Anda di halaman 1dari 7

Uji Klinis

Evaluasi Komparatif dari Griseofulvin, Terbinafine dan Fluconazole pada Penatalaksanaan Tinea Kapitis
Chander Grover1, Pooja Arora1, Vikas Manchanda2

Abstrak Tinea kapitis (TK) merupakan infeksi jamur yang umum pada anak-anak yang apabila tidak diobati dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut untuk jangka waktu yang lama. Beberapa obat antifungal yang terbukti efektif untuk pengobatan TK dapat ditemukan. Namun variasi dari frekuensi dosis obat yang harus dikonsumsi, perubahan epidemiologi dan meningkatnya kasus resistensi obat merupakan faktor yang menghambat pengobatan pada beberapa kasus. Sebuah penelitian cross-sectional, prospektif, tanpa ketersamaran tentang tiga jenis obat yang sering digunakan (terbinafine, griseofulvin, dan fluconazole) dilakukan pada anak-anak 12 tahun yang datang ke rumah sakit super spesialis bagian pediatrik. Perbandingan efektivitas dari ketiga jenis obat ini dievaluasi. Sejumlah 75 pasien (masing-masing 25 pasien tiap kelompoknya) yang menyelesaikan protokol penatalaksanaan yang telah dirancang diikutsertakan pada analisis akhir. Sebanyak 60% pasien mempunyai TK tipe noninflamasi dan 56% mempunyai pola ektotriks pada pemeriksaan mikroskopi rambut. Trichophyton violaceum adalah jenis jamur yang paling sering diisolasi. Tingkat kesembuhan sebesar 95%, 88%, dan 84% dicapai oleh griseofulvin, terbinafine, dan fluconazole secara berurutan. Secara umum, 7 pasien membutuhkan pengobatan jangka panjang dan tidak ditemukan efek samping dari terapi. Griseofulvin tetap menjadi obat pilihan untuk penatalaksanaan TK. Terbinafine merupakan obat terbaik setelahnya dan menawarkan keuntungan dari durasi terapi yang lebih singkat. Fluconazole secara relatif mempunyai tingkat kesembuhan yang rendah namun lebih mudah digunakan dari kedua obat lainnya.

Introduksi Tinea kapitis (TK) merupakan infeksi jamur pada kulit kepala yang lazim terjadi pada anakanak.1 Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai penting untuk mencegah transmisi, terbentuknya jaringan parut dan kehilangan rambut permanen. Variasi obat antijamur sistemik seperti griseofulvin, terbinafine, fluconazole, ketoconazole dan itraconazole telah digunakan untuk penatalaksanaan TK.2 Griseofulvin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk pengobatan TK,2 tapi meningkatnya tingkat resistensi terhadap obat ini telah dilaporkan.1 Penelitian ini dilakukan untuk menilai perbandingan efektivitas dari ketiga jenis obat antijamur yaitu griseofulvin, fluconazole, dan terbinafine. Materi dan Metode Sebuah penelitian cross-sectional, prospektif ,dan tanpa ketersamaran dilakukan pada anak dengan TK (dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopis) dengan usia 12 tahun. Subyek penelitian adalah anak yang datang dengan keluhan kerontokan rambut yang tidak merata dan rambut yang mudah dicabut dengan atau tanpa inflamasi yang berhubungan. Pasien yang telah menggunakan obat antijamur oral atau topikal selama 6 minggu terakhir sebelum dilakukan penelitian dan yang tidak menyetujui untuk berpartisipasi tidak diikutsertakan dalam penelitian. Data demografik, sosioekonomi dan faktor predisposisi untuk penyebaran TK dianalisis. Tipe morfologi awal dari TK dan perubahan selama terapi didokumentasikan. Keberadaan tinea pada anggota tubuh lain atau pada individu yang memiliki kontak erat dengan subyek penelitian juga dinilai. Melalui pemeriksaan mikroskopik dari rambut dengan kalium hidroksida (KOH) 10%, infeksi diklasifikasikan menjadi endotriks, ektotriks, atau campuran. Kultur dengan Agar Dekstrosa Saborauds (Oxoid, Basingstoke, UK) dilakukan pada semua kasus untuk mengisolasi jamur. Pasien dikelompokkan menjadi 3 kelompok pengobatan. Kelompok 1 termasuk 7 pasien dengan TK tipe inflamasi, 15 pasien dengan TK tipe noninflamasi, dan 3 pasien dengan TK tipe campuran. Seluruh pasien menerima griseofulvin 15-20 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis per hari untuk 6 minggu dan dikonsumsi dengan makanan berlemak.

Kelompok 2 berisi 9 pasien dengan TK tipe inflamasi, 14 pasien dengan TK tipe noninflamasi, dan 2 TK tipe campuran. Pasien dalam kelompok ini menerima fluconazole 6-8 mg/kg diberikan tiap minggu selama 6 minggu. Kelompok 3 berisi 7 pasien dengan TK tipe inflamasi, 16 pasien dengan TK tipe noninflamasi, dan 2 pasien dengan TK tipe campuran. Pasien dalam kelompok ini menerima terbinafine 3-5 mg/kg/hari selama 2 minggu. Variasi dalam jadwal pemberian dosis menyebabkan ketersamaran (blinding) tidak dapat dilakukan. Pengobatan dalam tiap kelompok dapat diperpanjang 2-4 minggu jika pasien menunjukkan perbaikan namun belum sepenuhnya sembuh. Kesembuhan klinis dinyatakan ketika tanda klinis berupa sisik sudah mereda dan rambut sudah tidak mudah dicabut. Kesembuhan mikologis didefinisikan ketika sudah tidak didapatkan spora jamur pada pemeriksaan KOH sampel yang didapatkan dari daerah representatif. Kesembuhan lengkap (klinis dan mikologis) diperlukan sebelum pasien dapat dinyatakan sembuh dan tidak membutuhkan terapi lagi. Hasil terapi tiap obat dari ketiga obat tersebut dibandingkan secara statistik dengan uji signifikansi Fishers exact. Langkah-langkah pencegahan umum direkomendasikan seperti tidak berbagi sisir, handuk dan aksesoris rambut. Tidak ada dari pasien yang disarankan untuk mencukur kepala mereka atau absen dari sekolah. Semua pasien disarankan untuk menggunakan sampo ketoconazole 2%. Tidak ada terapi topikal yang diberikan. Beberapa pasien dengan peradangan yang luas diberikan prednisolone oral 1 mg/kg/hari untuk 1-2 minggu. Pemeriksaan hematologi dan biokimia rutin dilakukan pada awal penelitian dan diulang setelah 2 minggu pada kelompok 3 dan setiap 3 minggu pada kelompok 1 dan 2. Tiap efek samping dari terapi yang muncul didokumentasikan seperti diare, kelainan indera perasa dsb. Hasil Sebanyak 75 pasien (25 dari tiap kelompok) yang menyelesaikan protokol penatalaksanaan dimasukkan untuk analisis akhir. Usia rata-rata dari anak yang terkena adalah 6,46 tahun (yang termuda berusia 1 tahun). Mayoritas dari anak (25,3%) berada pada kelompok umur 8-10 tahun. Kedua gender terkena hampir sama banyak, rasio laki-laki : perempuan adalah 1:1,14.

Tinea kapitis tipe noninflamasi lebih sering terjadi (60,0%) dibandingkan tipe inflamasi (30,7%). Tipe morfologi campuran terlihat dalam 9,3% kasus. Tiga kasus menunjukkan perubahan dari morfologi (bercak keabuan menjadi pustul) selama pengobatan. Diantara kasus TK tipe noninflamasi, pola black dot lebih sering ditemukan (34,6% kasus). Secara mikroskopis, pola ektotriks lebih sering ditemukan (56%) dibandingkan endotriks (42%). Kedua pola secara simultan muncul pada 1 pasien pada pemeriksaan awal dan pada 4 kasus selama pengobatan (awalnya dikelompokkan sebagai endotriks). Trichophyton violaceum adalah jenis jamur yang paling sering dapat diisolasi dan ditemukan pada 68% pasien (n=51). Didapatkan masing-masing 1 kultur dari Trichophyton rubrum dan Trichophyton tonsurans. Pada 2 spesimen didapatkan tumbuh kontaminan. Pada 20 kasus didapatkan kultur tidak memperlihatkan pertumbuhan di akhir dari minggu keenam. Spesies yang ditemukan pada masing-masing kelompok diperlihatkan pada Tabel 1. Hasil penatalaksanaan dirinci pada Tabel 2. Pada kelompok 1, 24 pasien dinyatakan sembuh (96%). Empat pasien dari kelompok ini membutuhkan durasi terapi yang lebih panjang selama 78 minggu. Dari 4 pasien ini, 3 diantaranya menderita TK tipe noninflamasi (black dot) dengan T. violaceum dan 1 pasien menderita TK tipe inflamasi (kerion) dengan tanpa pertumbuhan pada kulturnya. Hanya 1 pasien menderita TK tipe noninflamasi dengan T. violaceum yang tidak diobati dalam kelompok ini. Pada kelompok 2, 21 pasien dinyatakan sembuh (84%), 1 diantaranya membutuhkan pemanjangan durasi terapi. Pasien ini menderita TK tipe inflamasi (kerion) dengan kultur jamur yang negatif dan membutuhkan 10 minggu dari terapi fluconazole. Empat pasien ( 1 dengan TK tipe inflamasi dan 3 dengan TK tipe noninflamasi) terinfeksi dengan T. violaceum gagal berespon terhadap pengobatan. Pada kelompok 3, 22 pasien (88%) dinyatakan sembuh walaupun 2 diantaranya membutuhkan pemanjangan durasi terapi. Kedua anak ini mempunyai TK tipe noninflamasi; 1 terinfeksi dengan T.violaceum dan yang lainnya terinfeksi dengan jamur yang tidak dapat teridentifikasi dan membutuhkan terapi berkepanjangan selama 4 minggu untuk mencapai kesembuhan. Tiga pasien terinfeksi dengan T.violaceum tidak dapat disembuhkan dengan terbinafine.

Perbandingan dari hasil pada kelompok 1 dan 2 menghasilkan odds ratio (OR) sebesar 1,14 (95% confidence interval [CI] 0,94-1,38; uji Fishers exact, P = 0,349). Perbandingan yang sama dari kelompok 1 dan 3 menghasilkan OR sebesar 1,09 (95% CI 0,92-1,28; P = 0,609). Perbandingan antara kelompok 2 dan 3 menghasilkan OR sebesar 0,95 (95% CI 0,76 -1,19; P=1.000). Perbedaan pada hasil terapi antar kelompok tidak signifikan secara statistik. Enam pasien membutuhkan prednisolone oral (1 mg/kg) selama 1-2 minggu. Dua diantaranya merupakan kasus kerion, 3 kasus TK pustular, dan 1 kasus gray patch TK yang berubah menjadi kasus TK pustular setelah dimulainya terapi. Tidak ada efek samping dari terapi yang tercatat pada ketiga kelompok. Pembahasan Tinea kapitis adalah infeksi jamur yang lazim ditemukan khususnya pada anak-anak di daerah perkotaan.2 Penyakit ini menular dan lebih baik ditemukan dan diobati secara dini. Sebanyak 75 anak yang diikutsertakan dalam penelitian kami mayoritas merupakan anak sekolah di daerah perkotaan dengan rentang usia 8-10 tahun. Sama seperti studi yang dilakukan sebelumnya,3-4 TK tipe noninflamasi ditemukan lebih sering daripada tipe inflamasi pada penelitian kami. Jenis jamur yang ditemukan paling sering pada penelitian kami adalah T. violaceum, yang merupakan jamur yang paling sering ditemukan di India,4 Pakistan,5 dan Nepal.3 Pada penelitian kami paling sering ditemukan pola invasi ektotriks. Beragam penelitian sebelumnya dari spektrum klinis TK menegaskan korelasi yang rendah antara presentasi klinis dan mikroskopis. Zhu et al,6 melaporkan bahwa pola endotriks dan ektotriks pada kasus yang secara klinis tampak sebagai kerion. Identifikasi dari spesies jamur bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya dari pola klinis dan mikrobiologis dari pasien secara individual. Tricophyton violaceum telah dilaporkan menghasilkan bermacam-macam gambaran klinis.7 T. rubrum telah dilaporkan untuk menyebabkan pola invasi endotriks dan ektotriks pada batang rambut.6 Hussain et al.7 dan Sehgal et al.8 melaporkan telah mengisolasi T. violaceum dari TK tipe inflamasi dan noninflamasi seperti black dot, gray patch, kerion, folikulitis seboroik dan folikulitis agminate. Lebih lanjut, koinfeksi dari morfologi klinis yang berbeda pada pasien yang sama telah dilaporkan oleh Jahangir et al.5 Disebabkan oleh variasi yang luas, penyakit ini dikatakan mempunyai spektrum klinis yang luas.5 Lesi inflamasi

dilaporkan mulai terbentuk ketika inang membentuk hipersensitifitas tipe lambat. Ini menjelaskan kenapa TK berevolusi menjadi inflamasi (pustular) ketika dimulainya terapi pada sejumlah kecil pasien kami. Griseofulvin telah dianggap sebagai terapi lini pertama dari TK.1 Obat ini memberikan tingkat kesembuhan yang paling tinggi (96%) pada penelitian kami. Kami tidak menemukan efek samping yang signifikan. Pada dosis yang diberikan, obat ini mempunyai profil keamanan dan dapat ditoleransi secara baik.9 Namun, 16% dari pasien yang mendapatkan griseofulvin membutuhkan terapi berkepanjangan sampai 7-8 minggu. Ini menggambarkan beberapa faktor seperti reaksi inang, jenis infeksi, dan faktor yang berkaitan dengan obat. Studi sebelumnya melaporkan tingkat resistensi yang meningkat terhadap griseofulvin.1,9 Peningkatan bertahap dari dosis dan durasi terapi dengan griseofulvin seperti rekomendasi dari Komite Penyakit Infeksius dari American Academy of Pediatrics secara jelas merupakan tanda-tanda dari perubahan situasi klinis. Interval dosis dari 201-25 mg/kg/hari9 sekarang digunakan untuk hasil yang optimal. Pengurangan dari efektivitas griseofulvin selama bertahun-tahun disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan pola epidemiologi, mutasi genetik dari jamur yang menyebabkan berkurangnya kerentanan jamur, penggunaan jangka panjang dari obat, dan komplians yang rendah yang diakibatkan oleh panjangnya durasi pengobatan.1 Dengan tingkat kesembuhan 88%, terbinafine merupakan obat kedua terbaik dalam penelitian kami. Keuntungan dari obat ini adalah durasi pengobatan yang lebih singkat sehingga mempunyai komplians pengobatan yang lebih tinggi. Pengobatan diperpanjang sampai 4 minggu pada 8% pasien dalam kelompok pengobatan ini. Terbinafine dilaporkan sangat efektif untuk spesies Tricophyton,1 walaupun diperlukan pengobatan sampai 8 minggu untuk infeksi spesies Microsporum canis.10 Namun, biaya yang dikeluarkan untuk terapi dengan terbinafine lebih tinggi dibandingkan dengan griseofulvin. Di India, terbinafine hanya ada dalam bentuk tablet. Formulasi dosis yang lebih baik sangat dibutuhkan. Fluconazole yang diberikan dalam dosis mingguan merupakan pengobatan yang paling tidak efektif dalam penelitian kami. Obat ini memberikan tingkat kesembuhan yang paling rendah (84%). Namun, obat ini sangat aman dan mudah diberikan. Penelitian sebelumnya melaporkan dosis yang lebih tinggi (8mg/kg/minggu) dengan durasi yang lebih panjang (12-16 minggu) dibutuhkan untuk keberhasilan regimen dosis mingguan ini.11 Regimen dosis standar dari

fluconazole pada penatalaksanaan TK masih belum ditentukan. Interval dosis dari 6 mg/kg setiap hari12 atau 8 mg/kg sekali seminggu11 telah dilaporkan mempunyai efektifitas yang bervariasi. Shampo antijamur seperti ketoconazole 2%, selenium sulfida 2,5%, zinc pyrithione, dan povidone iodine 4%, mengurangi beban spora dan pelepasan dari antrokonidia.9 Dengan tidak berbagi alat-alat yang kontak dengan kepala dan alat-alat berdandan juga membantu mengurangi transmisi melalui substansi-substansi yang dapat menyebarkan jamur. Kami tidak menyarankan untuk mencukur rambut karena dapat menimbulkan ejekan dan pengasingan dari masyarakat. Prednisolone oral sebagai tambahan diperlukan untuk 8% dari pasien kami. Ditemukan hasil yang bertolak belakang dari penelitian yang ada mengenai kegunaan dari steroid. Namun pada penelitian kami, prednisolone secara signifikan mengurangi inflamasi dan mencegah kehilangan rambut lebih lanjut. Beberapa keterbatasan ditemukan dalam penelitian ini. Mayoritas dari pasien kami terinfeksi oleh T. violaceum dan mempunyai TK tipe noninflamasi. Profil pada daerah geografis lain dapat berbeda. Lainnya, hasil dari masing-masing kelompok pengobatan menunjukkan tren yang sudah jelas tapi dikarenakan jumlah subyek penelitian yang terbatas, perbedaan itu tidak signifikan secara statistik. Lebih lanjut, dikarenakan jumlah pasien yang sedikit, tidak ada standarisasi lebih lanjut dari kelompok yang mungkin dilakukan. Kesimpulannya, griseofulvin terbukti menjadi pengobatan yang paling efektif pada penelitian kami. Namun, posisi griseofulvin yang dahulu jauh lebih superior dari obat antijamur lain terkikis dengan cepat. Terbinafine menawarkan keuntungan dari durasi terapi yang lebih pendek pada infeksi oleh spesies Tricophyton. Fluconazole lebih mudah diberikan pada anak kecil. Studi terkontrol lebih lanjut dengan jumlah pasien yang lebih besar, perbandingan antara kelompok yang lebih terstandar, dan cakupan dari area geografis yang berbeda dibutuhkan untuk menjawab isu ini.

Anda mungkin juga menyukai