Anda di halaman 1dari 12

1.

TUGAS ANALISA PANGANTEKNIK ANALISA KANDUNGAN AFLATOKSIN B1 SECARA ELISA PADA PAKAN TERNAK DAN BAHAN DASARNYA DISUSUN OLEH : NUR INDAH EKA OKTAFIANI 093234013 BINAR BERLIAN 093234016 VINANCIA EKA HANANIA 093234031 KIMIA A 2009 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2012

2. BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Bahan makanan mudah terkontaminasi oleh kapang atau cendawan. Jenis bahan makanan utama yang dapat terkontaminasi oleh kapang adalah bijibijian, padi-padian, dan kacan- kacangan, yang salah satunya adalah kacang tanah dan hasil olahannya. Salah satu jenis racun yang dihasilkan oleh kapang pada makanan adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihsilkan oleh metabolit sekunder kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis, 1969), antara lain jagung. Kerusakkan akibat kontaminasi kapang sangat beragam. Kerusakkan meliputi kerusakkan fisik: perubahan warna, bau, perubahan tekstur, dan kerusakkan kimiawi: perubahan nilai nutrisi, sehingga berakibat pada kesehatan konsumen manusia maupun hewan. Jagung yang baru dipanen memiliki kadar air yang tinggi, jagung dengan kadar air tinggi cocok sebagai substrat untuk pertumbuhan Aflatoksin. Aflatoksin yang paling mendominasi untuk tumbuh subur pada jagung adalah Aspergillus flavus. Pertumbuhan dan perkembangan Aspergillus flavus pada substrat jagung sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan substrat tersebut. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillu flavus diantaranya adalah suhu, kelembapan, pH, aktivitas air, keadaan udara, dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu hanya bias ditemui di negara tropis seperti Indonesia. Apabila kondisi tersebut optimal maka pertumbuhan Aspergillus flavus akan mencapai pertumbuhan yang optimal pula. Adanya kontaminasi aflatoksin yang melebihi ambang batas maksimal yang dipersyaratkan dunia perdagangan menyebabkan jagung menjadi tidak laku untuk diperdagangkan. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan

pentingnya mutu dan keamanan pangan termasuk pangan dari jagung. Oleh karena itu mutu dan keamanan jagung harus dijaga, termasuk dijaga dari kontaminan Aspergillus flavus yang dapat menghasilkan aflatoksin pada jagung. Senyawa aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu B1, B2, G1, dan G2, namun yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang sangat tinggi serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (Diener dan Davis 1969). 3. Aflatoksin yang ada pada bahan pangan berbahaya bagi kesehatan. Aflatoksin dapat menyebabkan berbagai penyakit (Syarief dan Nurwitri, 2003; M. Noor, 2005): hepatocarcinoma (aflatoksin akut), kwashiorkor, reyes syndrome, kanker hati. Kualitas jagung untuk pakan ternak antara lain ditentukan oleh ada atau tidaknya cemaran aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung sebagai bahan dasar pakan ternak akan menyebabkan kontaminasi aflatoksin yang tinggi pula pada pakan jadinya, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung sebagai sumber karbohidrat. Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak unggas (ayam, itik), maka residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk ternaknya seperti telur, daging dan hati. Kandungan aflatoksin pada produk ternak akhirnya akan mempengaruhi kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya (Budiarso, 1995). Untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin pada bahan dasar pakan dan pakan ternak, telah tersedia metode analisis yang cepat, sensitive, dan spesifik yaitu enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Keuntungan dari teknik analisis ini adalah sangat sensitive dan spesifik dengan menggunakan antibody. Selain itu, waktu analisisnya cepat, baik pada contoh tunggal maupun banyak.B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumskan masalah Berapa kadar tingkat kontaminasi aflatoksin B1 secara Elisa pada contoh pakan ternak dan bahan dasarnya?C. Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kontaminasi aflatoksin B1 secara ELISA pada contoh pakan ternak dan bahan dasarnya.D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Dapat mengetahui ciri-

ciri bahan makanan yang tercemar aflatoksin baik dari segi fisika ataupun kimia. 4. 2. Dapat mengetahui bahaya aflatoksin pada kesehatan pengkonsumsi makanan yang telah tercemar aflatoksin.3. Mengetahui kadar kandungan aflatoksin yang masih dalam batasan tidak berbahaya pada pakan ternak dan bahan dasarnya. 5. BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Aflatoksin Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin. Mikotoksin terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat menimbulkan penyakit pada manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Toksisitas mikotoksin dapat bersifat akut maupun kronik, tergantung pada jenis dan dosisnya. Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu serta pada pakan hewan, kemudian menghasilkan aflatoksin. Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produkproduk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak

memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat 6. paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillusparasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillusparasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melaluipakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadiaflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin. Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutamakanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematianjaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinomapada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien.Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akandiikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektifmenginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidakdapat dikonsumsi lagi. Gambar 1. Kapang Aspergillus flavus Gambar 2. Struktur kimia (-)-aflatoksin B1 7. B. Sumber Pangan yang Dapat Terkontaminasi Aflatoksin Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang. Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah jagung, kacang tanah, dan biji kapas (cotton seed). Gambar 3. Jagung dan kacang tanah yang

ditumbuhi kapang Aspergillu flavus Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan.C. Efek Aflatoksin terhadap Kesehatan Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika 8. diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan. Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.D. Gejala Aflatoksikosis Manusia dapat terpapar aflatoksin melalui pangan yang dikonsumsinya. Paparan aflatoksin ini sulit dihindari karena pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin pada pangan tidak mudah dicegah. Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara- negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap manusia. Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui,

meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan. Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut: 1. Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi. 2. Penyakitnya tidak menular. 9. 3. Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu. 4. Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh. 5. Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang). Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).E. Aflatoksikosis Akut Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.F. Aflatoksikosis Kronik Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa

penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag. 10. Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.G. Penatalaksanaan Aflatoksikosis Permulaan/onset gejala aflatoksikosis dapat timbul lebih dari 8 jam setelah paparan. Pada kasus masuknya aflatoksin melalui oral, untuk mengikat aflatoksin yang masuk dapat diberikan sejumlah besar adsorben, misalnya arang aktif. Pemberian antioksidan, seperti ellagic acid dan penginduksi sitokrom P450, seperti indole-3-carbinol dapat diberikan untuk memberikan efek proteksi. Pertolongan penunjang yang dapat diberikan adalah memonitor fungsi hati, dialisis atau transfusi darah, dan pengobatan gejala.H. Pengerjaan Masuknya Aflatoksin ke Dalam Tubuh Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer). Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik.I. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam

bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. 11. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansiyang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigentertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatupermukaan solid (biasanya berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang nonspesifik(melalui penyerapan pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lainyang spesifik untuk antigen yang sama, disebut sandwich ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi ditambahkan, membentuk kompleksdengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat berikatan juga dengan enzim, atau dapatdideteksi secara langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melaluibiokonjugasi. Di antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan larutan deterjen lembut untukmembuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah tahap pencucianterakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk memproduksi sinyal yangvisibel, yang menunjukkan kuantitas antigen dalam sampel. Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena. Untuk melakukan teknik"Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi: 1. Well dilapisi atau ditempeli antigen. 2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan. 3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya. 4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi. 5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan hasil positif- negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan hasil negatif, dan

demikian juga sebaliknya. Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yangbesar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satudengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada 12. window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulaisehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi. ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodi dalam suatu sampel,karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi konsentrasiantibodi dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk mendeteksi kehadiranantigen. Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam indiustri makanan untuk mendeteksiallergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang, walnut, almond, dan telur. ELISAjuga dapat digunakan dalam bidang toksikologi untuk uji pendugaan cepat pada berbagaikelas obat. 13. BAB III METODE PENELITIANA. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Plate, erlenmeyer 125 mL, tabung 15 mL, corong, tisu, pengatur waktu, spidol, kertas saring Whatman no. 41, shaker (Labinco LD-45), vortex, sudip, kertas timbang, ELISA reader, multichannel pipet 50-300 l, Pipet tip 100 l dan 1000 l, gelas ukur 1000 ml, kain penyerap, bak untuk pembuangan, plate holder, reservoir, lemari pendingin, dan neraca analitik (Shimadzu). 2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jaung; bungkil; kedelai; dedak; 13 contoh pakan jadi (Tabel 1); akuades; methanol p.a; methanol 70%; tween 20%; antibody aflatoksin B1; larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppb; larutan konjuat aflatoksin-HRP; larutan substrat (K-Blue) untuk memberikan warna pada ikatan antara antibody dan contoj yang dianalisis; serta larutan penghenti reaksi (H2SO4 1,25 M).B. Prosedur Penelitian Prinsip Dasar ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan menunakan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibody, mempunyai sensitivitas

dan spesifitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA 14. (Burgess, 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibody yang teradsorpi secarapasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibody atau antigen yangdilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warnayang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandanan mata atau kuantitatif denganpembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader.Prinsip Percobaan Percobaan digunakan dengan menggunakan perangkat ELISA komersial aflatoksin B1dari Neogen yang mempergunakan prinsip dasar ELISA secara kompetitif langsung.Analisis berlangsung dalam wadah microwell (mikroplat) dengan konsentrasi antibody yangdilapiskan pada mikroplat 0 mg/ml. Aflatoksin B1 yang terdapat pada contoh yang diperiksaakan berkompetisi dengan antibody yang berada dalam mikroplat. Bahan atau pereaksi yantidak berikatan akan terbuang setelah mengalami proses pencucian. Dengan menambahkansubstrat pada mikroplat akan terbentuk warna pada ikatan antara antibody dan enzimkonjugat. Semakin biru warna yang dihasilkan, semakin kecil aflatoksin B1 yang terdapatpada contoh yang dianalisis. Hasil analisis ditentukan dengan membaca optical density (OD)pada ELISA reader. Kurva kalibrasi, plot antara nilai OD dan konsentrasi standar aflatoksinB1 dibuat dan digunakan untuk menghitung kadar aflatoksin B1 pada contoh. Tabel 1. Asal, jenis, dan jumlah contoh bahan pakan dan pakan jadi yang dianalisis Asal contoh Jenis contoh Jumlah Pabrik pakan Pakan jadi 8 Pasar Pakan jadi 5 Jumlah 13 Pabrik pakan Jagung 7 Dedak 2 Bungkil kedelai 2 Tepung ikan 1 Pasar Jagung 5 Jumlah 17 Jumlah seluruhnya 30 15. Penyiapan contoh:1. Disiapkan 1.000 ml larutan methanol 70% dengan cara melarutkan 700 ml methanol p.a dan 300 ml akuades dalam gelas ukur 1.000 ml.2. Disiapkan 100 ml tween 10% dengan melarutkan 10 ml tween 20% dan 90 ml akuades.3. Disiapkan akuades pencuci 500 ml yang telah diberi 500 l tween 10%.4. Masingmasing contoh ditimbang 5 gr kemudian dimasukkan kedalam

Erlenmeyer 125 ml.5. Masing-masing contoh dilarutkan (ditambahkan) dengan 25 ml larutan methanol 70%.6. Contoh dikocok selama 30menit dan didiamkan sampai mengendap.7. Contoh disaring dengan memakai kertas saring Whatman no. 41.8. Contoh yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol contoh.9. Contoh siap dianalisis secara ELISA.Cara Kerja :1. Lubang sumur (mikroplat) untuk mencampur larutan standar disiapkan. Semua pereaksi dari kit aflatoksin B1 dikeluarkan dari lemari pendingin dan dibiarkan hangat pada suhu kamar.2. Untuk melakukan kalibrasi standar aflatoksin B1 diperlukan lima lubang sumur, yaitu satu luban sumur untuk blanko (tanpa penambahan contoh, berisi pelarut), satu lubang sumur untuk kontrol berisi enzim konjugat, dan tiga lubang sumur untuk larutan standar yang berlainan konsentrasi dan contoh.3. Larutan standar aflatoksin 100 l dimasukkan kedalam masing-masing lubang sumur dengan konsentrasi 5 ppb dan 15 ppb, begitu juga 100 l ekstrak contoh untuk setiap contoh yang akan dianalisis, 100 l methanol 70% untuk control, dan 200 l methanol 70% untuk blanko.4. Larutan konjugat 100 l dimasukkan ke setiap lubang sumur, baik yang berisi larutan standar maupun contoh, kecuali lubang sumur yang berisi blanko.5. Larutan diaduk dengan menggunakan pipet multichannel dengan menlakukan pemietan dan mengeluarkannya kembali, sampai tiga kali. 16. 6. Dari tiap-tiap lubang sumur yang sudah berisi larutan standar, contoh maupun blanko dipipet masing-masing 75 l dan dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah dilapisi antibody dan dibiarkan selama 2 menit.7. Setelah 2 menit, larutan dibuang dan semua lubang sumur dicuci dengan akuades dengan cara mengisi sumur dan membuangnya lima kali.8. Semua lubang sumur yang sudah dicuci, dikeringkan dengan membalikkan luban sumur tersebut di atas kain/ kertas peresap air.9. Ke dalam masing-masing sumur ditambahkan 100 l larutan subsrat (K-Blue) dan dibiarkan selama 3 menit.10. Setelah 3 menit, ditambahkan 100 l larutan penghenti reaksi (H2SO4 1,25 M) kedlam masing-masing lubang sumur dan hasilnya siap dibaca pada ELIA reader.

17. Daftar PustakaBudiarso, I. T. 1995. Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran 103: 5.Burgess, G. W. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Teknoloi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. G. W. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Diener. U.L. and N. D. Davis. 1969. Aflatoxin Formation by Aspergillus Flavus. In L. A. Goldlatt (Ed). Aflatoxin. New York: Academic Press.Ginting. Ng. 1984. Aflatoksin dalam Bahan Baku Pakan dan Pakan Ayam Pedagin di Daerah Bogor. Penyakit Hewan 16: 152-155.SNI (Standar Nasional Indonesia).1996. Batasan Maksimum Residu Kontaminasi Kimia pada Pakan dan Bahan Dasar pakan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.Wahid. 2012. Teknik-teknik ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) sebagai Alat Dianosis Ampuh dalam Bidang Medis, Patologi Tumbuhan, serta Berguna dalam Bidang Industri. (http://wahid-biyobe.blogspot.com/2012/12/teknik-teknik-elisa-enzymelinked.html diakses pada tanggal 04 Januari 2012).Widiastuti, R., R. Maryam, B. J. Blancy. N. Salvina, and D. Stoltz. 1988. Corn As A Source of Mycotoxin in Indonesia. Poultry Feed and The Effectiveness of Visual examination Method for Detecting Contamination. Mycopathologia 102: 45-49.

Anda mungkin juga menyukai