Seleksi Keturunan (Kin Selection) Kin selection merupakan suatu pemikiran dimana orang berperilaku untuk lebih memilih untuk menolong seseorang yang memiliki hubungan genetis dalam rangka untuk bertahan hidup. Orang akan lebih memilih seseorang yang memiliki hubungan genetis daripada yang tidak dalam situasi hidup dan mati, misalnya peristiwa kebakaran. Kin Selection: suatu pemikiran dimana orang lebih memilih untuk berperilaku menolong seseorang yang memiliki hubungan genetis dalam rangka untuk bertahan hidup. Para psikolog tidak menyarankan bahwa orang harus mempertimbangkan pentingnya biologis dari perilaku mereka sebelum memutuskan untuk menolong atau tidak. Menurut teori evolusi, orang-orang yang mengikuti aturan "pentingnya biologis" lebih dapat bertahan hidup daripada yang tidak. Norma Timbal Balik (Norm of Reciprocity) Dalam menjelaskan altruisme, psikolog juga merujuk pada norma timbal balik, yaitu harapan bahwa menolong orang lain akan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan menolong kita di masa yang akan datang. Pemikiran tersebut yaitu sebagai rnanusia kita berkembang, sekelompok individu yang egois, dimana masing-masing individu hidup dalam area atau gua-nya masing-masing akan merasa lebih sulit untuk bertahan hidup jika dibandingkan dengan sekolompok orang yang telah belajar bekerja sarna. Orang-orang yang bertahan hidup adalah orang-orang yang telah memahami arti timbale balik dengan para tetangganya : "Saya akan me nolong kamu sekarang, dengan perjanjian bahwa ketika saya membutuhkan pertolongan, kamu akan membantu saya sebagai balasannya". Norma Timbal Balik: harapan bahwa menolong orang lain akan meningkatkan kemungkinan mereka akan menolong kita di masa yang akan datang. Mempelajari Norma Sosial Herbert Simon (1990) berpendapat bahwa sangat mudah bagi individu untuk mempelajari norma sosial dari anggota lain dari masyarakat. Orang-orang yang rnempelajari dengan baik norma dan kebiasaan dari suatu masyarakat memiliki keuntungan dalam bertahan hidup. Karena sejak berabad-abad yang lalu, budaya rnernpelajari hal-hal seperti bagaimana orang dapat bekerja sarna dengan baik, dan orang yang mempelajari aturan ini lebih dapat bertahan hidup daripada yang tidak. Akibatnya, melalui seleksi alam, kemampuan untuk mempelajari norma sosial menjadi bagian dari perbaikan genetis. Salah satu norma yang dipelajari dan dinilai berharga oleh orang-orang adalah menolong orang lain. Singkatnya, orang-orang secara genetis diprogram untuk mempelajari norma-norma sosial, dan salah satu normanya adalah altruisme (Hoffman, 1981; Kameda, Takezawa, & Hastie, 2003).
muncul ketika kita merasakan empati terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, yaitu menempatkan diri kita pada posisi orang lain serta merasakan emosi dan kejadian seperti yang mereka rasa. Empati : kemampuan untuk menempakan diri sendiri pada posisi orang lain, dan merasakan emosi serta kejadian (misalnya kegembiraan dan kesedihan) seperti yang mereka rasakan.
Hal ini juga disebut sebagai Hipotesis Empati-Altruisme dari Batson, yaitu ketika kita merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat. Batson juga mengatakan, ketika kita tidak merasakan empati, maka perbuatan menolong akan menjadi suatu proses pertukaran sosial. Hipotesis Empati - Altruisme: Pemikiran bahwa ketika kita merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat.
B. KUALITAS PERSONAL DAN PERILAKU PROSOSIAL: Mengapa Sebagian Orang Lebih banyak Menolong Dibanding Orang Lain? Perbedaan individu : Kepribadian Altruistik
Para psikolog tertarik dengan asal dari kepribadian altruistik, yaitu kualitas yang ada pada diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut menolong orang lain pada berbagai situasi (Eisenberg, Spinrad, & Sadowsky, 2006; Mikulineer, & Shaver, 2005; Penner, 2002). Dalam hal apa seseorang menjadi lebih penolong dibandingkan orang lain? Kepribadian altruistik: kualitas individu yang menyebabkan ia membantu orang lain dalam berbagai situasi Kepribadian bukanlah satu-satunya yang menentukan perilaku. Para ahli psikologi sosial mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia, kita harus menyadari tekanan dari situasi sebagaimana kita memahami kepribadian. Begitu juga dalam memprediksi seberapa penolong seseorang.
melakukan perilaku prososial tidak didominasi oleh jenis kelamin tertentu, melainkan tergantung pada budaya dimana orang tersebut tumbuh dan berada.
3. Mood yang baik meningkatkan perhatian pada diri sendiri. Pada gilirannya, mood yang baik memungkinkan kita berperilaku lebih sesuai dengan nilai-nilai dan idealideal kita. Negative-State Relief: Feel Bad, Do Good Salah satu jenis mood yang buruk yang jelas dapat meningkatkan rasa ingin menolong adalah rasa bersalah (Baumeister, Stillwell, & Heartherton, 1994: EstradaHollenbeck & Heatherton, 1998). Ketika seseorang melakukan sesuatu yang membuat ia merasa bersalah, menolong orang lain dapat meringankan perasaan bersalahnya. Kesedihan juga dapat meningkatkan rasa ingin menolong, paling tidak pada beberapa kondisi tertentu (Carlson & Miller, 1987; Salovery et aI, 1991). Ketika orang sedang sedih, mereka akan termotivasi untuk melakukan aktivitas yang membuat mereka merasa lebih baik (Wegener & Petty, 1994). Pemikiran bahwa orang menolong orang lain untuk mengurangi kesedihan dan tekanan mereka sendiri disebut dengan hipotesis negative-state relief (Cialdini, Darby, & Vincent, 1973; Cialdini & Fultz, 1990; Cialdini et at 1987). Seseorang menolong orang lain dengan tujuan untuk me no long dirinya sendiri, untuk meringankan kesedihan dan tekanan yang mereka alami. Hipotesis Negative-State Relief: Pemikiran bahwa orang menolong orang lain untuk mengurangi kesedihan dan stres mereka sendiri.
Urban-Overload Hypothesis: Teori bahwa orang-orang di kota terbebani oleh berbagai stimulasi secara terus menerus, dan bahwa mereka melindungi diri sendiri agar tidak kewalahan dengan hal itu. Hasil riset mendukung bahwa urban overload hypotesis lebih dari sekedar ide bahwa tinggal di kota membuat seseorang secara alami menjadi kurang altruistik. Belasan hasil penelitian menunjukkan bahwa bila muncul kesempatan untuk menolong, baik keadaan darurat terjadi di pedesaan maupun di kota besar, saksi-saksi bermunculan (Steblay, 1987). Dalam studi lapangan yang dilakukan pada 36 kota di Amerika, hasilnya menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berhubungan lebih erat dengan perilaku menolong daripada dengan besarnya jumlah penduduk (Levine, dkk, 1994). Semakin besar kepadatan penduduk, semakin sedikit kemungkinan orang untuk menolong.
Gambar 1. Keberadaan Orang lain: Kehadiran Orang Lain Mengurangi Kemungkinan Menolong
Latane dan Darley (1970) mengemukakan deskripsi mengenai bagaimana langkah-langkah seseorang memutuskan untuk ikut membantu dalam keadaan darurat sbb: 1. MemperhatikanKejadian John Darey dan Daniel Batson (1973) mendemonstrasikan bahwa sesuatu yang tampak sepele seperti banyaknya orang yang terburu-buru dapat menyebabkan banyak perbedaan mengenai orang seperti apakah mereka. Para peneliti ini menunjukan studi seperti cerita tentang orang-orang Samaria yang baik, dimana banyak orang yang lewat tidak berhenti dan menolong seseorang yang pingsan di sudut jalan tetapi dia adalah satu-satunya yang menolong. Peserta penelitian adalah pelajar yang mungkin sangat altruistik, yaitu pelajar seminari yang disiapkan untuk mengabdikan kehidupannya untuk agamanya. Para pelajar diminta untuk berjalan dari gedung ke gedung lain, dimana peneliti akan merekam mereka membuat pidato singkat. Beberapa dikatakan bahwa mereka terlambat dan harus segera menepati janji mereka. Lainnya deberitahu bahwa mereka harus segera karena asisten di gedung lain telah datang sebelum jadwal. Ketika mereka berjalan ke gedung lain, setiap pelajar melewati seseorang yang terjatuh di ambang pintu. Orang tersebut (bagian dari eksperimenter) tebatuk-batuk dan mengerang ketika setiap pelajar lewat: akankan pelajar seminari tsb akan berhenti dan menawarkan untuk menolongnya? Ketika mereka sedang tidak terburu-buru, sebagian besar dari mereka (63%) menolongnya. Ketika mereka sedang terburu-buru hanya 10%
berhenti untuk menolong. Kabanyakan dari pelajar yang sedang terburu-buru bahkan tidak menyadari keberadaan orang tersebut. 2. Menginterpretasikan Kejadian Sebagai Situasi Berbahaya/Darurat Ketika terjadi seuatu kejadian, seseorang akan menginterpretasikan terlebih dahulu apakah kejadian tersebut berbahaya atau tidak. Jika seseorang tersebut berasumsi bahwa tidak terjadi apa-apa, maka mereka tidak akan menolong. Seseorang akan terlebih dahulu melihat sekitar apakah ada teriakan, apakah teriakan itu berasal dari suatu pesta atau karena ada keadaan bahaya, apakah ada tanda bahwa gedung akan terbakar? Jika tidak, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa. Karena keadaan darurat seringkali terjadi secara tiba-tiba dan merupakan kejadian yang membingungkan, peonton cenderung untuk terdiam, mengamati dengan ekspresi kosong, dan mencoba untuk mencari tahu apakah yang sebenarnya terjadi. Ketika mereka saling menatap satu sarna lain, dan mereka melihat bahwa orang lain tidak terlalu memperhatikan, hal ini disebut pengabaian pluralistic (pluralistic ignorance) Pengabaian pluralistic (pluralistic ignorance): penonton berasumsi bahwa tidak ada suatu masalah dalam keadaan darurat, karena tidak satupun orang yang memperhatikan. 3. Mengasumsikan Tanggung Jawab Pada eksperimen mengenai adanya penyerangan, di mana partisipan percaya bahwa mereka satu-satunya orang yang mendengar teriakan seseorang yang mengalami penyerangan, maka tanggung jawab secara mutlak berada padanya. Jika ia tidak menolong, maka tidak ada satupun juga yang akan menolong, maka orang tersebut mungkin akan tewas. Hasilnya, dalam kondisi ini hampir semua menolong dengan segera. Namun jika ini terjadi dengan banyak orang yang mendengar teriakan maka akan terjadi diffusion of responsibility. Hal ini terjadi kerena terdapat banyak orang, penonton tidak merasa bahwa ia adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab dan harus bereaksi. Diffusion of responsibility: fenomena dimana masing-masing penonton merasakan penurunan rasa tanggung jawab karena bertambahnya jumlah saksi mata 4. Mengetahui Bagaimana Cara Untuk Menolong Dalam membantu, setelah urutan-urutan terdahulu terpenuh, kondisi lain juga harus dipenuhi : Mereka harus memutuskan pertolongan tepat apa yang harus dilakukan. 5. Memutuskan Implementasi untuk Menolong Meskipun kita mengetahui bantuan apa yang tepat untuk diberikan, masih terdapat alasan mengapa kita memutuskan untuk menolong. Satu hal, mungkin kita tidak cukup kompeten untuk memberikan bantuan yang tepat. Bahkan ketika kita
mengetahui pertolongan apa yang dibutuhkan, kita harus mempertimbangkan resiko bila kita memberikan pertolongan. Ketika suatu permintaan diberikan secara umum, sekumpulan orang dengan jumlah orang yang banyak akan merasa bahawa mereka tidak memiliki tanggung jawab untuk menolong. Namun ketika dialamatkan kepada yang lebih spesifik dengan mencantumkan nama, orang-orang akan lebih merasa memiliki tanggung jawab untuk menolong.
Gambar 2. Lima langkah pengambilan keputusan untuk menolong dalam keadaan darurat
10
_______________________________________________________________________
Sumber: Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6 th edition). Singapore: Pearson Prentice Hall.
11