Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita. Berdasarkan pada perkiraan tahun 2008, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, jantung yang bertindak sebagai pompa sentral akan memompa darah untuk menghantarkan bahan-bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan mengangkut sisa-sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh. Beban jantung yang berlebihan pada preload atau beban volume terjadi pada defek dengan pirau kiri ke kanan, regurgitasi katup, atau fistula arteriovena. Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau beban tekanan terjadi pada obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta, stenosis pulmonal atau koarktasio aorta. Dengan ketersediaan dari obat-obat baru yang berpotensi untuk mempengaruhi secara menguntungkan kemajuan dari penyakit, prognosis pada gagal jantung kongestif umumnya adalah lebih menguntungkan daripada yang diamati 10 tahun yang lalu. Pada beberapa kasus-kasus, terutama ketika disfungsi otot jantung telah berkembang baru-baru ini, perbaikan secara spontan yang signifikan bukannya tidak biasa diamati, bahkan ke titik dimana fungsi jantung menjadi normal.

1.2 Rumusan Masalah 1.apa yang dimaksud CHF? 2.bagaimana etiologi CHF? 3. bagaimana anatomi dan fisiologi jantung? 4.bagaimana komplikasi CHF? 5. bagaimana manifestasi klinik CHF.? 6. Bagaimana penanganan CHF?

1.3 Tujuan 1. untuk mengetahui pengertian CHF 2. untuk mengetahui etiologi CHF 3. untuk mengetahuianatomi dan fisiologi jantung 4. untuk mengetahui komplikasi CHF 5. untuk mengetahui manifestasi klinik CHF 6. untuk mengetahui penanganan CHF

1.4 Manfaat Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah selain untuk menambah wawasan mahasiswa keperawatan, juga sebagai bahan acuan dalam penangganan dengan kasus Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Gagal jantung merupakan sindrom kompleks di mana seorang pasien harus memiliki tampilan gejala khas gagal jantung (sesak saat istirahat atau saat aktifitas, kelelahan, serta tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki), tanda khas gagal jantung (takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali) serta bukti objektif kelainan struktural atau fungsional jantung saat istirahat (kardiomegali, bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada echocardiografi, peningkatan natriuretic peptide). Pada gagal jantung, jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (McMurray, 2012).

2.2. Epidemiologi Studi American Heart Association (AHA) menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada sekitar 5,7 juta penduduk Amerika Serikat. Gagal jantung ini mencakup sekitar 34% dari kematian karena penyakit kardiovaskular. Sekitar 670.000 kasus baru gagal jantung terdiagnosis setiap tahun, dan angka kematian akibat gagal jantung sekitar 277.000 kasus per tahun (Dumitru, 2013).

2.3. Etiologi Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari penyakit jantung congenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan yang (1) meningkatkan preload (beban awal), (2) meningkatkan afterload (beban akhir), dan (3) menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan preload meliputi regurgitasi aorta, dan defek septum interventrikularis. Afterload meningkat pada keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi. Penurunan kontraktilitas miokardium terjadi pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor lain yang mengganggu pengisian ventrikel, seperti stenosis katup tricuspid maupun mitral, dapat menyebabkan gagal jantung. Perikarditis

konstriktif dan tamponade jantung dapat mengakibatkan gagal jantung melalui gangguan pada mekanisme pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Kelainan yang mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium diperkirakan terjadi pada kelainan hantaran kalsium dalam sarkomer atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil. Faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya gagal jantung berupa disritmia, infeksi sistemik dan paru, serta emboli paru. Disritmia mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respon mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan dan memicu terjadinya gagal jantung kanan (ODonnell, 2006).

Etiologi Gagal Jantung Penyakit Arteri Koroner


Infark Miokard Akut Kardiomiopati Iskemik

Penyakit Jantung Hipertensi

Kardiomiopati Hipertensi Hipertrofi

Penyakit Jantung Katup


Kalsifikasi Stenosis Aorta Regurgitasi Mitral Stenosis Mitral Insufisiensi Aorta Malfungsi Katup Prostesa

Kardiomiopati

Dilatasi ( Noniskemik ) Hipertrofi Restriktif

Endokarditis Infeksi Miokarditis Penyakit Perikardial High Output Heart Failure


Anemia Kronik Defisiensi Tiamin Hipertiroid Arteriovenous Shunting

Age-related Diastolic Dysfunction

2.4. Klasifikasi 1. Gagal jantung sistolik dan diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan ekokardiografi. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Dopplerekokardiografi. 2. Low Output dan High Output Heart Failure Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High Output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget.

3. Gagal Jantung Akut dan Kronik Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tibatiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh gagal jantung kronis adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik 4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis.

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau kelainan fungsional (NYHA) ACC/AHA (American College of Cardiology / American Heart Association) Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat ganguan structural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak terdapat tanda atau gejala

NYHA (New York Heart Association)

Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas Kelas II Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas Kelas III

Stadium C Terdapat batasan aktivitas bermakna. Gagal jantung yang asimptomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak Stadium D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Kelainan pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi stroke volume (volum sekuncup / SV) dan meningkatkan end diastolic volume (volum akhir diastolik / EDV). Peningkatan EDV akan mengakibatkan peningkatan left ventricular end diastolic pressure (tekanan akhir diastolik ventrikel kiri / LVEDP). Peningkatan LVEDP akan menyebabkan peningkatan left atrial pressure (tekanan atrium kiri / LAP). Peningkatan LAP diteruskan ke belakang menuju vena pulmonalis dan kapiler pulmonal. Apabila tekanan hidrostatik pada kapiler pulmonal melebihi tekanan onkotik pada daerah tersebut, maka akan terajdi transudasi cairan intravaskular ke dalam interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes dari interstisial ke dalam alveoli dan terajdi edema paru. Tekanan arteri paru akan meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal akan menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah terhadap ejeksi ventrikel kanan. Kejadian pada jantung kiri juga akan berakibat pada gagal jantung kanan dan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.

Respons Kompensatorik Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme yang dapat terajdi: (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya preload akibat aktivasi sistem RAA, dan (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada keadaan normal atau mendekati normal pada awal terjadinya gagal jantung. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.

Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis Menurunnya SV pada gagal jantung akan merangsang respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula kelenjar adrenal/suprarenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstablikan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi jantung dan otak.Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.

Peningkatan Preload Melalui Aktivasi Sistem RAA Aktivasi sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron) menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volum ventrikel dan regangan serabut otot jantung. Peningkatan preload ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hokum Starling. Diperkirakan sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik pada reseptor di dalam apparatus jukstaglomerulus, respons reseptor macula densa terhadap pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terahdap perubahan volum dan tekanan darah sirkulasi, mengakibatkan aktivasi sistem RAA. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengakibatkan: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus (GFR), (2) pelepasan rennin dari apparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi renin dengan angiotensin dalam darah untuk membentuk angiotensin I, (4) konversi

angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstiksi yang meningkatkan tekanan darah.

Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus pengumpul.

Hipertrofi Ventrikel Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantugn adalah hipertofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respons miokardium terhadap beban volum, seperti regurgitasi aorta, ditandai dengan dialtasi atau bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga etrjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola hiperrtofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris (ODonnell. 2006).

2.6. Diagnosa Manifestasi gagal jantung adalah sebagai berikut: Gejala-gejala tipikal: sesak nafas, ortopnea, PND (paroxysmal nocturnal dyspnea), berkuranganya toleransi terhadap latihan, mudah lelah, meningkatnya waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari latihan, edema pretibial. Sedangkan gejala lainnya meliputi batuk pada malam hari, wheezing, penurunan nafus makan, konfusi (pada lansia), depresi, palpitasi, dan sinkop. Tanda-tanda spesifik: peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojuguler, S3 gallop, apeks yang bergeser ke lateral, murmur jantung. Tanda lainnya meliputi edema perifer, krepitasi pulmonal, takikardi,

denyut nadi yang ireguler, takipneu, hepatomegali, ascites, dan kakheksia (McMurray, 2012). Penegakkan diagnosis gagal jantung adalah dengan menggunakan kriteria Framingham. Diagnosis tegak bila terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Adapun kriteria mayor dan minor pada kriteria Framingham sebagai berikut: Kriteria major

Kriteria minor

Paroxysmal nocturnal dyspnea Peningkatan jugular tekanan vena

Edema pergelangan kaki bilateral Batuk nokturnal Dyspnea on ordinary exertion Hepatomegali Efusi pleural Penurunan kapasitas vital hingga sepertiga dari maksimum (yang pernah tercatat)

Ronki Kardiomegali pada pemeriksaan radiologi toraks

Edema pulmoner akut Gallop S3 Peningkatan tekanan vena pusat (>16 cmH2O pada atrium kanan)

Takikardia (detak jantung >120 kali/menit)

Hepatojugular reflux Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari sebagai respon terhadap terapi

ACC/AHA dan ESC merekomendasi pemeriksaan laboratorium dasar untuk membantu evaluasi awal pasien yang dicurigai gagal jantung.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: 1) Complete blood count (CBC/darah lengkap), dapat digunakan untuk melihat ada tidaknya anemia atau infeksi sebagai penyebab gagal jantung. 2) Urinalisis, dapat melihat ada tidaknya proteinuria

3)

Kadar elektrolit serum, kadang dapat menjadi abnormal pada keadaan retensi cairan atau disfungsi renal

4)

Blood Urea Nitrogen (BUN/ kadar ureum darah) dan kadar kreatinin, dapat mengindikasikan berkurangnya aliran darah ke ginjal

5)

Kadar glukosa darah untuk melihat ada tidaknya diabetes yang merupakan salah satu faktor risko gagak jantung

6)

Liver Function Test (LFT / tes fungsi hati), peningkatan kadar enzim hati dapat menunjukkan adanya disfungsi hati karena gagal jantung

7)

B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-B-type (NTproBNP) natriuretic peptide yang meningkat pada keadaan gagal jantung

8)

EKG (12-lead) untuk melihat ada tidaknya aritmia, iskemik/infark, dan penyakit jantung koroner sebagai penyebab gagal jantung.

ACC/AHA, HFSA, dan ESC juga merekomendasikan beberapa pemeriksaan pencitraan seperti: 1) Foto toraks (PA dan lateral) untuk melihat ada tidaknya kongesti pulmonal dan batas jantung yang membesar. 2) 2-D echocardiography dan Doppler flow ultrasonography untuk melihat ada tidaknya disfungsi ventrikel dan/atau kelainan katup 3) Arteriografi koroner (Coronary arteriography/CA) untuk melihat ada tidaknya penyakit arteri koroner

2.7. Tatalaksana Terapi nonfarmakologi pada gagal jantung antara lain: 1. Edukasi mengenai gejala, tanda dan pengobatan gagal jantung 2. Manajemen diet yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat 3. Latihan fisik. Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa pembatasan yang berlebihan pada aktivitas fisik akan menurunkan fungsi

kardiovaskular dan muskuloskletal. Latihan fisik yang sesuai akan

memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung 4. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala-gejala yang diakibatkan gagal jantung. Gejala-gejala ini dikurangi dengan cara menurunkan preload, afterload, dan memperbaiki kontraktilitas miokardium. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah golongan obat diuretik, ACEinhibitor, beta-blocker, digitalis, vasodilator, agen inotropik positif,

penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia. Diuretik Diuretik adalah obat pilihan untuk mengatasi tanda-tanda gagal jantung akut disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer. Diuretik dapat dengan cepat menghilangkan sesak napas. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstraseluler dan preload. Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40mg dan ditingkakan sampai diperoleh diuresis yang cukup. Setelah edema menghilang, dosis harus segera diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan untuk mempertahankan euvolemia. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dimonitor. Pada pasien geriatri, deplesi volume dan hipotensi merupakan hal yang harus diperhatikan karena mereka memiliki respon baroreseptor yang tidak baik. Oleh karena itu diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung asimptomatik maupun tidak ada overload cairan. Contoh loop diuretic: furosemide, torsemide, bumetanide; thiazide diuretic: HCT, indapamide,chlorthalidone, chlorothiazide; potassium-sparing diuretic: spironolactone, amiloride, triamterene.

ACE Inhibitor ACE-I menghambat konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Mekanisme kerja obat ini pada gagal jantung ialah inhibisi parsial dari jalur RAA dan mengurangi aktivitas simpatetik membuat vasodilatasi, natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE-I berguna dalam mengurangi sesak nafas dan mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut gagal jantung. Efek samping dari ACE-I ialah adanya batuk kering yang dimediasi oleh adanya bradikinin. Kadar natrium dalam darah harus dimonitor secara teratur pada saat memulai atau menaikkan dosis ACE-I dan juga ketika memakai kombinasi dengan diuretik hemat kalium seperti spironolakton karena dapat terjadi hiperkalemia. Contoh ACE-I antara lain: captopril, enalapril, lisinopril, ramipril, quinapril. Digoksin Digoksin memiliki efek memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+ intrasel sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat ini juga memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat mengurangi denyut jantung pada pasien dengan fibrilasi atrium. Efek toksik digoksin jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada pasien geriatric dengan penurunan fungsi ginjal dan status gizi yang kurang. Digoksin tidak mengurangi mortalitas sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama tetapi dapat memperbaiki gejala-gejala dan mengurangi hospitalisasi akibat memburuknya gagal jantung. Pada pasien geriatri, volume distribusi dan klirens obat menurun selain itu fungsi ginjal juga semakin menurun. Dengan demikian, dosis digoksin harus diturunkan dan harus dipantau kadarnya dalam ginjal. Beta Blocker Beta blockers menghambat sistem saraf simpatis dan menghambat aktivitas vasokonstriksi dari reseptor -1. Agen ini dapat menurunkan

afterload dan menurunkan sedikit preload. Pada gagal jantung kongestif, bagaimanapun, efek stimulasi dari hormon-hormon ini, sementara awalnya bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung, tampaknya mempunyai efekefek yang merugikan pada otot jantung dari waktu ke waktu. Bagaimanapun, studi-studi telah menunjukan manfaat klinik yang mengesankan dari betablockers dalam memperbaiki fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada pasien-pasien gagal jantung kongestif yang telah meminum ACE inhibitors. Tampaknya bahwa kunci untuk sukses dalam menggunakan beta-blockers pada gagal jantung kongestif adalah untuk memulai dengan dosis yang rendah dan meningkatkan dosis dengan sangat perlahan . Contoh beta blocker: carvedilol, metoprolol, bisoprolol

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

ARB merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan dan disfungsi ventrikel kiri. ARB menginhibisi sistem RAA melalui mekanisme inhibisi kompetitif terhadap reseptor AT1, sehingga menurunkan afterload dan menghambat RV remodeling. Untuk pasien-pasien yang tidak dapat mentolerir ACE inhibitors, kelompok alternatif dari obat-obat mungkin digunakan yaitu angiotensin receptor blockers (ARBs). Obat-obat ini bekerja pada jalur hormon yang sama seperti ACE inhibitors, namun sebagai gantinya menghalangi aksi dari angiotensin II pada tempat reseptornya secara langsung. Efek-efek samping yang mungkin dari obat-obat ini adalah serupa pada yang berhubungan dengan ACE inhibitors, meskipun menimbulkan batuk kering yang lebih rendah. Contoh ARB: losartan, valsartan, candesartan, irbesartan, azilsartan.

Vasodilator

Vasodilator merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan ggal jantung akut tanpa hipotensi, untuk mengurangi gejala. Vasodilator dapat

mengurangi preload dan/atau afterload dan menurunkan resistensi vaskuler sistemik (SVR). Contoh vasodilator: Na-nitroprusside, hydralazine

Nitrat

Nitrat dapat memperbaiki hemodinamik dengan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan menurunkan resistensi vaskular sistemik. Nitrat juga dapat memperbaiki cardiac output (CO). Contoh nitrat: nitroglycerin, isosorbid dinitrat, isosorbid mononitrat

Antikoagulan

Pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang berkurang akan meningkatkan risiko terbentuknya trombus oleh karena CO yang rendah. Pasien gagal jantung yang dirawat inap berisiko tinggi untuk terjadi tromboembolisme sehingga memerlukan pemberian antikoagulan profilaksis. INR target 2-3 diindikasikan jika terdapat: (1) trombus pada ventrikel kiri, (2) kejadian tromboembolisme dengan/tanpa bukti adanya trombus ventrikel kiri, dan (3) aritmia atrial kronis. Contoh obat antikoagulan: warfarin, dabigatran

3.

Penyakit jantung koroner

3.1. Definisi Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh proses aterosklerosis pada dinding pembuluh darah koroner. Aterosklerosis berasal bahasa Yunani dan memiliki arti akumulasi lipid lokal dan penebalan lapisan intima arteri (Boudi, 2013).

3.2. Epidemiologi Statistik AHA menunjukkan pada tahun 2008, sekitar 770.000 penduduk Amerika menderita PJK yang baru dan sekitar 430.000 penduduk mengalami serangan rekuren. Pada tahun 2010, ESC menyatakan sekitar 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal akibat PJK setiap tahun. Menurut Global Burden of Disease Study, pada tahun 1990 kematian yang disebabkan oleh PJK pada negara berkembang mencapai sekitar 3,5 juta dari 6,2 juta kasus secara keseluruhan. Kemudian dilakukan estimasi dan diperkirakan kematian akibat PJK akan berkisar 7,8 juta kasus pada tahun 2020 (Tardif, 2010).

3.3. Faktor Resiko

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Merokok Obesitas (IMT > 23 kg/m2) Hipertensi ( TD > 140/90 mmHg) Inaktivitas fisik Diabetes mellitus Konsumsi alcohol Dislipidemia

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Usia (laki-laki > 45 tahun, perempuan > 55 tahun) Jenis Kelamin (laki-laki > perempuan) Riwayat PJK pada keluarga

Faktor risiko lainnya termasuk: CRP Lipoprotein (a) Homosistein Fibrinogen Penyakit ginjal kronis HIV

3.4. Patofisiologi Penyakit jantung koroner (PJK) menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi terhadap kebutuhannya pada jaringan. Berkurangnya suplai tersebut disebabkan oleh terganggunya perfusi koroner karena adanya proses aterosklerosis yang bersifat kronis dan progresif dan dapat menyebabkan penyempitan dari lumen pembuluh darah koroner. Pada pembuluh darah yang normal, tekanan pada dinding pembuluh darah yang dihasilkan oleh aliran darah yang laminar akan menyebabkan produksi nitric oxide (NO) oleh sel endotel. NO merupakan molekul vasodilator endogen dan dapat menghambat agregasi trombosit. Selain itu, dapat juga meningkatkan produksi superoxide dismutase yang merupakan antioksidan sehingga dapat melindungi pembuluh darah dari stress oksidatif. Aliran darah yang terganggu (misalnya pada percabangan pembuluh darah) akan menyebabkan terganggunya mekanisme pertahanan di atas. Aterosklerosis merupakan penebalan fokal pada lapisan intima pembuluh darah yang asimetris. Plak aterosklerosis mengandung sel makrofag, sel-sel jaringan ikat, lipid, dan debris sel (Hansson, 2005). Proses terjadinya aterosklerosis berawal dari terbentuknya fatty streak, kemudian berlanjut menjadi plak yang progresif dan ruptur plak (Strom, 2011). Awal terbentuknya fatty streak adalah karena terajdi disfungsi endotel yang disebabkan oleh stresor tertentu, seperti bahan iritan kimiawi dan stres hemodinamik. Aktivasi endotel oleh karena berbagai rangsangan tersebut menyebabkan terjadinya inflamasi lokal. Terjadi peningkatan permeabilitas endotel, produksi sitokin inflamatorik (Il-1, TNF-), molekul adhesi leukosit

(VCAM-1), serta penurunan produksi molekul vasodilator (prostasiklin dan NO) dan antitrombotik. Peningkatan permeabilitas endotel akan mempermudah masuknya molekul low density lipoprotein (LDL) ke dalam lapisan intima. Kadar LDL dalam darah yang tinggi akan meningkatkan kecenderungan masuknya LDL ke dalam lapisan intima. LDL tersebut akan berikatan dengan molekul proteoglikan di lapisan subendotel dan mengalami modifikasi (oksidasi atau glikasi). LDL yang mengalami modifikasi (mLDL) tersebut akan meningkatkan produksi sitokin inflamatorik yang kemudian meningkatkan produksi molekul adhesi leukosit dan molekul kemotaksis (monocyte chemoattractant protein 1/ MCP-1). Leukosit, terutama monosit, akan berikatan dengan VCAM-1, ICAM-1, E-selectin, dan P-selectin. Setelah monosit menginvasi lapisan intima, mereka akan berubah menjadi makrofag. Makorfag tersebut kemudian akan menguptake mLDL melalui reseptro scavenger. Terjadi akumulasi lipid yang menyebabkan terbentuknya foam cell. Plak yang terbentuk pada awalnya akan mengalami protrusi ke dalam lumen pembuluh darah, namun diameter lumen dan aliran darah masih belum terganggu, sehingga tidak tampak gejala iskemik. Pertumbuhan plak yang berlanjut atau kronis, akan mengurangi diameter lumen pembuluh darah, dan menghambat perfusi. Plak yang demikian akan menyebabkan gejala klinis seperti angina pektoris dan klaudikasio intermiten. Perubahan dari fatty streak menjadi plak ateromatous fibrosa terjadi karena migrasi sel otot polos dari lapisan media menuju intima dan sekresi molekul ekstraseluler oleh sel otot polos. Foam cell, endotel, maupun trombosit mensekresikan PDGF (platelet-derived growth factor) yang akan memicu migrasi sel otot polos dari lapisan media menuju intima. Foam cell juga mensekresikan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF-, IL-1, FGF, dan TGF- yang akan memicu proliferasi sel otot polos dan sintesis protein matriks esktraselular. Metabolisme matriks ekstraseluler tergantung dari keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler. PDGF dan TGF- memicu produksi kolagen oleh sel otot polos, sedangkan IFN - menghambat sintesis oleh sel otot polos. Sitokin inflamatorik dapat memicu foam cell untuk mensekresikan matrix metalloproteinase (MMP), yaitu suatu enzim

yang dapat mendegradasi kolagen dan elastin, sehigga meningkatkan risiko terjadinya ruptur plak. Integritas plak dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan

degradasi matriks. Kematian sel otot polos dan foam cell yang diakibatkan oleh proses inflamasi kronis akan menyebabkan terlepasnya lipid yang berada di dalam foam cell. Lipid tersebut kemudian akan terakumulasi di dalam lapisan subendotel. Ukuran akumulasi lipid ini mempengaruhi stabilitas plak. Semakin besar lipid core yang terbentuk, maka semakin besar kemungkinan plak akan mengalami rupture akibat stres mekanik dari aliran darah. Faktor lain yang mempengaruhi stabilitas plak adalah kapsul fibrosa pada plak. Plak yang memiliki kapsul fibrosa yang tebal tidak akan mudah mengalami ruptur, sebaliknya, plak dengan kapsul fibrosa yang tipis lebih mudah untuk mengalami ruptur dan menyebabkan trombosis. Plak dengan kapsul fibrosa yang yang tebal dan lipid core yang kecil disebut juga dengan plak stabil. Sedangkan plak dengan kapsul fibrosa yang tipis, lipid core yang besar, dan infiltrasi makrofag yang berlebihan disebut juga dengan plak tidak stabil. Apabila terjadi ruptur plak, maka faktor pembekuan darah akan teraktivasi. Trombosis akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kurangnya suplai oksigen pada jaringan, sehingga dapat terjadi kematian sel otot jantung.

3.5 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan jantung yang berkaitan dengan deteksi penyakit jantung koroner berdasarkan ada atau tidaknya 'intervensi' alat 'ke dalam' tubuh manusia, pemeriksaan jantung terdiri dari:

Pemeriksaan 'invasif' : misalnya angiografi koroner. Pemeriksaan 'non invasif': misalnya elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan elektro kardio grafi (EKG) yaitu alat medik yang dapat merekam aktivitas listrik jantung.

Pencitraan dengan sinar-X: foto Rntgen, angiografi, MSCT (Multislice CT-Scan). Pencitraan dengan medan magnet: MRI (Magnetic Resonance Imaging). encitraan dengan ultrasound: Echocardiography. encitraan dengan radioaktif (Nuclear Imaging).

3.6 Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner Terapi Farmakologi a. Analgetik morfin b. Antikoagulan c. Antilipemik: Cholestyramin, lovastatin, simvastatin, asam nikotinik, gemfibrozil, colestipol d. Betha bloker adrenergik e. Calcium channel blocker f. Therapi aspirin dosis rendah g. Nitrates

2323 Non Farmakologi a. Perubahan aktivitas: penurunan BB jika perlu b. Atherectomy c. Pembedahan bypass arteri koroner d. Coronary artery stent placement e. Perubahan diet: rendah garam, kolesterol, lemak, peningkatan diet serat rendah kalori f. Mengganti estrogen pd wanita post menopause g. Pola hidup: berhenti merokok h. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTSA)

BAB III STATUS PASIEN

Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran USU / RS H Adam Malik Medan Rekam Medik

No : 00.56.75.05 Nama pasien: DT Pekerjaan: Wiraswasta Agama: Kristen

Tanggal Umur Alamat Hp

: 16 Juli 2013 : 62

Hari Seks

:8 : LK

: Desa Sionom Hudon Tonga Hutaga :-

Keluhan utama: Sesak Napas Anamnesis: Keluhan dialami pasien sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan terasa semakin memberat dalam 3 hari terakhir. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas (+). Sesak nafas muncul ketika pasien beraktivitas dan menghilang ketika istirahat (+). Sesak nafas berkurang bila pasien tidur dengan 2-3 bantal sandaran (+). Sesak nafas berkurang jika pasien berubah posisi dari tidur menjadi duduk (+). Kaki bengkak (-), Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di Rumah Sakit Dolok Sanggul selama 3 minggu (20 Juni 2013) dan diberikan obat yang membuat pasien banyak kencing. Setelah itu, pasien berobat jalan dan 1 minggu setelah keluar dari rumah sakit tersebut, sesak nafas kembali kumat. Riwayat nyeri dada disangkal oleh pasien. Riwayat hipertensi dan DM disangkal oleh pasien. Pasien telah merokok selama 20 tahun. Faktor Resiko PJK: Laki-laki > 65 tahun, perokok Riwayat Penyakit Terdahulu: penyakit jantung bengkak

24

Riwayat obat: aptor, ISDN, digoxin Status presens: KU: sedang . Kesadaran: CM TD:110/80 mmHg

Pols: 100x/i, reguler RR: 25x/i Suhu: 36.4C Ortopnu: (+) BB: 50 kg Sianosis : (-) Dispnu: (+) TB: 160 cm Ikterus: (-) Edema (-) pucat (-)

IMT: BB/(TB)2 = 50/(1.6)2 = 19,5kg/m2 (normoweight)

Pemeriksaan Fisik: Kepala Leher : konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : TVJ: R+2 cmH2O

Dinding toraks: Inspeksi Palpasi Perkusi : simetris fusiformis : stem fremitus kanan = kiri, kesan normal : sonor memendek pada kedua lapangan bawah paru

Batas jantung : Atas : ICR III sinistra Kanan: LSD Kiri : 1 cm lateral LMCS Auskultasi Jantung : S1 (N) S2 (N) S3 (-) S4 (-) regular, HR 110 x/i reguler

25

Murmur : (-), Tipe : -, Gallop : Paru : suara pernafasan : vesikuler suara tambahan : ronki basah basal (+/+) wheezing (+/+) Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : soepel, H/L ttb Bising Usus (+) normal Asites (-) Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial (-/-)

Interpretasi EKG (16 Juli 2013)

26

Sinus takikardi, QRS rate 100 x/i, QRS axis Normal, P wave (+) Normal, PR interval 0,16, QRS duration 0.08, poor R progression di V1-V4, T inversi di lead II, III, aVF, LVH (-), VES (-). Kesan: Sinus takikardi + OMI anteroseptal + iskemik inferior. Foto thorax

CTR 72%, Aorta dilatasi, Pulmonal Normal, pinggang jantung (+), apeks downward, kongesti (+), infiltrat (-). Kesan: Kardiomegali+ dilatasi aorta + Kongesti

27

Gambaran Echocardiography

Aorta Atrium kiri

: Root diameter : Dimension LA/VAo

: 32mm (N) (20-37) : 35mm (N) (15-40) : 1,1mm (N) (<1,3) : Basal: 34mm () (<30) : 49 (N) (35-52) : 41 () (26-36) : 15 () (7-11) : 18 () (7-11) : 34 () (53-77) TAPSE : 19mm

Ventrikel kanan Ventrikel kiri

: Dimension : EDD ESD IVS diastole IVS systole EF

MPAP E/A

: 16mmHg :<1

28

Kesan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Fungsi sistolik LV menurun (EF=34%) Fungsi diastolik LV menurun (E/A<1) Wall motion: global hipokinetik Ruang-ruang jantung: Normal Katup-katup: baik Kontraktilitas RV: baik (TAPSE: 19)

29

Hasil Laboratorium (16 Juli 2013) : Hematologi Hb 12,40 gr% () RBC 4.05 x106/mm3 () WBC 8,66 x10 /mm (N) PLT 214 x 103/mm3 (N) Ht 36,6 % ()
3 3

Metabolisme karbohidrat sewaktu: KGDS : 166,50 mg/dL

Ginjal Kreatinin : 0,70 mg/dl Ureum Elektrolit Natrium : 137 mEq/L Kalium : 3.5 mEq/L Klorida : 110 mEq/L : 33,60 mg/dl

Diagnosa Kerja : CHF fc. III e.c. CAD Fungsional : 1. NYHA fc. III 2. Anatomi : miokardium 3. Etiologi : CAD

Pengobatan: Bed Rest semifowler O2 2-4 L/i (k/p) IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro) Inj. Furosemid 20 mg/8jam ISDN 3x5mg Aptor 1x100mg Spironolactone 1x25mg 30

Simvastatin 1x20mg Laxadin syr 1x1 Alprazolam 1x0,5mg

Rencana Pemeriksaan Lanjutan: EKG serial Echocardiography

FOLLOW UP (17 Juli 2013 22 Juli 2013)

Tanggal 17-07-13

Vital Sign & PF S: Sesak napas (+) O: Sens: CM TD: 150/90 mmHg HR: 76 x/i RR: 20 x/i temp: afebris

Diagnosa

Penatalaksanaan Bed Rest semifowler Diet jantung III O2 2-4 L/i IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro) Inj. Furosemid 20 mg/8jam Aptor 1x100 mg ISDN 3x5 mg Spironolactone 1x25 mg Simvastatin 1x20 mg Laxadine syr

- CHF fc. III e.c. CAD

Kepala : mata: anemia (-), sklera ikterik (-) Leher : TVJ R + 2 cm H2O

34

Auskultasi Jantung: S1(N), S2(N), Murmur : (-), Paru: Suara pernafasan : Vesikular Suara tambahan :ronki basah basal (+/+) Abdomen: Soepel, H/L/R TTB Ekstremitas: Akral hangat, Oedem (-/-) 18-7-13 S: sesak napas (+) O: Sens: CM TD: 130/90 mmHg HR: 80 x/i RR: 20 x/i temp: afebris Kepala : mata: anemia (-), sklera ikterik (-) Leher : TVJ R + 3 cm H2O - CHF fc II-III e.c. CAD -

1xCI Alprazolam 1x0,5 mg

Bed Rest semifowler Diet jantung III O2 2-4 L/i IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)

Inj. Furosemid 20 mg/8 jam ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x75 mg Spironolactone 2x25 mg

Simvastatin 1x20

35

Auskultasi Jantung: S1(N), S2(N), Murmur : (-), Paru: Suara pernafasan : Vesikular Suara tambahan : (-) Abdomen: Soepel, H/L/R ttb Ekstremitas: Akral hangat, Oedem (-/-) 19-7-13 S: O: Sens: CM TD: 110/60 mmHg HR: 72 x/i RR: 18 x/i temp: 36.6C - CHF fc. III e.c. CAD - pro cath (22 Juli 2013) -

mg Laxadine syr 1xCI Alprazolam 1x0,5 mg

Bed Rest Diet jantung III IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)

Inj. Furosemid 20 mg/12 jam

ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x75 mg

Kepala : mata: anemia (-), sklera ikterik (-) Leher : TVJ R + 2 cm H2O Auskultasi Jantung: S1(N), -

Spironolactone 2x25 mg Simvastatin 1x20 mg

Laxadine syr 1xCI

36

S2(N), Murmur : (-) Suara pernafasan : Vesikular Suara tambahan : Abdomen: Soepel, H/L/R TTB Ekstremitas: Akral hangat, Oedem (-/-) 20-7-13 S: O: Sens: CM TD: 130/90 mmHg HR: 80 x/i

Alprazolam 1x0,5 mg

- CHF fc. III e.c. CAD Pro cath (22 Juli 2013) -

Bed Rest semifowler Diet jantung III IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)

RR: 20 x/i temp: afebris -

Inj. Furosemid 20 mg/24jam ISDN 3x5 mg Clopidogrel 1x75 mg

Kepala : mata: anemia (-), sklera ikterik (-)

Spironolactone 1x25 mg

Leher : TVJ R + 2 cm H2O Auskultasi Jantung: S1(N), S2(N), Murmur : (-) -

Simvastatin 1x20 mg Laxadine syr 1xCI Alprazolam 1x0,5 mg

37

Suara pernafasan : Vesikular Suara tambahan : Abdomen: Soepel, H/L/R TTB Ekstremitas: Akral hangat, Oedem (-/-) Hasil Laboratorium 20 Juli 2013 Hematologi Hb 12.60 gr% RBC 4,01 x 106 /mm3 WBC 7,39 x 103/mm3 PLT 245 x 103/mm3 Ht 37,60 % 22-7-13 S: O: Sens: CM TD: 130/780 mmHg HR: 80 x/i RR: 20 x/i temp: afebris - CHF fc. II-III e.c. CAD Bed Rest semifowler Diet jantung III IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro) Inj. Furosemid 20 mg/24jam ISDN 3x5 mg INR : 0,98

38

Kepala : mata: anemia (-), sklera ikterik (-) Leher : TVJ R + 2 cm H2O Auskultasi Jantung: S1(N), S2(N), Murmur : (-) Suara pernafasan : Vesikular Suara tambahan : Abdomen: Soepel, H/L/R TTB Ekstremitas: Akral hangat, Oedem (-/) -

Clopidogrel 1x75 mg Spironolactone 1x25 mg

Simvastatin 1x20 mg Laxadine syr 1xCI Alprazolam 1x0,5 mg

39

BAB IV KESIMPULAN

Pasien laki-laki 62 tahun datang dengan keluhan sesak napas, PND (+), OP (+), DOE (+). Faktor risiko PJK: laki-laki > 45 tahun, perokok. Dari pemeriksaan fisik didapati takipneu , pembesaran batas jantung, ronki basah basal, dan wheezing. Dari hasil EKG didapati Sinus takikardi dengan kesan OMI anteroseptal dan iskemik inferior. Dari foto thorax didapati kesan Kardiomegali, dilatasi aorta, dan kongesti. Pasien didiagnosa dengan gagal jantung kongestif fc III ec CAD (coronary artery disease). Pasien diterapi dengan Bed Rest semifowler, O2 2-4 L/I, IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro), Inj. Furosemid 20 mg/8jam, ISDN 3x5mg, Aptor 1x100mg, Spironolactone 1x25mg, Simvastatin 1x20mg, Laxadin syr 1xCI, Alprazolam 1x0,5mg. Rencana penjajakan selanjutnya adalah EKG serial dan ekokardiografi.

DAFTAR PUSTAKA

Boudi, FB, Ahsan, CH. 2013. Coronary Artery Atherosclerosis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/153647-overview (Accessed 21 July 2013). Boudi, FB, Ahsan, CH. 2013. Risk Factors for Coronary Artery Disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/164163-overview (Accessed 21 July 2013). Dumitru, I, Baker, MM. 2013. Heart Failure. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview (Accessed 22 Juli 2013). Emanuel, LL, Bonow, RO. 2012. Care of Patients with End-Stage Heart Disease. In: Bonow, RO, Mann, DL, Zipes, DP. Braunwalds Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 644. Hansson, GK. 2005. Inflammation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. Review Article The New England Journal of Medicine. N Engl J Med 2005; 352:1685-95. McMurray, JJV, Adamopoulos, S, Anker, SD, et al. 2012. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart Journal: 33: 1787-1847. ODonnell, M, Carleton, PF. 2006. Disfungsi Mekanis Jantung dan Gangguan Sirkulasi. In: Price, SA, Wilson, LM. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes 6th edition. Jakarta: EGC. 631-639.

Anda mungkin juga menyukai

  • Faktor Penghambat
    Faktor Penghambat
    Dokumen9 halaman
    Faktor Penghambat
    Abdullah Khalik
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen12 halaman
    Bab Ii
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • BPH Usu PDF
    BPH Usu PDF
    Dokumen20 halaman
    BPH Usu PDF
    niaaseta
    100% (1)
  • BAB 3 Trauma Vaskular
    BAB 3 Trauma Vaskular
    Dokumen17 halaman
    BAB 3 Trauma Vaskular
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • TRAUMATIK
    TRAUMATIK
    Dokumen51 halaman
    TRAUMATIK
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis
    Appendicitis
    Dokumen25 halaman
    Appendicitis
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen12 halaman
    Bab Ii
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Buerger Disease
    Buerger Disease
    Dokumen34 halaman
    Buerger Disease
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas Paru
    Cover Lapkas Paru
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas Paru
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Chi Kuadrat
    Chi Kuadrat
    Dokumen7 halaman
    Chi Kuadrat
    Magdalena Christine Siahaan
    Belum ada peringkat
  • TRAUMATIK
    TRAUMATIK
    Dokumen51 halaman
    TRAUMATIK
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
    Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
    Dokumen4 halaman
    Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Buerger Disease
    Buerger Disease
    Dokumen34 halaman
    Buerger Disease
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis
    Appendicitis
    Dokumen25 halaman
    Appendicitis
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Lapkas Malaria
    Bab 3 Lapkas Malaria
    Dokumen18 halaman
    Bab 3 Lapkas Malaria
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Presentasi PDF Status Pasien
    Presentasi PDF Status Pasien
    Dokumen18 halaman
    Presentasi PDF Status Pasien
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Forensic
    Forensic
    Dokumen15 halaman
    Forensic
    Nithiyah Maniam
    0% (1)
  • Kondritis
    Kondritis
    Dokumen15 halaman
    Kondritis
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Penanganan Ispa Pada Balita
    Penanganan Ispa Pada Balita
    Dokumen17 halaman
    Penanganan Ispa Pada Balita
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Analisis Chi Square Serta Penerapannya Dalam Penelitian
    Analisis Chi Square Serta Penerapannya Dalam Penelitian
    Dokumen21 halaman
    Analisis Chi Square Serta Penerapannya Dalam Penelitian
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Bedah Saraf
    Bedah Saraf
    Dokumen6 halaman
    Bedah Saraf
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Uji Chi Square
    Uji Chi Square
    Dokumen14 halaman
    Uji Chi Square
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • PH
    PH
    Dokumen17 halaman
    PH
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Uji Chi Square
    Uji Chi Square
    Dokumen14 halaman
    Uji Chi Square
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • PH
    PH
    Dokumen17 halaman
    PH
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Paper PH
    Paper PH
    Dokumen18 halaman
    Paper PH
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • Kondritis
    Kondritis
    Dokumen15 halaman
    Kondritis
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat
  • KONDRITIS
    KONDRITIS
    Dokumen17 halaman
    KONDRITIS
    Nithiyah Maniam
    Belum ada peringkat