Anda di halaman 1dari 32

Meet The Expert

STRES PADA CALON LEGISLATIF (CALEG)

Disusun oleh : Syandrez Prima Putra, P.1328 (0910311020) Rido Wandrivel, P.1329 (0910312024)

Pembimbing : dr. Nazif Manaf, Sp.KJ

BAGIAN ILMU PSIKIATRI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................i BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1 1.2 1.3 1.4 Latar Belakang ...........................................................................................1 Batasan Masalah ........................................................................................3 Tujuan Penulisan .......................................................................................3 Metode Penulisan.......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 Definisi Stres .............................................................................................4 Penyebab Stres ...........................................................................................4 Tahapan Stres.............................................................................................7 Penilaian Terhadap Stres ..........................................................................7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Terhadap Stres .....................8 Gejala Stres ................................................................................................10 Dampak Stres .............................................................................................12 Manajemen dan Pengelolaan Stres ............................................................13 Calon Anggota Legislatif ...........................................................................19

2.10 Stres pada Calon Legislatif ........................................................................22 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................27 3.1 3.2 Kesimpulan ................................................................................................27 Saran ..........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................29

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara demokrasi yang menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu bentuk pemilu adalah pemilu legislatif yang bertujuan untuk memilih nggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang diatur dalam UU No.8 tahun 2012.1 Pada tahun 2009, Indonesia mulai menyelenggarakan pemilu legislatif dengan menggunakan sistem baru, yakni dengan meniadakan daftar nomer urut caleg menjadi sistem suara terbanyak. Dengan sistem pemilu yang baru, optimisme untuk menjadi anggota legislatif semakin besar. Bagi caleg (calon legislatif) sendiri sistem ini menjadi peluang yang besar untuk menduduki kursi legislatif, karena akan lebih mudah mencari dukungan dari rakyat di daerah pemilihannya sendiri daripada dukungan penguasa partai politik. Sehingga berbagai caleg dengan beragam latar belakang bermunculan, mulai dari politikus sejati, ilmuwan, ulama, penguhsaha, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga artis.2

Banyaknya caleg yang bermunculan menyebabkan adanya kompetisi di antara para caleg untuk menarik simpati masyarakat. Seorang caleg harus bertarung habis-habisan dan menggunakan segenap kemampuan mereka untuk merebut simpati dari masyarakat. Caleg berjuang untuk diri sendiri dan untuk itu harus bersaing melawan caleg yang berasal dari satu partai. Secara psikologis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan banyaknya kasus-kasus yang bermunculan berkaitan dengan kegagalan caleg menjadi anggota legislatif. Misalnya di Tanggerang, Banten, seorang caleg dari sebuah parpol mengamuk setelah penghitungan suara akibat perolehan suara di sejumlah TPS di lingkungan tempat tinggalnya jauh dari yang diharapkan. Perilaku caleg laki-laki berusia 40-an tahun itu menyerupai orang tak waras. Mengenakan celana pendek dan rambut yang ditata klimis, ia berjalan merangkak di pinggir jalan. Kepada setiap orang yang lewat, ia menyorongkan wadah, seraya berkata Kembalikan uang saya.2 Kegagalan menjadi anggota legislatif akan membawa dampak yang berbeda-beda pada setiap caleg. Tidak semua kasus yang muncul di masyarakat tentang caleg yang gagal menjadi depresi dan berakhir di rumah sakit jiwa karena ada juga caleg yang gagal tapi masih dapat menjalankan kegiatannya sehari-hari dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana stres psikologis dapat muncul pada calon legislatif di Indonesia.

1.2 Batasan Masalah Dalam makalah meet the expert (MTE) ini akan dibahas tentang definisi, penyebab, gejala dan dampak stres, manajemen dan pengelolaan stres, tinjauan mengenai calon legislatif serta stres pada calon legislatif.

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah meet the expert (MTE) ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang stres pada calon legislatif dan sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di Bagian Psikiatri RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.4 Metode Penulisan Penulisan makalah Meet The Expert (MTE) ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk kepada berbagai literatur berupa buku teks, jurnal dan makalah ilmiah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stres Stres adalah suatu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri individu. Menurut McGrath dalam Sukadiyanto (2010), stres didefinisikan sebagai ketidakseimbangan substansial antara keinginan (jasmani dan/atau rohani) dengan kemampuan untuk merespon kegagalan dalam mencapai keinginan tersebut.3 Sedangkan menurut Sarafino, stres adalah sebagai suatu keadaan yang dihasilkan ketika individu dan lingkungan bertransaksi, baik nyata atau tidak nyata, antara tuntutan situasi dan sumber-sumber yang dimiliki individu menyangkut kondisi biologis, psikologis, atau psikososial.4 Sementara Selyc dalam Mumtahinnah (2008) mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya.5

2.2 Penyebab Stres Menurut McGrath dalam Sukadiyanto (2010), stres disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan atau kegagalan individu dalam memenuhi

kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani.3 Stres muncul sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhinya. Apabila seseorang tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan, maka akan merasakan suatu kondisi ketegangan dalam dirinya. Ketegangan yang berlangsung lama dan tidak ada penyelesaian, akan berkembang menjadi stres. Secara umum, stres terjadi jika individu dihadapkan dengan peristiwa yang

mereka rasakan sebagai ancaman kesehatan fisik atau psikologis. Keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stres ini disebut stresor, dan reaksi individu terhadap peristiwa yang menyebabkan stres disebut respon stres.4 Sumber-sumber stres (stresor) dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan.6 Stresor adalah bentuk yang spesifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres.7 Menurut Taylor, stresor merupakan peristiwa yang menyebabkan stres. Sebuah penelitian tentang stresor telah membantu mendefinisikan beberapa kondisi yang lebih banyak memproduksi stres daripada yang lainnya, tetapi jika hanya memfokuskan pada peristiwa penuh stres tidak dapat secara penuh menjelaskan pengalaman stres. Karena tiap pengalaman penuh stres antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Individu juga bervariasi dalam merespon stres. Menurut Taylor, respon terhadap stres dimanifestasikan dan melibatkan perubahan fisiologis, reaksi kognitif, reaksi emosional, dan respon perilaku. Respon-respon stres ini menimbulkan kemungkinan dari variasi tanda-tanda terjadinya stres, yang mana dapat diukur sebagai usaha untuk mengetahui secara langsung derajat stres seseorang.8 Menurut Sukadiyanto, beberapa jenis stresor antara lain terdiri dari faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu. Adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan menimbulkan

konflik dalam diri individu, sehingga berdampak pada munculnya stres. Berikut ini beberapa hal yang dapat menyebabkan muncul stres pada individu, antara lain: perasaan cemas mengenai hasil yang dicapai, aktivitas yang tidak seimbang, tekanan dari diri sendiri, suatu kondisi ketidakpastian, perasaan cemas, perasaan bersalah, jiwa yang dahaga secara emosional dan spiritual, dan kondisi sosial ekonomi.3 Menurut Sarafino dalam Mumtahinnah (2008), stresor dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:5 a) Stresor di dalam diri seseorang. Menurut Sarafino, kadang-kadang

sumber stres itu ada di dalam diri seseorang. Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu b) Stresor di dalam keluarga. Stres di sini dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga. c) Stresor di dalam komunitas dan lingkungan. Beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari pekerjaannya, dan lingkungan yang stresfull sifatnya. d) Stresor yang berasal dari pekerjaan. Diantara faktor-faktor yang membuat suatu pekerjaan itu stresfull adalah tuntutan kerja. e) Stresor yang berasal dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan fisik, seperti: kebisingan, suhu terlalu panas, kesesakan.

2.3 Tahapan Stres Selye dalam Mumtahinnah (2008) mengidentifikasikan 3 tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisikondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS), yaitu:5 a. Alarm Reaction Organisme berorientasi pada tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman. b. Resistance (perlawanan) Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan. c. Exhaustion Jika tuntutan berlangsung lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme akan kehabisan tenaga. Jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan, atau salah, maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit (diseases of adptation).

2.4 Penilaian Terhadap Stres Lazarus & Folkman menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal.6 Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu :

a. Penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stresfull. b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Menurut Skinner penilaian ini penting bagi usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan bisa menghasilkan upaya coping yang penuh percaya diri dan emosi positif, sedangkan menganggap kejadian stresor sebagai ancaman dapat menurunkan kepercayaan diri dalam melakukan coping dan menimbulkan emosi negatif. 9 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Terhadap Stres 10 Menurut Lahey terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap stres, yaitu : a) Pengalaman terdahulu dengan stres. Reaksi terhadap stres akan berkurang jika individu telah memliki pengalaman sebelumnya dengan stres tersebut. b) Faktor perkembangan. Efek dari stres tergantung pada level perkembangan dari individu yang stres.

c) Dapat diprediksi dan dikontrol. Kejadian yang dapat diprediksi dan dikontrol lebih dapat ditolerir tingkat stresnya daripada kejadian yang tidak dapat diprediksi maupun dikontrol. d) Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Dukungan sosial merupakan hal yang bermanfaat tatkala individu mengalami stres. Sebagian alasannya adalah karena berhubungan dengan orang lain adalah sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan. 11 e) Dukungan sosial dapat diberikan melalui beberapa cara. Pertama, perhatian emosional yang diekspresikan melalui rasa suka, cinta, atau empati. Kedua, bantuan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama masa stres. Ketiga, memberikan informasi tentang situasi yang menekan. Terakhir, informasi mungkin sangat membantu jika ia relevan dengan penilaian diri. Buunk menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga, kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jamaah gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja. Dukungan sosial mungkin paling efektif apabila ia tidak kelihatan. Ketika individu mengetahui bahwa ada orang lain yang membantu, individu tersebut merasa ada beban emosional, yang mengurangi efektifitas dukungan sosial yang ia terima. Tetapi ketika dukungan sosial itu diberikan secara diam-diam, maka ia dapat mereduksi stres dan meningkatkan kesehatan.9 f) Kognitif dan kepribadian. Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian

secara kognitif. Pandangan ini telah dikemukan oleh peneliti bernama Lazarus. Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Faktor-Faktor Kepribadian Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern) adalah sekelompok karakteristik rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. g) Gender dan etnis. Banyak wanita yang kuat dalam menghadapi stres dari pengalaman trauma, dan banyak pria yang dibayang-bayangi secara serius oleh pengalaman traumatis yang pernah mereka alami.

2.6 Gejala Stres Secara umum, gejala stres diidentifikasikan ke dalam 4 tipe yang berbeda, yaitu : perilaku, emosi, kognitif dan fisik.3,4,5 1. Gejala Perilaku. Banyak diantara perilaku yang menunjukkan stres diantaranya yaitu penundaan dan menghindar, menarik diri dari teman dan keluarga, kehilangan nafsu makan dan tenaga, emosi yang meledak dan agresi, memulai atau peningkatan penggunaan obat-obatan secara dramatis, perubahan pola tidur, melalaikan tanggungjawab, penurunan produktifitas dalam diri seseorang.

10

2. Gejala Emosi. Sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan, ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi, perasaan yang tidak menentu, perasaan selalu gugup, peka dan mudah tersinggung, gelisah, kelelahan yang hebat, enggan melakukan kegiatan, perasaan takut, pemusatan diri yang berlebihan, hilangnya spontanitas, mengasingkan diri dari kelompok, pobia dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan, stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan kerja, serta penurunan kemampaun dan penampilan kerja. 3. Gejala Kognitif. Di antara sebagian besar gejala mental atau kejiwaan dari stres adalah kehilangan motivasi dan konsentrasi. Hal ini terlihat pada seseorang yang kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas yang diberikan dan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Gejala mental lainnya adalah kecemasan yang berlebihan, kehilangan ingatan, kesalahan persepsi, kebingungan, terjadi pengurangan daya tahan tubuh dalam membuat keputusan, lemah dalam menyelesaikan masalah terutama selama krisis, mengasihani diri sendiri, kehilangan harapan. 4. Gejala Fisik. Di antara gejala fisik dari stres adalah kelelahan secara fisik dan keadaan fisik yang lemah, migran dan kepala pusing, sakit punggung, telapak tangan dan atau kaki terasa dingin, susah tidur, pernapasan tersengal-sengal, perut terasa mual-mual, gangguan

pencernaan, ketegangan otot yang ditandai dengan gemetaran dan kekejangan. Dalam sistem kardiovaskuler, stres ditandai dengan

11

percepatan denyut jantung, hipertensi dan proses aterosklerotik yang buruk. Bagi wanita akan mengalami gangguan menstruasi, dan pada lakilaki dapat menyebabkan gangguan seksual (impotensi). Gejala lainnya antara lain berkeringat (perspiration/sweaty), menggigil atau gemetaran (trembling), mulut dan kerongkongan kering (dryness of throat and mouth), mudah letih (tiring easily), dan sering buang air kencing (urinating frequently).

2.7 Dampak Stres Dampak stres kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal. 1. Kesehatan. Sistem kekebalan tubuh manusia bekerja sama secara integral dengan sistem fisiologis lain, dan kesemuanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik maupun psikis yang cara kerjanya diatur oleh otak. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya. Stres akan mendeorong pelepasan gula dari hati dan pemecahan lemak tubuh dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak dialihkan dari sistem pencernaan ke dalam otot-otot sehingga produksi asam lambung meningkat dan perut tersa kembung serta mual. 2. Psikologis. Stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Stres kronis umumnya terjadi di seputar

12

masalah kemiskinan, kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan, serta kesulitan dalam memanjemen kehidupannya. 3. Interaksi interpersonal. Orang stres cenderung mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah dan mudah emosi.

2.8 Manajemen dan Pengelolaan Stres Lazarus dalam Taylor (2009) menyatakan coping adalah suatu proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya individu. Sedangkan coping menurut Lahey (2007) adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sumber stres dan/atau mengontrol reaksi individu terhadap sumber stres tersebut. Coping disini mengacu pada usaha untuk mengontrol, mengurangi atau belajar mentoleransi suatu ancaman yang bisa membawa seseorang kepada stres. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Taylor (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menganggap coping sebagai cara individu untuk mengatasi atau menghadapi ancaman-ancaman dan konsekuensi emosional dari ancaman-ancaman tersebut. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stres adalah suatu upaya yang dilakukan

13

individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu. Respon coping individu sering terjadi secara spontan, yang mana, individu melakukan apapun secara alami pada diri mereka dan apa yang telah dikerjakan sebelumnya. Tetapi seringkali usaha-usaha itu tidak cukup. Stresor bisa jadi lebih kronis, atau lebih elusif sehingga menyebabkan usaha individu itu sendiri tidak berhasil untuk menurunkan stres. Karena individu dengan jelas kesulitan mengatur stres dengan dirinya sendiri, sehingga ahli psikologi kesehatan mengembangkan teknik yang disebut manajemen stres yang dapat diajarkan.8 Manajemen stres adalah suatu program untuk melakukan pengontrolan atau pengaturan stres dimana bertujuan untuk mengenal penyebab stres dan mengetahui teknik-teknik mengelola stres, sehingga orang lebih baik dalam menguasai stres dalam kehidupan daripada dihimpit oleh stres itu sendiri. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Memanajemen stres berarti membuat perubahan dalam cara berfikir dan merasa, dalam cara berperilaku dan sangat mungkin dalam lingkungan individu masing-masing. Manajemen stres menurut Taylor meliputi 3 tahap , yaitu: 8 1. Tahap pertama, partisipan mempelajari apakah stres itu dan bagaimana mengidentifikasi stresor dalam kehidupan mereka sendiri. 2. Tahap kedua, mereka memperoleh dan mempraktekan ketrampilan untuk mengatasi (koping) stres.

14

3.

Tahap terakhir, partisipan mempraktekkan teknik manajemen stres mereka yang ditargetkan situasi penuh stres mereka dan memonitor efektivitas teknik itu.

Lazarus membedakan dua strategi coping 12, yaitu : 1. Menghilangkan stres dengan mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah, yaitu : a. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Contoh : 1) Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggungjawab untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan stres. Dengan merubah situasi dari masalah yang bersangkutan, diharapkan efek stresnya juga akan menghilang. 2) Menyiapkan semacam rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stres, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut b. Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres denganm bcara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif. Dalam emotion focus coping ini seseorang menghadapi stres dengan fokus kepada bagaimana menata dirinya secara emosional

15

sehingga siap menghadapi stres itu sendiri. Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain: a. Menerima simpati dan pengertian dari seseorang (teman, saudara atau support group lainnya) b. Mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi lain (yang lebih positif) B. Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar 1. Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung 2. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres. Dalam melakukan manajemen stres terdapat beberapa cara yang digunakan untuk dapat mengelola stres. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengelola stres a) Strategi Fisik. Cara yang paling cepat untuk mengatasi tekanan fisiologis dari stres adalah dengan menenangkan diri dan mengurangi rangsangan fisik tubuh melalui meditasi atau relaksasi. Menurut Scheufele, relaksasi progresif adalah belajar untuk secara bergantian menekan dan membuat otot-otot menjadi santai, juga menurunkan tekanan darah dan hormon stres .

16

b) Strategi Emosional Merupakan suatu strategi yang berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka. Beberapa waktu setelah bencana atau tragedi adalah hal yang wajar bagi individu yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut. Pada tahap ini, orang sering kali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut secara terus-menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai. Emotion focused coping adalah sebuah strategi koping stres yang lebih menekankan pada usaha untuk menurunkan emosi negatif yang dirasakan ketika menghadapi masalah atau tekanan, mengalihkan perhatian dari masalah. c) Strategi Kognitif Dalam strategi kognitif yang dapat dilakukan adalah menilai kembali suatu masalah dengan positif (positive reappraisal problem). Strategi positive reappraisal yaitu merupakan usaha kognitif untuk menganalisa dan merestrukturisasi masalah dalam sebuah cara yang positif sambil terus melakukan penerimaan terhadap realitas situasi. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Mumtahinnah (2008) mengatakan bahwa appraisal merupakan reaksi terhadap stres sangat tergantung pada bagaimana individu itu menafsirkan atau menilai (secara sadar atau tidak sadar) arti dari peristiwa yang mengancam atau menantang dirinya. Masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak terduga. Selain itu teknik lain yang dapat digunakan untuk mengubah kognitif adalah dnegan affirmasi positif.

17

Afirmasi adalah cara yang paling mudah dan sederhana untuk mempengaruhi pikiran bawah sadar seseorang. Afirmasi adalah sejumlah kalimat yang positif disusun baik itu hanya sebatas pikiran, atau dituangkan kedalam tulisan, diucapkan dengan cara berulang-ulang. Afirmasi ini berupa pernyataan pendek dan sederhana yang disampaikan terus menerus dan berulang-ulang kepada diri sendiri. Pada saat melakukan afirmasi, sesungguhnya seseorang sedang mempengaruhi keadaan pikiran bawah sadar. Afirmasi harus bersifat positif dan diwujudkan dengan kata-kata yang singkat. c. Strategi Sosial Dalam strategi sosial seorang individu untuk menurunkan stres dapat melakukan hal berikut ini, seperti mencari kelompok dukungan. Kelompok dukugan (support group) terutama sangat membantu, karena semua orang dalam kelompok pernah mengalami hal yang sama dan memahami apa yang dirasakan. Kelompok dukungan dapat

memperlihatkan kepedulian dan kasih sayang. Mereka dapat membantu seseorang menilai suatu masalah dan merencanakan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Mereka merupakan sumber kelekatan dan hubungan yang dibutuhkan oleh setiap orang sepanjang hidup. Memiliki teman adalah hal yang menyenangkan dan hal ini bahkan dapat meningkatkan kesehatan seseorang.

18

2.9 Calon Anggota Legislatif 1. Definisi Calon Anggota Legislatif Dalam Wikipedia (2009) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Anggota DPR berhak

mengajukan usul rancangan undang-undang. DPR memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dengan fungsinya sebagai legislatif maka anggota DPR juga dikenal sebagai anggota legislatif. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

19

kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13

Mengingat bahwa anggota DPR dikenal juga dengan sebutan anggota legislatif, maka dalam hal pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat disebut dengan pemilu legislatif. Berdasarkan penjelasan di atas, pemilu legislatif adalah pemilu untuk memilih anggota legislatif. Anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dari sekian banyak calon anggota legislatif. Adapun calon anggota legislatif adalah anggota partai politik yang namanya telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilu sebagai calon anggota legislatif untuk mengikuti pemilu legislatif di daerah pemilihan masing-masing. Nama-nama calon anggota legislatif disusun dalam bentuk daftar calon anggota legislatif, yang terdiri dari daftar calon legislatif sementara dan daftar calon legislatif tetap. Daftar calon anggota DPR sementara/tetap ditetapkan oleh KPU; daftar calon anggota DPRD provinsi sementara/tetap ditetapkan oleh KPU provinsi, dan; daftar calon anggota DPRD kabupaten/kota sementara/tetap ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.13

2. Syarat Menjadi Calon Legislatif 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon legislatif yaitu :
20

1. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; 2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; 5. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; 6. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17

Agustus 1945; 7. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 8. sehat jasmani dan rohani; 9. terdaftar sebagai pemilih; 10. bersedia bekerja penuh waktu; 11. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;

21

12. bersedia

untuk

tidak

berpraktik

sebagai

akuntan

publik,

advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan; 13. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; 14. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; 15. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan 16. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

2.10

Stres pada Calon Legislatif Pada tahun 2009, Indonesia mulai menyelenggarakan pemilu legislatif

dengan menggunakan sistem baru, yakni dengan meniadakan daftar nomer urut caleg menjadi sistem suara terbanyak. Secara psikologis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi. Kalau pemilu sebelumnya dengan sistem nomor urut, seorang caleg bisa mengukur peluang mereka dapat terpilih atau tidak terpilih menjadi anggota legislatif. 2

22

Respon terhadap Kegagalan2 Respons yang ditunjukkan oleh subjek ketika mengalami kegagalan menjadi anggota legislatif adalah kekecewaan pada hasil perolehan suara. Perasaan kecewa yang dianggap berasal dari aktor yang tidak bisa dikendalikan membuat subjek menyesal telah mengikuti pencalonan dan telah mencoba memasuki dunia politik. Kekecewaan yang ditimbulkan oleh respons terhadap kegagalan menjadi anggota legislatif dihadapi dengan membentuk mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri merupakan suatu cara untuk menghindari suatu

kenyataan yang tidak dapat diterima sebagai suatu kenyataan yang terjadi atas dirinya sekaligus untuk mengurangi kecemasan. Saputra dalam Purindawati dkk (2011), menyatakan bahwa kegagalan dalam pemilu legislatif membuat caleg menjadi kecewa bahkan menjadi stres dan frustasi. Mereka merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan untuk meraih keberhasilan karena gagal menjadi anggota legislatif. Usaha yang dilakukan dari tahap pendaftaran sampai kampanye dianggap tidak berguna. Kejadian ini menyebabkan kondisi psikis caleg menjadi terguncang dan mempengaruhi hubungan sosial caleg. Tekanan semakin bertambah ketika caleg harus menghadapi kenyataan bahwa biaya-biaya kampanye yang telah dikeluarkan berasal dari pinjaman, seharusnya dapat dikembalikan pada saat menjadi anggota legislatif. Kenyataan bahwa caleg telah mengalami kegagalan membuatnya malu dan takut pada lingkungan sekitarnya.

23

Ketidakmampuan caleg menyesuaikan diri terhadap kenyataan akibat kegagalannya menjadi anggota legislatif membuatnya merasa terdesak dan merasa sendirian menanggung akibat kegagalannya. Caleg merasa kegagalannya menjadi anggota legislatif telah menghancurkan harapannya. Caleg mulai mencari penyebab yang mengakibatkannya tidak terpilih. Caleg yang tidak mampu menemukan penyebab kegagalannya akan menjadi putus asa dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain kemudian mencari kambing hitam atas kegagalan dalam pemilu legislatif. Atribusi yang digunakan caleg dalam memaknai kegagalan akan dapat mengarahkan caleg untuk menghadapi kegagalan menjadi anggota legislatif. Atribusi yang dilakukan caleg tidak dapat dilepaskan dari tingkah laku yang dikembangkan caleg selama masa persiapan pemilu legislatif atau masa kampanye. Caleg yang berambisi besar untuk menjadi anggota legislatif akan melakukan berbagai cara untuk menarik simpati masyarakat, tak jarang juga menghalalkan segala cara untuk menang. Caleg seperti ini hanya mengejar posisi dan penghargaan menjadi anggota legislatif. Caleg yang tidak mampu menghadapi kegagalan dan tidak mendapat dukungan sosial akan menjadi semakin jatuh dalam kesedihan hingga menjadi depresi dan kehilangan gairah untuk hidup. Caleg kehilangan daya untuk

memperbaiki kegagalannya

dan merasa tidak mampu mengendalikan situasi.

Caleg yang menganggap bahwa kegagalannya ini berada di luar kendalinya maka akan merasa tidak berdaya untuk menghadapi kegagalan yang dialami. Caleg yang menganggap kegagalan menjadi anggota legislatif hanya

berlangsung sementara dan memiliki keyakinan bahwa ada keberhasilan lain

24

akan

mudah

bangkit

dari kegagalan.

Caleg

akan

menata

kembali

kehidupannya dan mencoba bekerja lebih keras untuk meraih keberhasilan. Caleg yang memiliki kemampuan bangkit lebih cepat akan menerima bahwa mereka telah gagal kemudian mencari penyebab kegagalan yang terjadi secara objektif. Caleg akan melupakan kegagalannya tersebut dan menjadikannya

pelajaran untuk meraih keberhasilan dikemudian hari.

Evaluasi Diri Pengalaman kegagalan menjadi pengalaman yang memberikan rasa kecewa dalam diri caleg. Akan tetapi rasa kecewa tersebut lebih ditujukan pada objek di luar dirinya. Caleg harus segera keluar dari suasana kekecewaan sehingga dapat kembali menjalani kehidupannya sehari-hari. Proses evaluasi diri yang dilakukan caleg yaitu introspeksi dan atribusi. Caleg yang mampu mengintrospeksi diri mulai melihat ke dalam diri dan mengkritisi proses yang terjadi di dalam diri sehingga membantu proses atribusi yang dilakukan caleg untuk mengetahui sumber masalah dalam diri dan mengurangi reaksi emosional yang belum dapat dikendalikan.2 Proses atribusi dapat digunakan caleg untuk menjelaskan penyebab kegagalan menjadi anggota legislatif. Weiner dalam Franken menunjukkan bahwa atribusi merupakan kombinasi dari keempat faktor, yaitu kemampuan, tugas yang sulit, keberuntungan, dan usaha. Proses evaluasi diri dibantu oleh dukungan sosial akan menghasilkan harapan masa depan yang dapat dilihat dari hasil evaluasi diri. Franken mengungkapkan bahwa caleg yang mampu bangkit dari kegagalan adalah caleg yang memandang kemampuan dan usaha sebagai satu

25

kesatuan, caleg yakin dengan kemampuan yang dimiliki maka akan berusaha dan ketika mengalami kegagalan akan mengatribusikannya sebagai kurang usaha. Kebangkitan caleg dari kegagalan dapat dilihat dari hasil evaluasi diri yaitu penerimaan diri terhadap kegagalan. 2 Sebuah penelitian mengenai gambaran stres dan coping stres pada calon legislatif yang kalah dalam pemilu 2009 menunjukkan gambaran stres dan strategi coping dalam menghadapi kekalahan dalam pemilu legislatif. Hasil dari penelitian menunjukkan dua dari tiga (66,7%) subyek dalam keadaan stres, hal ini terlihat dari aspek yang digunakan sebagai indikator terjadinya stres, dan sisanya (33,3%) tidak dalam keadaan stres, nampaknya berkaitan dengan strategi coping yang digunakan. Subyek dalam keadaan stres memakai coping avoidant (menghindar) dan coping konfrontasi (melawan), subyek yang tidak dalam keadaan stres memakai coping positive reppraisal (berfikir positif).15 Selain itu hasil penelitian Aztradiana tahun 2009 menunjukkan bahwa sumber stres pada tiga responden dalam penelitian berasal dari masyarakat dan finansial. Masing-masing responden melakukan coping stres yang berbeda-beda, dimana coping tersebut dapat berupa emotion focused coping dan problem focused coping. Problem focused coping digunakan ketika responden langsung bisa mendefinisikan masalah, memilih alternatif pemecahan masalah, dan langsung melakukan tindakan. Sedangkan emotion focused coping digunakan ketika responden mengetahui hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk merubah situasi stres.16

26

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Pemilu legislatif yang diterapkan di Indonesia semenjak tahun 2009 menggunakan sistem baru dengan meniadakan daftar nomer urut caleg menjadi sistem suara terbanyak. Secara psikologis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi karena seorang caleg akan lebih sulit mengukur peluang mereka untuk dapat terpilih atau tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Hal ini dapat menjadi stresor psikologis bagi seorang caleg ketika mendapatkan kegagalan dalam perolehan suara pemilu legislatif. Kegagalan dalam pemilu legislatif akan membuat caleg menjadi kecewa bahkan menjadi stres dan frustasi. Mereka merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan untuk meraih keberhasilan karena gagal menjadi anggota legislatif. Usaha yang dilakukan dari tahap pendaftaran sampai kampanye dianggap tidak berguna. Kejadian ini menyebabkan kondisi psikis caleg menjadi terguncang dan mempengaruhi hubungan sosial caleg. Kegagalan menjadi pengalaman yang memberikan rasa kecewa dalam diri caleg. Caleg harus segera keluar dari suasana kekecewaan sehingga dapat kembali menjalani kehidupannya sehari-hari. Proses evaluasi diri yang dilakukan caleg yaitu introspeksi dan atribusi. Selain itu stresor akan dihadapi dengan mekanisme coping yang berbeda-beda pada setiap caleg. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana hasil akhir setiap caleg dalam menghadapi stresor tersebut.

27

3.2 Saran 1. Perlunya pembekalan psikologis bagi setiap caleg yang akan mengikuti pemilu legislatif. 2. Sarana konsultasi dan perawatan psikiatri perlu ditingkatkan pada masa pemilu legislatif untuk mengurangi gangguan psikologis pada caleg yang gagal dalam pemilihan.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. Purindawati R, Indrawati ES, Kahija YFL, 2010. Makna Kegagalan Caleg menjadi Anggota Legislatif Kota Semarang Periode 2009-2014. Jurnal Psikologi Undip, Vol.7, No.1, Hal:57-68. 3. Sukadiyanto, 2010. Stres dan cara menguranginya. Cakrawala Pendidikan edisi Februari 2010 tahun XXIX, No.1. Hal:55 -66. 4. Segarahayu RD, 2011. Pengaruh Manjemen Stres terhadap Penurunan Tingkat Stres pada Narapidana di LPW Malang. Universitas Negeri Malang. Diakses dari http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/ artikelDEB288149FBAA98C9CB27EB18035D95A.pdf pada 4 Maret 2014. 5. Mumtahinnah N, 2008. Hubungan antara Stres dengan agresi pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Diakses dari http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/ Artikel_10502173.pdf pada 4 Maret 2014. 6. Sarafino, Edward. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA: John Wiley & sons 7. Passer, M.W, Smith, R.E. 2007. Psychology, The Science of Mind and Behavior. New York: Mc Graw Hill 8. Taylor, Shelley. 2003. Health Psychology: Internal Edition. New York: McGrawHill. 9. Taylor, Shelley, Peplau, L, A, et al. 2009. Psikologi sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 10. Lahey, Benjamin B. 2007. Psichology an Introduction. New York: Mc Graw Hill. 11. Baron, Robert A, Bryne, Donn. 2005. Psikologi social. Jakarta: Erlangga 12. Santock, John W, Mitterer, John. 2003. Psychology 2. New York: Mc Graw Hill. 13. Komisi Pemilihan Umum. 2014. Calon Anggota Legislatif. Diakses dari http://www.rumahpemilu.org/index.php/read/11/Calon-Anggota-Legislatif pada tanggal 5 Maret 2014. 14. KPU. 2009. Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (http://www.kpu.go.id), diakses tanggal 4 Maret 2014.

29

15. Sari DAN, 2010. Gambaran Stres dan Coping Stres pada Calon Legislatif yang Kalah dalam Pemilu 2009. Diakses dari http://eprints.umm.ac.id/ 1543/1/GAMBARAN STRES_DAN_COPING_STRES_PADA_CALON LEGISLATIF_YANG_KALAH DALAM_PEMILU_2009.pdf pada 4 Maret 2014. 16. Aztradiana, 2010. Dalam skripsi yang berjudul Coping Stress Calon Anggota Legislatif tidak terpilih pada Pemilu Legislatif 2009. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

30

Anda mungkin juga menyukai