Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ni Wayan Arianti NIM : 131128 Kelas : D

Pemerintahan Indonesia Pada Masa Orde Baru


Perjalanan panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai

kemerdekaannya. Proklamasi kemerdekaan merupakan titik puncak kulminasi perjuangan bangsa Indonesia. Proklamasi juga merupakan pernyataan formal bangsa Indonesia kepada dunia tentang kemerdekaanya. Pergulatan kepentingan pun tak pernah berhenti bahkan sampai pada detik detik menjelang dilakukannya Proklamasi 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia pun mempunyai satu tujuan dalam berjuang yaitu mencapai kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun demikian, tidak langsung mendapat pengakuan dari Negara lain. Namun, pada saat diproklamasikan, Indonesia telah memiliki unsur unsur terbentuknya negara pada hari itu telah lahir sebuah negara merdeka. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, termasuk kebebasan menata ketatanegaraannya. Pada tahun 1966 sampai 1998 dengan hancurnya kekuatan fisik G 30 S/PKI dimana peristiwa G 30 S/PKI membawa bencana pada pemerintahan Orde Lama, sebab ketidak tegasan pemerintah terhadap para pemberontak membawa dampak negatif pada pemerintah. Ketidak puasan rakyat makin meningkat karena ekonomi makin terpuruk, keamanan rakyat juga tidak terjamin. Akibatnya dengan dipelopori oleh mahasiswa terjadi berbagai demonstrasi. Untuk lebih mengkoordinasi demonstrasinya para mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), sedangkan para pelajar membentuk KAPPI (Kersatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia ). Pada 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi di depan gedung DPR-GR, dengan tiga tuntutan (TRITURA) yaitu : 1.Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya. 2. Bersihkan kabinet Dwi Kora dari unsur-unsur PKI.

3. Turunkan harga barang. Ternyata pemerintah tidak menuruti tuntutan para demonstran, sebab pemerintah tidak membubarkan kabinet tetapi hanya mereshufle Kabinet Dwi Kora menjadi Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan atau yang lebih dikenal sebagai kabinet seratus menteri. Pembentukan kabinet ini membuat rakyat semakin tidak puas sebab masih banyak tokoh yang diduga terlibat peristiwa G 30 S/PKI masih dilibatkan dalam kabinet seratus menteri. Karena situasi negara yang semakin gawat dan kewibawaan pemerintah yang semakin merosot, dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memulihkan situasi negara maka tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Mayjend Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud berinisiatif menemui presiden di Istana Bogor setelah sebelumnya meminta ijin kepada Letjen Soeharto. Pertemuan itu menghasilkan suatu konsep surat perintah kepada MEN / PANGAD LETJEN SOEHARTO, untuk atas nama presiden mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itulah yang pada akhirnya dikenal sebagai SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret). Berdasar surat perintah itu, Letjen Soeharto mengambil beberapa langkah, yaitu: 1. Terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan dan dinyatakan sebagi partai terlarang. Dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX / MPRS / 1966 yang intinya melarang penyebaran ajaran komunis dan sejenisnya di Indonesia. 2. Mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan yang diduga terlibat dalam peristiwa G 30 S / PKI. 3. Membersihkan MPRS dan lembaga negara yang lain dari unsur-unsur G 30 S / PKI dan menempatkan peranan lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945 Dengan mengacu pada Ketetapan MPRS No. XIII /MPRS/1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan kemudian menyerahkan wewenang kepada Letjen Soeharto untuk membentuk kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Tugas pokok kabinet Ampera tertuang dalam Dwidarma Kabinet Ampera, yang intinya mewujudkan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Ternyata Kabinet Ampera belum dapat

menjalankan fungsinya dengan baik karena terganjal persoalan Dualisme Kepemimpinan Nasional, yaitu Presiden Soekarno selaku pemimpin negara / pemerintahan dan Letjen Soeharto selaku pelaksana pemerintahan. Konflik itu berakhir setelah timbul tekanan dan desakan agar presiden Soekarno segera mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Akhirnya pada sidang umum MPRS V tanggal 21 30 Maret 1967 Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 1968 1973. Adapun politik luar negeri yang dilaksanakan pada masa orde baru yaitu kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB pada tanggal 28 Desember 1966. Tindakan itu mendapat sambutan baik dari anggota PBB yang lain, dengan bukti terpilihnya bapak Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Selain kembali menjadi anggota PBB, semasa orde baru juga menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi dengan Malaysia, dianggap sebagi tindakan yang kuarang sesuai dengan politik luar negri yang Bebas dan Aktif, tindakan ini sangat merugikan kedua belah pihak sebab hubungan sebagai negara tetangga terputus. Upaya merintis normalisasi hubungan dimulai dengan diselenggarakannya perundingan Bangkok pada 29 Mei 1 Juni 1966. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negri Adam Malik, delegasi Malaysia dipimpin oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Pertemuan ini menghasilkan tiga hal pokok, yaitu : 1. Rakyat Sabah dan Serawak, diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukannya dalam Federasi Malaysia. 2. Indonesia Malaysia menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. 3. Tindakan-tindakan permusuhan harus dihentikan. Peresmian normalisasi hubungan diplomatik Indonesia Malaysia di tandatangani di Jakarta, pada 11 Agustus 1966 dengan ditandatanganinya perundingan Bangkok oleh Menlu Adam Malik dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak. Kehidupan politik pemerintah Orde Baru berkehendak menyusun sistem ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru bertekat menegakkan demokrasi Pancasila. Salah satu wujud demokrasi adalah Pemilu. Melalui pemilu rakyat diharapkan dapat

merasakan hak demokrasinya, yaitu memilih atau dipilih sebagi wakil-wakil yang di percaya untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Wakil-wakil itu senantiasa harus membawa suara hati nurani rakyat yang telah memilihnya agar keinginan mereka terpenuhi. Secara berturut-turut, pemilu yang telah diselenggarakan di Indonesia semasa Orde Baru adalah : 1. 3 JULI 1971, dengan diikuti oleh 10 kontestan yaitu : GOLKAR mendapat 236 kursi, NU mendapat 58 kursi, PARMUSI mendapat 24 kursi, PNI mendapat 20 kursi, PSII mendapat 10 kursi, PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) mendapat 7 kursi, PARTAI KATOLIK mendapat 3 kursi, PERTI mendapat 2 kursi, sedangkan Partai MURBA dan IPKIA tidak memperoleh kursi. 2. 2 MEI 1977, diikuti oleh tiga partai sebab partai yang programnya sama digabung menjadi satu partai. Partai tersebut adalah : GOLKAR mendapat 232 KURSI, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) fusi dari NU, PSII, PARMUSI dan PERTI mendapat 99 kursi dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) fusi dari PNI, PARKINDO, PARTAI KATOLIK, MURBA dan IPKI mendapat 29 kursi. 3. 4 MEI 1982, PPP mendapat 94 kursi, GOLKAR mendapat 246 kursi, PDI mendapat 24 kursi. 4. 23 APRIL 1987, PPP mendapat 61 kursi, GOLKAR mendapat 292 kursi, PDI mendapat 40 kursi. 5. 9 JULI 1992, PPP mendapat 62 kursi, Golkar mendapat 281 kursi, PDI mendapat 57 kursi 6. 9 MEI 1997, PPP mendapat 89 kursi, Golkar mendapat 325 kursi, PDI mendapat 11 kursi. Pemerintahan pada masa Orde Baru dengan sistem Demokrasi Pancasila, secara konsepsional menunjukkan itikad yang baik dengan menata kembali pemerintahan yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan Nasional mulai dicanangkan dengan terencana, stabilitas nasional menjadi priotitas utama dari kekuatan ABRI menjadi pengaman bagi pemerintahan pada masa Orde Baru. Namun, pemerintahan Orde Baru berdiri diatas pondasi yang kurang kuat dimana negara mempunyai hutang luar negeri yang begitu banyak. Keadaan perekonomian semakin diperparah dengan tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai aktor pembangunan ekonomi. Mereka banyak mengeruk utang tanpa ada kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Semua ini dapat terjadi karena adanya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang luar biasa. Begitu pula dengan

rakyat yang terpedaya dengan gambaran fisik yang menampakkan seolah-olah bangsa Indonesia berhasil dalam pembangunan nasional. Semua kemajuan yang ada di Indonesia akhirnya menjadi titik balik pada tahun 1997, hal ini bermula dari adanya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat. Tatanan ekonomi rusak, pengangguran meningkat dan kemiskinan merajalela. Dampak dari krisis adalah makin pudarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai