Anda di halaman 1dari 22

RELEVANSI EPISTEMOLOGI KEILMUAN INTEGRATIF-INTERKONEKTIF AMIN ABDULLAH BAGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Suharyanta Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Sutarman Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Abstract Amin Abdullah is the founder of the so-called integration-interconnection paradigm. Of the importance of this paradigm as it is a solution to the problem of concrete-blocks separating various disciplines, bridging the multiple academic approaches, mainly in Islamc studies. It is argued that the paradigm is an answer to the problem of imbalance connection within knowledge and offers a dynamic, equal and well-contextualised knowledge. Amin Abdullah adalah peletak paradigma integrasi-interkoneksi. Paradigma interkonektif-integratif ini dapat dipahami sebagai upaya membangun jembatan keilmuan berbagai disiplin, baik agama, sosial, humaniora, maupun kealaman. Artikel ini membahas signifikansi paradigma integrasiinterkoneksi, sebagaimana dikemukakan Amin Abdullah, dalam konteks pengembangan disiplin kajian Islam. Penulis berpendapat bahwa paradigma integrasi-interkoneksi merupakan jawaban atas persoalan dikotomi keilmuan yang kaku serta menjadi jembatan keilmuan yang lebih dinamis, egaliter dan kontekstual. Kata Kunci: Amin Abdullah, Integrasi-Interkoneksi, Pendidikan Islam

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

A. Pendahuluan Sebagai upaya meningkatkan kualitas kepribadian manusia, pendidikan nilai-nilai agama merupakan salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Pendidikan agama akan memberi warna bagi peningkatan iman dan takwa dalam upaya mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan teknologi yang dibarengi dengan kualitas iman dan takwa diharapkan menghasilkan cendekiawan muslim yang memiliki rasa tanggung jawab dalam kehidupan dunia sebagai ranah menuju pertanggungjawaban kehidupan akhirat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilepaskan dari dimensi agama ataupun sebaliknya, cenderung mensekularisasikan nilai-nilai agama dengan berbagai kepentingan duniawi. Pemahaman tersebut mengakibatkan adanya sikap yang mengarah pada pengambilan sekat atau jarak untuk memberikan ruang yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga dilihat dari sudut pandang ini antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan sangat sulit disatukan dengan metode dan cara tertentu. Agama dipahami hanya mengurusi wilayah-wilayah illahiyah dan ibadahibadah mahdah, sedangkan ilmu pengetahuan dipahami berada di luar dimensi wilayah keagamaan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan agama sudah selayaknya berjalan di atas ranah kognitif dengan melibatkan ranah afektif dan psikomotorik. Peran yang dilakukan oleh pendidikan agama Islam dalam dunia akademik tidak hanya diletakkan dalam lingkup pembenaran (context of justification), melainkan yang lebih penting lagi diletakkan dalam lingkup penemuan (context of discovery), visi baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi, dalam dunia perguruan tinggi, pendidikan agama bukan hanya melakukan pengulangan-pengulangan aspek ritual keagamaan semata, namun harus lebih berperan sebagai warna baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sungguh-sungguh bermanfaat dalam rangka menciptakan kondisi umat manusia yang maju dan beradab. Karena itu, rekonstruksi keilmuan menjadi kata kunci untuk menjawab persoalan pendidikan agama dan realitas historis yang berjalan dengan cepat. Tulisan ini membahas pemikiran Amin Abdullah mengenai epistemologi keilmuan integratif dan interkonektif dan signifikansinya dalam menjawab tantangan penerapan pendidikan Islam di perguruan
56 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

tinggi serta problematika sosial budaya kontemporer. B. Biografi Amin Abdullah Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Lulus dari SD Negeri Margomulyo pada tahun 1966, Amin Abdullah, kemudian melanjutkan studinya di Kulliyat al-Muallimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo (lulus pada tahun 1972), dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) (lulus pada tahun 1977). Selepas pendidikan di Gontor, Amin Abdullah melanjutkan pendidikanya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (lulus tahun 1982) dan kemudian, dengan beasiswa Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, dia bersekolah melanjutkan program doktor dalam bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1985-1990) dan kemudian, pada tahun 1997-1998, dia mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989). Selain publikasi, kompetensi akademik Amin Abdullah juga tampak dalam aktifitas akademik yang dia ikuti, seperti Seminar internasional yang diikuti, antara lain: Kependudukan dalam Dunia Islam, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992, tentang Dakwah Islamiyah, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 57

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

Langkawi, Januari 1994; Islam and 21st Century, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; Quranic Exegesis in the Eve of 21st Century, Universitas Leiden, Juni 1998, Islam and Civil Society: Messages from Southeast Asia, Tokyo Jepang, 1999; al-Tari>h} al- Islami>y wa Azamah al-huwaiyah, Tripoli, Libia, 2000; International anti-corruption conference, Seol, Korea Selatan, 2003; Seminar New Horizon in Islamic Thought, London, Agustus, 2003; Gender issues in Islam, Kuala Lumpur, Malaysia, 2003; Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003. Interfeith Dialogue: Conflict and Peace, The Luthern World Federation (LWF) Kopenhagen Denmark, Oktober 2003; New Direction of Islamic Thought and Practice: Equality and Plurality, Yogyakarta, Indonesia, Juni 2004; Religious Harmony: Problems, Practice and Education, Yogyakarta, Indonesia, Oktober 2004; The Idea (L) of an Indonesian Islamic University: Contemprary Perspectives, Yogyakarta, Indonesia, 9-11 Desember 2004; University Teaching of Islamic Studies at the International Level: Concept, Policy and Trends, Songkla, Southern Thailand, 19-20 Maret 2005;International Rudolf-Otto-Symposion, Philipps Universitat Marburg, Jerman, 8-10 Mei 2005. Ketika kuliah di Turki, Amin Abdullah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987. Pada masa liburan musim panas, dia pernah bekerja part-time pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1998), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Tahun 19931996, dia menjabat Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) IAIN Sunan Kalijaga dan pada Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat dari IAIN Sunan Kalijaga. Dari tahun, Amin Abdullah 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga.Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode kedua. Sementara itu, dalam organisasi kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam,
58 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005). Kini, disamping sebagai mengajar di beberapa universitas, seperti di Fakultas Ushuluddin dan Program Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Universitas Gajah Mada, Amin Abdullah juga menjabat sebagai staf ahli Menteri Agama Republik Indonesia (2011-). C. Kerangka Pengetahuan Islam: Historis dan Normatif Amin Abdullah menyebutkan bahwa Islam harus diletakkan dalam dua dimensinya, yaitu normativitas dan historisitas. Aspek normativitas ditekankan pada ajaran wahyu yang berupa teks-teks keagamaan, sedangkan sisi historisitas terletak pada pemahaman dan bagaimana orang atau kelompok orang melakukan interpretasi terhadap aturan-aturan agama yang menjadi pilihannya yang kemudian menjadi aktivitas kesehariannya. Namun, menurut Amin Abdullah, aspek normatif dan historis kerap berjalan secara timpang. Misalnya, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya. Akibatnya, manusia terpinggirkan dari kandungan nilai spiritualitas-moralitas dan terasing dari aspek-aspek kehidupan yang menopang kehidupannya. Akibatnya, proses dehumanisasi secara massif dalam berbagai aspek kehidupan dalam keberagamaan maupun aplikasi keilmuan terjadi. Akan tetapi, seiring perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan yang semakin kompleks, dikotomi radikal normatifitas dan historisitas mengalami shifting paradigm. Artinya, rumusan-rumusan pemikiran keilmuan yang telah ada mengalami perubahan wacana keilmuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman yang terus mengalami perubahan. Dalam pandangan keilmuan keislaman perubahan pemikiran ini tidak perlu dikhawatirkan karena inti pemikiran keilmuan keislaman merupakan sumber yang tidak akan tenggelam oleh berkembangnya arus zaman karena langsung bersumber dari fitrah manusia berupa nilai-nilai tauhid bersendikan pada kandungan sisi internal kitab suci al-Quran. Pada saat yang sama, tuntutan pembatasan dogmatisme dan ortodoksi yang membatasi kebebasan berpikir dan modernitas haruslah diakhiri
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 59

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

semakin menguat, digantikan dengan pemikiran mengintegrasikan tradisi dan modernitas. Karena itu, bagi Amin Abdullah, tiga pendekatan penting untuk memahami Islam, yakni pendekatan doktrinal-normatif, kultural-historis dan kritis-filosofis. Pendekatan doktrinal-normatif merupakan pendekatan klasik yang mayoritas masih dipakai oleh institusi-institusi studi agama yang berupa pelajaran tentang teks-teks keagamaan, tradisi-tradisi yang tertuang dalam kitab-kitab suci yang kemudian dianggap memiliki sifat mutlak, sempurna dan wewenang universalitas. Pendekatan kulturalhistoris menekankan pada mempelajari agama dari segi prakteknya dalam ranah konteks budaya dan sejarah yang menyertainya dengan memakai ilmu-ilmu sosial yang dikembangkannya. Sedangkan pendekatan kritis filosofis adalah dengan merenungkan hubungan di antara agama yang bersifat normatif dan bersifat historis tersebut. D. Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan Amin Abdullah Paradigma sekularisme, utilitarianisme dan materialisme menjadikan ilmu pengetahuan modern kering karena mendesakralisasi agama. Dalam wacana yang lain, menurut Ahmad Khudori Saleh, munculnya keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang di anggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuwan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah yang merupakan fiqh produk abad pertengahan sehingga hal tersebut dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas pemikiran manusia, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. Sehingga memunculkan keilmuan baru modern yang tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid yang di kenal dengan istilah Islamisasi Ilmu Pengetahun, artinya dengan keilmuan baru tersebut umat Islam akan terbebaskan dari segala belenggu hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga memunculkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrah yang dibawa sejak awal. Pada sisi berbeda, sejarah perkembangan nilai-nilai budaya
60 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama berwujud asimilasi dan akulturasi mampu mengembangkan suatu masyarakat yang memiliki kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan pragmatis serta mampu merubah konstruksi berfikir manusia sehingga mampu membawa mereka ke arah peradaban yang lebih maju. Akan tetapi pada sisi lain dengan pengaruh kemampuan yang sama, juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilainilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat. Sebagai contoh positivisme yang lebih memiliki watak atau karakter yang bersifat materialistik yakni sains menolak hal-hal yang berkaitan dengan metafisis dan spiritual, karakteristik yang demikian sains dapat melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai-nilai keagamaan lainnya. Sehingga pemikir muslim transformatif, Kuntowijoyo memberikan konsep islamisasi sains terhadap sains-sains modern sebagai sebuah bentuk keseriusan dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Upaya ini di kenal dengan saintifikasi Islam. Meskipun demikian, setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan di nilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang konkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan. Berdasarkan identifikasi Hanna Djumhana Bastaman, setelah cukup lama berkembang, Islamisasi melahirkan beberapa bentuk pola pemikiran, mulai dari bentuk yang paling superfisial sampai dengan bentuk yang agak mendasar. Bastaman mengistilahkannya sebagai similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi. Adapun saintifikasi Islam lebih mengedepankan pada pengembangan paradigma al Quran ke dalam perumusan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini paradigma al Quran merupakan bangunan konstruksi
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 61

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

pemikiran pengetahuan yang memberikan pemahaman manusia terhadap realitas-realitas yang terjadi sesuai dengan bagaimana seharusnya realitas tersebut kesesuaiannya dengan pemahaman yang ada dalam al Quran. Dari pengamatan tersebut masih menampakkan jurang pemisah antara sisi norma dengan historis, agama yang pada dasarnya bersumber dari keimanan yang bersifat metafisik tidak begitu saja dapat dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang lebih bercorak empirik dan merupakan produk akal dan intelektual manusia. Amin Abdullah sebagai salah satu tokoh dalam ilmu filsafat dan pendidikan menawarkan sebuah paradigma keilmuan untuk lebih mendialogkan antara keduanya dengan tidak melupakan klasifikasi ilmu pengetahuan, status dan ontologinya, sebab merupakan basis bagi sebuah epistemologi. Keilmuan yang ditawarkan ialah paradigma interkomunikasi antar ilmu pengetahuan yang di kenal dengan keilmuan interkonektif-integratif. Paradigma interkoneksitas memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiriini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul yakni modest, humility dan humanis. Paradigma interkonektif-integratif ini dapat dipahami sebagai
62 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan untuk mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Dari uraian di atas, menunjukkan konsep keilmuan interkonektifintegratif menjadi upaya tindak lanjut yang lebih luas dari islamisasi ilmu pengetahuan dan saintifikasi Islam. Interkonektif-integratif menampilkan paradigm keleluasaan dalam membuka tabir-tabir antar disiplin keilmuan dan memberikan ruang komunikasi lebih mendalam dengan dilandasi kesadaran rendah hati dan rasa kemanusiaan dalam pengembangan bangunan-bangunan disiplin keilmuan. E. Konstruksi Epistemologis Amin Abdullah setidaknya terdapat lima isu penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang menjadi inti persoalan dalam konteks pemikiran Amin Abdullah, yaitu sumber dan Hakikat Pengetahuan, Alat Pengetahuan, Teori atau Metode Memperoleh Pengetahuan, Tolak Ukur Validitas Pengetahuan, Teori Kebenaran Pengetahuan. Setiap isu diulas pada diskusi berikut ini. 1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan Konsep pendidikan agama yang rahmatan li al-a>lami>n merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Kitab suci terbesar yang diturunkan oleh Allah SWT yakni al-Quran merupakan puncak dari segala desain ilmu yang di dalamnya tertuang segala aspek keilmuan sebagai petunjuk arah umat manusia dalam pengemban potensi yang dimiliki. Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 63

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

dalam segala aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana yang telah digariskan dalam ide dasar ajaran Islam, yakni Islam sebagai rahmatan li al-a>lami>n. 2. Alat Pengetahuan Dalam pandangan filsafat ilmu, segala macam aspek-aspek ilmu pengetahuan yang ada meliputi ilmu-ilmu sosial, ilmu alam maupun ilmuilmu keagamaan, dalam perkembangannya selalu mengalami dialektika keilmuan yang mengakibatkan adanya shifting paradigm (pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Hal ini erat kaitannya dengan kegiatan ilmu pengetahuan yang bersifat historis, dengan rancang bangun dari pemikiran manusia yang juga tidak dapat melepaskan dirinya dari sifat historis, maksudnya terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan begitu sangat dimungkinkan terjadinya dialog yang kemudian menampilkan sistem perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, munculnya teori-teori baru, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka
64 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

kegiatan keilmuan tidak akan berjalan dan mengakibatkan usangnya pengetahuan keilmuan itu sendiri. Oleh karena itu, dengan menggunakan bahasa dan pola berpikir yang disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia moderen era ilmu dan teknologi tanpa meninggalkan warisan khazanah intelektual Islam, dapat dijadikan sebagai pijakan pengetahuan manusia dalam mengikuti perkembangan paradigma kehidupan. Menurut hemat penulis, antara bahasa, pola berpikir dan diikuti dengan pengalaman dalam mengarungi hidup memang akan menentukan bagaimana arah perkembangan manusia. Sehingga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam proses kehidupan manusia, karena sejak awal manusia terlahir telah mendapatkan bekal untuk berbahasa dan berpikir dalam rangka pengembangan potensi untuk hidup berkemajuan. 3. Teori atau Metode Memperoleh Pengetahuan Dalam dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan, pertama, pengetahuan rasional (Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusdh); kedua, pengetahuan inderawi yang terbatas kepada klasifikasi sumber perolehan ilmu pengetahuan, belum ada filosof muslim yang mengembangkan teori ini seperti empirisisme di Barat, dan ketiga, adalah pengetahuan kasyf yang diperoleh lewat ilham. Metode perolehan ilmu lewat jalan pertama dan ketiga saat ini dirasakan masih yang dominan dalam dunia pemikiran Muslim. Sedang perolehan ilmu lewat cara yang kedua kurang mendapat perhatian yang layak, meskipun al-Quran sendiri memberikan ruang perolehan ilmu lewat indera sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dalam perjalanannya mencari Tuhan. Dengan memahami realitas bahwa perkembangan dunia Islam dalam sarana perolehan ilmu lebih pada pengetahuan rasional dan kasyf maka menurut Amin Abdullah sisi empiris perlu diletakkan secara proporsional positif dalam epistemologi Islam. Walaupun proses tersebut dirasakan memerlukan energi yang cukup besar karena telah berkembang sedemikian rupa di kalangan umat Islam. Dengan mengedepankan mentalitas semangat kritis empiris dan mempunyai semangat keingintahuan intelektual yang mendalam (curiosity) serta berupaya untuk merealisasikannya maka akan melahirkan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga diharapkan epistemologi islami akan lahir dan memberi produktivitas keilmuan yang
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 65

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

memberi jalan positif atas kegelisahan umat dewasa ini yang di nilai semakin memudar etosnya. 4. Teori Kebenaran Pengetahuan Sebelum sampai pada pengambilan sebuah teori kebenaran pengetahuan, Amin Abdullah sepintas melakukan telaah pergumulan ide-ide yang disampaikan oleh tiga tokoh filsafat, yakni Thomas S. Kuhn, Karl R. Popper dan Imre Lakatos, khususnya yang berkaitan dengan gagasan-gagasan mereka yang mengemuka dalam diskusi-diskusi tentang percaturan teori-teori ilmu, dan tumbuhnya teori-teori baru yang menantang teori-teori terdahulu dalam wacana ilmu pengetahuan. Ada dua aliran atau tradisi besar dalam filsafat ilmu yang menjadi istilah atau terminologi analitik dari para filosof, yakni tradisi yang bersifat naturalistik, dan tradisi humanistik. Ketiga pakar filsafat ilmu tersebut secara kritis analitis sepakat bahwa kekuatan inti yang dinamis, yang mendorong adanya kemajuan ilmu pengetahuan merupakan semangat dan etos dari para ilmuwan dan peneliti sendiri untuk memperbaiki, menyaring, menguji ulang, dan membatalkan teori-teori terdahulu dalam bidang studi yang terkait, dengan menggunakan metodologi-metodologi tertentu yang semakin objektif. Sehingga Amin Abdullah mengemukakan bahwa keseluruhan hasil pemikiran dan analisis keilmuan manusia dalam wacana ilmu pengetahuan harus selalu bersifat terbuka untuk dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga dapat dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang oleh siapapun yang menekuni basis keilmuan tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dapat menemui titik tujuan yang cemerlang jika ada usaha-usaha sebagai rintisan awal, dan di pihak lain ada gairah dari para ilmuwan dan peneliti untuk membuang dan menghindari kesulitan-kesulitan, anomali-anomali maupun inkonsistensi yang terdapat pada teori-teori terdahulu yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, melalui kegiatan ilmiah yang terencana dan disengaja untuk membuktikan kebenaran maupun kesalahan teori-teori terdahulu. Akan tetapi yang tidak dapat dipisahkan yakni adanya interaksi dan komunikasi antara satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain yang berada di luar domain tradisional yang menjadi pijakannya. Jadi, ilmu pengetahuan bersifat terbuka untuk dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang untuk
66 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

mendapatkan konsep pengetahuan yang lebih benar dan tepat dalam perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran manusia. 5. Tolak Ukur Validitas Pengetahuan Untuk menguji kesahihan sebuah pengetahuan, haruslah kemudian diuji kebenarannya agar dapat dijadikan sandaran dalam kehidupan. Adapun tolok ukur validitas pengetahuan menurut Amin Abdullah ada tiga, yaitu konsistensi, koherensi dan korespondensi. Konsistensi berasal dari bahasa latinconsitere yang berarti berdiri bersama. Jadi konsistensi artinya sesuai, harmoni, atau menurut pengistilahan teknik filsafat hubungan logis. Sebuah pengetahuan haruslah menghargai pengetahuan lain dengan memiliki hubungan terpadu antar pengetahuan. sementara itu, koherensi berasal dari bahasa latin cohaerere yang berarti lekat satu dengan lainnya. Koherensi yang dimaksud disini adalah satu poin ilmu harus terkait dengan poin ilmu yang lain, tidak terlepas sendiri-sendiri. Yang terakhir, korespondensi berasal dari dua kata latin, yaitu co yang berarti bersama, dan respondere yang berarti menjawab. Jadi korespondensi adalah praktis dari pengetahuan itu, yakni sama antara teori dengan praktik, antara konsep murni dan terapan. Dari ketiga kriteria yang menjadi tolok ukur filsafat ilmu tersebut, dapat dilihat apakah pengetahuan-pengetahuan dalam kurun sejarah tertentu mempunyai konsistensi, koherensi, dan korespondensi atau tidak. F. Bangunan Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif Amin Abdullah Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Amin Abdullah menawarkan konsep integralisme dan reintegrasi epistemologi keilmuan untuk dapat memberikan solusi konkret ketegangan-ketegangan antar sekulerisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang dipahami secara kaku oleh sebagian kalangan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep tersebut, berikut ini ilustrasi hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:

Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 67

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar di atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan, baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasiglobalisasi. Selain itu, memberikan wawasan pribadi manusia beragama Islam yang terampil menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan seterusnya dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmuilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora
68 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

(humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Quran dan as-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang manusia tersebut. Lebih lanjut, Amin Abdullah memberikan pemahaman dalam ranah pendidikan di perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum dan silabi dengan menggunakan pendekatan etos dan nafas reintegrasi epistemologi keilmuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pitfall atau jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa memiliki kepastian dalam wilayah sendiri-sendiri dan tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Yakni dalam menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah di UIN dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip (meminjam istilah konsep dari al-Jabiri) yaitu had}arah al-nas} (penyangga budaya teksbayani), had}arah al-ilm (teknik, komunikasi), dan had}arah al-falsafah (etik). Had}arah al-nas} memang tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari had}arah al-ilm dan had}arah al-falsafah dan begitu sebaliknya. Tiga prinsip tersebut diimplementasikan melalui perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga. Sebagai institusi pendidikan Islam, posisi IAIN memang terus mengalami perubahan, tidak saja karena perkembangan keilmuan yang terus mengalami pengayaan. Sebagai lembaga berafiliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat, sehingga orientasi keilmuaannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru, hanya saja menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Karena itu, dialog ketiga entitas di atas diskemakan dalam konteks perguruan Islam dan kerap disebut sebagai interconnected entities, yaitu disiplin yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, antara yang sekuler dan religious, yakng doktriner dan filsafat, seperti dijelaskan dalam skema berikut di bawah ini:
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 69

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

Skema Interconnected Entities

Skema tiga lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keislaman. Hal ini berarti jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.1 Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh tokoh pencetus ide
1

M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, hlm. 405

70 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja. Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran Islam. Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi kontroversi. Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional, pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.2 Sebenarnya, ilmu merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju ke jalan tugas utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan diajarkan dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut paradigma ini harus terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup sebagai khalifah maupun sebagai hamba Allah yang mencakup pengenalan area keilmuan, penekanan terhadap pemahaman potensi-potensi manusia yang dimiliki dan aplikasi dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan serta evaluasi hasil, adanya makna dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif dengan semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas tersebut.3 Pada akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam idealitas dan realitasnya diharapkan mampu membentuk pola pikir komunikatif-efektif yang dapat mencairkan pola pikir dikotomis dan memberikan suasana yang penuh damai antar disiplin keilmuan

Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 42-43 3 Machasin, Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman: Sebuah Catatan Kecil, Makalah Lokakarya Penyusunan Desain Keilmuan Integratif di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 9 Mei 2004, hlm. 3
2

Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 71

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

G. Relevansi Paradigma Integratif-Interkonektif bagi Ilmu Pendidikan Islam Islam mengajarkan kepada setiap umatnya agar bersikap seimbang, yakni memperhatikan kebutuhan hidup di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, spritual dan material, bersikap demokratis, toleransi (tasamuh), manusiawi, egaliter, inovatif, kreatif, berorientasi kedepan, menerima perubahan, sesuai dengan keadaan waktu dan tempat (s}alih li kulli zaman wa makan). Islam menentang setiap perbuatan yang bertentangan dengan ajaran tersebut. Adapun teknis pelaksanaan, bentuk dan artikulasinya dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia.Islam yang bercirikan demikian selain menjadi karakter pendidikan Islam, sekaligus menjadi tujuan dan prinsip pendidikan Islam.4 Dalam istilah yang lain tujuan pendidikan Islam tersebut dikenal untuk membentuk insan kamil (manusia paripurna).56 Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa relevansi dengan paradigma keilmuan interkonektif-integratif yang ditawarkan oleh Amin Abdullah terletak pada sikap demokratis, tasamuh, egaliter, berorientasi ke depan tanpa melupakan masa lalu, inovatif, menerima perubahan, dan bersikap dinamis yang terkandung. Adapun beberapa implikasi dari pemikiran epistemologi keilmuan interkonektif-integratif dalam dunia pendidikan diantaranya, pertama, keilmuan interkonektifintegratif membuka realitas bahwa bangunan-bangunan keilmuan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri secara kokoh sehingga hal ini memberikan cakrawala berpikir secara cerdas untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dari wacana individual menuju kebersamaan. Kedua, pemikiran teoantroposentris-integralistik memberikan kesadaran terhadap semua lini komponen-komponen pendidikan bahwa hard core pengetahuan ialah alQuran dan as-Sunnah, sehingga harus dijadikan pijakan dalam menyusun dan mengembangkan segala macam keilmuan. Dimana kemudian terjadi dialog antar disiplin ilmu yang akan semakin memperkuat keilmuan Islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada, yang pada akhirnya akan menghasilkan pribadi-pribadi sempurna
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 36 5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 134 6 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, hlm. 148
4

72 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

sebagaimana yang digariskan oleh tujuan pendidikan Islam. Ketiga, dengan adanya pemahaman bahwa teori kebenaran pengetahuan bersifat terbuka untuk dapat dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang maka memberikan peluang terhadap siapapun terutama pelaku-pelaku pendidikan Islam untuk secara terus menerus melakukan analisis yang mendalam terhadap konsep-konsep keilmuan yang ada sehingga mampu menampilkan teori-teori kebenaran pengetahuan yang lebih sempurna sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran manusia. H. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut: pertama, dalam realitas kehidupan masih ada pemahaman yang belum sinkron tentang hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum karena dipahami ilmu agama menempati ruang yang berbeda dengan ilmu-ilmu umum. Pemahaman tersebut mengakibatkan adanya sikap yang mengarah pada pengambilan sekat atau jarak untuk memberikan ruang yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga dilihat dari sudut pandang ini antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan sangat sulit disatukan dengan metode dan cara tertentu. Kedua, Amin Abdullah berusaha untuk meluruskan dan membenahi alur berfikir dikotomis atomistik melalui ide pendekatan interkonektif-integratif. Paradigma interkonektif-integratif dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Ketiga, untuk mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Keempat, sumber pengetahuan ada dua, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan berasal dari manusia. Obyektif merupakan hakikat ilmu pengetahuan. Bahasa, pola berpikir diikuti pengalaman manusia merupakan alat pengetahuan manusia. Adapun teori pengetahuan yakni pengetahuan bersifat terbuka untuk dapat dipertanyakan, dikritisi, diteliti
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 73

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

dan diuji ulang. Sedangkan menggunakan konsistensi, koherensi, dan korespondensi suatu kebenaran dapat diuji validitasnya. Kelima, melalui pemahaman tujuan ilmu pendidikan Islam, pada hakikatnya memiliki relevansi dengan konsep paradigma keilmuan interkonektif-integratif, diantaranya bersikap demokratis, tasamuh, egaliter, berorientasi ke depan tanpa melupakan masa lalu, inovatif, menerima perubahan, dan bersikap dinamis, sehingga paradigma tersebut memiliki implikasi positif terhadap pengembangan pendidikan Islam.

74 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009 ----, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 ----, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005 ----, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Cet. V, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 ----, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000 Amal, Ichlasul, Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Kajian Agama di Perguruan Tinggi dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002 Arkoun, M., Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, Terj. Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Azra, Azyumardi Studi-studi Agama di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, dalam Pendidikan Islam Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 1999 Daud Wan, Nor Wan Mohd, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 1998 Djumhana, Bastaman Hanna, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002 Khudori, Soleh Ahmad, Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, dalam el-Harakah, edisi 57, Tahun XXII, Desember 2001-Pebruari 2002 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 Machasin, Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman: Sebuah Catatan Kecil, Makalah
Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012 # 75

Suharyanta & Sutarman: Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif

Lokakarya Penyusunan Desain Keilmuan Integratif di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 9 Mei 2004 Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010 Risakotta, Bernard Adeney, Mendialogkan Ilmu Sosial dan Humaniora dengan Ilmu Agama: Tantangan Pengembangan Kajian Islam, Materi Studium Generale PPS IAIN Sunan Kalijaga Warsono, Membangun Jembatan Kebersamaan, dalam http://soni69. tripod.com/kebersamaan.htm.

76 # Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012

Anda mungkin juga menyukai