Anda di halaman 1dari 12

TIGA TEORI BESAR SOSIOLOGI

A. TEORI FUNGSIONAL - STRUKTURAL Pengasas Dan Pengikut Teori Fungsional-Struktural Auguste Comte, Herbert Spenser, Emile Durkheim, Talcott Parsons, Kingsley Davis and Robert K. Merton. Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M. Poloma (1987), dan Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. ecara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional - structural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalismestruktural merupakan suatu yang berbeda, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan social.

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis. Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah : Pendapat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain. Pendapt kedua, iaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

Pendapat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur (dalam artian tak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.

Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial dan Pendidikan Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :

Pencarian pemuasan ahli saikologi

Kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan

Usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya. Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan: secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural. Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa

sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring.

Keberhasilan Teori Fungsional Struktural Teori (struktural) fungsional yang disebut juga teori konsensus. Teori ini dikemukakan David dan Moore, yang menjelaskan perubahan sosial sebagai jawaban atas pertanyaan: bagaimana menjaga organisasi sosial dan menganalogikan masyarakat dengan organisme yang setiap unsurnya memiliki peran tersendiri. Tiga kata kunci dipakai dalam teori ini yakni, stabilitas, harmoni dan evolusi. Lalu, tugas sosiolog untuk mengidentifikasi struktur sosial dan fungsifungsinya. Penganut teori ini menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tak perlu penjelasan. Perubahan memang dianggap mengacaukan masyarakat, tetapi chaos akan berhenti saat perubahan itu telah terintegrasi dalam kebudayaan. Yang fungsional diterima dan yang dis-fungsional (tidak cocok) ditolak.

B. TEORI KONFLIK Pengasas dan Pengikut Teori Konflik Karl Marx, C. Wright Mills, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf and Randall Collins. Teori Konflik bermula daripada pandangan asal Karl Marx dan diikuti oleh Weber. Oleh itu teori ini terbahagi kepada dua bahagian iaitu aliran Marx dan aliran Weber. Mengikut Marx konflik bukan semata-mata sebagai satu cara analisa sosiologi tetapi merupakan satu cara reformasi sosial. Bagaimana ketegangan yang berpunca daripada ketidaksamaan memberi kesan kepada kestabilan dan perubahan. Teori ini akan mengkaji bagaimana hubungkait antara konflik dan perubahan. Ketegangan dan konflik akan menyumbang kepada perubahan sosial. Perubahan boleh berbentuk revolusi atau adaptasi. Sementara itu mengikut George Simmel, konflik ialah sesuatu yang semulajadi dalam sesuatu masyarakat. Lewis Coser pula mengatakan bahawa sesuatu konflik itu boleh mempercepatkan proses kesetiaan dan keharmonian di dalam sesuatu kelompok sosial.

Brinkerhaff and White (1989) merumuskan 3 andaian penting dalam teori konflik : a) Konsep dialektik- evolusi bukan proses utama kepada perubahan sosial tetapi konflik yang menghasilkan perubahan sosial. b) Determinisme ekonomi - asas kepada perubahan sosial ditentukan oleh faktor-faktor persaingan ekonomi. c) Aktiviti sosial -tugas utama analisis sosial adalah kritikan sosial.

Max Weber pula merupakan seorang rakyat Jerman. Beliau adalah sosiologis, ekonomi, sejarawan, ahli undangan, ahli falsafah. Dipengaruhi oleh Karl Marx tetapi menolak konsep Marx. Contohnya menolak konsep materialisme sejarah Marx. Menganggap agama penting sebagai agen perubahan. Tidak setuju dengan revolusi dan mengkritik sosiolisme. Proses rasionalisasi dunia moden barat berkembang berasaskan rasionalisasi. Dunia lain terbantut perkembangannya kerana halangan kuasa. Beliau mempersoalkan andaian Marx yang

mengatakan ciri-ciri semua institusi sosial adalah berpunca oleh faktor ekonomi. Menghujahkan bahawa perubahan sosial bukanlah kerana konflik kelas tetapi pelbagai faktor lain. Menurut pandangan teori ini masyarakat berada dalam keadaan berubah-ubah, berkonflik dan sentiasa ingin memperjuangkan kepentingan masing-masing. Kumpulan yang kuat atau lebih berkuasa boleh memaksa kumpulan yang lemah untuk menerima nilainilainya. Mengikut teori ini terdapat tiga perkara penting yang berlaku dalam masyarakat yaitu konflik, perubahan dan paksaan.

Keberhasilan Teori Konflik Pemikiran awal tentang fungsi konflik sosial berasal dari Georg Simmel, tetapi diperluas oleh Coser (Jaworski, 1991) yang menyatakan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi. Kepaduan masyarakat Yahudi Israel, setidaknya sebagian, ikut berperan dalam berlarut-larutnya konflik dengan bangsa Arab di Timur Tengah. Kemungkinan berakhirnya konflik justru dapat memperburuk ketegangan mendasar di dalam masyarakat Israel. Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah sebuah pemikiran yang sejak lama diakui oleh tukang propaganda yang dapat menciptakan musuh yang sebenarnya tidak ada, atau mencoba menghembus antagonisme terhadap lawan yang tidak aktif. Konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. Dalam satu masyarakat, konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. Konflik juga membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompokkelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi akibat konflik, posisi dan batas antarkelompok ini sering menjadi diperjelas. Karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.

C. TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK Pengasas dan Pengikut Teori Interaksionisme Simbolik

Max Weber, Herbert Mead Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H. Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orangorang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.

Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Sesuatu alih-alih disebut objek ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. Bagi H. Blumer, sesuatu itu biasa diistilahkan realitas sosial bisa berupa

fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut dimaknakan. Sebagai realitas sosial, hubungan sesuatu dan makna ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh kekuatan luar (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera. Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna to interpret dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna interpretation. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan

bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20. Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.

Implikasi Teori Interaksionisme Simbolik di Dunia Pendidikan Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosialpsikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifatsifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis di luar sana yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita

mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah interaksi simbolik tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau mendefinsikan tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari petunjuk mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.

Keberhasilan dari Teori Interaksionisme Simbolik Istilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga

premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung. Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya. Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001), hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. Arti (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. Arti dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan tingkah laku adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki bendabenda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa arti muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang arti sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam.

Anda mungkin juga menyukai