Anda di halaman 1dari 4

aplikasie rgo no m i.wo rdpre ss.

co m

http://aplikasiergo no mi.wo rdpress.co m/2013/01/03/burno ut-pada-perawat-ugd/

Burnout pada Perawat UGD


by apligo January 3, 2013

Ditulis oleh Dina Aulia (2509100124)_Mahasiswa Jurusan Teknik Industri ITS Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang selalu siap melayani masyarakat 24 jam sehari. Rumah sakit yang baik adalah yang memiliki mutu kualitas pelayanan terbaik. Dimana mutu pelayanan dari rumah sakit sendiri bergantung pada salah satu elemen yaitu tenaga manusia. Tenaga manusia pada rumah sakit menjadi pendongkrak kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Perawat merupakan salah satu tenaga manusia yang menjadi elemen penting dari tingkat mutu pelayanan sebuah rumah sakit. Kinerja dan produktivitas dari perawat sangatlah mempengaruhi tingkat pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Salah satu unit di dalam rumah sakit yang bekerja tanpa henti dalam 24 jam sehari adalah Unit Gawat Darurat (UGD). Perawat pada UGD memiliki tanggung jawab untuk senantiasa memberikan pelayanan terbaik mereka pada masyarakat. Dengan beban tugas di UGD sangatlah f luktuatif , membuat perawat UGD memiliki beban kerja yang berat. Hal ini dikarenakan tergantung pada seberapa banyak jumlah pasien yang datang dan seberapa serius perawatan medis yang harus dilakukan. Di samping itu beban kerja seorang perawat menjadi lebih terasa berat dikarenakan oleh waktu kerja (shift) yang panjang serta waktu istirahat yang kurang. Perawat di UGD harus selalu bersiaga 24 jam untuk menerima dan merawat pasien sebanyak apapun dan separah apapun kondisinya. Apabila beban kerja yang sudah cukup berat tersebut ditambah waktu kerja yang harus ditanggung oleh perawat melebihi kapasitas kerjanya maka akan berdampak buruk bagi produktivitas perawat tersebut. Dengan beban kerja yang tinggi tersebut, perawat memiliki probabilitas cukup tinggi untuk mengalami stress atau kelelahan baik secara emosional, f isik, ataupun mental yang disebut juga sebagai burnout. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Schauf eli (dalam Eviaty, 2005) menunjukkan prof esi bidang kesehatan dan pekerja sosial menepati urutan pertama yang paling banyak mengalami burnout, yaitu sekitar 43%. Di antara prof esi di bidang kesehatan, perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dokter dan apoteker. Tingginya stres yang harus di hadapi perawat rentan terhadap munculnya gejala-gejala burnout (Berry, dalam Eviaty, 2005). Rating tertinggi dari burnout ditemukan pada perawat-perawat yang bekerja dalam lingkungan kerja yang penuh dengan stres, yaitu perawat yang bekerja intensive care unit (ICU), emergency (UGD), atau terminal care (Mallet, price, Jurs & Slenker,1991; Moos & Schaef er dalam Taylor, 1999). Dengan tingginya burnout pada perawat UGD, maka perlu dilakukan manajemen kerja yang lebih baik dengan pengaturan shif t kerja dengan pengukuran beban kerja (mental dan f isik dan penentuan waktu istirahat. A. Pengukuran Beban Kerja (Mental dan Fisik)

Perhitungan beban kerja pada perawat perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat beban kerja yang dialami oleh perawat baik secara f isik maupun mental.

NASA-TLX (pengukuran beban kerja ment al)

NASA-T LX merupakan metode subjektif yang sering digunakan dalam pengukuran beban kerja mental pada individu di berbagai industri. Pada metode NASA T LX ini, terdapat 6 komponen yang akan diukur dari setiap individu, yaitu kebutuhan mental, kebutuhan f isik, kebutuhan waktu, tingkat f rustasi, perf ormansi, dan yang terakhir adalah tingkat usaha (Young & Z avelina, 2008). Dari setiap ukuran beban kerja tersebut, terdapat skala yang nantinya harus diisikan oleh responden. Hal ini merupakan langkah awal dalam pengukuran beban kerja. Pada komponen kebutuhan mental, kebutuhan f isik, kebutuhan waktu, dan tingkat f rustasi, skala yang digunakan adalah rendah hingga tinggi. Sedangkan untuk pengukuran perf ormansi digunakan skala baik hingga buruk. Dalam pengukuran beban kerja mental dengan menggunakan metode NASA T LX, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : Pemberian Rating Pada bagian ini, responden diminta memberi rating terhadap keenam indikator beban mental. Rating yang diberikan adalah subjektif tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Indikator tersebut antara lain: Tabel 5.6 Indikator dalam NASA-T LX SKALA MENTAL DEMAND (MD) PHYSICAL DEMAND (PD) TEMPORAL DEMAND (TD) PERFORMANCE (OP) FRUSTATION LEVEL (FR) EFFORT (EF) RAT ING Rendah,Tinggi KET ERANGAN Seberapa besar aktivitas mental dan perceptual yang dibutuhkan untuk melihat, mengingat dan mencari. Apakah pekerjaan tsb mudah atau sulit, sederhana atau kompleks, longgar atau ketat . Jumlah aktivitas f isik yang dibutuhkan (mis.mendorong, menarik, mengontrol putaran, dll) Jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu yang dirasakan selama elemen pekerjaan berlangsung. Apakah pekerjaan perlahan atau santai atau cepat dan melelahkan Seberapa besar keberhasilan seseorang di dalam pekerjaannya dan seberapa puas dengan hasil kerjanya Seberapa tidak aman, putus asa, tersinggung, terganggu, dibandingkan dengan perasaan aman, puas, nyaman, dan kepuasan diri yang dirasakan. Seberapa keras kerja mental dan f isik yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan

Rendah, Tinggi Rendah, tinggi

Tidak tepat, Sempurna Rendah,tinggi

Rendah, tinggi

Pembobotan Menghitung nilai produk dengan cara mengkalikan rating dengan bobot f aktor untuk masing-masing deskriptor, sehingga terdapat enam nilai produk untuk enam deskriptor (KF, KM,KW,PF, U dan T S) Menghitung nilai WWL (Weighted Workload) yaitu beban kerja yang ditimbulkan oleh setiap deskriptor dengan persamaan : WWL = produk Menghitung rata-rata WWL dengan cara membagi WWL dengan jumlah total bobot yaitu 15. Rata-rata WWL = WWL/15

Pengukuran Beban Kerja Fisik


Kerja f isik seringkali dikonotasikan sebagai kerja berat ataupun kerja keras yang dapat dirumuskan sebagai

kegiatan yang memerlukan usaha f isik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung . Dalam hal ini kerja f isik dapat diukur dengan mempertimbangkan konsumsi energi sebagai tolok ukur penentu berat/ringannya kerja f isik tersebut (Wignjosoebroto, 2008). Menurut Hertanti (dalam Sari, 2009) penentuan energi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : Penentuan pengeluaran energi berdasarkan pengukuran oksigen secara langsung. Penentuan pengeluaran energi ini dilakukan berdasarkan persamaan : 1 liter/ menit O2 = 5 kcal/menit energi Penentuan pengeluaran energi berdasarkan pengukuran tidak langsung dengan menggunakan persamaan Rakhmaniar (dalam Sari, 2009) Y = 0,014 HR + 0,017 B 1,706 Y = konsumsi oksigen (liter/menit) HR = Denyut jantung ( per menit) B = Berat Badan (kg) Untuk dapat mengevaluasi beban kerja dapat digunakan kriteria beban kerja menurut Grandjcan (dalam Sari, 2009) sebagai berikut : Tabel 5.7 Kategori beban kerja berdasarkan denyut nadi Menurut Sari (2009) untuk mengevaluasi apakah beban kerja tersebut akibat aktivitas yang dilakukan atau akibat dari lingkungan kerja (iklim mikro setempat) maka dilakukan perhitungan ECPT (extra calorie due to peripheal temperature) dan ECPm (extra calorie due to peripheal metabolism ) (Adipura dalam Pungus, 2007). ECPT dan ECPM ditentukan menlalui pengukuran denyut nadi yang dilakukan pada 5 menit terakhir setelah bekerja dan dihitung dengan menggunkan rumus berikut : Dimana : ECPT adalah extra calorie due to peripheal temperature ECPM adalah extra calorie due to peripheal metabolism P0 adalah denyut nadi istirahat P1,P2,P3,P4,P5 adalah denyut nadi pemulihan menit ke-1, 2, 3, 4, dan 5 Berdasarkan nilai ECPT dan ECPM maka (Adiputra dalam Pungus, 2007) menyatakan : 1. Bila ECPT > ECPM maka f aktor lingkungan lebih dominan sehingga memberikan beban kerja tambahan kepada subjek. Dalam upaya perbaikan maka aspek lingkungan itu harus ditekan sekecil mungkin 2. Bila nilai ECPM > ECPT, maka kerja f isik tugas yang dilakukan memang berat. Upaya intervensinya ditujkan untuk menurunkan beban kerja utama. 3. Bila nilai ECPM = ECPT , maka berati beban f isik pekerjaan dan aspek lingkungan sama-sama memberikan beban kepada tubuh denga demikian upaya intervensi ditujukan kepada keduanya

B.

Penentuan Waktu Istirahat

Bilamana seseorang harus bekerja berat dengan mengkonsumsikan energi rata-rata 5,2 Kcal/menit maka secara perlahan lahan kelelahan akan menumpuk untuk beberapa waktu tertentu. Untuk mengestimasikan jumlah waktu untuk istirahat (baik yang terjadwal atau tidak terjadwal) maka menurut Wignjosoebroto (2008) dapat dif ormulasikan rumus sebagai berikut : R = waktu istirahat yang diperlukan (menit) T = total waktu yang digunakan untuk bekerja (menit) K = rata-rata energi yang dikonsumsikan untuk kerja (kCal/menit) S = Standar beban kerja normal yang diaplikasikan (kCal/menit) Referensi: Eviaty & Satiadarma, M.P. 2005. Persepsi terhadap Dukungan Rekan Sekerja dan Gejala Burnout (Studi pada Perawat Unit Perawatan Intensif). Jurnal Phronesis. Vol. 7, No. 2. Jakarta : Fakultas Psikologi Tarumanagara. Sari, R. A. (2009). Perbaikan Sistem Kerja dengan pendekatan Ergonomi dan Human Reliability Assessment (Studi Kasus PT Industri Sandang Nusantara Unit Patal Lawang). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Taylor, Shelley. E. (1999). Health psychology. (4th ed). United States of America: T he MacGraw-Hill Companies, Inc Young, G. & Z avelina, L., 2008, Assessment of Workload Using NASA Task Load Index in Perianesthesia Nursing Wignjoesoebroto, S. (1995). Ergonomi Studi Gerak dan Waktu. Jakarta: PT Guna Widya. Wignjoesoebroto, S. (2008). Teknik Tata Cara dan Pengukuran Kerja. Surabaya: Guna Widya. Ads not by this site

Anda mungkin juga menyukai