Anda di halaman 1dari 31

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga memiliki hak asasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Diakui dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental, anak membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah lahir. Patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Perkembangan kepribadian anak secara utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Negara Indonesia sebagai negara anggota PBB yang tidak menyatakan diri sebagai negara anggota PBB yang telah menyatakan diri sebagai negara pihak konvensi PBB tentang Hak Anak (convention on the rights of the chilid) sejak Agustus 1990, dengan demikian menyatakan keterkaitannya untuk menghormati dan menjamin hak anak tanpa diskriminasi dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memperkuat perlindungan anak, namun pada kenyataannya, masih banyak anak yang dilanggar haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat, dan pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Anak (KDRTA) bukanlah kasus yang jarang terjadi masyarakat. Berdasarkan monitoring Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Sumatera Utara sejak 1999-2011, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan terhadap anak. Kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa. 1 Banyak masyarakat menganggap kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak urusan "dapur" satu keluarga. Orang tua juga, tak sedikit, beranggapan bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya hingga ia berhak melakukan apa saja, termasuk membantingnya karena kesal menyebabkan anak meninggal atau atas nama mendidik, membina dan melaksanakan tugasnya sebagai orang tua, anak sah-sah saja dihukum, dipukul, dimarahi, dicubit, dijewer hingga disiksa. Anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat kepada orang tua dengan cara kekerasan. Orang tua dalam menerapkan disiplin kepada anak sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak sering dibelenggu aturan-aturan orang tua yang tidak rasional dan tanpa

Sulaiman Zuhdi Manik, Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah Tangga, 2007, <http://www.KabarIndonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20070911212313>, [1209-2011]

Universitas Sumatera Utara

menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, seperti hak anak untuk bermain. Hirarki sosial yang diajarkan adalah hirarki otoriter, sewenang-wenang. Tak hanya di desa, tetapi juga di kota hal ini masih banyak terjadi. Tidak pula hanya oleh orang tua yang katanya tak sekolahan, orang tua yang terpandang di masyarakat ternyata juga ada sebagai aligator (pemangsa buas) atau penindas anak di rumah. 2 Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah jika berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya kasus dramatis dan berdarah-darah baru dinilai kejahatan. Luka memar kena bogem ayah atau anak berkepribadian pemalu karena di rumah selalu menghadapi tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan. Lainnya, banyak masih menilai kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak sebagai persoalan individu per individu atau melokalisir tempat kejadian. Karena bapaknya tidak kerja, ibunya stress karena ditinggal suami, karena bapaknya ini itu dan beragam alasan pembenaran yang sesungguhnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak. Masalahnya lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi. Keluhan anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

bentakan atau pukulan. Apalagi jika pelaku kekerasan itu orang tuanya, kita yang mendengar sering berkata: dasar kamu bandel, kamu yang salah, itu untuk mendidik kamu, makanya kamu nurut sama orang tua. Jarang kita bertanya, mengapa dia diperlakukan seperti itu, apalagi memberikan jalan keluar. Inilah masalah sosial kita.
3

Pendidikan masa kecil seorang anak akan mempengaruhi perkembangan sikap dan kepribadiannya di masa depan. Anak adalah peniru yang sangat besar. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga bukan saja menyalah, dilihat dari sudut hak asasi anak tapi juga menimbulkan dampak sangat buruk terhadap masa depan anak. 4 Dampak tersebut bisa berupa luka fisik dan psikis yang akan tersimpan di memori anak yang tidak akan pernah terhapus dan sangat mempengaruhi perilaku dan sifat anak hingga ia meranjak dewasa. Masalah kekerasan pada anak baik fisik maupun psikis yang terjadi di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Setiap kasus yang ada, mayoritas korbannya adalah anak-anak yang berusia di bawah 8 tahun. Hal ini banyak mengundang simpati Masyarakat Indonesia. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komperhensif. 5 Undang-undang ini melibatkan
3 4

Ibid. Frans van Dijk, Kekerasan Terhadap Anak Dalam Wacana dan Realita, Medan, 1999,

hal. 36.

Caray, Analisis Aspek Psikologis Anak dalam Novel A Child It Karya Dave Pelzer, 2008, < http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/11/analisis-aspek-psikologis-anakdalam.html>, [11-2008].

Universitas Sumatera Utara

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : 1. Nondiskriminasi; 2. Kepentingan yang terbaik bagi anak; 3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4. Penghargaan terhadap pendapat anak. Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran

masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. Mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Di Malaysia, selain undang-undang perlindungan anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang telah ada, dengan segera pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal tahu 90an telah dibentuk SCAN TEAM ( Suspected Child Abuse and Neglect Team ) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat Rumah Tangga dan anggota teamnya terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai kerajaan, serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh pemerintah federal. 6 Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu

Irwanto, Perilaku Kekerasan Pada Anak : Apakah Hukuman Saja Cukup?, <http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/45-psikologi/280-perilaku-kekerasan-padaanak-apakah-hukuman-saja-cukup.html > [12-09-2011]

Universitas Sumatera Utara

apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika menyaksikan peristiwa kekerasaan terhadap anak. Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
7

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Hukuman yang didasarkan atas undang-undang saja tentu tidak cukup. 8 Maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak yang semakin meningkat mendorong untuk meneliti permasalahan kekerasan yang menjadi tindak pidana terhadap anak ini, membongkar hal-hal yang menjadi penyebab sehingga terjadi
7 8

Ibid. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kekerasan dan dampak fisik terutama psikis (psikologi anak) yang mengalami kekerasan atau tindak pidana dalam ruang lingkup rumah tangga serta peranan pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga. B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk tindak kekerasan yang sering dialami anak dalam rumah tangga ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga ? 3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga pada Putusan

No.1345/Pid.B/2010/PN/Medan ? C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan yaitu : 1. Untuk mengetahui bentuk tindak kekerasan yang sering dialami anak dalam keluarga; 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga; 3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga pada Putusan No.1345/Pid.B/2010/PN/Medan.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penulisan 1. Menfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. 2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya keluarga yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup domestik. Sehingga mendapat perlindungan hukum dan menghilangkan

diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga. E. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini berjudul Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalau pun ada, penulis yakin substansi pembahasannnya berbeda. Topik yang penulis kaji dimotivasi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta melihat yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan asas-asas khazanah ilmu pengetahuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, jika ada yang menyinggung sedikit maka penulis akan mencantumkan dalam bentuk referensi. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah yang ditinjau secara yuridis, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Kepustakaan Istilah hukum dapat diberikan defenisi menurut sudut pandangan seseorang dari mana aspek hukum itu diperhatikan. Hukum mempunyai ciri yang tetap, para ahli mencoba membuat defenisi menurut penggolongan hukum menjadi defenisi hukum menurut sifatnya yang imperatif, defenisi hukum menurut tujuannya, defenisi hukum menurut hubungannya dengan proses peradilan, dan defenisi hukum sebagai kenyataan sosial. Tidak ada satu konsepsi rumusan hukum yang memuaskan, akan tetapi satu prinsip yang jelas bahwa hukum mempunyai ciri yang tetap yaitu : pertama, hukum merupakan suatu organ peraturan-peraturan yang abstrak, dan kedua, hukum merupakan suatu proses sosial untuk mengadakan tertib hukum dan mengatur kepentingan-kepentingan manusia. 9 Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya

melaksanakannya kepatuhan pada kaedah-kaedah. Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup seluruh isi/aspek dari pengertian hukum pidana. Karena isi dari hukum pidana itu sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuatkan dalam suatu batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya hanya melihatnya

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghal.ia Indonesia, Yogyakarta, 1994,

hal. 17

Universitas Sumatera Utara

dari satu atau beberapa sisi saja, dan oleh karenanya selalu ada sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang lain tidak masuk, dan berada di luar. 10 Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 11 Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :12 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Para sarjana hukum mengutarakan tujuan hukum pidana adalah untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakutnakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.67 11 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 1 12 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 1
10

Universitas Sumatera Utara

kejahatan lagi (speciale preventie) serta untuk mendidik atau memperbaiki orangorang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 13 Pada dasarnya hukum pidana itu berpokok kepada 2 hal, yaitu : 1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang , yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan jahat. Harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang perbuatan tertentu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. 2. Pidana Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan. Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang disebut dengan istilah hukuman. Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). KUHP sebagai sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP,

13

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.18

Universitas Sumatera Utara

pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan (ditambah berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946). Sedangkan pidana tambahan terdirir dari pidana pencabutan hakhak tertentu, pidana perampasan hak-hak tertentu, pidana pengumuman keputusan hakim. 1. Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. 14 Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, Unsur walaupun kesalahan ada dan perkecualian melawan seperti pasal 351

(penganiayaan).

hukum

kadang-kadang

dicantumkan, dan sering kali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.15

14 15

Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 67 Ibid., hal. 81

Universitas Sumatera Utara

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan unsur tindak pidana yaitu : 16 a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan d. Unsur akibat konstitutif e. Unsur keadaan yang menyertai f. Unsur syarat tambahanuntuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut penganiayaan. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. 17 Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut : perlakuan yang sewenang-wenang... Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah. 18
16 17

Ibid., hal. 82 Ismu Gunadi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2), PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya, 2011, hal. 3 18 Ibid., hal. 4

Universitas Sumatera Utara

Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka. Masuk pula dalam pengertian pengaiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang. Perasaaan tidak enak misalnya mendorong orang jatuh ke kali sehingga basah kuyup. Rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul. Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau. Merusak Kesehatan misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin. 19 Kejahatan terhadap tubuh atas dasar unsur kesalahannya terdiri dari dua macam bentuk, yaitu : 20 a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan, dimuat dalam Buku II Pasal 351 sampai dengan 358. b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 360 yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi 5 macam yaitu : a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP) Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Menurut Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni : 21

19 20

Ibid. Ibid. 21 Ibid., hal. 5

Universitas Sumatera Utara

1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah (ayat 1) 2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2) 3) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun (ayat 3) 4) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4) Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni : 22 1) Adanya kesengajaan 2) Adanya perbuatan 3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni ; a) Rasa sakit pada tubuh, dan atau b) Luka pada tubuh 4) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP) Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan pasal 353 dan 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang

22

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintah. 23 Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Unsur-Unsur penganiayaan ringan yaitu : 24 1) Bukan berupa penganiayaan berencana 2) Bukan penganiayaan yang dilakukan : a) Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya, b) Terhadap pegawai negeri yangs sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah, c) Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum. 3) Tidak menimbulkan ; a) Penyakit, atau

b) Halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan, atau 4) Pencaharian c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP) Menurut Mr.M.H Tirtaamiddjaja mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu sebagai berikut :25

Ibid. Ibid., hal. 6 25 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 56
24

23

Universitas Sumatera Utara

Bahwa ada suatu jangka betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang. Unsur perencanaan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang. Ini semua tergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa. 26 Ada 3 (tiga) macam penganiayaan berencana, yaitu : 27 1) Penganiayaan berat yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. 2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. 3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat :28 1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal.70 27 Ismu Gunadi, Op.Cit., hal. 7 28 Ibid.

26

Universitas Sumatera Utara

2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berfikir, antara lain : a) Resiko apa yang akan ditanggung b) Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamana saat yang tepat untuk melaksanakannya. c) Bagaimana cara menghilangkan jejak. 3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dalam suasana hati yang tenang. d. Penganiayaan Berat Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiaya. Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain : 29 1) Kesalahannya : kesengajaan 2) Perbuatannya : melukai secara berat 3) Obyeknya : tubuh orang lain 4) Akibatnya : luka berat Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat. Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut :30

29

Ismu Gunadi, Op.Cit., hal. 8

Universitas Sumatera Utara

1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut, 2) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian, 3) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indera, 4) Kekudung-kudungan, 5) Gangguan daya berfikir selama lebih dari empat minggu, 6) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan. Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu : 1) Penganiayaan berat biasa (ayat 1); 2) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2). e. Penganiayaan Berat Berencana Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan hubungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesengajaan ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Jika kesengajaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. 31

30 31

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.70 Ismu Gunadi, Op.Cit., hal. 9

Universitas Sumatera Utara

f. Penganiayaan Memberatkan Hukuman Jenis tindak pidana ini merupakan tindak pidana terhadap orang-orang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 356 KUHP, terdapat dua hal yang memberatnya berbagai penganiayaan di atas, yaitu : 32 1) Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkualitas sebagai ibu, bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; 2) Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukan dengan cara memberi bahan untuk dimakan untuk diminum. Faktor-faktor yang membuat pemberat ancaman hukuman penganiayaan didasarkan atas alasan kualitas korban yang semua orang, melainkan terhadap orang tertentu. Maksudnya adalah untuk dapat dikenakan pasal penganiayaan ini selain korban memiliki kualitas tertentu seperti pejabat negara, pegawai negeri dan lain sebagainya termasuk pelakunya juga memiliki kualitas tertentu pula. Misalnya pegawai negeri, pejabat negara atau pejabat penegak hukum. Maka jika melakukan penganiayaan ancaman hukuman ditambah sepertiga dari ancaman hukuman pokok.33 g. Penganiayaan Dengan Hukuman Tambahan Jenis tindak pidana ini merupakan tambahan hukuman yang diatur dalam Pasal 357 KUHP yang menyatakan bahwa :

32 33

Ibid. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Pada waktu menjauhkan hukuman terhadap kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 353 dan 355 KUHP, dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak sebagaimana Pasal 35 nomor 1 sampai 4. Pencabutan hak sebagaimana dimaksud dlam Pasal 35 KUHP diantaranya, yaitu : 34 1) Hak jabatan atau jabata yang ditentukan; 2) Hak sebagai anggota bersenjata (TNI dan Polri); 3) Hak memilih atau hak dipilih pada pemilihan menurut ketentuan undangundang; 4) Hak menjadi penasihat atau kuasa (wali yang sah oleh negara), wali pengawas, menjadi curator, atau menjadi curator pengawas atas orang lain dari pada anaknya. Pasal 357 KUHP jika dicermati ketentuan ini mengatur hukuman tambahan terhadap penganiayaan yang direncanakan sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP dan penganiayaan berat yang direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP. Apabila yang menjadi korban adalah pegawai atau pejabat negara yang sedang atau dalam melaksanakan tugasnya, maka ia memerlukan suatu perlindungan hukum yang layak agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum. 35 2. Penegertian Anak Defenisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,1988, hal.55 35 Ismu Gunadi, Op.Cit., hal. 10
34

Universitas Sumatera Utara

internasional defenisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. 36 Secara nasional defenisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Ada yang mengatakan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengandilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia18 tahun dan belum pernah menikah.
37

Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda deengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam dan hukum adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum
36 37

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal.33 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaotu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri. 38 Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. 39 Secara keseluruhan dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta

pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.

38 39

Ibid. Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa, Bandung, hal. 19

Universitas Sumatera Utara

3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan sanksi pidana yang telah diatur dalam undang-undang. Menurut WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut PP Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur di dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga. Di dalam UU.No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penalantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 ayat (1) UU.No.23 Tahun 2004 menentukan ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, yaitu meliputi : 1) Suami, istri dan anak;

Universitas Sumatera Utara

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau 3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap selama berada dalam rumah tangga tersebut. Pengaturan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap anak-anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 40 Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa anak termasuk dalam ruang lingkup rumah tangga. Anak rentan terhadap kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang berada didekatnya seperti ayah, ibu, atau saudara-saudara dan sebagainya dalam lingkup rumah tangga dengan berbagai sebab dan faktor yang melatarbelakangi kekerasan tersebut menimpa anak yang semestinya dilindungi.
40

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.

107

Universitas Sumatera Utara

Anak yang menjadi korban kejahatan disebut juga dengan istilah viktima. Pengertian ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1960, yaitu dengan adanya perbaikan penambahan pada pasal-pasal KUHP dengan UU Nomor 1 Tahun 1960. Kemudian ruang lingkup viktima dikembangkan menjadi species dari bidang kriminologi yang dituangkan dalam cabang ilmu khusus dan dinamai dengan victimology (bahasa inggris) yang berarti ilmu yang mempelajari seluk beluk dari suatu korban kejahatan yang fungsional dan struktural. 41 Masalah korban telah menjadi masalah ketimpangan sosial yang memiliki aspek hukum dari kausalitis bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam rumusan kejahatan dan pelanggaran. Arif Gosita menyebutkan dengan, masalah korban ini bukan merupakan masalah baru, hanya karena hal tertentu yang kurang mendapat perhatian secara proposional dimensional dari peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Viktimologi hanya memusatkan perhatian pada si korban dalam usaha yang bersiri sendiri, mempunyai kecenderungan pada si korban dan perbuatannya yang menjadikan dia sebagai korban suatu tindak pidana. 42 Meletakkan anak sebagai korban kejahatan atau pelanggaran dalam pembahasan hukum perlindungan anak, yaitu karena ketentuan rumusan delik yang terdapat dalam KUHP dan pidana khusus seperti UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam ketentuan KUHP, anak sebagai korban kejahatan dapat ditemukan pada jenis-jenis kejahatan sebagai berikut :43 1. Pornografi, pasal 283 KUHP;

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan hukum Perlindungan Anak, Grasindo, 2000, Jakarta, hal.88 42 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1985, hal. 43-45 43 Maulana Hasan Wadong, Op.Cit., hal. 89

41

Universitas Sumatera Utara

2. Persetubuhan, pasal 287,288, 291, 298 KUHP; 3. Perbuatan cabul, pasal 293, 294 KUHP; 4. Meninggalkan orang yang butuh pertolongan, pasal 308 KUHP; 5. Kemerdekaan seseorang, pasal 330, 331, dan 337 KUHP; 6. Menghilangkan jiwa anak, pasal 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 KUHP; 7. Penganiayaan, pasal 356 ayat (1) huruf e KUHP. Anak sebagai korban kejahatan dalam ketentuan pelanggaran dan kejahatan UU No.9 Tahun 1976 tentang narkotika ditemukan dalam Pasal 36, 38 dan Pasal 23 UU No. 1976 tentang Narkotika. Anak sebagai korban dalam pelaksanaan delik narkotika, dikarenakan bahwa undang-undang ini menganut legalitas sebagai delik formal dan delik meterial yang membawa akibat yang sangat besar terhadap pengaruh penggunaannya. 44 Pada kenyataannya kekerasan dalam rumah tangga mengandung normanorma hukum pidana, tetapi terdapat beberapa perkembangan dari delik yang sudah ada. Perkembangan tersebut sebagai dampak atau akibat adanya suatu kebutuhan. Karena kalau kita kaji sebetulnya tidak kekerasan yang terdapat dalam rumah tangga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, karena yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlalu umum dan luas, maka perlu kiranya ada undang-undang yang lebih spesifik untuk mengaturnya.

44

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan dalam rumah tangga telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau perbuatan pidana, mengingat bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak sepenuhnya dapat digunakan menangani kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga serta melindungi korban. F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundangundangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu Tinjauan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid.

B/2010/PN/Medan) sedangkan dalam hal penelitian hukum sosiologis penulis melakukan penelitian terhadap bagaimana keefektifan instrumen hukum yang sedang berlaku dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga. 2. Metode Pendekatan

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaikan penelitian skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau social-legal approach melihat permasalahan yang diteliti adalah mengenai hubungan faktor sosiologis dengan faktor yuridis. Dalam skripsi ini yang menjadi faktor sosiologis adalah mengenai bagaimana anak tersebut diberlakukan secara adil tanpa ada suatu kekerasan terhadapnya baik itu fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Sedangkan faktor yuridisnya adalah mengenai kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap kejahatan kekerasan yang menimpa anak dalam rumah tangga. 3. Lokasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kota Medan tempatnya di Pengadilan Negeri Medan. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga cukup banyak dan rentan terjadi. 4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap literaturliteratur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap subtansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 5. Analisis data

Universitas Sumatera Utara

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Yang berpedoman kepada masalah pengaturan perlindungan hukum dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berusaha memaparkan data-data yang sebenarnya, metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang perlindungan hukum dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. Kejahatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data-data yang khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak tersebut ditarik kesimpulan umum setelah dikaitkan dengan perlindungan dan penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut : Bab I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II: Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan

Universitas Sumatera Utara

secara mendalam mengenai pengertian dari kekerasan terhadap anak dalam ruang lingkup rumah tangga, dan membahas tentang bentuk atau klasifikasi kekerasan yang di alami anak serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bab III: Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang perlindungan hukum dari korban kekerasan serta realitas perlindungan hukum dan ketentuan pidana terhadap korban (anak) serta bagaimana

penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak. Bab IV: Dalam bab ini diulas mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di wilayah kota Medan Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan beserta analisa kasus tersebut. Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan kesimpulan dan saran.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai