Anda di halaman 1dari 10

DONGENG HATI 40 HARI

Sudut Pandang Alur : Orang kesekian : Flashback

...Meskipun sekarang hanya kenangan, Dongeng Hati 40 Hariku adalah dongeng terindah yang pernah ada... Siang yang sangat terik hari ini. Matahari bertugas dengan sangat profesional, padahal jarum jam baru saja menunjukkan angka 10. Aku menyeka keringat dan memperbaiki kacamata minus yang sedari pagi bertengger di ujung hidung. Setelah selesai mengetik berlembar-lembar berkas, akhirnya aku bisa beristirahat juga. Sebagai guru BK, aku tidak hanya pusing membimbing anak-anak berandal dan bermasalah di sekolah. Aku juga diberi kepercayaan membantu mengetik berkas-berkas penting divisi Bimbingan Konseling. Memang melelahkan, tetapi yah tidak seberapa berat dengan menyeret siswa malas dari tempat tidur ke ruang kelas untuk ikut Ujian Nasional. Baru saja memejamkan mata beberapa menit, pintu ruangan diketuk. Dengan setengah malas aku membuka mata dan memakai kembali kacamataku. Ya, masuk, Seorang siswi perempuan dengan mata sembab, masuk, dan dengan santai langsung duduk di kursi depan meja kantorku. Namanya Triara, salah satu murid didikku, dan juga salah satu sahabat ku. Ada apa, Triara? Saya mau curhat, Bu Rani, jawabnya dengan suara lemah. Aku hanya mengangguk sebentar. Tanganku meraih gagang lemari es kecil di bawah meja, mengambil 2 kaleng minuman soda dingin, dan meletakkannya di atas meja. Tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran dahulu. Minum ini supaya kepalamu dingin, kataku. Triara mengangguk dan mengambil satu kaleng. Tapi kemudian dia hanya termenung. Ayo, mau bicara apa? Saya, hmmmm, tidak, eum.... Saya kesini hanya mau bilang ke Ibu, kalau saya dan Tian sudah putus Bu. Saya yang mutusin dia. Saya tidak tahan, Bu dimarahi oleh Umi dan Abah saya setiap hari. Padahal kami hanya pacaran dan tidak menikah, padahal saya masih sayang Bu, padahal....., Triara berhenti sejenak, berusaha membenarkan ritme napas dan menyeka

bulir air mata yang sudah di pelupuk mata, hmmmmm......dia tadi marah besar, Bu. Wajahnya sampai merah, air matanya sudah di ujung mata. Saya baru lihat dia marah seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Saya tidak mau hubungan kami ditentang, apalagi saya harus kucing-kucingan sama Umi dan Abah saya setiap dia nganterin saya pulang. Saya nggak mau pacaran tapi kayak selingkuhan, Aku tidak bisa merespon. Kisah Triara sangat familiar. Dan entah mengapa aku merasa agak terpukul dengan ucapannya. Entah mengapa aku bisa merasakan bagaimana perasaan anak ini. Aku tidak lagi fokus dan mendengarkan ceritanya. Yang jelas, setelah mengambil jeda panjang dan menghembuskan napas dengan berat, dia mendongakkan wajahnya yang sedari tadi ditundukkan, dan bibirnya menekuk dengan sempurna, menampilkan ekspresi cerah di wajah mendungnya. Tapi, saya harap saya nggak nyesel kok, Bu sama pilihan saya. Saya yakin alasan Abah sama Umi pasti baik buat saya. Maaf yah Bu, saya sering menumpahkan curhat saya ke Ibu, hmm....sejak kapan ya? Kayaknya sejak saya pacaran sama Tian deh, sudah 8 bulan yang lalu. Ibu selalu sabar mendengar saya, meskipun kadang saya jadi sangat cerewet. Saya tidak tahu harus cerita ke siapa lagi, Bu, hanya Ibu yang saya percaya. Terima kasih yah, Bu, katanya, kalo gitu saya permisi dulu Bu, mau kembali ke kelas. Bunyi kursi yang didorong mengembalikan nyawaku ke dunia nyata dan sebelum sempat menyampaikan beberapa kata, Triara sudah menghilang di balik pintu. Aku hanya termenung. Tadi aku bilang bahwa kisah Triara familiar bukan? Aku ingat. Kisahnya sangat familiar untukku. Karena, aku mengalaminya. Pikiranku terlempar kembali pada masa indah putih abu-abu beberapa tahun yang lalu. Masa dimana aku mengenal sahabat dan cinta pertamaku. Aku adalah anak perempuan tunggal dari keluarga muslim yang sangat ketat. Tapi, keluarga kami sangat mentolerir perbedaan dalam lingkungan. Buktinya, kami sudah bertetangga dan sudah sangat dekat dengan tetangga sebelah kami, yang merupakan keluarga penganut kristiani. Ibu dan Tante Vena, nama tetanggaku, sudah hampir seperti sahabat. Kedua ibu rumah tangga itu kerap bergosip ria di teras rumah. Ayah dan Om Tony sering berbagi kendaraan setiap berangkat kerja. Tante Vena dan Om Tony mempunyai 2 anak laki-laki, Kak Daniel dan Dika. Kak Daniel lebih tua 2 tahun dariku, sedangkan Dika seumuran denganku. Aku dan Dika adalah sahabat dekat. Tidak dipungkiri lagi. Kami sudah sering bersama-sama sejak kami masih berlarian dengan popok, sejak

pertama kali berdiri tegap di atas kaki masing-masing, sejak pertama kali masuk Taman Kanak-Kanak, dan selanjutnya adalah klasik, kami selalu masuk ke sekolah yang sama. Bahkan kami juga sering berada dalam kelas yang sama. Berangkat ke sekolah bersama-sama, makan siang di kantin, mengerjakan tugas di perpustakaan hingga pulang ke rumah. Tetapi, semuanya berubah ketika kami memasuki masa pubertas dan duduk di kelas 3 SMP. Dika yang dulunya selalu pulang bersama-sama denganku, sering absen melakukan kewajiban tak tertulis kita dengan alasan, nanti aku nggak ada yang naksir!. Sehingga aku harus pulang sendirian selama 2 minggu. Memasuki minggu ketiga, aku sudah sangat sebal dengan alasan Dika. Aku akhirnya menumpahkan semua kekesalanku di suatu sore, setelah kelas kami selesai dengan les tambahan persiapan Ujian Nasional. Aku yang sudah selesai merapikan barang-barangku dengan otomatis memegang tas Dika yang sudah berdiri siap pulang. Ran, kamu pulang sendiri aja ya? Ntar kalau- Dika belum selesai dengan ucapannya, tetapi aku sudah bisa menebak apa kata selanjutnya, dan jujur saja, sudah muak. Dan meledaklah kekesalanku. Yaampun, Dika! Memangnya kita ini baru kenalan pas masuk SMP?? Kenapa harus takut nggak ketemu pacar atau ditaksir di SMP? Emang kamu dikutuk kalo kehidupan percintaan kamu cuma sampe SMP doang?? Masih ada salah satu lembaga lanjutan yang dinamakan SMA, Dik. Kenapa sih kamu ngejauhin aku? Aku nggak biasa pulang sendirian. Aku kehilangan sahabat, kakak sekaligus bodyguard-ku, ucapku dengan kesal, setengah berteriak. Untung kelas sudah kosong, menyisakan aku dan Dika. Dika agak terkejut dengan ucapanku yang penuh dengan kekesalan. Saat itu, dia, dengan ketenangan khas-nya, hanya menepuk kepalaku dengan gemas dan tertawa. Kamu jelek banget kalo lagi marah tau nggak? Kok aku baru sadar ya? Dia lalu menggandeng tanganku dan berjalan ke luar kelas. Iya deh, aku nggak bakal pulang sendirian lagi. Tapi kamu harus inget Ran, biarpun ragaku nggak disamping kamu, hatiku tetep sama kamu kok. Saat itu aku hanya tertawa dan mengejeknya. Masih tidak mengerti makna tersirat dari kata-kata romantis, yang saat itu dalam pemikiranku sumpah! - sangat gombal. Tapi, aku tidak akan melupakan bagaimana perutku merontak, seperti akan meledak, saat tangan Dika menggandengku. Menginjak bangku SMA, aku dan Dika terpisah saat kelas satu. Aku masuk ke kelas yang berbeda dengannya. Meskipun begitu, kami masih tetap

berangkat dan pulang bersama-sama. Kami masih tetap sering melaksanakan ritual lama untuk makan siang bersama-sama, kadang hanya kami berdua, kadang bersama teman-teman Dika. SMA adalah masa-masa ceria penuh cerita. Banyak orang yang mengatakan seperti itu. Ada juga yang mengatakan bahwa SMA adalah masa pencarian jati diri remaja, masa penggalian kreativitas diri. Masa dimana kita melakukan komunikasi dengan orang banyak, mendapatkan sahabat dan lainnya. Dan, aku adalah orang yang tidak terlalu percaya dengan pendapat orang-orang tentang masa SMA. Karena menurutku, masa SMA ku sangat datar. Aku hampir tidak mempunyai sahabat dekat, kecuali Dika. Yah, mengingat sifatku yang sedikit jutek, cuek dan diam, susah mendapatkan teman, apalagi sahabat. Orang-orang yang bisa dibilang temanku, adalah teman anggota band Dika. Mereka adalah si bassist kurus Bram, Andara si Pianis, dan si drummer Raditya. Yap, sahabatku Dika adalah si vokalis dan gitaris band paling ganteng, keren, cool dan entah sederet kata pujian lainnya yang merujuk pada satu fakta : Dika sangat sempurna. Rani, Dika kok makin ganteng sih? Seorang teman, Niken, suatu hari bertanya padaku. Aku yang tadinya sedang berkonsentrasi dengan rumus senyawa mendongakkan kepala dan melihat ke arah pandang Niken. Dika, dengan gitarnya, duduk di atas meja, dikelilingi oleh teman sekelas, menyanyi dengan suara nyaring. Kami, aku dan Dika, akhirnya kembali sekelas pada tahun kedua di SMA. Namun, aku tidak sebangku dengannya. Dia duduk tepat dibelakangku bersama sahabat karib se-band-nya, Raditya. Sedangkan aku duduk bersama Niken. Melihat Dika yang santai dan ceria memainkan gitar dan bernyanyi membuatku hanya geleng-geleng kepala. Otakku memberi isyarat untuk tetap melanjutkan rumus senyawaku, namun sesuatu dalam tubuhku melawan dan membiarkan aku menatapnya. Dan, entah mengapa, aku terhipnotis dalam petikan gitarnya yang menghasilkan nada harmonis. Aku terhisap dalam ketenangan pupil hitamnya, yang secara tak sengaja beradu dengan pupil coklatku. Aku merasa darah dalam seluruh sistemku dipompa ke wajah, membuatnya panas dan merona. Jantungku menjadi berdetak agak cepat, dan waktu terasa berhenti. Detik itu juga, aku tahu, bahwa aku jatuh cinta pada sahabatku. Rani, nanti kamu jangan kangen sama aku ya? Libur kenaikan kelas nanti aku dan Raditya mau pergi. Bayangin!! Formulir kami berdua untuk ikutan seminar dan International Music Festival di Bandung nanti diterima!! Jadi, besok, kamu nggak usah ikutan Ibu ke sekolah buat ngambil rapot. Kamu temenin aku dirumah, soalnya jam 9 aku harus ke bandara, Dika menginfokan berita bahagianya padaku begitu aku membuka pintu rumah, malam itu.

Emang kamu berapa lama disana? Aku bertanya dengan wajah datar. 2 minggu, jawabnya dengan wajah berbinar. Saat itu aku tidak bisa menjawab lagi. Aku hanya mengiyakan dengan anggukan kecil. Dika dengan semangat melambaikan tangan dan kemudian berlari dengan semangat kembali ke rumahnya, sementara aku dengan lesu kembali ke kamar. 2 minggu. 14 hari. Artinya selama libur kenaikan kelas tanpa Dika. Pasti akan terasa lain, mengingat sepanjang hidupku, aku hampir selalu menghabiskan liburan bersamanya. Ponselku berkedip. Tanpa melihat siapa pemanggilnya aku langsung mengangkat. Aku tahu kok kalo kamu sedih. Bikinin aku surat. 14 surat. Biar tiap hari bisa dibaca. Yah seenggaknya bisa ngurangin rasa kangen sementara. Kayaknya kalo lewat telpon udah biasa. Oke? Aku tunggu, Rani. Sambungan terputus. Saat itu juga aku langsung tersenyum. Dengan semangat aku mengambil kertas surat yang sudah lama kusimpan, dan sebuah pena. Aku menarik napas panjang sebelum menulisnya. Menulis semuanya. Tentang saran, dorongan, juga perasaanku. Sejujur-jujurnya. Bu Rani? Lho, Ibu kok bengong? Kecapean? Ayo mari pulang. Suaminya ibu sudah menunggu lho, diluar, Suara sesama teman guru membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum dan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12. Aku bergegas membereskan barang-barangku, merapikan meja dari file-file yang berceceran, menutup tirai jendela dan terakhir mengunci pintu. Dengan langkah pasti aku menuju ke gerbang sekolah, sesekali menyapa rekan guru sejawat. Aku berdiri sejenak di gerbang, menghalau panas sinar matahari dari pandangan mata, mencari sosok pendampingku yang sudah menunggu. Dan aku menemukannya. Pria dengan badan tegap yang sedang duduk mengipas sebuah koran di warung es, dengan kemeja biru gelap yang dasinya sudah dikendurkan. Aku segera menyebrang jalan dan menghampirinya. Hei, sudah lama? Cukup lama, sampai bajuku yang basah keringat sudah kering, jawabnya, mau es? Aku menggeleng pelan. Dia lalu berdiri, merogoh beberapa lembar uang dan menyerahkan kepada bapak pemilik warung es. Kemudian, dengan santai merangkul bahuku. Dengan cerewetnya dia bercerita tentang dua anak

sekolah yang berpacaran selama 2 jam didepannya. Mau tak mau aku harus tertawa dengan gayanya yang meniru anak itu. Kemudian seseorang memanggil namanya. Raditya! Hari pertama Dika pergi ke Bandung, aku sudah hampir sinting menunggu hari menjelang malam dan jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Aku dan Dika sepakat untuk sama-sama membaca surat masingmasing pada pukul 9 malam, dan tidak ada kontak melalui alat eletronik selama itu. Isi surat Dika, jujur membuatku nyaris dibawa ke Unit Gawat Darurat. Dia menulis semuanya. Maksudku, semuanya. Tentang candaan ringan, tentang harapan, tentang doa, tentang ejekan yang dilayangkan kepadaku, dan tentang perasaannya. Dan dia menulis semuanya, dengan sangat jujur. Sangat terbuka. Saat itu, aku sangat bahagia. Sangat senang, karena ternyata, perasaan kami sama. Tak terasa, hari ke-14 pun tiba. Aku tak sabar menunggu di rumah. Aku sudah tak sabar ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Pukul 8 malam, bel rumah berbunyi, diikuti dengan suara Ibu memekik riang dan memanggilku dengan lantang. Aku, yang saat itu entah mengapa berusaha tampil cantik, meskipun hanya dengan sepasang baju tidur, rambut digerai dan sandal tidur, turun dengan wajah berseri, menemui si tamu, yang tak lain adalah Dika, di teras. Kami bercerita banyak hal, dia mengenai pengalaman musiknya selama 2 minggu di Bandung, dan aku tentang betapa bosannya liburan tanpa sahabat. Menjelang pukul 10, aku mengantarnya sampai depan pagar. Sebelum mengucapkan selamat malam, dia menarik napas dalam dan memaksaku menatap pupil hitamnya. Aku sudah tahu perasaan kamu ke aku, dan kamu juga sudah tahu perasaan aku ke kamu. Kita nggak bisa munafik, kita nggak akan bisa sama lagi kayak dulu. Dan karena itu, aku mau kamu tahu bahwa mulai sekarang, mulai kita menjadi siswa tahun ketiga di SMA, aku sudah nggak melihat kamu sebagai adik atau sahabat. Aku melihat kamu sebagai seorang perempuan, janjinya. Dan mulai sejak itu, sikap kami mulai berubah. Bukan berubah menjadi saling berjauhan, tetapi menjadi semakin dekat dan sedikit mesra. Status kami berada diatas sahabat dan dibawah pacaran. Kami ditempatkan dikelas yang sama, menjadi teman sebangku. Dan mulai sejak kami di kelas tiga, aku selalu melingkari kalender, berusaha memberikan tanda hari dimana kami berdua bersama, melakukan hal-hal gila

yang romantis. Dan Dika menunjukkan sifat romantisnya. Dia membuat sekelas tercengang dengan meletakkan setangkai mawar merah di meja setiap teman perempuan, dan setangkai mawar putih di mejaku. Dia mengajarkanku cara memetik gitar. Dia selalu menyanyikan lagu untukku ketika aku kesulitan tidur di malam hari. Dia membawakanku sekotak makanan ketika aku sedang latihan menari. Dan, Dika, sahabatku yang dulunya usil, semakin usil. Dia sangat tahu cara membuatku menjadi tersipu malu, entah dengan cara menyanyikan lagu di depan kelas diiringi petikan gitarnya, atau dengan menunjuk kearahku yang berhimpitan di tengah penonton saat pentas seni sekolah, yang menghasilkan suit-suitan panjang dari teman-teman sekelas. Akupun, menjadi lebih riang. Aku menjadi sering dandan, suatu hal dulu tidak pernah aku bayangkan akan aku lakukan. Aku hampir selalu mengeluhkan ulah usil Dika disekolah kepada Ibu, tetapi dengan ekspresi wajah yang bertolak belakangan dengan ekspresi terganggu. Hingga, suatu hari aku hendak membulatkan tanggal di kalender. Pengingat hari ke 40-ku bersama Dika, saat Ibu masuk ke kamar dan duduk di ujung tempat tidurku. Dari wajahnya, terlihat bahwa dia sedang ingin berbicara serius. Dan benar. Beliau berkata bahwa aku dan Dika sedang dalam suatu hubungan antara persahabatan dan pacaran. Beliau menasehatiku bahwa seharusnya aku tidak boleh menjalin hubungan serius dengannya, hubungan yang lebih dari pertemanan dan persahabatan. Beliau menasehatiku bagaimana akhir hubungan dari orang-orang yang berbeda kepercayaan bersatu. Beliau memberikan pengertian kepadaku, bahwa yang sedang aku jalani bersama Dika adalah sesuatu yang keliru dan salah. Beliau berkata betapa aku adalah tumpuan harapan serta mimpi kedua orangtuaku dan beliau memintaku untuk melakukan yang hal terberat yang pernah kudengar : berpisah dengan Dika. Ibu meninggalkan ku sendirian dikamar setelah obrolan satu arah panjang dari beliau, ketika beberapa menit kemudian memanggilku turun ke bawah. Dengan lemas aku menyeret kakiku turun ke bawah, dan menemui Dika yang berdiri dengan lesu di depan pintu. Dan kata-katanya membuatku semakin lemas. Ayah dipindahtugaskan. Kami pindah besok pagi. Ran, kamu kecapekan? Raditya memanggilku pelan. Lagi-lagi aku tenggelam dalam memori masa lalu. Melepaskan pandanganku dari titik-titik air yang mengalir cepat di kaca mobil. Kami bertemu seorang teman sekelas sewaktu SMA, dan mengatakan bahwa hari ini teman-teman sekelas SMA akan melakukan reuni

di sebuah cafe terkenal. Raditya yang tidak ingin ketinggalan pun segera ngebut ke rumah kami, bersiap secepat kilat dan kembali ke tempat reuni. Aku menggeleng pelan. Dia hanya tersenyum. Aku mengamati figur sampingnya. Raditya secara fisik sangat jauh mempesona dari Dika. Wajahnya tampan, sedangkan Dika biasa saja. Mereka berdua mempunyai jenis kehangatan yang sama, yang bisa menarik orang untuk mendekat dan akrab pada mereka. Tidak heran mereka berdua menjadi duo yang paling dikagumi dan diidolakan sewaktu SMA. Raditya masuk ke kehidupanku ketika Dika pergi. Dia berusaha mendekatiku, memberikanku kenyamanan sebagai seorang teman, membantuku mengatasi kesepian dan dalam jangka waktu yang agak lama, kami berdua menjadi sepasang kekasih. Mobil berhenti di parkiran sebuah cafe bergaya tradisional. Raditya turun terlebih dahulu, memegang payung tinggi-tinggi kemudian membuka pintuku dan memayungiku. Kami berdua berlari kecil mencapai pintu cafe. Begitu masuk, kami disambut oleh pelukan hangat beberapa teman SMA. Raditya langsung diseret oleh teman laki-laki ke arah panggung kecil, untuk kembali menggebuk drum. Sedangkan aku diseret ke tengah sofa oleh temanteman perempuan. Ini nih, Rin, sahabatnya si Dika. Namanya Rani. Ratansha Nilam. RA dari Ratansha, NI dari Nilam. Dia, sahabatan sama Dika udah sejak mereka masih pada pake popok, sampe mereka udah tua kayak gini, cerocos Viana, temanku pada seorang wanita cantik yang memakai dress polos berwarna pastel, dengan rambut diikat ekor kuda, dan poni samping yang dikaitkan ke tellingan kiri. Hai, Rani, aku Karin, tunangannya Dika, sapanya dengan ramah. Hatiku mencelos mendengar statusnya, tetapi, dengan profesional aku menjabat tangannya. Hai, Karin, aku Rani, sahabat tunangan kamu, jawabku sedikit riang. Aku lalu melihat sekilas ke arah Dika yang sedang memetik gitar dan bernyanyi layaknya penyanyi di panggung, dikelilingi oleh teman-teman lakilaki yang bersorak meneriaki namanya. Tuh anak jahat banget, nggak ngasih tau kalau udah mau tunangan. Iya, kita semua kaget lagi. Tau aja ini anak udah ngontak semua, bilangin mau reuni. Aku aja baru dikasih tau tadi pas mau pulang kantor. Makanya kostum masih kantor banget, jawab Andara. Semua topik pun langsung kami bahas. Mengangkat ulang semua kisah saat SMA, entah yang memalukan, yang membuat bulu kuduk merinding, hingga yang mengundang air mata, adalah sesuatu yang sangat berharga disaat reuni. Disela-sela pembicaraan, aku melirik Karin, yang tersenyum cerah. Dia sangat bisa berbaur dengan yang lainnya meskipun baru bertemu sekali. Matanya sipit, dengan lesung pipi yang membuatnya

semakin manis. Gayanya simple, tetapi elegan. Dika benar-benar tidak salah pilih. Gerombolan laki-laki datang dan langsung mengambil alih perhatian. Kevin, yang dulunya adalah ketua kelas langsung menenangkan semuanya. Teman-temanku yang tersayang. Terima kasih karena telah meluangkan waktu kalian untuk bisa menghadiri acara reuni dadakan ini. Jika kalian ini melemparkan kritik dan masukan, silahkan langsung saja kepada donatur dan penggagas dari acara ini, Kevin menunjuk Dika yang berdiri disampingku, dan kalian tidak perlu merasa sia-sia untuk datang kesini, karena sebenarnya, acara reuni ini hanyalah modus belaka. Ada sesuatu tujuan tersembunyi dari acara ini. Maka dari itu, waktu dan tempat saya persilahkan kepada bapak Bonadwidika Pratama alias Dika.... Dika langsung mengayunkan tangan ke udara, untuk menenangkan teman-teman yang semakin ribut. Ketika semuanya sudah tenang. Dia langsung berdehem. Pertama-tama, aku sangat berterima kasih untuk kalian semua yang sudah hadir di acara reuni kepepet yang baru aku pikirkan tadi pagi ini. Thanks buat kehadirannya. Dan tujuan utama ini adalah tetep buat reuni. Jadi, apa yang disampaikan oleh mantan ketua kelas kita, Kevinaldo Dwiputro adalah salah. Dan tujuan keduanya adalah, aku Bonadwidika Pratama mengumumkan ke khayalak umum, kepada orang-orang yang paling aku sayangi, kepada orang-orang yang paling meninggalkan bekas memori paling dalam di kehidupanku, secara perdana, bahwa................ Aku dan Dika sedang berdiri memandang air yang jatuh mengalir di kaca jendela. Teman-teman yang lain sedang bersorak meminum minuman dingin yang dipesan. Selamat ya, aku membuka pembicaraan, kayak baru aja kemaren di kirim e-mail sama kamu kalo kamu udah tunangan. Eh, sekarang malah udah mau nikah. Hahaha, surprise!! Seorang Ratansha Nilam nggak akan percaya sama kejutan dari sahabat tercintanya Bonadwidika Pratama, Dika membalas dengan senyum jahil. Aku sudah tidak tahan untuk menoyor kepalanya. Jadi aku masih dianggap sahabat?? Kalo masih dianggap sahabat Dik, harusnya aku yangg dikasih tau dulu pas kamu mau kawin gini. Nggak spesial lagi deh status sahabatan ku sama ku, jawabku lagi. Kali ini tidak ketinggalan dengan cubitan di lengannya. Heh! Cubit-cubit sembarang. Aku buang kamu ke kolam nanti! Dika mengancam sambil meringis kesakitan. Dika memang paling tidak tahan

dengan cubitan lenganku. Aku hanya tertawa puas melihat wajahnya. Sama seperti anak kecil, aku mengeluarkan lidahku sedikit mengejeknya. Tuhkan, liat aja. Mana ada, ibu guru tingkahnya kayak anak kecil gini. Guru kayak gini mah mending diceburin ke kolam ikan depan, Coba aja. Nanti juga aku ditolongin Radit! Dan Dika terdiam. Dia memandangku lama. Tatapannya masih sama seperti Dika yang dulu. Pupil hitam itu masih sanggup menghipnotisku. Meskipun tidak sampai membuat perutku nyaris meledak, wajahku memerah, jantungku berdetak lebih cepat dan waktu menjadi berhenti. Yang masih sama hanyalah kenyamanan semasa SD dan SMP. Kenyamanan dari seorang kakak pada seorang adik. Kenyamanan seorang sahabat kepada sahabatnya. Rani. Jujur. Kamu bahagia? Hm? Kamu bahagia sama Raditya? Bahagia, jawabku pelan, Iya Dika. Aku bahagia sama Raditya. Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia. Meskipun awalnya aku masih nggak bisa nerima. Bayangin sahabat yang dulu pernah kamu cinta akhirnya jadian sama sahabat karib kamu lainnya. Bisa dibayangin nggak tuh sakitnya? Enggak kan? Iya, emang karena Cuma aku yang rasa, curhat Dika dengan setengah candaan. Benar-benar khas Dika. Kami terdiam sejenak. Aku minta maaf ya Dik. Buat semuanya. Buat semua kesalahan aku dari waktu kita masih kecil sampe udah gede kayak gini. Dari kesalahan yang paling kecil dan simpel sampai kesalahan yang paling besar dan fatal. Maaf ya, kataku lagi, memecah kesunyian. Aku pengen kamu tahu, kalau aku menganggap kamu sebagai seorang kakak dan sahabat. Kamu nggak boleh mengutip kata-kataku, Dika memukul bahuku pelan, tenang kok, adik kecil bawel. Kamu juga harus ingat kalau aku, seorang Bonadwidika Pratama masih sahabat kamu, masih jadi kakak kamu, masih jadi bodyguard kamu. Oke? Janji ya? Janji! Dan kisah kami berakhir dengan indah. Kami cukup dewasa untuk menerima perbedaan dan cukup bijaksana untuk kembali hidup menjadi sosok sepasang sahabat, dengan benar-benar melupakan bagian dimana kami terjerumus kedalam sesuatu bernama cinta. Dongeng penuh kenangan yang hanya disimpan dibelakang, cukup ditengok untuk menciptakan senyum tanpa ada keinginan merasakan kembali rasa yang dulu memenuhi seluruh sistem. Itulah Dongengku. Dongeng Hati 40 Hari. THE END Selasa, 25 Februari 2014. 23:02 WIB IAS untuk ERS

Anda mungkin juga menyukai