahwa penelitian yang dilakukan ini masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain variabel yang dianalisis dalam penelitian ini belum termasuk variabel kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan pengrajin, sehingga belum menggambarkan faktor-faktor yang berperan secara utuh dalam usaha mebel. Oleh karena itu untuk bisa menggambarkan peran dari faktor-faktor produksi diperlukan faktor sosial ekonomi dan faktor lingkungan. Selain itu dalam penelitian ini hanya dilakukan pengamatan secara sesaat saja (cross section) pada tahun
22 BENEFIT, Vol. 11, No. 1, Juni 2007

2006, sehingga kurang dapat menangkap sebaran keragaman data. DAFTAR PUSTAKA Alvarez R. and Crespi G. 2003, Determinant of Technical Efficiency in Small Firms, Netherlands: Small Business Economics, 20: 233-244 Badan Pusat Statistik, 2004. Indikator Makro Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2003. http://www. bps. go.id

UKM dalam Era AFTA: Peluang, Tantangan, Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Jakarta: Yayasan Indonesia Forum LPFE-UI
Wimboh Satoso, Muliaman D. Hadad, Dhaniel Ilyas, Uegenia Mardanigraha, 2003, Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Nonparametrik DEA, www.bi. go.id

Perindustrian, Perdagangan, Dinas Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Klaten, 2005. Data Industri Kecil dan Daftar Potensi Sentra
Haryadi, D.,, Erna Ermawati, dan Maspiyati, 1998. Tahap Perkembangan Usaha Kecil, Dinamika dan Peta Potensi Pertumbuhan, Bandung: Yayasan Akatiga

Kurnia, Ahmad Syakir, 2005, Data Envelopment Analysis untuk Pengukuran Efisiensi, Materi Workshop Alat Analisis, MIESP-UNDIP, Maret
Kuncoro, Mudrajad dan Widjajanto, 2001, Analisis Pofil dan Masalah Industri Kecil dan Rumah Tangga, Studi Kasus di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 6. No 1 Lipsey, R.G., dkk, 1995, Pengantar Mikro Ekonomi, Jilid 1, Edisi 10, Alih Bahasa Wasana, A.J. Jakarta: Binarupa Aksara Sudarsono, 1995. Pengantar Mikro. Jakarta: LP3ES Ekonomi

Tambunan, Tulus, 2001, Perkembangan


23 Pengukuran Efisiensi Teknis .. (Ihwan S. & Muzakar Isa) : 19 - 29

Anda mungkin juga menyukai