Anda di halaman 1dari 5

Peran LSM dalam Politik Kontemporer

FEB 11 Posted by Inspirasi

Realitas

Oleh : Sidarta GM (Penulis: Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis untuk Pemberdayaan Masyarakat dalam Politik, LKS-PEMANTIK, Jakarta)

Banyak kasus yang belakangan ini menambah miris kita saja. Rasa saling tidak percaya, baik itu antar institusi negara, maupun sikap skeptif masyarakat terhadap kejujuran para pejabat, dalam penegakan hukum dan pengambilan public policy cukup memprihatinkan. Kasus Bibit dan Chandra yang ramai beberapa waktu lalu, ditambah dengan penanganan bangkrutnya Bank Century yang sampai hari ini arahnya masih ruwet, bisa ditunjuk sebagai contoh up to date. Realitas ini, sesungguhnya akan menjadi fakta otentik, betapa proses penegakan hukum dan pengambilan kebijakan publik yang ganjil dan menafikan rasa keadilan di masyarakat, akan berbuntut pada krisis kepercayaan terhadap kekuasaan. Dalilnya memang begitu. Yang disayangkan adalah jika ironi ini justru dialamatkan kepada rezim yang lahir melalui proses kontestasi yang demokratis dan berbiaya mahal. Keraguan masyarakat, sesungguhnya merupakan awal yang tak sedap. Terutama karena dari sinilah tekanan publik bisa berbuntut macam-macam. Konflik, meski tidak manifest dalam wujud kekerasan, menjadi subur. Terlihat dari ramainya demonstrasi, protes, kecaman, dan tekanan politik baik dari dalam maupun luar parlemen (extra-parliamentary). Di satu sisi tekanan itu tidak hanya mengarah pada sikap kritis atas kekuasaan yang sah, tapi juga bisa berbuntut pada niat memakzulkan kepemimpinan nasional di tengah jalan. Langkahnya, diawali lewat mosi tidak percaya di parlemen. Sudah barang tentu, wacana ini tak bisa bergulir begitu saja, perdebatannya masih panjang dan akan menyedot energi yang tak sedikit. Tetapi dalam hal ini, kita hanya ingin menengok siapa saja yang berperan di balik realitas politik kontemporer ini. Gelombang Partisipatif Realitas ini, boleh dirasa memprihatinkan. Tapi bagaimana pun, reaksi publik yang massif, menyiratkan adanya gelombang partisipatif yang luas. Dalam satu dekade terakhir, lepasnya intervensi represif dari jaringan birokrasi yang didukung militer, sebagaimana praktek kekuasaan

di masa lalu, setidaknya telah melahirkan udara segar yang kondusif merangsang adanya interaksi publik dengan kekuasaan secara lebih cair. Apalagi, iklim terbuka ini, telah menyuburkan entitas sosial yang merdeka, mandiri, dan tidak terikat pada pengaruh negara. Entitas kritis yang dilazimkan dengan sebutan civil society, bergerak sebagai penyeimbang yang berupaya menghapus hal ikhwal yang mengarah pada hegemonik politik. Pers bebas, akses komunikasi yang terbuka telah membuka kotak pencerahan (enlightenment). Setidaknya, meminjam istilah Jurgen Habermas, dukungan media yang bebas, secara otomatis memberikan ruang publik (public sphere) yang bebas pula bagi aspirasi publik. Ke depan, fenomena ini, bakal menyehatkan apa yang dikenal dengan everyday democracy di masyarakat. Hanya saja, yang selalu menjadi pertanyaan adalah, apakah ruang publik ini digunakan untuk apresiasi politik, atau sebatas untuk manuver dan bargaining politik, yang buntut-buntutnya, sekedar mengejar kekuasaan. Atau, lebih naif lagi sekedar untuk mencarin duit. Jika direnungkan dengan seksama, hikmah di balik keterbukaan politik itu, adalah memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk menerima beragam informasi, sekaligus memiliki kemampuan untuk mengevaluasi setiap perilaku penyelenggara negara. Hasilnya, masyarakat akan menjadi subyek yang memiliki kecerdasan untuk menilai setiap kebijakan secara dewasa. Kedewasaan ini, harus diimbangi oleh sikap pemegang otoritas negara. Ia harus cerdas, bijak bestari dan sekaligus bersih dari tindakan-tindakan penyalahahgunaan kekuasaan. Reaksi seperti ini, terlihat sudah ada, seperti pembentukan panitia ad hoc yang menjawab kebutuhan luas dari desakan warga yang menghendaki adanya fair play dalam penyelesaian sebuah masalah krusial. Lihat saja, setiap masalah yang mencuat tidak lagi menjadi monopoli penguasa untuk menyelesaikannya. Sebagian wewenang untuk menyelidiki pokok perkara dan merumuskan rekomendasi penyelesaiannya diberikan kepada sebuah kelembagaan ad hoc yang (seolah-olah) merepresentasikan vox vopulisuara rakyat. Dari pihak penguasa, langkah ini memang pilihan yang mesti dilakukan untuk mengendorkan serangan yang tendensius. Meski, di sisi lain, sikap ini dinilai sinis, karena dipandang sebagai bukti lemahnya kepemimpinan, sikap kurang tegas, atau rendahnya rasa percaya diri pemerintah. Peranan LSM Kita mafhum, betapa beragamnya kelompok masyarakat yang hari ini menunjukkan keseriusannya mengontrol perilaku administrasi, birokrasi dan politik. Mereka berasal dari latar belakang yang variatif, mulai dari kalangan akademisi, cendekiawan, mahasiswa sampai usahawan, dan kaum profesional. Kelompok ini biasanya membawa bendera yang dikenal dengan organisasi nonpemerintah (ornop); mulai dari organisasi keagamaan, ormas, dan lembaga community development, atau lebih tepatnya, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Di atas kertas, misi mereka adalah mengontrol secara mandiri dan swadaya apa yang selama ini diamanatkan rakyat kepada penyelenggara negara agar mereka bekerja dengan asas kejujuran,

keadilan, dan persamaan (bagi warganya). Gelombang partisipatif tadi, setidaknya sudah disumbangkan oleh peranan LSM dalam realitas politik sekarang. Tapi ironiknya, ternyata banyak LSM yang hari ini, kehilangan kodrat keswadayaan dan kemandiriannya sebagai sebuah LSM, dalam memainkan peran partisipatifnya. Sebagai lembaga yang menyandang keswadayaan (self-supporting), LSM sebenarnya, harus mandiri dan memiliki kemampuan swadaya dalam membiayai operasionalnya (self-financing). Dari kemampuan membiayai dirinya sendiri inilah, kemudian LSM memainkan peran advokasi publik, sosialisasi nilai ke masyarakat (pendidikan), pengawasan publik, dan memberdayakan masyarakat (social empowerment). Lalu dari mana sumber dana untuk membiayai semua aktivitas itu? Idealnya berasal dari iuran dan donasi anggotanya. Sebab, sebagai lembaga non-profit, ia tabu besar mereguk keuntungan finansial dari pihak lain. Yang disinyalemen terjadi hari ini, justru tampak sebaliknya, banyak LSM bergelayut, menggantungkan dirinya pada donasi lembaga, negara, atau pihak asing. Ini merupakan sesuatu yang patut diprihatikankan, terutama karena kita khawatir jangan-jangan apa yang diperjuangan LSM itu sekedar untuk memenuhi kepentingan donatur. Artinya, peran mereka dalam community development itu tidaklah genuine. Lantas bagaimana menyikapinya? Eliminasi Perilaku Korup Kembali kepada upaya meminimalisir krisis kepercayaan yang terlanjur ngalor ngidul, seyogyanya kepemimpinan nasional saat ini tidak larut dengan kesibukan menampik berbagai rumor. Untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan kita pun tidak perlu mengikuti anjuran Nicollo Machiavelli menjadi separuh singa dan separuh kancil. Urgensinya sekarang adalah, pertama, melakukan konsolidasi internal antar struktur kekuasaan yang menutup celah adanya peluang delegitimasi dari kelompok yang relatif berani berhadapan dengan negara (baca: LSM). Kedua, bersamaan dengan itu meningkatkan kinerja optimal dalam mengeliminasi perilaku korup di lingkungan penyelenggara negara dan pemerintahan. Bersamaan dengan itu tetap dibutuhkan kontrol dari penguasa terhadap lembaga swadaya yang selama ini memperoleh donasi dari luar untuk kepentingan sempit (keluar dari esensi mereka untuk kepentingan masyarakat). Ketiga, pemerintah harus tetap diberikan ruang untuk berkonsentrasi penuh dalam menjalankan program pemerintahan yang telah dicanangkan seraya memperkuat kemampuan adaptif dengan lingkungan politik yang semakin sensitif terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya dari semua ini tentu akan menciptakan proses alamiah menuju recovery dari keadaan kritis sekarang. Insya Allah.

http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/02/11/peran-lsm-dalam-realitas-politik-kontemporer/

ANALISIS Krisis kepercayaan rakyat ini sangat mengecewakan. Sangat tidak lucu jika ada suatu negara yang sebagian besar rakyatnya tidak percaya akan proses politiknya, namun ini memang terjadi, khususnya di Indonesia. Masalah ini tentu tak akan terjadi jika seluruh praktik politik dilandasi dengan keterbukaan. Tetapi dalam prosesnya pun harus selalu sesuai dengan aturan yang berlaku, tak boleh ada penyimpangan sedikit pun. Pengadilan yang kadang mudah di suap, pejabat pejabat yang memakan uang rakyat, aparat penegak hukum yang tidak sesuai, dan hal lain yang dapat menyebabkan masyarakat tidak percaya kepada pemerintah. Jika masyarakat sudah tak percaya lagi dengan pemerintah maka persatuan dan kesatuan pun akan menipis, yang dapat menyebabkan gerakan separatism, atau memisahkan diri dan membentuk negaranya masing-masing. Dampak lain nya pun Negara akan mudah dipengaruhi oleh Negara lain (niat buruk) sehingga masalah ini akan meluas sejadi-jadinya, dan mungkin dampak terburuk dari semua ini adalah takkan ada lagi Negara bernama Indonesia. Ini sangat mengerikan. Tak bisa dibayangkan jika hal-hal tersebut dapat terjadi. Oleh karena itu, semua lembaga politik di Indonesia harus melaksanakan tugasnya masing-masing dengan benar dan sesuai aturan. Jika DPR adalah lembaga legislative, maka kerjakanlah tugasnya itu dengan baik. Jika pengadilan adalah tempat memutuskan hasil suatu perkara, maka putuskanlah dengan jujur. Jika partau politik bertugas untuk mencampuri semua urusan politik, maka kerjakanlah dengan terbuka, jujur, dan baik. Harusnya itu semua dilakukan, jangan sampai ada suatu lembaga yang melaksanakan praktik KKN dalam urusannya. Jika itu semua sudah terlaksanakan masyarakat pun akan sepenuhnya percaya pada pemerintah dan pemerintah pun akan gampang mengatur rakyatnya. Tidak aka nada demonstrasi dimana-mana. Semua makmur dan sejahtera. Sekali lagi hal ini dapat dilakukan jika kita semua, mau rakyat ataupun pemerintah melakukan semua urusannya dengan jujur, adil, terbuka, tetapi tetap memperhatikan hukum yang berlaku. Hal hal diatas akan sangat mungkin terjadi jika ada sekelompok orang yang mengawasi jalannya pemerintahan. LSM adalah lembaga yang tepat. Saat ini peranan LSM cukup baik, selain mengawasi jalannya pemerintahan, LSM juga dapat menampung berbagai kehendak rakyat dan menyalurkannya ke pemerintah. Seringkali meski rakyat telah bersuara namun suaranya itu tak pernah dibahas digubris sedikit pun, oleh karena itu LSM ada. LSM dapat menjunjung tinggi sikap demokratisasi kita lebih baik lagi. Seperti yang kita tahu praktik KKN di Indonesia sudah merajalela. Seringkali orang yang memiliki jabatan menyalahgunakan jabatannya. Mereka dibiarkan sejahtera, namun rakyat tentu ada yang semakin sulit bertahan hidup. Ini seharusnya lebih ditanggapi oleh pemerintah, untuk itu pemerintah harus bias bekerja sama dengan LSM. LSM dan pemerintah (Negara) merupakan mobilisator yang sama tujuannya yaitu membangun negeri menuju yang lebih baik. Bersama pemerintah, LSM membangun negeri menuju masa depan yang lebih baik. Dan LSM dapat disebut partnernya

pemerintah untuk melaksanakan pembangunan. Tetap menegakkan demokrasi yang baik dalam pembangunan. Dan jangan terlalu memusatkan kekuatan pada pemerintah. Sekali lagi untuk mewujudkan semua ini harus ada hubungan yang baik antar semua rakyat Indonesia. Bisa kita tarik kesimpulan dalam membina hubungan sosial harus ada peran serta dari pemerintah sebagai pemangku jabatan kenegaraan, peran swasta, Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Peran pihak-pihak yang bersangkutan (Stakeholder). Agar terbinanya hubungan yang lebih harmonis, yang selaras, kesejahteraan dan yang berkeadilan dalam membina hubungan sosial dalam masyarakat sekitarnya. sehingga tercipta hubungan kekeluargaan, ketentraman, keselarasan, dan menciptakan masyarakat madani (Civil society) yang berlandaskan Pancasila dan UUD45. Yang mempunyai tujuan meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat sekitarnya yang lebih kesejahteraan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amin Rabbal Alaamin.

Anda mungkin juga menyukai