Anda di halaman 1dari 10

Pola Gerakan Grass-Root Siddharta Gautama

(Paper MK Gerakan Sosial)

Disusun Oleh: Hifhzil Aqidi (NPM. 103112350370005)

Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional Januari 2011

Pola Gerakan Grass-Root Siddharta Gautama

Oleh: Hifhzil Aqidi NPM. 103112350370005

ABSTRAKSI: Siddharta Gautama sebagai peletak dasar ajaran Buddha merupakan satu dari sekian banyak agency dalam gerakan sosial yang berpijak pada gerakan kebudayaan. Seperti halnya dengan beberapa nabi Semithic pembawa risalah Agama Samawi, Sidharta melakukan transformasi sosial melalui lapis grass root (masyarakat awam). Meski memiliki latar belakang keluarga priyai (bangsawan) ia lebih memilih mewujudkan perubahan secara terbuka; dari jalan ke jalan, rumah ke rumah, dan dari orang ke orang. Dengan meninggalkan status kerajaannya maka dengan sendirinya Siddharta telah memilih meninggalkan secara utuh label politis dan bayang-bayang kekuasaan. Dengan melihat pola transformasi sosial yang ia tempuh secara umum gerakan pencerahan dengan pola serupa memberikan dampak jangka panjang bagi kelestarian ajaran dan para pengikutnya hingga tidak lekas lekang dari arus zaman.

Pendahuluan: a. Historis Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").

Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak
Hal. | 2

ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).

Untuk

45

tahun

selanjutnya,

ia

menelusuri dataran

Gangga di

tengah India (daerah

mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.

Keengganan

Buddha

untuk

mengangkat

seorang

penerus

atau

meresmikan

ajarannya

mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliranaliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.

b. Pokok Ajaran Siddharta Gautama

Dalam teori gerakan sosial Siddharta merupakan seorang Agency yang menginisiasi sebuah transformasi sosial. Melalui nilai-nilai yang terangkum dalam konsep Empat Kebenaran Mulia Siddharta membawa pesan kemanusiaan tentang pentingnya pencerahan dan membebaskan diri dari segala sesuatu yang membunuh kesadaran. Adapun Empat Kebenaran Mulia, meliputi: Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha), Dukha ialah penderitaan. Dukha menjelaskan bahwa ada lima pelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha), Samudaya ialah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup. Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha),

Hal. | 3

Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut. Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha). Marga ialah jalan kelepasan. Jalan kelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan.

Melalui nilai-nilai ini ia menggulirkan tentang pentingnya mewujudkan kepribadian manusia yang sempurna. Lepas dari keterpurukan duniawi dan secara utuh menggunakan akal-budinya dalam berbagai interaksi sosial.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir 1. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.

c. Relevansi Pola Gerakan

Berdasarkan gambaran historis dan pokok-pokok ajaran Siddharta Gautama maka dalam konteks gerakan sosial ia telah mendefinisikan diri selaku agency dengan menggeluti agendanya. Hal ini termanivestasikan melalui praktik sosialnya selama pengembaraannya saat melakukan pencerahan.

Melalui tematisasi pencerahan dan penyadaran akal-budi ia melakukan transformasi sosial dibawah panji-panji kemanusiaan sebagai manusia, manusiawi, namun mampu mengontrol kecenderungan akan bentuk-bentuk desiring liberation (pemenuhan hasrat atau nafsu). Mengajak pribadi-pribadi disekitarnya akan pentingnya membangun kesalihan sosial namun disatu sisi juga tetap menjaga keluhuran spiritual.

Tumimbal Lahir adalah istilah yang dikenal dalam agama Buddha sehubungan dengan kelahiran kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan yang sama atau berbeda serta tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam sebelumnya. Konsep ini berbeda dengan konsep reinkarnasi di mana reinkarnasi masih membawa kesadaran akan alam kehidupan dari alam sebelumnya.

Hal. | 4

Jika melihat apa yang Siddharta tekuni dalam agendanya memiliki relevansi dengan kondisi kekinian. Dimana kondisi zaman ini begitu banyak bermunculan tendensi dalam hidup manusia yang makin terhimpit diantara Need (kebutuhan) dan Want (keinginan), spiritualitas dan materi, dan kepincangan lainnya yang dapat menggoyahkan struktur sosial dan tatanan hidup bermasyarakat sekalipun.

Kondisi yang tengah mendekati puncak anomie saat ini sangat dibutuhkan figur-figur baru dalam upaya melakukan transformasi sosial. Mereka adalah agency yang bernaung dibawah keseimbangan lahir-batin, yang metafisik dan materi, faktual dan normatif, hingga keseimbangan antara hal yang kontemplativ dengan sikap emansipatoris.

Manusia melalui kesadarannya harus mampu menempuh jalan getir sekalipun dalam rangka mewujudkan eksistensinya secara sadar dan memiliki kepribadian budha (juru pandu) bagi pribadi lainnya. Melalui persona-persona inilah nantinya sebuah transformasi sosial dapat menemukan bentuknya dalam gerakan kebudayaan yang lebih massive serta lebih mudah diterima setiap kalangan. Namun sebelum dapat mencapai titik equilibrium2 dan menjadi gerakan pembaharu idealnya sebuah gerakan harus membentuk polanya terlebih dahulu. Berdasarkan pemikiran ini maka yang harus tersentuh pertama kali adalah subjeknya karena jika harus memulai dari sebuah institusi akan berseberangan dengan misi yang diemban, karena nantinya kekuatan politik dan bujuk rayu ekonomis dapat mengganggu kemurnian serta keluhuran tujuan dari sebuah gerakan.

***

Meminjam istilah Ali Syariaati dalam karyanya Islam dalam Perspektif Sosiologi AgamaSaat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya. Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus menerus didalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu. Maka dengan kata lain equilibrium disini berarti titik keseimbangan.

Hal. | 5

1. Siddharta Gautama Sebagai Persona Kreatifa Siddharta dalam menyebarkan ajarannya jika dilihat melalui kacamata gerakan sosial akan tampak dari bagaimana ia menekuni agendanyapraktik sosial yang kemudian mempertemukan kedua perannya dalam struktur dan personal. Seperti yang dipaparkan Anthony Giddens 3 bahwa struktur dan agenda (personal) memiliki titik temu pada praktik sosial.

Ketekunan dalam praktik sosialnya dapat digambarkan dengan bagaimana ia meninggalkan kehidupan materi, mengganti kemewahan dengan meditasi, menanggalkan sikap elitis dengan kepribadian low profile dan serba merakyat. Tentu saja ini terus berlanjut hingga akhir perjalanan hidupnya.

2. Reflexive Monitoring of Conduct Sebagaimana uraian dalam teori Strukturasi Giddens, bahwa para persona kreatifa memiliki sisi Reflexive Monitoring of Conduct. Dengan kata lain setiap agensi dalam gerakan sosial selalu sadar akan tiap-tiap tindakannya atau bertindak secara sadar serta tanpa paksaan. Maka berdasarkan teori strukturasi Siddharta dalam mengemban risalah ajarannya harus bermula dan berjalan diatas bentuk-bentuk kesadaran.

Untuk membuktikan hal ini dapat kita simak dalam berbagai kisah baik itu yang termaktub dalam kitab suci Budha maupun berbagai catatan para ahli sejarah tentang riwayat hidup Siddharta Gautama. Tindakan yang ia tempuh saat meninggalkan kehidupan kerajaan dan menghentikan aktifitas meditasi merupakan sebagian kecil dari wujud kesadaran bertindak4. Dan ini merupakan contoh sederhana dan memiliki konsekuensi logis sebagai sifat yang memanusiakan dan manusiawi, bahwa fitrah manusia tak terpisahkan dari sisi jasmani dan rohani.

3. Ruang Lingkup Gerakan Berdasarkan kisah perjalanan hidup Siddharta Gautama proses transformasi yang terjadi tidak mengarah pada satu titik ekstrim melainkan bermuara pada keseimbangan hidup. Sebagaimana

Anthony Giddens. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati. 4 Umumnya orang beranggapan, bertapa atau meditasi itu jalan menuju kearifan sejati. Atas dasar anggapan itu Gautama mencoba menjadi seorang pertapa, bertahun-tahun puasa serta menahan nafsu sehebathebatnya. Akhirnya dia sadar laku menyiksa diri ujung-ujungnya cuma mengaburkan pikiran, dan bukannya malah menuntun lebih dekat kepada kebenaran sejati. Akhirnya, dia memutuskan makan saja seperti layaknya manusia normal dan berhenti bertapa. Hal. | 6

ringkasan khotbah pertama Siddharta yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma):

"Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada halhal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana." (Sumber: Kwee Tek Hoay. Riwayat Lengkap Penghidupan dan Pelajaran Budha. 1960)

Berdasarkan ringkasan khotbah tersebut tersirat bahwa kepribadian manusia harus terhindar dari ekstrimitas hidup. Kehidupan ideal sudah seharusnya mencerminkan keseimbangan antara dunia fana dan nirwana. Maka dengan demikian kehidupan bermasyarakat dapat memperoleh pembebasan dari segala penderitaan serta senantiasa berpijak pada akal-budi yang bergerak secara sadar dan bebas.

Sedangkan untuk arah gerakan Siddharta sendiri memulainya dari tingkat grass-root (akar-rumput), yaitu masyarakat awam. Meski kondisi pada saat itu strata sosial (dalam hal ini sistem kasta) dengan tegas diberlakukan namun ia menyebarluaskannya secara inklusif. Keterbukaan dalam interaksi sosial menjadi salah satu kunci dakwah ajaran Buddha.

Inklusifitas gerakan yang dimaksud teruwujud dalam proses akhir pertapaan Siddharta sebelum mencapai fase menjadi Buddha. Pada waktu itu, lewat seorang anak penggembala dengan seekor kambing. Ia melihat Siddhartha dan sadar bahwa tanpa makanan Siddharta akan segera mati. Hindustan sendiri saat itu terdapat pantangan bahwa apabila bersentuhan dengan kasta rendah maka hilanglah kesucian kaum Brahmana. Ia peras susu kambing tersebut dan dikucurkan kemulut Siddharta hati-hati agar tidak menyenggol badannya. Setelah siuman, Sidharta meminta lagi susu kambing itu dan anak tersebut menolak lantaran ia sebagai kasta Sudra, Lalu Sidharta Berkata:

"Darah manusia tidak mengenal perbedaan, begitu pula airmata, Siapa manusia yang lakukan perbuatan benar ialah seorang suci." (Sumber: Kwee Tek Hoay. Riwayat Lengkap Penghidupan dan Pelajaran Budha. 1960)

Hal. | 7

Hal yang dilakukan oleh Siddharta dalam keterbukaan ruang gerak sebenarnya serupa dengan ruang lingkup nabi-nabi Semithyaitu, 5 (lima) nabi atau Rasul Allah pengemban risalah Samawi yang diberi julukan Ulul Azmi5. Hanya saja perbedaannya tidak ada dari mereka yang memiliki latar belakang keturunan keluarga bangsawan. Namun sama-sama dapat ditinjau dari arah gerakannya terlebih dahulu bermula dari akar-rumput.

4. Cakupan Waktu Keberhasilan dari misi ajaran Siddharta sendiri tidak hanya bersumber dari nilai atau tematisasi yang membangunnya melainkan juga peran-peran dari para pengikutnya hingga detik ini. Dengan demikian dampak/pengaruh risalah yang diembannya terhadap perubahan zaman tetap dapat dirasakan oleh para penganutnya sampai waktu yang tidak ditentukan. Terbukti dengan munculnya berbagai aliran Buddhisme pasca wafatnya Siddharta Gautama meski dapat diasumsikan terjadi perpecahan dengan dasar falsafah yang serupa. *** Berdasarkan beberapa point penting tersebut diatas dalam konteks gerakan sosial dan merujuk kepada teori Strukturasi Anthony Giddens maka segala tindakan Siddharta Gautama yang didasari oleh kesadaran murni dalam praktik sosialnya dapat dikategorikan sebagai agensi dalam gerakan sosial (persona kreatifa). Adanya nilai-nilai luhur yang diperjuangkan dan tematisasi yang terus bergulir dari interpersonal hingga antarpribadi menjadi bukti logis jika apa yang ia geluti dalam proses perubahan sosial pada saat itu menjadi sumber otentik adanya gerak transformasi nilai-nilai sosial-budaya.

5. Rangkuman Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya"). Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).

Ulul Azmi, berasal dari kata Ulul (pemilik) dan Azam (kt. kerj: kemauan keras) yang dapat diartikan sebagai Rasul Allah yang memiliki ketabahan dalam menjalankan wahyu-Nyameski yang menjadi rintangan adalah orang terdekat dan keluarga mereka sendiri.

Hal. | 8

Siddharta dalam menyebarkan ajarannya jika dilihat melalui kacamata gerakan sosial akan tampak dari bagaimana ia menekuni agendanyapraktik sosial yang kemudian mempertemukan kedua perannya dalam struktur dan personal. Seperti yang dipaparkan Anthony Giddens bahwa struktur dan agenda (personal) memiliki titik temu pada praktik sosial. Sebagaimana uraian dalam teori Strukturasi Giddens, bahwa para persona kreatifa memiliki sisi Reflexive Monitoring of Conduct. Dengan kata lain setiap agensi dalam gerakan sosial selalu sadar akan tiap-tiap tindakannya atau bertindak secara sadar serta tanpa paksaan. Maka berdasarkan teori strukturasi Siddharta dalam mengemban risalah ajarannya harus bermula dan berjalan diatas bentuk-bentuk kesadaran.

Sedangkan untuk arah gerakan Siddharta sendiri memulainya dari tingkat grass-root (akar-rumput), yaitu masyarakat awam. Meski kondisi pada saat itu strata sosial (dalam hal ini sistem kasta) dengan tegas diberlakukan namun ia menyebarluaskannya secara inklusif. Keterbukaan dalam interaksi sosial menjadi salah satu kunci dakwah ajaran Buddha. Inklusifitas gerakan yang dimaksud teruwujud dalam proses akhir pertapaan Siddharta sebelum mencapai fase menjadi Buddha. Hal yang dilakukan oleh Siddharta dalam keterbukaan ruang gerak sebenarnya serupa dengan ruang lingkup nabi-nabi Semithyaitu, 5 (lima) nabi atau Rasul Allah pengemban risalah Samawi yang diberi julukan Ulul Azmi6. Hanya saja perbedaannya tidak ada dari mereka yang memiliki latar belakang keturunan keluarga bangsawan. Namun sama-sama dapat ditinjau dari arah gerakannya terlebih dahulu bermula dari akar-rumput. Meski demikian gerakan yang dibangun oleh Siddharta sendiri tidak pernah dikultuskan pada seseorang atau suatu kaum agar melakukan regenerasi. Regenerasi disini dimaksudkan untuk menghadapi dinamika dalam gerakan sosial itu sendiri. Maksudnya, karena Gerakan sosial tidak
bersifat terus-menerus karena memiliki siklus hidup kurang-lebih sebagai berikut: diciptakan, tumbuh, pencapaian sasaran akhir atau berikut kegagalannya, terkooptasi dan kehilangan semangat. Hal yang seringkali terjadi dalam penyimpangan sebuah gerakan ketika penggagas gerakan tidak mendeklarasikan apakah transformasi yang sudah ada harus bermetamorfosis atau cukup berhenti pada satu titik.

***

Ulul Azmi, berasal dari kata Ulul (pemilik) dan Azam (kt. kerj: kemauan keras) yang dapat diartikan sebagai Rasul Allah yang memiliki ketabahan dalam menjalankan wahyu-Nyameski yang menjadi rintangan adalah orang terdekat dan keluarga mereka sendiri. Mereka adalah nabi Nuh as., Ibrahimas as., Musa as., Isa as., dan Muhammad saw.

Hal. | 9

6. Kepustakaan Eka, Wirajhana. Oktober 2007. Negara Dimana Budha Dibesarkan. (http://wirajhanaeka.blogspot.com/2007/10/negara-dimana-buddha-dibesarkan.html, diakses 10 Januari 2010). H. Hart, Michael. 1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka Jaya. Setya. 2009. Teori Strukturasi. (http://setyafi.multiply.com/journal/item/9/teori_strukturasi_, diakses 10 Januari 2011). Syariati, Ali. 1983. Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama. Bandung: IQRA Bandung. Wikipedia Indonesia. Agama Buddha. (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, diakses 10 Januari 2011). Wikipedia Indonesia. Sidharta Gautama. (http://id.wikipedia.org/wiki/Siddharta_Gautama, diakses 10 Januari 2011). Wikipedia Indonesia. Sejarah Agama Buddha. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_agama_Buddha, diakses 10 Januari 2011).

Hal. | 10

Anda mungkin juga menyukai