Anda di halaman 1dari 8

Persaingan Tidak Sempurna Piero Sraffa dan Joan. V.

Robinson
1. Perkembangan pemikiran Neoklasik menerima berbagai kritik yang dikemukakan
tajam dari para ahli ekonomi sejarah, dan kelembagaan. Kritik itu senantiasa tidak
setuju dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemikir ekonomi klasik dan neo-
klasik, Kritik itu mendapat peluang untuk dikaji oleh pemikir Neoklasik, yang
akhirnya melahirkan teori-teori persaingan tidak sempurna, seperti dikemukakan
oleh Sraffa dan Robinson.
2. Analisis neoklasik yang dikemukakan Sraffa, bahwa pada kurva biaya rata-rata
ada bagian yang menurun, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataan struktur pasar
persaingan sempurna. Justru struktur monopoli banyak ditemukan dalam kenyataannya.
Dengan demikian andaian-andaian yang digunakan dalam struktur pasar persaingan
sempurna tidak realistik. Robinson memperkuat argumantasi sraffa baik dalam
berbagai tulisannya, maupun pada bukunya yang berjudul The Economic of Imperfect
Competation. Perusahaan skalanya semakin besar, dijumlahnya pun tidak banyak,
sehingga mereka dapat mempengaruhi jumlah produksi di pasar, dan sekaligus
menetapkan harga yang tinggi.

3. Dengan meningkatnya harga akan menciptakan laba maksimum. Oleh karena itu akan
dapat mengundang saingan sendiri untuk masuk ke pasar, sehingga tingkat laba
menjadi normal kembali. Bagi perusahaan-perusahaan yang telah established, telah
sukses dan telah berdiri lama mempunyai good-will terhadap langganan-langganannya,
sehingga merupakan rintangan bagi yang baru atau yang akan memasuki pasar. Di
samping itu perusahaan yang sukses ini akan selalu menciptakan rintangan-rintangan
masuk, seperti memperbanyak produksi, menurunkan harga, pelayanan yang memuaskan,
kredit dan sebagainya.
Persaingan Monopolistis dan Keseimbangan Perusahaan Monopolitis
1. Pemikiran Chamberlin sering terasing dan tidak riil tentang teori ekonomi,
bukan karena kesalahan metodenya, tetapi karena asumsi-asumsi yang digunakan tidak
sesuai dengan kenyataan ekonomi yang terjadi. Chamberlin mengamati bahwa kondisi
untuk persaingan sempurna sudah tertinggi, sehingga dia menyusun teori persaingan
monopoli. Kalau sebelumnya ada dua macam struktur pasar yakni persaingan sempurna
dan monopoli murni, maka Chamberlin melihat bahwa kedua sruktur ditemukan serempak
dalam kenyataan, yakni persaingan terjadi, tetapi dengan struktur monopoli,
pertanda-pertanda terjadinya persaingan monopoli antara lain terlihat dengan
adanya kegiatan iklan, korting harga, goodwill perusahaan, pembayaran dengan
kredit, dan peranan konsumen yang lemah dalam penentuan harga barang. Secara
ekonomis masih dilakukan analisis dengan peralatan analisis marjinal.
2. Monopolistic competition (persaingan monopoli) terjadi karena setiap produsen
menghasilkan produk yang hampir sama, masing-masing produk mempunyai ciri-ciri
khusus, sifat-sifat tersendiri, sehingga menimbulkan preferensi pada konsumen.
Masing-masing barang mempunyai keunggulannya. Itulah yang dia monopoli, tidak ada
pada orang lain. Tetapi karena loyalitas konsumen terhadap merk barang, maka ini
pun menimbulkan monopoli. Meskipun dalam pasar mereka melakukan persaingan, baik
dalam perluasaan pasar dengan melalui berbagai kegiatan iklan, maupun dalam hal
kebijaksanaan harga.
3. Keseimbangan perusahaan tidak lagi dalam kondisi optimal, karena perusahaan-
perusahaan itu telah mampu mengontrol harga, dan pengeluaran-pengeluaran untuk
biaya penjualan meningkat, sedangkan ongkos tetap produksi per satuan meningkat.
Hal terakhir ini terutama disebabkan terjadinya under capacity dalam produksi,
sehingga tingkat harga menjadi mahal. Selanjutnya under-capacity ini dapat dipakai
sebagai strategi untuk rintangan masuk ke pasar industri.
4. Struktur pasar yang oligopoli, mengakibatkan George Stigler menyusun teori
tentang kurva permintaan yang patah (kinky demand curve). Hal ini terjadi, antara
lain disebabkan oleh tingkat harga yang stabil. Harga yang stabil ini dapat juga
disebabkan selera dan teknologi yang stabil, kelemahan administrasi, faktor
terjadinya kolusif. Meskipun demikian, jika suatu perusahaan dalam struktur
oligopoli menaikkan harga, belum tentu akan diikuti oleh saingannya, tetapi
cenderung terjadi bilamana satu perusahaan dalam oligopoli menurunkan harga maka
lawan-lawannya akan mengikuti. Bukti-bukti yang ditemukan belum memanfaatkan
berlakunya teori ini. Tetapi, kemungkinan berbagai kelemahan masih belum dapat
diatasi. Teori untuk struktur oligopoli belum dapat digeneralisasikan, karena
masing-masing mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, sehingga perilakunya sukar
untuk diprediksi. Hal ini kembali ke persoalan faktor personal dan impersonal.
Dalam struktur oligopoli khususnya, dan persaingan tidak sempurna umumnya
kebijaksanaan harga cenderung bersifat personal.
Monopoli, Oligopoli dan Konsentrasi
1. Pembatasan struktur pasar monopoli murni telah berlangsung sejak masa ekonomi
Klasik, tetapi struktur pasar oligopoli relatif baru. Kenyataan ekonomi telah
berubah selama akhir abad ke-19 sampai dengan 1930-an, sehingga lahir teori
persaingan tidak sempurna, dan secara lebih khusus timbul struktur pasar
persaingan monopoli dan oligopoli. Dalam hal tertentu, struktur pasar oligopoli
dapat dikatakan sebagai persaingan monopoli terutama untuk oligopoli yang
berdiferensiasi.
2. Berbagai bentuk struktut oligopoli telah dibicarakan, antara lain oligopoli
penuh, oligopoli parsial, oligopoli yang kolusi dan nonklusif, oligopoli terbuka,
dan oligopoli tertutup dan oligopoli homogen dan berdiferensiasi, serta oligopoli
pimpinan baik yang simetrik maupun nonsimetrik.
3. Teori oligopoli sulit untuk menggeneralisasikannya, karena perilakunya telah
bersifat personal, sehingga ada teori untuk tipe-tipe tertentu oligopoli. Perilaku
harga pada oligopoli pimpinan juga tergantung apakah tipenya simetrik atau
nonsimetrik. Kalau simetrik maka terjadi persaingan harga, tetapi kalau
nonsimetrik tingkat harga pimpinan diikuti atau dijadikan pedoman bagi perusahaan-
perusahaan yang relatif kecil.
4. Masalah yang menjadi kontroversi dalam teori oligopoli adalah terjadinya
indeterminasi, yakni tidak adanya penyelesaian keseimbangan yang unique, karena
masuknya faktor-faktor nonekonomi dan tidak adanya koordinasi baik langsung maupun
tidak langsung di antara perusahaan-perusahaan yang independen. Tetapi, kalau di
antara perusahaan itu terjadi kolusi, maka kondisi monopoli terjadi, dan perilaku
perusahaan-perusahaan tersebut terkoordinir baik langsung maupun tidak langsung.
Kolusi formal atau tidak formal, dalam usaha untuk mengatasi risiko ketidakpastian
yang mendatangkan berbagai kerugian.
5. Hubungan antara struktur dengan perilaku yang dikaitkan dengan kinerja industri
semakin mantap digunakan dalam pembahasan-pembahasan oligopoli khususnya,
persaingan tidak sempurna umumnya, karena telah ditemukannya cara-cara pengukuran
tingkat konsentrasi. Dengan ukuran ini, dapat ditentukan tidak hanya tingkat atau
derajat oligopoli, tetapi derajat monopoli dalam suatu barang-barang atau jasa.
Misalnya, semakin tinggi konsentrasi, akibat terjadinya akumulasi modal yang
semakin tinggi, dan di pihak lain terjadi perolehan
REVOLUSI TEORI EKONOMI MAKRO
Depresi Ekonomi dan Relevansi Teori
1. Depresi ekonomi yang terjadi pada tahun-tahun 1930-an telah mendatangkan
musibah bagi kegiatan ekonomi, yang mendatangkan pengangguran yang luar biasa.
Pengangguran berarti yang tidak mempunyai sumber penghasilan yang secara ekonomis
tidak mempunyai daya beli. Apa yang diproduksi tidak dapat diserap pasar, yang
berakibat perusahaan-perusahaan (produsen) mengurangi produksi, sehingga kegiatan
ekonomi menurun dunia telah kelebihan penawaran karena produksi tidak terbeli.
2. Para ahli ekonomi mencoba mencari sebab-musabab terjadinya depresi tersebut,
dan mencoba untuk menyelesaikannya. Berbagai teori ekonomi yang ada ternyata tidak
mampu lagi untuk menjawab persoalan-persolan yang muncul, sehingga mendorong
kekuatan untuk mencari jalan ke luar. Ternyata teori-teori klasik dan neoklasik
mempunyai kelemahan yang berarti, sehingga andaian-andian yang dipakainya tidak
sesuai lagi dengan ekonomi.
3. Dalam teori kesempatan kerja, teori lama itu tidak mengakui adanya pengangguran
terpaksa. Mereka tidak mau berhenti dengan terjadinya penurunan tingkat upah, dan
tidak bersedia bekerja dengan tingkat upah yang rendah. Pengangguran yang terpaksa
ini mengganggu pembahasan teori-teori yang ada. Menurut teori ini, jika
pengangguran terjadi, maka pengusaha harus menurunkan tingkat upah, sehingga semua
penganggur tertampung dan keadaan tetap dalam kesempatan kerja penuh (full
employment). Tetapi ada kelompok-kelompok yang tidak bersedia bekerja dengan
tingkat upah yang relatif lebih rendah.
4. Dalam teori moneter klasik dan neoklasik terjadi pula dikotomi, karena
variabel-variabel riil dalam pasar barang tidak dapat dipengaruhi secara langsung
oleh variabel moneter, karena fungsi uang yang netral. Kaitan antarpasar uang,
pasar tenaga kerja dan pasar barang kurang erat dalam ajaran neoklasik. Uang
mempunyai fungsi hanya sebagai alat tukar, tidak sebagai alat penyimpan nilai atau
kekayaan, sehingga setiap penambahan uang semata-mata diperlukan untuk transaksi.
5. Di samping persoalan tersebut, terjadi pula perbedaan paham tentang peranan
pemerintah dalam mengatasi persoalan depresi ekonomi. Dalam hal ini Keynes dan
beberapa ahli lainnya setuju pemerintah menggunakan pengeluaran untuk pekerjaan
umum sehingga masalah depresi dapat diatasi. Tokoh yang terkenal mengajukan
rekomendasi ini adalah J.M. keynes yang berjasa dalam mengajukan teori-teori baru
yang merupakan revolusi dalam perkembangan teori ekonomi makro. Lingkungan
pembahasan telah menjadi lebih luas, lebih menyeluruh, tidak dapat hanya dengan
analisis mikro.
Kesempatan Kerja dengan Intervensi Pemerintah
1. Inti teori ekonomi makro yang dikemukakan J.M. Keynes adalah kecenderungan
konsumsi (dipihak lain berarti kecenderungan menabung), efisiensi kapital marjinal
(MEC), dan preferensi likuiditas. Selanjutnya, ketiga prinsip yang pokok ini
dilengkapi dengan fungsi-fungsi permintaan, penawaran, dan fungsi produksi.
Perilaku orang menabung berbeda dengan perilaku investor, oleh karena itu dapat
terjadi jumlah investor yang diperlukan tidak sama dengan jumlah tabungan yang
tersedia, atau sebaliknya. Tingkat investasi yang dilakukan tergantung pada MEC,
sedangkan tabungan ditentukan oleh tinggi rendahnya pendapatan.
2. Selanjutnya, penawaran uang tidak hanya untuk keperluan transaksi, pembelian
barang maupun jasa, tetapi juga untuk keperluan spekulasi. Permintaan uang untuk
transaksi tidak ada bedanya dengan yang ditemukan pada pasar uang klasik, tetapi
permintaan yang digunakan untuk spekulasi merupakan hal yang baru sama sekali.
Namun demikian, komponen yang baru ini telah mendekatkan model pembahasan ke dalam
kenyataan ekonomi. Karena fungsi uang bukan semata-mata untuk media-pertukaran,
tetapi juga sebagai penyimpan nilai. Dengan demikian, pada suatu waktu, penggunaan
untuk spekulasi dapat meningkat, dan kebutuhan uang untuk transaksi dapat
terganggu. Misalnya, jika tingkat bunga turun, kecenderungan investasi
diperkirakan meningkat, tetapi dengan komponen kedua itu, harga obligasi dapat
naik dan menimbulkan kelebihan penawaran. Variabel tabungan tidak dipengaruhi
tingkat bunga, tetapi oleh pendapatan, sedangkan investasi yang menciptakan
kenaikan pendapatan. Bukan investasi yang tergantung pada pendapatan. Oleh karena
itu kegiatan ekonomi dapat mendatangkan resesi depresi. Singkatnya, fungsi
investasi itu tidak stabil, sedangkan fungsi tabungan relatif stabil. Dapat
terjadi investasi lebih kecil dari tabungan.
3. Pasar tenaga kerja dihadapkan dengan persoalan adanya pengangguran terpaksa
yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis. Walaupun tingkat upah diturunkan,
ada kelompok masyarakat yang tidak bersedia menerima tingkat upah terlalu rendah.
Untuk mengatasi ini (karena tabungan tidak cukup untuk investasi), maka permintaan
melakukan investasi. Kalau ini terjadi, maka permintaan efektif bangkit dan
kecenderungan konsumsi kembali naik. Jadi aspek (C+I) merupakan komponen
permintaan efektif yang mendorong roda kegiatan ekonomi.
Kontroversi Teori Moneter
1. Teori-teori ekonomi dari Keynes mendapat kritik yang membangun sehingga
mendorong diskusi yang serius penelitian-penelitian untuk menguji hipotetisnya,
serta membuka kemungkinan lahirnya teori-teori baru. Dan penelitian-penelitian itu
fungsi konsumsi mempunyai berbagai variabel. Teori moneter mengalami kontroversi,
karena Friedman mengulas teori kuantitas yang klasik. Penelitian-penelitian yang
lebih intensif dilakukan dalam rangka mengadu teori mana yang relatif lebih sesuai
dengan perkembangan kenyataan ekonomi.
2. Efek-Keynes telah mencoba untuk melihat hubungan antara variabel harga dengan
kebutuhan uang untuk transaksi preferensi likuiditas, di satu pihak, dan
keperluan, untuk spekulasi di pihak lain, yang dapat mendorong tingkat bunga turun
sehingga volume investasi dapat meningkat, sedangkan efek-Pigou dapat pula
menjelaskan bahwa variabel kekayaan dapat mempengaruhi konsumsi. Kalau efek-Keynes
dapat mempengaruhi pasar uang, sedangkan efek-Pigou mempengaruhi pasar barang.
Dengan demikian timbul sintetis antara pemikiran neoklasik dan Keynes.
3. Dalam pengembangan teori-teori konsumsi, berbagai penelitian dilakukan dan
menemukan beberapa variabel yang mempunyai pengaruh pada konsumsi suatu
masyarakat. Ternyata, bukan hanya pendapatan absolut saja yang berpengaruh secara
berarti pada konsumsi, tetapi juga pendapatan relatif, pendapatan permanen, dan
siklus kehidupan. Namun demikian, ketiga penemuan ini menyangkut jangka panjang
sedangkan hipotetis pendapatan absolut adalah dengan acuan waktu jangka pendek.
4. Friedman melanjutkan penelitiannya ke bidang teori moneter dan memugar teori
kuantitas uang, Freidman menganggap bahwa uang adalah kekayaan, bukan saja dalam
pengertian keuangan tetapi juga dalam arti yang luas. Permintaan akan uang
ditentukan oleh tingkat harga obligasi, potensi saham, inflasi, rasio kekayaan
human wealth (kekayaan yang bersifat manusiawi) dan kekayaan yang nonhuman, serta
kekayaan dalam harga berlaku. Variabel terakhir ini merupakan pendapatan demikian,
Friedman melihat bahwa modelnya kurang elastik terhadap variabel suku bunga,
tetapi ternyata bilangan k relatif stabil daripada pengganda permintaan terhadap
uang. Dalam hal membandingkan kedua model itu (model Keynes dan Friedman), perlu
diingat acuan waktu masing-masing.
Aliran Supplyside Economics
1. Teori Unlimited Supplies of Labour merupakan teori tenaga kerja klasik yang
disusun kembali oleh Arthur Lewis. Analisisnya tidak terlepas dari tradisi klasik.
Tradisi klasik dalam hal ini adalah dalam mencapai pertumbuhan dengan akumulasi
modal akan mengubah distribusi pendapatan dalam jangka panjang (distribusi
personal), tetapi terdapat jumlah tenaga kerja berlimpah dengan tingkat upah
subsisten. Sistem ekonomi ini semula terdapat di Eropa masa klasik tetapi sektor
subsisten mengecil, kemudian keadaan itu dijumpai secara luas di negeri-negeri
Asia. Sektor kapitaslis yang modern mempunyai tenaga kerja terampil, dengan
tingkat upah tinggi, produktivitas tinggi, sedangkan di pihak lain tersebar luas
sektor subsisten dengan produktivitas yang sangat rendah, teknologi tradisional
dengan tingkat upah yang rendah. Pada sektor subsisten terjadi kelebihan tenaga
kerja. Tingkat upah subsisten itu ditentukan dengan kebutuhan minimum atau tingkat
produktivitas rata-rata pada sektor pertanian.
2. Investasi yang dilakukan di sektor kapitalis secara umum tidak meningkatkan
upah, namun lebih berarti dalam pembentukan laba dan laba ini sangat kecil yang
diinvestasi kembali karena penanam modal mempunyai kepentingan di luar negeri,
maka dapat terjadi ekspor modal. Ekspor modal tentunya mengurangi pembentukan
modal di dalam negeri. Bahkan kebutuhan dalam negeri sebagian berasal dari impor
yang relatif mahal. Keuntungan komparatif dapat dimiliki negeri ini, tetapi karena
adanya proteksi maka persaingan dapat kalah dari negeri-negeri lain yang relatif
mempunyai pasar bebas.
3. Gejala-gejala kejadian ekonomi 1960-an akhirnya secara nyata ditemukan pada
tahun 1970-an, di mana ekonomi tidak dapat dikelola dari segi permintaan. Dua
dekade tahun setelah Perang Dunia ke-2, pendekatan kebijaksanaan yang menekankan
sisi permintaan pun berakhir. Berbagai faktor yang bersifat struktural muncul yang
tidak mungkin hanya dikelola secara makro melalui sisi permintaan. Baby-boom tahun
1950-an, krisis energi, regulasi ekonomi lingkungan hidup, dan persoalan
persediaan pangan merupakan masalah-masalah yang tidak dapat terselesaikan dengan
pengelola ekonomi permintaan. Oleh karena itu, timbul gagasan untuk mengelola
ekonomi dari sisi penawaran. Pengelolaan ini diatur dari sisi permintaan
pemerintah dikurangi penurunan pajak, baik pajak-pajak pendapatan, maupun pajak
perusahaan dan pajak kredit investasi. Teorinya adalah mengubah perilaku dengan
rangsangan. Dengan menurunnya pajak, maka pendapatan personal meningkat, return
kekayaan meningkat, bunga turun dan arus investasi bertambah. Produktivitas baik,
pendapatan naik, kecenderungan konsumsi naik dengan kondisi ekonomi yang lebih
efisien. Dengan ekonomi yang efisien, barang-barang dapat diekspor, sedangkan
impor relatif mahal dalam hal ini permintaan terhadap kenaikan upah tidak seperti
pada pendekatan permintaan efektif karena inflasi relatif rendah, dan tingkat
pertumbuhan relatif tinggi. Dengan demikian ekonomi terhindar dari stagflasi
walaupun demikian, jika permintaan, maka keadaan sebaliknya dapat terjadi.

Teori Pertumbuhan Ekonomi


1. Karena persoalan-persoalan depresi ekonomi 1930-an telah teratasi, maka muncul
fenomena ekonomi yang lain di Amerika Serikat. Ada pertanda bahwa tingkat
pertumbuhan penduduk menurun, tabungan lebih besar dari investasi, muncullah
hipotesis ekonomi dalam keadaan stagnasi. Gejala itu menandakan menurunnya
permintaan efektif keadaan itu berubah, setelah Amerika Serikat memasuki Perang
Dunia ke-2, di mana permintaan efektif bangkit kembali, karena pengeluaran
pemerintah untuk membiayai perang dan industri senjata.
2. Harrod pada tahun 1939 telah menyusun model pertumbuhan ekonomi yang bertolak
dari prinsip-prinsip yang dipakai Keynes. Teorinya berdasarkan 3 variabel utama,
yakni tingkat pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh rasio tabungan dengan pendapatan
dan rasio modal dengan tingkat pertambahan penduduk, sedangkan tingkat investasi
ditentukan oleh harapan-harapan investor (pengusaha). Dengan demikian dapat
terjadi ketidakstabilan dalam pertumbuhan. Artinya tingkat pertumbuhan yang
direncanakan tidak sama dengan tingkat pertumbuhan yang aktual, yang menyebabkan
terjadinya kelebihan produksi atau kekurangan produksi.
3. Solow yang bertolak dari pemikiran ekonomi Neoklasik menyusun pula teori
pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan teori produksi yang mengatasi kelemahan-
kelemanah model Harrod-Domar. Di sini pun terdapat tiga variabel utama, tetapi
unsur ketidakstabilan itu telah dihilangkan. Fungsi produksi dinyatakan dalam
modal perkapita; pertambahan modal per kapita sama dengan jumlah tabungan per
kapita dikurangi dengan jumlah pertumbuhan investasi per kapita. Output terbagi
dua, yakni untuk konsumsi dan untuk investasi. Dalam model ini ada tiga fungsi
utama, yakni fungsi produksi, fungsi tabungan, dan fungsi investasi. Dengan
demikian, tingkat keseimbangan antara ketiga fungsi itu stabil yang sedang
berkembang, kemungkinan terjadi perangkap-pertumbuhan, karena tingkat akumulasi
modal yang kecil, bahkan tingkat pertumbuhannya dapat lebih kecil dari tingkat
pertumbuhan penduduk.
Sumber Buku Sejarah Teori-teori Ekonomi Karya Disman

RUU LEMBAGA KEUANGAN MIKRO: JANGAN JAUHKAN LEMBAGA KEUANGAN DARI MASYARAKAT

Keuangan mikro merupakan hal yang sangat strategis bagi pengembangan ekonomi
rakyat. Sekitar 39 juta usaha mikro, artinya 98% dari seluruh entitas usaha di
Indonesia, masih menunggu akses keuangan mikro (Tambunan, 2002). Anggaplah bila
kebutuhan kredit usaha mikro berkisar Rp 1 juta, maka kebutuhan dana bagi keuangan
mikro sebesar Rp 39 trilyun. Tentu, sebuah jumlah yang tidak kecil.

Seperti dipahami bersama, usaha mikro sangat sulit mengakses ke perbankan.


Disamping sulit memenuhi persyaratan (5 C), ongkos administrasinya juga sangat
mahal. Taruhlah dengan dana Rp 1 milyar, lebih baik melayani kredit bagi satu
orang, dari pada melayani seribu orang dengan kredit masing-masing Rp 1 juta.

Adanya lembaga keuangan mikro (LKM) bagi para pengusaha mikro, bak �oase� di
padang pasir. LKM merupakan kelembagaan yang memfokuskan diri melayani para
pengusaha mikro. LKM sebenarnya sudah lama ada di masyarakat, namun jumlahnya
terlalu kecil bila dibandingkan kebutuhan para pengusaha mikro.
Dalam kategori Bank Indonesia, LKM dibagi yang berwujud bank serta non bank. Untuk
yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa).
Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), lembaga dana
kredit pedesaan (LDKP), baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat
(LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya
masyarakat (KSM), credit union, dll.

Meski BRI dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman
menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan
mengakses. Terlebih bila keuangan mikro yang diidentikkan dengan penanggulangan
kemiskinan, apakah kedua institusi tersebut melayani yang miskin ? Pertanyaan ini
rasanya agak sulit dijawab.

Kiprah dan Dilema LKM

Merujuk catatan Bisnis Indonesia (13 Januari 2003), dari LKM non bank yang
berjumlah sekitar 9.000 unit, pinjaman yang tersalurkan ke masyarakat baru
berjumlah Rp 2,53 trilyun. Artinya, pelaku usaha yang sudah memperoleh kesempatan
mengakses sumber pembiayaan mikro baru 6,65%.

Jumlah tersebut tentunya masih sangat kecil, sebab hanya melayani 2,5 juta dari 39
juta pengusaha mikro. Tak mengherankan, berdasar kajian Kantor Mennegkop & UKM,
paling tidak dibutuhkan 8.000 unit LKM baru sehingga mampu melayani masyarakat
miskin yang berjumlah hampir 40 juta, untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi
5% tahun ini.

Melihat peran yang strategis dari LKM, kini keberadaannya agaknya akan diakui
secara formal oleh pemerintah. Sinyal ini ditunjukkan dengan digodoknya RUU LKM
oleh Bank Indonesia, yang menyiapkan bersama dengan departemen keuangan. Tentu hal
ini patut disambut gembira, sebab LKM yang bersifat non formal diperkirakan
berjumlah 2/3 dari seluruh LKM non bank.

Belum diakuinya keberadaan LKM non formal secara legal, membuat keraguan bagi
pelakunya untuk mengembangkan diri secara maksimal. Ditakutkan, keberadaannya akan
�diganggu� oleh aparat keamanan atau aparat pemerintah setempat. Disamping itu,
akibat statusnya yang belum legal, membuat kerjasama dengan pihak-pihak lain
ataupun mencari investor menjadi lebih sulit.

Paradoksnya di sisi lain, sinyal akan diakuinya keberadaan LKM non formal juga
membuat kegelisahan bagi pelakunya. Ditakutkan, dengan adanya peraturan justru
akan menghambat kiprah mereka. Trauma akan pengalaman buruk masa Orde Baru, tentu
masih sulit dilepaskan. Pada masa lalu, adanya peraturan bukannya dimaksudkan
untuk mempermudah, namun justru malahan mempersulit kiprah masyarakat.

Dilema ini, tentu harus dicarikan jalan keluarnya. Berbagai kegelisahan dan
ketakutan bukanlah untuk dihindari, namun justru harus dipelajari secara mendalam,
supaya dapat dicarikan solusinya. Oleh sebab itu terutama bagi pembuat RUU LKM,
tentu perlu melakukan studi yang mendalam terhadap berbagai LKM yang telah ada.
Sebab meski mempunyai tujuan baik, namun bila tak mengetahui duduk persoalannya
bisa jadi justru akan merepotkan.

Menyoal RUU LKM


Filosofi dari adanya peraturan bagi LKM tentunya adalah mengakui, melindungi,
memfasilitasi dan mendorong LKM agar dapat berkembang, sehingga dapat melayani
pengusaha mikro lebih banyak. Disamping itu prinsip subsidiaritas harus dijaga,
yaitu fungsi yang dapat dilakukan di bawahnya tak perlu diambil alih oleh yang di
atasnya.

Hal itu dimaksudkan, supaya yang berada di bawah akan semakin berdaya, sementara
yang diatasnya juga akan mengurus yang sesuai levelnya. Dengan demikian, keduanya
akan berkembang sesuai dengan �level� yang digumulinya (level of playing field).

Mencoba menyimak RUU LKM yang kabarnya kini berada di departemen keuangan,
terdapat pasal-pasal yang menggelisahkan, salah satunya pada pasal 10. Dikatakan,
LKM yang menghimpun total simpanan lebih dari Rp1 milyar, wajib mengubah bentuk
usahanya menjadi BPR atau Koperasi.

Nampak jelas, asumsi dari pembuat RUU tentang LKM disamakan dengan �Bank Mikro�.
Artinya sebuah bank yang sangat kecil, bila berkembang agak besar lalu �naik
kelas� menjadi BPR. Asumsi ini, rasanya terlalu menyederhanakan persoalan.

LKM adalah lembaga keuangan yang memfokuskan diri melayani pengusaha mikro,
terlepas dari besar kecil dari LKM tersebut. Mengapa LKM ada ? Seperti diketahui
bersama, lembaga keuangan (bank) pada umumnya jarang menyentuh sektor yang
marjinal ini. Jadi letak soalnya bukan besar kecilnya LKM, namun pada fungsi (core
competence) dari keberadaan LKM. Bila LKM melayani sektor usaha menengah atau
besar, ia sudah tak bisa dikatakan LKM.

Semakin besar LKM asal sesuai fungsinya tentu patut didukung, sebab akan melayani
semakin banyak pula pengusaha mikro (masyarakat miskin). Sebagai contoh saja, di
Bangladesh terdapat banyak LKM yang melayani pengusaha mikro (client) dengan
jumlah sangat besar. Ambil contoh saja, BRAC (3,5 juta client), Grameen (2,5 juta
client), ASA (2,5 juta client), Proshika (1,7 juta client), dll.

Nampak jelas, untuk melayani pengusaha mikro yang jumlahnya puluhan jutaan
diperlukan capital resources yang cukup besar, namun belum tentu kemudian harus
diwujudkan menjadi bank. Bukankah apabila berwujud menjadi bank, lagi-lagi
pengusaha mikro akan kesulitan kembali untuk mengakses, sebab harus berhadapan
dengan prosedur yang konvensional.

Lalu duduk soal yang kedua, bila LKM menjadi besar dan tidak menjadi BPR,
diharuskan menjadi koperasi. Kecenderungan koperasi (keuangan) yang dimaksud di
sini tentunya koperasi simpan pinjam (KSP), yang kemudian harus mengikuti aturan
perkoperasian.

Memang tak ada yang salah dengan KSP. Yang menjadi persoalan, bila para pengusaha
mikro yang bukan anggota dan ingin meminjam kredit ke KSP. Apakah pengusaha mikro
itu, harus menjadi anggota KSP dahulu? Prosedur ini terasa menjadi panjang dan
bisa membuat enggan pengusaha mikro, yang sebagai pelaku bisnis biasanya ingin
perolehan dana secara cepat. Dan lagi, belum tentu semua pengusaha mikro
berkeinginan menjadi anggota koperasi.

Penutup

Adanya sinyal dari pemerintah untuk mengakui keberadaan LKM secara legal, tentu
patut disyukuri. Dengan adanya legalitas, akan memupus rasa keraguan para pelaku
LKM, sehingga mereka bisa mengembangkan usahanya secara maksimal. Berbagai
kerjasama dengan investor atau lembaga (keuangan), tentu juga akan jauh lebih
terbuka.
Namun niat baik saja ternyata belum cukup. Bila tak cukup dipahami berbagai LKM
yang telah ada, lalu dibuat aturan, akibatnya justru akan terjadi sebaliknya dari
harapan. Perkembangan dari LKM dikhawatirkan justru akan terhambat. Padahal, saat
ini LKM sangat dibutuhkan bagi 39 juta usaha mikro.

Dan sayangnya, sinyalemen kurang dipahaminya LKM cukup terasa dalam RUU Lembaga
Keuangan Mikro ini, dimana aturannya cenderung memperlakukan mirip dengan
perbankan. Padahal, pada dasarnya LKM berkembang justru akibat menyesuaikan dengan
karakteristik masyarakat setempat (community based microfinance). Dan acapkali,
nature-nya bisa berbeda dengan perbankan. Apakah kita, akan membuat lembaga
keuangan menjadi jauh dari masyarakat (miskin) kembali ?

* Tulisan ini merupakan versi lengkap yang telah dimuat di Bisnis Indonesia

Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for
Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai