Anda di halaman 1dari 6

Iffah Karimah 1106056106 Tugas Kliping Hukum Pajak

Pemprov DKI Revisi Aturan Pajak Warteg


(Jawa Pos, Selasa 8 Oktober 2013)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diwakili oleh Gubernur Joko Widodo berencana merevisi Perda DKI Jakarta No 11 Tahun 2011 yang mengatur tentang pajak restoran dan warung tegal (warteg). Revisi tersebut disusun berdasarkan hasil dialog dengan DPRD DKI Jakarta. Menurut Gubernur Jokowi, dengan revisi tersebut, diharapkan Perda tersebut dapat diterima oleh semua pihak dan tidak memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Pajak yang dikenakan ke warteg memang menjadi sebuah pro kontra dalam masyarakat. Warteg biasanya identik dengan masyarakat menengah ke bawah, bahkan masyarakat bawah1. Pajak tersebut akan memberatkan bila berdampak pada kenaikan harga makanan di warteg, yang menyebabkan harga makanan di warteg tidak lagi ramah bagi masyarakat kecil. Namun disisi lain, ada pihak yang menganggap wajar jika warteg dikenakan pajak sebab tidak sedikit warteg yang memiliki omzet sampai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah per hari. Jika pajak warteg dihapuskan, maka Pemda DKI Jakarta berpotensi kehilangan potensi penerimaan pajak dari warteg-warteg di DKI Jakarta yang berjumlah ribuan.2 Menurut UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, untuk menambah pemasukan bagi Daerah, Pemda diperbolehkan untuk melakukan perluasan objek pajak. Artinya, Pemda memiliki diskresi dalam menetapkan tarif pajak pada sesuatu yang
Tempo.com, Ramai-ramai Tolak Pajak Warteg. Rabu, 01 Februari 2012 pukul 03:42 WIB diakses di http://www.tempo.co/read/news/2012/02/01/214380914/Ramai-ramai-Tolak-Pajak-Warteg Tempo.com, Jokowi Dinilai Tak Adil Hapus Pajak Warteg. Selasa, 08 Oktober 2013 pukul 05:12 WIB diakses di http://www.tempo.co/read/news/2013/10/08/083519983/Jokowi-Dinilai-Tak-Adil-Hapus-PajakWarteg
2 1

sebelumnya bukan merupakan objek pajak. Berdasarkan hal tersebut, Pemprov DKI Jakarta membuat Perda No 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Perda ini menyebutkan bahwa selain pajak restoran bagi usaha restoran, para pedagang warteg dikenakan pajak sebesar 10% bagi warteg yang penghasilannya di atas Rp540 ribu per hari atau di atas Rp200 juta per tahun. Jika dikaitkan dengan teori-teori dalam hukum pajak, Pemprov DKI Jakarta berdasarkan kewenangannya telah melakukan instensifikasi pajak (membuat objek pajak baru), dalam hal ini menjadikan warteg sebagai objek pajak layaknya restoran. Meskipun pengenaan pajak warteg 10% tidak sebesar pajak restoran yang 21%, namun sudah selayaknya Pemprov DKI Jakarta memperhatikan beberapa aspek sebelum mengenakan pajak. Menurut asas falsafah hukum dalam hukum pajak, pajak seharusnya diterapkan secara adil agar tidak menjadi beban bagi masyarakat. Juga harus diperhatikan sesuai dengan Teori Daya Beli dalam justifikasi pajak, apakah keluarnya tarif pajak akan mempengaruhi daya beli masyarakat? Bila dampaknya positif, barulah pajak boleh dipungut. Dalam hal ini daya beli konsumen warteg harus diperhatikan, bagaimana dampak daya beli konsumen dengan adanya pajak warteg. Menurut pendapat saya, jika pun pajak warteg harus diterapkan, maka harus diterapkan secara adil. Pajak tersebut boleh diterapkan untuk warteg-warteg yang memang memiliki omzet besar, namun tidak untuk warteg-warteg kecil yang jumlah omzet per harinya tidak menentu. Selain itu pemberian tarif pajak warteg haruslah memperhatikan daya beli masyarakat, jangan sampai penerapa pajak warteg berpengaruh sangat signifikan terhadap harga makanan di warteg, sehingga warteg tidak lagi menjadi alternatif tempat makan bagi masyarakat menengah ke bawah.

Cekak Pendapatan di Hulu Migas


(Prioritas, Edisi 78-Tahun II, 08-14 Juli 2013)

Penerimaan Negara dari pajak migas dan pertambangan terus anjlok. Menurut laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah kekurangan penerimaan minimal Rp2,35 triliun akibat kurang optimalnya penerimaan pajak di sektor migas. Menurut Direktur Indonesia

Resources Studies (IRESS), turunnya pendapatan negara di sektor migas dikarenakan turunnya target produksi minyak bumi. Hal tersebut diperparah dengan kondisi cadangan minyak Indonesia yang terus turun drastis. Namun menurut Direktorat Jenderal Pajak Fuad Rahmany, hal tersebut dikarenakan penjaringan pajak di bidang pertambangan dan migas tidak maksimal karena banyaknya stakeholder di sektor tersebut. Sektor migas dan pertambangan di Indonesia seharusnya menjadi sumber pendapatan pajak yang besar, namun sayangnya masih kurang optimal dalam hal penerimaan pajaknya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, perusahaan migas sedang mengalami penurunan pendapatan sehingga target pajak juga menurun. Artinya, bila produksi migas sedikit, otomatis pendapatan pajak migas juga sedikit. Faktor kedua, belum optimalnya fiskus/pemungut pajak dalam menarik pajak dari sektor migas. Dalam artikel disebutkan, penurunan hasil pajak dari sektor migas disebabkan karena adanya inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam perhitungan pajak penghasilan minyak dan gas bumi (PPh Migas) dan penghitungan bagi hasil migas. Selain itu disebabkan karena kurangnya koordinasi dalam pencatatan dan penagihan PPh Migas oleh Dirjen Pajak. Dalam UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan dalam pasal 31 ayat (2) bahwa perusahaan yang bergerak di bidang migas wajib membayar pajak kepada negara berupa pajak-pajak, bea masuk, pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah, dan retribusi daerah Kasus diatas dapat dikaitkan dengan Convenience of Payment dan Asas Finansial di dalam hukum pajak. Artinya, pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang tepat agar tidak memberatkan masyarakat. Dalam hal ini, apabila sektor migas sedang mengalami penurunan produksi, tidaklah tepat bagi pemerintah untuk memaksakan pemungutan pajak sesuai dengan target. Selain itu, bisa juga hutang pajak perusahaan migas hapus karena daluarsa apabila dalam pelaksanaannya ternyata tidak ada petugas pajak yang datang memungut pajak kepada mereka. Seyogyanya, pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kondisi subjek pajak. Jangan sampai pemungutan pajak itu dipungut saat kondisi ekonomi sedang lesu karena akan berdampak sedikit subjek pajak yang mau membayar pajak. Sebaiknya pajak ditarik ketika perusahaan migas sedang mengalami keadaan yang membaik.

Memburu Peluang Baru


(Prioritas, Edisi 78-Tahun II, 08-14 Juli 2013)

Target pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2012, target pajak sebesar 29%, dan turun menjadi 17% pada tahun 2013. Menurut Menteri Keuangan Chatib Basri, turunnya target penerimaan pajak dikarenakan kondisi perekonomian global yang sedang lemah. Selain itu, penerimaan pajak turun karena kurangnya penerimaan dari sektor pertambangan dan migas. Menurut Pengamat Migas Marwan Batubara, penyebab lain dari menurunnya pendapatan pajak karena adanya penggelapan pajak dan penyelewengan oleh petugas pajak. Oleh karena itu, Dirjen Pajak melakukan upaya untuk menambah penerimaan pajak tahun ini, misalnya dengan menambah pajak dari sektor properti. Ada banyak faktor yang menyebabkan target pajak tidak tercapai, yaitu lemahnya sektor perekonomian, kurang optimalnya pemasukan dari sektor tertentu, penggelapan pajak, dan penyelewengan oleh petugas pajak. Hal ini tentu saja dapat menghambat pembangunan negara yang bersumber dari APBN, karena salah satu penerimaan APBN terbesar adalah dari pajak. Jika dikaitkan dengan teori hukum pajak, maka pemerintah harus bertindak bijak dengan memungut pajak pada saat yang tepat. Bila perekonomian sedang lesu, sebaiknya pemerintah tidak memungut pajak atau meringankan beban pajak agar tidak menambah beban perekonomian bagi masyarakat. Selain itu dapat dilihat dalam kasus diatas bahwa banyak subjek pajak yang melakukan penghindaran pajak. Tindakan penggelapan pajak adalah salah satu cara penghindaran pajak ilegal dimana subjek pajak dengan sengaja tidak mau membayar pajak yang menjadi kewajibannya. Solusi dari pemerintah untuk menambah pajak dari sektor properti termasuk salah satu upaya intensifikasi pajak yaitu memperluas objek-objek pajak.

Penerimaan Perpajakan Baru Rp751,9 Triliun atau 65,5%: Realisasi Belanja Modal 37,5%
(Koran Jakarta, Kamis 10 Oktober 2013)

Penerimaan perpajakan dalam negeri baru mencapai angka Rp751,9 Triliun atau 65,5% dari target penerimaan pajak. Dari penerimaan dalam negeri, pemasukan dari Pajak Penghasilan Rp357,3 Triliun dan pemasukan dari Pajak Pertambahan Nilai Rp357,3 Triliun. Oleh karena itu Dirjan Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengharapkan realisasi belanja modal baru mencapai 37,5% per September 2013. Sebab apabila pengeluaran melebihi dari pemasukan pajak yang masuk, akan terjadi ketimpangan dalam neraca keuangan Indonesia. Dalam artikel ini dapat kita lihat jelas salah satu fungsi pajak yang penting yaitu fungsi budgeter. Pajak berguna sebagai sarana untuk mengumpulkan anggaran bagi pembangunan negara. Apabila masyarakat tidak membayar pajak sesuai dengan kewajibannya masingmasing, maka negara akan sulit untuk melaksanakan fungsinya, terutama di fungsi pembangunan. Oleh karena itu, untuk menyokong keberlangsungan negara Indonesia, sudah selayaknya kita membayar pajak karena kewajiban kita sebagai Warga Negara Indonesia.

Optimalisasi Penerimaan: Ditjen Pajak Harus Fokus Kejar Pedagang Sektor Migas
(Koran Jakarta, Kamis 10 Oktober 2013)

Direktorat Jenderal Pajak diminta fokus untuk mengejar para pengusaha di sektor pertambangan dan perkebunan yang tidak patuh dalam membayar pajak yang menjadi

kewajibannya. Pengusaha di sektor tersebut yang belum membayar pajak ada sekitar 30-40% dari totalnya. Hal tersebut menyebabkan potensi kerugian negara di sektor tersebut cukup besar. Namun menurut Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Antonius PK, hal tersebut bukan kesalahan pengelola pertambangan namun kesalahan pedagang hasil tambang yang tidak membayar pajak. Pihak Kadin sudah mengusulkan agar Pemerintah fokus mengejar pajak perusahaan-perusahaan besar daripada mengejar wajib pajak pribadi yang pemasukannya jauh lebih kecil daripada perusahaan-perusahaan tersebut. Menurut Dirjen Pajak Fuad Rachmany, masalah penerimaan pajak masih memiliki kekurangan dari segi SDM dimana tenaga kerja penarik pajak hanya ada sekitar 4.00 orang. Dari kasus ini dapat dilihat ada upaya penghindaran pajak dari wajib pajak secara ilegal. Namun saya juga melihat bahwa mungkin tidak sepenuhnya wajib pajak tersebut salah, bisa saja tidak ada petugas pajak yang menarik pajak dari mereka disebabkan oleh kekurangan SDM. Sebaiknya memang pemerintah fokus untuk mengejar perusahaanperusahaan besar yang memiliki tanggungjawab lebih besar dalam membayar pajak daripada wajib pajak pribadi. Dan sebaiknya ada sanksi yang tegas bagi para wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai