Anda di halaman 1dari 11

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman Ukuran Buku Sampul

: OTONOMI DAERAH & DESENTRALISASI : Utang Rosidin, SH., MH. : CV. Pustaka Setia : 2010 : 426 Halaman : 24 x 16 cm : Hitam, Coklat Setelah meraih gelar kesarjanaannya, pada tahun 2004

Riwayat Pengarang.

penulis memulai karir mengembangkan ilmu di perguruan tinggi sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, selain itu juga tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Syamsul Ulum Sukabumi, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persis, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis Garut, serta sejak tahun 2009 tercatat sebagai tenaga pengajar pada Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Pangkalpinang Kepulauan Bangka Belitung. Di sela-sela kesibukannya memberikan kuliah di beberapa perguruan tinggi, penulis menyempatkan diri untuk terlibat di beberapa organisasi diantaranya pada Lajnah Bantuan Hukum (LBH) Persatuan Islam Kab. Garut di Lembaga Bantuan hukum (LBH) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati serta di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Sukabumi. 9. Isi Buku.

BAB I PENDAHULUAN

Secara etimologi, kota pemerintahan berasal dari kata pemerintah, kata pemerintah sendiri berasal dari kata perintah yang berarti menyuruh melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kata pemerintahan sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu government yang diterjemahkan sebagai pemerintah dan pemerintahan. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa government tidak selalu memiliki makna pemerintahan, Samuel Edward Finer mengartikan kata tersebut sebagai publik servant yakni pelayanan. Penggunaan kata government dalam bahasa Inggris juga sering menimbulkan

kesalahpahaman. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kata itu mengandung dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Keduanya dipengaruhi oleh tradisi pemerintahan yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu

diperjelas perbedaan mendasar antara pengertian bentuk Negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan. Ketiga istilah tersebut sebaiknya tidak dipertukarkan satu sama lain, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam praktiknya. Perbincangan

mengenai bentuk Negara terkait dengan pilihan-pilihan antara bentuk Negara kesatuan, bentuk Negara serikat dan bentuk konfederasi. Perbincangan mengenai bentuk

pemerintahan berkaitan dengan pilihan antara lain bentuk kerajaan (monarki) yaitu Negara yang dikepalai oleh seorang raja dan besifat turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup dan bentuk republik, yaitu negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala Negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu dan biasanya Presiden dapat dipilih kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. terdapat beberapa pilihan Sedangkan menyangkut sistem pemerintahan sistem

antara lain sistem pemerintahan presidensial,

pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan campuran dan sistem pemerintahan collegial seperti Swiss. Dari konsep-konsep tersebut, Bangsa Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 cenderung mengidealkan bentuk Negara Kesatuan, bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan presidensial. BAB II OTONOMI DAERAH DAN FEDERASI

Sebagai konsekuensi dari Negara kesatuan, Negara Republik Indonesia membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah yang terdiri atas daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota. Daerah-daerah ini saling berhubungan erat dengan pemerintah pusat. Sekalipun demikian, daerah-daerah tersebut diberi kewenangan untuk menyelenggarakan

pemerintahannya sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Sebagai suatu Negara kesatuan, Indonesia menyelenggarakan sistem otonomi daerah, dengan beberapa pertimbangan berikut :

a.

Pertama, persiapan ke arah federasi Indonesia masih belum memungkinkan.

Untuk mewujudkan sebuah Negara federasi, masyarakat dan pemerintah harus mempersiapkan konstitusi federasi yang mencakup antara lain mekanisme, check and balances antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Mekanisme

check and balances juga harus mencakup antara pemerintah nasional dan provinsi atau Negara bagian, serta antara provinsi yang satu dan provinsi yang lainnya. Definisi yang menyangkut self rule sebuah provinsi harus jelas. Selain itu, setiap

provinsi atau Negara bagian harus memiliki konstitusi Negara bagian yang mengatur mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Negara bagian, termasuk hubungan antara Negara bagian atau provinsi dengan kabupaten atau kota. Dengan kondisi seperti ini, tidak realistis kalau Negara ini memiliki Negara federasi sebagai pengganti dari bentuk Negara kesatuan. Selain itu, untuk memberlakukan sebuah federasi, sejumlah persyaratan juga harus dapat dipenuhi, terutama yang menyangkut perwujudan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena federasi tanpa demokrasi yang stabil akan sangat sulit dapat terwujud. Pengalaman di berbagai Negara berbentuk federasi telah memperlihatkan hal itu. Amerika

Serikat, Kanada, Australia, dan lainnya adalah negara-negara yang sudah stabil demokrasinya.

b.

Kedua, pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam

rangka memelihara nation state (Negara bangsa) yagn sudah lama dibangun dan dipelihara. Dengan otonomi, harkat, martabat dan harga diri masyarakat di daerah yang selama puluhan tahun telah mengalami proses marginalisasi, bahkan merupakan alienasi dalam segala bentuk pembuatan kebijaksanaan publik, dapat dihargai. Segala bentuk kebijaksanaan publik yang bersifat nasional ditentukan oleh sekelompok kecil orang di pemerintah pusat, sementara masyarakat di daerah diwajibkan untuk menyukseskannya dalam proses implementasi kebijaksanaan tersebut.

c.

Ketiga, sentralisasi terbukti gagal mengatasi krisis nasional yang terjadi pada Ekonomi Indonesia mengalami kehancuran total dengan segala

tahun 1997.

implikasinya. Pemerintah memasuki arena global yang sebenarnya tidak siap untuk diikuti. Krisis ekonomi telah membawa dampak yang sangat buruk terhadap

kehidupan politik nasional, demikian juga sebaliknya yaitu sistem politik yang otoritarian mengakibatkan konsentrasi sumber daya ekonomi hanya berkisar pada segelintir orang yang ada di pemerintah pusat akibat tidak adanya control yang membatasi kekuasaan. Oleh karena itu, otonomi daerah merupakan pilihan yang baik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dengan diberlakukannya desentralisasi, daerah akan menjadi kuat. Kalau daerah sudah kuat, Negara pun akan kuat. Adanya desentralisasi memunculkan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan usaha yang baru di daerah-daerah.

d.

Keempat, pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa penguatan politik

local akan menjadi sangat rapuh karena sebuah demokrasi tidak mungkin dibangun dengan hanya memperkuat elite politik nasional. Otonomi daerah akan memperkuat basis bagi kehidupan demokrasi dalam sebuah Negara, termasuk Indonesia. Kalau masyarakat di daerah sudah terbiasa dengan proses yang terbuka, terbiasa terlibat dalam mekanisme membuat kebijakan publik didaerahnya, begitu ada peluang untuk ikut berperan dalam politik nasional, mereka tidak akan canggung untuk menghadapinya. Oleh karena itu, politik tidak seharusnya didominasi orang-orang di kota-kota besar.

e.

Kelima, keadilan. Otonomi daerah akan mencegah mengalirnya kepincangan

dalam menguasai sumber daya yang dimiliki dalam sebuah Negara. Sumber daya daerah seharusnya dipelihara, dijaga dan dinikmati oleh masyarakat setempat. Tanah dan hutan dengan segala hasilnya yang merupakan hak warisan dari kalangan nenek moyang suatu masyarakat mesti dinikmati oleh masyarakat setempat. BAB III SEJARAH PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya telah dimulai sejak masa pendudukan kolonialis Belanda sampai dengan sekarang di masa pemerintahan pasca reformasi. Pada masa pemerintahan pasca reformasi atau periode Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, banyak perubahan (revisi) terhadap peraturan perundangundangan sebagai salah satu program reformasi dibidang hukum adalah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun sistem hukum nasional, yang diselaraskan dengan arah kebijakan pembangunan hukum yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 yaitu sebagai berikut :

a.

Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan peraturan

perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan local dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional.

b.

Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan

dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran.

c.

Meningkatkan budaya hukum, antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi

berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala Negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.

Dalam rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 10 ditegaskan pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam urusan pemerintahan tersebut, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemeritah kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa. Hal lain yang membedakan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Pemda sebelumnya adalah ketentuan yang mengatur pemilihan kepada daerah. Dalam UU ini, pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut, yang terdapat pada pasal 56 s.d. 119. Hal ini dilakukan karena pengaruh dari sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama mengenai pemilihan kepala Negara. Ketentuan ini merupakan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi yang merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat terjadinya amandemen UUD 1945.

BAB IV REFORMASI KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

Amandemen UUD 1945 memaknai reformasi birokrasi sebagai penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur pemerintah, baik pada tingkat pemerintah pusat maupun penyelenggara pemerintah di daerah. Pendekatan reformasi birokrasi berdasarkan amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistematik yang secara konseptual lebih mengutamakan komprehensi dibandingkan eksistensi. Secara sistematik, keempat dimensi aspke yang perlu ditata ulang melalui rekomendasi kebijakan yaitu kebijakan restrukturisasi, kebijakan rasionalisasi dan relokasi, kebijakan simplifikasi dan otomatisasi serat kebijakan dekulturisasi menyentuh seluruh elemen dalam sistem birokrasi melalui berbagai rekomendasi kebijakan pembenahan. reformasi telah diarahkan secara tepat pada sasaran yang perlu dibenahi. Reformasi birokrasi yang pertama kali dilaksanakan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia adalah pada era pemerintahan Soekarno tepatnya pada tahun 1962 yaitu dengan dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Panitia ini dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut kandas sebab intervensi politik pada saat itu terlalu mengooptasi dalam birokrasi sehingga bias peran birokrasi semakin mengemuka. Selanjutnya pada era pemerintahan Soeharto tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 75, dibentuk tim penertiban aparatur dan administrasi pemerintahan atau yang dikenal dengan Tim PAAP. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1974 melalui Kabinet Pembangunan I Artinya, upaya

dengan dibentuknya kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (Menpan) yang membidangi secara khusus pembenahan administrasi dan birokrasi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan partai Golkar

dan militer. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Bisa dibayangkan bagaimana Golkar dengan instrumen politik yang mapan saling menguatkan dengan birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian mendapat dukungan dari kekuatan militer. Ketiga serangkai tersebut menjelma menjadi kekuatan sosial politik yang sulit ditandingi di Republik ini pada masa tersebut. Hal inilah yang membuka peluang bagi mereka untuk melakukan inefisiensi penggunaan anggaran engara. Pelayanan yang diberikan birokrasi pada masa Orde Baru mendapat banyak sorotan, terutama perlakuan istimewa terhadap daerah konsisten Golkar. Akan tetapi,

kondisi antiklimaks kemudian muncul pada tahun 1997-an dimana nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar. Situasi perekonomian yang menjadi pilar kekuatan orde baru menjadi tidak menentu. Dalam perkembangan pemerintahan berikutnya seperti Kabinet Persatuan

Nasional, Kabinet Gotong Royong ataupun Kabinet Indonesia Bersatu, upaya reformasi birokrasi belum juga menemui harapan publik yang optimal. Berbagai kendala

bermunculan mulai dari hal-hal yang bersifat politis sampai pada hal-hal yang bersifat praktikal.

BAB V PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

World Bank mendefinisikan kata governance sebagai the way state power is used in managing economic and sosial resources for development society. Pengertian ini

menggambarkan bahwa governance adalah cara, yakni cara kekuasaan Negara untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis. Sejalan dengan pendapat tersebut, UNDP mengemukakan definisi sebagai penggunaan atau pelaksanaan yaitu penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administrative untuk mengelola masalahmasalah nasional pada semua tingkatan. Disini, titik tekannya pada kewenangan,

kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berdasarkan pengertian tersebut, menurut UNDP governance didukung oleh tiga kaki yaitu politik, ekonomi dan administrasi. Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak aktifitas dibidang ekonomi, sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subyek dari sektor pemerintah maupuns sektor swasta. Hal ini karena didalam

masyarakatlah terjadi interaksi baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Berkaitan dengan good governance, UNDP mengajukan Sembilan karakteristik yang meliputi : a. hak Partisipasi. Sebagai pemilik kedaulatan setiap warga Negara mempunyai dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara,

berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lainnya. Syarat utama bagi warga Negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan yaitu :

1) 2) 3)

Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan). Ada keterlibatan secara emosional. memperoleh manfaat secara langsung ataupun tidak langsung dari

keterlibatannya. b. Penegakan Hukum. Salah satu persyaratan kehidupan demokrasi adalah

adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan

hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarkhi. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah

membangun system hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.

c.

Transparansi.

Salah

satu

karakteristik

good

governance

adalah

keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek

aktifitas yang menyangkut kepentingan public, dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana public sampai pada tahapan evaluasi. d. Daya Tanggap. Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada

sector public yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang

diberikan oleh sector public, secara periodic perlu dilakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen.

e.

Berorientasi Pada Konsensus.

Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan

bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu konflik dan consensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan

ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan consensus, yang dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan consensus yang telah diputuskan bersama. Consensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui musyawarah untuk mufakat.

f.

Keadilan. Melalui prinsip good governance, setiap warga Negara memiliki Akan tetapi, karena

kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan.

kemampuan masing-masing warga Negara berbeda-beda, sector public harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan. g. Efektif dan Efisiensi. Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam

percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan efektifitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektifitas dan

efisiensi terutama ditujukan pada sector public karena sector ini menjalankan aktifitasnya secara monopolistic tanpa kompetisi tidak aka nada efisiensi.

h.

Akuntabilitas.

Setiap aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan public

perlu mempertanggungjawabkannya kepada public. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang saham yaitu masyarakat luas. Secara teoritis akuntabilitas dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu akuntabilitas organisasi, legal, politik, professional dan moral. i. Visi Strategis. Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain

dalam good governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan Negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan antara visi jangka panjang antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek sekitar 5 tahun.

BAB VI PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI PEMERINTAH DAERAH DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERUBAH-UBAH

Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Didalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai

institusi hukum dan politik, mulai tingkat pusat sampai tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai UUD 1945 sampai tingkat peraturan desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berfikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai tuntutan perkembangan zaman. Untuk mendukung berbagai upaya yang dilakukan ke arah itu, perencanaan dan pembangunan hukum harus dititikberatkan pada langkah-langkah strategis dalam meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup materi atau substansi hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, serta meningkatkan struktur atau kelembagaan hukum yang juga mencakup aparatur hukum dan budaya hukum. Ketiga aspek ini

dianggap sebagai bagian-bagian yang satu sama lain saling terkait dan menjadi subsistem dari system hukum nasional yang akan kita bangun. Seiring dengan hal itu, sejak reformasi telah terjadi pergeseran pelaksanaan kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang bergulir sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, walaupun dalam perjalanannya menghadapi berbagai

permasalahan yang diantaranya adalah dari segi legal (peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten), administrasi (ketidakjelasan peran kepala daerah, pembagian urusan baik pilihan maupun wajib di daerah, hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pemekaran daerah, pilkada). Untuk menyikapi permasalahan tersebut, dilakukan perubahan-perubahan terutama yang berkaitan dengan pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah yang dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi UU, kemudian ditetapkan juga perubahan kedua terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan ditetapkannya UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai