Anda di halaman 1dari 25

Siklus Hidup Plasmodium

Plasmodium merupakan protozoa parasit dari jenis sporozoa. Plasmodium sp pada manusia menyebabkan penyakit malaria dengan gejala demam, anemia dan spleomegali (pembengkakan spleen). Dikenal 4 (empat) jenis plasmodium, yaitu : 1.Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana (malaria tertiana begigna). 2.Plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana 3.Plasmodium falciparum menyebabkan malaria topika (malaria tertiana maligna). 4.Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale. Malaria menular kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. dalam siklus hidupnya. Plasmodium sp berproduksi secara sexual (sporogoni)dan asexual (schizogon) di dalam host yang berbeda, host dimana terjadi reproduksi sexsual, disebut host definitive sedangakn reproduksi asexual terjadi pada host intermediate. Reproduksi sexual hasinya disebut sporozoite sedangkan hasil reproduksi asexual disebut merozoite. Daur hidup Plasmodium ada dua, yaitu: (a) Fase di dalam tubuh nyamuk (fase sporogoni) Di dalam tubuh nyamuk ini terlihat Plasmodium melakukan reproduksi secara seksual. Pada tubuh nyamuk, spora berubah menjadi makrogamet dan mikrogamet, kemudian bersatu dan membentuk zigot yang menembus dinding usus nyamuk. Di dalam dinding usus tersebut zigot akan berubah menjadi ookinet ookista sporozoit, kemudian bergerak menuju kelenjar liur nyamuk. Sporozoit ini akan menghasilkan spora seksual yang akan masuk dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk. (b) Fase di dalam tubuh manusia (fase skizogoni) Setelah tubuh manusia terkena gigitan nyamuk malaria, sporozoit masuk dalam darah manusia dan menuju ke sel-sel hati. Di dalam hati ini sporozoit akan membelah dan membentuk merozoit, akibatnya sel-sel hati banyak yang rusak. Selanjutnya, merozoit akan menyerang atau menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, merozoit akan membelah diri dan menghasilkan lebih banyak merozoit. Dengan demikian, ia akan menyerang atau menginfeksi pada eritrosit lainnya yang menyebabkan eritrosit menjadi rusak, pecah, dan mengeluarkan merozoit baru. Pada saat inilah dikeluarkan racun dari dalam tubuh manusia sehingga menyebabkan tubuh manusia menjadi demam. Merozoit ini dapat juga membentuk gametosit apabila terisap oleh nyamuk (pada saat menggigit) sehingga siklusnya akan terulang lagi dalam tubuh nyamuk, demikian seterusnya.

http://biologi-sakti.blogspot.com/2011/09/siklus-hidup-plasmodium.html

Efektifitas Penggunaan Fogging Di tengah kondisi cuaca yang tak menentu dan masih sering terjadinya hujan di musim kemarau saat ini, Demam Berdarah, diare, dan penyakit musim hujan lainnya menghantui kita. Akan tetapi yang (selalu) menjadi perhatian kita selama ini adalah DBD. Menurutr Departemen Kesehatan RI Penyakit ini telah lama mengganggu mengganggu manusia dan terus berlanjut menghantui 40% penduduk dunia ini, setidaknya sudah menginfeksi lebih dari 500 juta jiwa per tahun dan menyebabkan lebih dari 1 juta jiwa meninggal. Sungguh data yang mengerikan, bukan?

Oleh karena itu sangatlah dianjurkan melakukan tindakan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) untuk memotong siklus kehidupan nyamuk dengan Pembasmian Sarang Nyamuk (PSN). Sangat mudah dilakukan, tapi kita selalu menganggap perilaku tersebut dengan sebelah mata. Seakan-akan kita lebih senang mengobati daripada mencegah.

Disamping itu, tindakan pencegahan lainnya adalah dengan penggunaan fogging, yaitu tindakan pengasapan dengan menggunakan bahan insektisida terhadap area-area yang ditengarai sebagai sarang nyamuk. Sebagaimana di lingkungan RW.19 (RT.03, RT.04, RT.05, dan RT.06) Desa Mangliawan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang, yang pada hari Minggu (22/08/2010) melaksanakan fogging guna pencegahan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk dan serangga lainnya. Tindakan tersebut dilaksanakan mengingat akhir-akhir ini penyakit DBD tengah menyerang beberapa warga di lingkungan

RW.19 Mangliawan. Kami segenap pengurus dan warga RT.04 RW.19 menyampaikan terima kasih atas terlaksananya program fogging tersebut.

Namun seiring dengan berjalannya hari, efektifitas penggunaan fogging sebagai media pencegahan penyakit DBD mulai menjadi pertanyaan besar? Nyamuk-nyamuk nakal mulai berterbangan dan mampir kembali.

Dalam sebuah tulisan ilmiah dari Riefka Aulia, (mahasiswi Fak Kesehatan Masyarakat fokus studi Kesehatan Lingkungan Universitas Jember) yang dimuat di http://netsains.com mengungkapkan bahwa penggunaan fogging sejauh ini tidak terlalu efektif. Daerah yang dilakukan pengasapan hanya aman dari gigitan nyamuk kurang dari 4 hari. Meski selama kurun waktu 4 hari itu kita aman dari kehadiran nyamuk, namun ada bahaya lainnya yang mengancam, yaitu bahan fogging itu sendiri. Bayangkan saja bahan-bahan yang digunakan adalah air, mitan atau solar atau oli, bahkan di tambah insektisida. Kita tahu bahwa solar mengandung senyawa belerang yang dapat membahayakan kesehatan. Sementara itu, bentuk kabut asap dapat dibuat dengan cara melakukan proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan tadi. Hasil yang dominan dari proses ini adalah gas karbon monoksida (CO). Nah, gas CO ini sendiri apabila terhisap ke dalam paru-paru akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen yang akan dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat racun metabolisme, yakni ikut bereaksi dengan darah. Sedangkan insektisidanya pun, jelas membahayakan kesehatan tubuh kita. Entah itu orang yang melakukan pengasapan maupun orang-orang yang terpapar asap. Sementara itu, secara teknis pada proses pengasapan yang seringkali dilakukan kurang tepat. Bagaimana tidak, mereka justru mengasapi got-got, air taman, dll. Sedangkan nyamuk Aedes sendiri sukanya hidup di air bersih.

Akan tetapi, tujuan fogging itu sendiri tak ubahnya seperti placebo. Yakni hanya memberikan ketenangan psikologis semata. Inilah yang menjadikan kita memiliki persepsi yang salah mengenai fogging. Dan menjadi lagu lama bagi pemerintah untuk menenangkan masyarakat akan ancaman DBD, hal ini pulalah yang menjadi suatu indikator gagalnya program pemerintah. Pemberantasan DBD menjadi tanggung jawab kita bersama, dimulai dari informasi dan pemahaman yang tepat mengenai DBD. Tumbuhkan kepedulian anda, bukan pada diri semata tapi juga lingkungan sekitar. http://rt04-jembawan.blogspot.com/2010/08/efektifitas-penggunaan-fogging.html terapi diare menurut mtbs

MTBS MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT

PELAKSANAAN PADA BAYI UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

I.

KONSEP DASAR MTBS Bank Dunia tahun 1993 melaporkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh ISPA, diare, campak, malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut. MTBS yang diperkenalkan WHO dan UNICEF di Indonesia pada tahun 1997. Penerapan MTBS diharapkan tenaga kesehatan dibekalli cara untuk mengenali seecara dini dan cepat semua gejala anak sakit sehingga dapat ditentukan apakah anak sakit ringan berat dan perlu rujukan. Jika penyakitnya tidak parah petugas dapat memberikan pengobatan/tindakan sesuai pedoman MTBS dan diuraikan juga tentang konseling dan tindak lanjut. Perubahan dalam tatalaksana MTBS untuk umur 2 bulan sampai 5 tahun secara singkat dirangkum yakni perubahan jenis antibiotika pada pelaksanaan pneumonia, penggunaan tablet Zinc dan oralit asmolaritas rendah pada diare, tatalaksana malaria, penentuan status gizi dengan berat badan menurut tinggi/panjang badan antara anak laki-laki dan perempuan, penggunaan Albendazole sebagai obat kecacingan, tatalaksana masalah gizi dan anemia dan perubahan jadwal imunisasi. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatihserta mendapatkan pengobatan yang tepat. Jika ibu dan keluarga tidak membawa anaknya kefasilitas kesehatan sampai sakitnya menjadi parah mungkin anak itu akan meninggal karena penyakitnya. Oleh karena itu pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting dalam MTBS PELAKSANAAN MTBM PADA BAYI UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN Hampir semua fasilitas kesehatan mempunyai prosedur untuk pendaftaran dan penentuan apakah anak sakit atau alasan lain misalkan kunjungan anak sehat, kunjungan imunisasi atau kunjungan untuk perawatan cedera akibat kecelakaan. Pemilihan bagan tergantung dari pengelompokan umur dan kunjungan pertama atau lanjutan. Tentukan anak dalam kelompok mana umur 2 bulan sampai 5 tahun (sebelum ulang tahun ke 5) atau bayi muda umur 2 bulan. Proses manajemen kasus disajikan dalam bagan yang memperlihatkan urutan langkahlangkah dan penjelasan cara pelaksanaannya 1. Penilaian dan klasifikasi 2. Tindakan dan Pengobatan 3. Konseling bagi ibu 4. Pelayanan Tindak lanjut

II.

Pemahaman tentang : 1. Penilaian berarti melakukan penilaian dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik Klasifikasi membuat keputusan mengenai kemungkinan penyakit atau masalah serta tingkat keparahannya dan merupakan suatu kategori untuk menentukan tindakan bukan sebagai diagnosis spesifik penyakit 2. Tindakan dan pengobatan berarti menentukan tindakan dan memberi pengobatan difasilitas kesehatan sesuai dengan setiap klasifikasi. 3. Konseling juga merupakan menasehati ibu yang mencangkup bertanya, mendengar jawaban ibu, memuji, memberi nasehat relevan, membantu memecahkan masalah dan mengecek pemahaman 4. Pelayanan tindak lanjut berarti menentukan tindakan dan pengobatan pada saat anak datang untuk kunjungan ulang Dalam pendekatan MTBS tersedia Formulir Pencatatan untuk Bayi umur 2 bulan sampai 5 tahun a. Memeriksa tanda bahaya umum kemungkinan tidak bisa minum atau menyusui, memuntahkan semuanya, kejang, latargis atau tidak sadar b. Menanyakan empat keluhan utama yaitu batuk atau sukar bernapas, diare, demam dan masalah telinga c. Memeriksa dan mengklasifikasi status gizi d. Memeriksa dan klasifikasi anemia e. Memeriksa status imunisasi dan pemberian Vitamin Adan menentukan apakah anak membutuhkan imunisasi dan vitamin A pada kunjungan tersebut f. Menilai masalah atau keluhan lain yang dihadapi anak III. PENILAIAN DAN KLASIFIKASI BAYI UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN Langkah- langkah pada bagan penilaian dan klasifikasi menggambarkan apa yang harus dilakukan apabila seorang anak dibawa keklinik dan bagan ini tidak digunakan bagi anak sehat yang imunisasi atau bagi anak dengan keracunan, kecelakaan atau luka bakar. Klasifikasi bukan merupakan diagnosis tapi merupakan indikator yang menuju ke arah diagnostik klinik Lajur warna klasifikasi : Lajur Merah : kondisi yang harus segera dirujuk Lajur Kuning : kondisi yang memerlukan tindakan khusus Lajur Hijau : kondisi yang tidak memerlukan tindakan khusus tetapi penyuluhan pada ibu Menggunakan keterampilan TANYA, LIHAT, DENGAR dan RABA 1. Menanyakan masalah anaknya

Tanyakan umur anak untuk menentukan bagan penilaian dan klasifikasi sesuai dengan kelompok umur, lakukan pemeriksaan BB, PB/TB dan suhu Catat apa yang dikatakan ibu mengenai masalah anaknya dan tentukan ini kunjungan pertama atau ulang 2. Memeriksa tanda bahaya umum Tanda bahaya umum adalah : a. Apakah anak tidak bisa minum atau menyusu b. Apakah anak selalu memuntahkan semua sama sekali tidak dapat menelan apapun. c. Apakah anak kejang, pada saat kejang lengan dan kaki anak menjadi kaku karena otot-ototnya berkontraksi d. Apakah anak letargis atau tidak sadar tidak bereaksi ketika disentuh, digoyangkan atau bertepuk tangan 3. Batuk atau sukar bernapas Infeksi saluran pernapasan dapat terjadi pada bagian mana saja dari saluran pernapasan seperti hidung, tenggorokan, laring, trakea, saluran udara atau paru Anak dengan batuk atau sukar bernapas mungkin menderita Pneumonia atau infeksi saluran pernapasan berat lainnya. Menilai batuk atau sukar bernapas: a. Apakah anak sukar bernapas dimana pola pernapasan yang tidak biasa cepat atau berbunyi atau terputus-putus dan sudah berapa lama ; jika lebih 3 minggu berarti batuk kronis, kemungkinanan TBC, asma , batuk rejan b. Hitung napas dalam 1 menit pada bayi tenang Jika umur anak 2 sampai 12 bulan dikatakan bernapas cepat jika frekuensi 50 kali permenit atau lebih dan jika umur anak 12 bulan sampai 5 tahun dikatakan bernapas cepat 40 kali permenit. c. Amati gerak napas pada dada atau perut anak itu, dinding dada bagian bawah masuk ke dalam ketika anak menarik napas. d. Dengar adanya stridor bunyi yang kasar saat anak menarik napas dan stridor terjadi apabila ada pembengkakan pada laring, trakea sehingga menyebabkan sumbatan masuknya udara kedalam paru-paru KLASIFIKASI BATUK ATAU SUKAR BERNAPAS Tanda dan Gejala
Ada tanda bahaya umum ATAU Tarikan dinding dada ke dalam ATAU

Klasifikasi PNEUMONIA BERAT ATAU PENYAKIT SANGAT BERAT

Stridor Napas cepat

PNEUMONIA BATUK BUKAN PNEUMONIA

Tidak ada tanda pneumonia atau penyakit sangat berat

4. Diare Ibu mudah mengenal diare karena perubahan bentuk tinja yang tidak seperti biasanya dan frekuensi beraknya lebih sering dibandingkan biasanya. Diare terjadi apabila tinja mengandung air yang lebih banyak dari normal. Sebagian besar diare yang menyebabkan dehidrasi berat adalah diare karena kolera. Jika diare berlangsung selama 1 hari atau lebih disebut DIARE PERSISTEN dan diare denagn darah dalam tinja dengan atau tanpa lendir disebut DISENTERI yang disebabkan oleh shigella Biasanya bayi dehidrasi rewel dan gelisah dan jika berlanjut bayi menjadi letargis atau tidak sadar, karena bayi kehilangan cairan matanya menjadi cekung anak malas minum jika ia lemah dan tidak bisa minum tanpa dibantu dan jika dicubit kulit akan kembali dengan lambat atau sangat lambat. Cubit kulit perut dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk lihat apakah kulit itu kembali lagi dengan sangat lambat (lebih dari 2 detik), lambat atau segera. KLASIFIKASI DERAJAT DEHIDRASI Tanda dan Gejala Klasifikasi

Terdapat 2 atau lebih tanda berikut : DIARE DEHIDRASI BERAT Letargis atau tidak sadar Mata Cekung Tidak bisa minum atau malas minum Cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat Terdapat 2 atau lebih tanda berikut : DIARE DEHIDRASI RINGAN /SEDANG Gelisah atau rewel Mata Cekung Haus minum dengan lahap Cubitan kulit perut kembali lambat Tidak cukup tanda dehidrasi berat atau DIARE TANPA DEHIDRASI ringan/sedang

KLASIFIKASI DIARE PERSISTEN Ada dehidrasi DIARE PERSISTEN BERAT Tanpa dehidrasi DIARE PERSISTEN

KLAIFIKASI DISENTRI Darah dalam tinja

DISENTRI

5. Demam Anak dengan demam mungkin menderuta malaria, campak, demam berdarah atau penyakit berat lainnya a. Malaria Demam merupakan tanda utama malaria dan anak dengan malaria mungkin menderita anemia kronis. Malaria berat adalah malaria dengan komplikasi seperti malaria serebral atau anemia berat.Harus mengetahui risiko malaria di daerah anda tinggi, rendah, atau tanpa resiko.Pada risiko rendah tanyakan apakah anak dapat berkunjung keluar dalam 2 minggu terakhir. dan pemeriksaan malaria dapat dilakukan dengan alat diagnostik cepat, praktis dan tepat. Ambil sediaan darah periksa RDT jika belum dalam 28 hari dan periksa mikroskopis darah jika pernah dilakukan RDT dalam 28 hari terakhir (tidak dilakukan untuk daerah tanpa resiko malaria) Kemudian lanjutkan penilaian anak demam Sudah berapa lama anak itu demam Jika lebih dari 7 hari apakah demam setiap hari Apakah pernah mendapat obat anti malaria dalam 2 minggu terakhir Apakah anak menderita campak dalam 3 bulan terakhir Apakah ada kaku kuduk Apakah ada pilek Lihat ada tanda campak yaitu ruam kemerahan yang menyeluruh dan salah satu dari batuk, pilek atau mata merah b. Campak Demam dan ruam kemerahan yang menyeluruh adalah tanda utama campak. Campak disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan. Jika anak sedang sakit campak saat ini atau dalam 3 bulan terakhir periksa adanya gejala komplikasi campak seperti : luka dimulut, nanah pada mata dan kekeruhan pada kornea c. Demam Berdarah Dengue DBD adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah kasus maupun daerah yang terjangkit cenderung meningkat. DBD

disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti Lakukan penilaian untuk DBD hanya jika demam 2 hari sampai dengan 7 hari. Apakah anak mengalami bintik merah dikulit atau perdarahan akibat trombositopeni. Perdarahan dari hidung dan gusi sangat dimungkinkan disebabkan DBD Apakah sering muntah bercampur darah /berwarna kopi Apakah beraknya berwarna hitam Apakah ada nyeri ulu hati Apakah ada tanda syok ujung ekstermitas teraba dingin, nadi teraba lemah atau tidak teraba. Bintik perdarahan di kulit (petekie) Uji torniket (+) ditemukan sebanyak 10 /lebih petekie pada daerah seluas diameter 2,8 cm KLASIFIKASI RISIKO TINGGI MALARIA Tanda dan Gejala Ada tanda bahaya umum Kaku kuduk Demam (pada anamnesa atau teraba panas atau suhu 37,5C) Rapid Diagnostic test (RDT) positif Demam (pada anamnesa atau teraba panas atau suhu 37,5C) Rapid Diagnostic test (RDT) negatif Klasifikasi PENYAKIT BERAT DENGAN DEMAM MALARIA

DEMAM MUNGKIN BUKAN MALARIA

KLASIFIKASI RISIKO RENDAH MALARIA Tanda dan Gejala Ada tanda bahaya umum Kaku kuduk Tidak ada pilek dan Tidak ada campak Tidak ada penyebab lain dari demam Ada pilek atau Ada campak atau Ada penyebab lain dari demam Klasifikasi PENYAKIT BERAT DENGAN DEMAM MALARIA

DEMAM MUNGKIN BUKAN MALARIA

KLASIFIKASI TANPA RISIKO MALARIA Tanda dan Gejala Ada tanda bahaya umum atau Kaku kuduk Tidak ada tanda bahaya umum atau tidak ada kaku kuduk Klasifikasi PENYAKIT BERAT DENGAN DEMAM DEMAM BUKAN MALARIA

KLASIFIKASI DEMAM UNTUK CAMPAK Tanda dan Gejala Ada tanda bahaya umum ATAU Kekeruhan pada kornea mata ATAU Lika dimulut yang dalam atau luas Mata bernanah ATAU Luka dimulut Klasifikasi CAMPAK DENGAN KOMPLIKASI BERAT

CAMPAK KOMPLIKASI DAN/MULUT CAMPAK

DENGAN PADA MATA

Tidak ada tanda-tanda diatas

KLASIFIKASI DEMAM UNTUK DBD Tanda dan Gejala Ada tanda tanda syok atau gelisah ATAU Muntah bercampur darah/seperti kopi ATAU Berak berwarna hitam ATAU Bintik-bintik perdarahan dikulit (petekie) dan uji torniket positif ATAU Sering muntah ATAU Demam mendadak tinggi dan terus-menerus ATAU Nyeri ulu hati atau gelisah ATAU Klasifikasi DBD

MUNGKIN DBD

Bintik perdarahan di kulit Tidak ada tanda-tanda diatas DEMAM MUNGKIN BUKAN DBD

6. Masalah telinga Jika anak menderita infeksi telinga, nanah terkumpul di belakang gendang telinga yang menyebabkan nyeri dan sering kali demam dan jika tidak diobati gendang telinga mungkin pecah. Tanyakan apakah telinga anaknya sakit jika sakit ada infeksi telinga Adakah nanah /cairan yang keluar dari telinga merupakan tanda infeksi dan tanyakan sudah berapa lama Lihat adanya cairan /nanah keluar dari telinga Raba adanya pembengkakan yang nyeri dibelakang telinga KLASIFIKASI MASALAH TELINGA Tanda dan Gejala Pembengkakan yang nyeri di belakang telinga Tampak cairan /nanah dari telinga dan telah terjadi kurang dari 14 hari ATAU Nyeri telinga Tampak cairan /nanah dari telinga dan telah terjadi selama dari 14 hari ATAU lebih Nyeri telinga Tidak sakit telinga DAN tidak ada cairan/nanah keluar dari telinga Klasifikasi MASTOIDITIS INFEKSI TELINGA AKUT

INFEKSI TELINGA KRONIS

TIDAK TELINGA

ADA

INFEKSI

7. Memeriksa Status Gizi Anak yang kurang gizi mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk berbagai jenis penyakit dan kematian. Menilai status gizi

Apakah anak kurus nampak tidak berlemak, seperti tulang dibungkus kulit (marasmus) Raba pembengkakan pada kedua punggung kaki akibat dari sejumlah besar cairan terkumpul dalam jaringan tubuh anak (kwashiokor) Tentukan BB menurut panjang badan atau tinggi badan, apakah - BB/PB <-3 SD - BB/PB -3 SD - <-2 SD - BB/PB -2 SD - +2 SD Menggunakan indikator - > +3 SD : obesitas - >+ 2 SD : gemuk - >+1 SD : risiko gemuk - O : median gizi baik - < -1 SD : normal atau gizi baik - <-2 SD : kurus atau gizi kurang - < -3 SD : sangat kurus atau gizi buruk

KLASIFIKASI STATUS GIZI

Tanda dan Gejala Badan sangat kurus ATAU BB/PB (TB) < -3 SD ATAU Bengkak pada kedua punggung kaki Badan kurus ATAU BB/PB (TB) -3 SD - < -2 SD BB/PB (TB) 2 SD - + 2 SD DAN Tidak ditemukan tanda-tanda kelainan gizi diatas

Klasifikasi SANGAT KURUS ATAU ANEMIA DAN

KURUS

NORMAL

8. Anemia Kekurangan zat besi pada makanan dapat menyebabkan anemia atau dari penyakit malaria yang dapat menghancurkan sel darah merah dan parasit seperti cacing yang dapat terjadi perdarahan Menilai Anemia Lihat tanda kepucatan pada telapak tangan yang merupakan tanda anemia dan bandingkan telapak tangan anak dengan telapak tangan anda

dikatakan agak pucat jika kulit telapak tangan anak itu pucat dan dikatakan sangat pucat jika telapak tangan kelihatan putih. Kepucatan dapat dilihat juga melalui konjungtiva KLASIFIKASI ANEMIA Tanda dan Gejala Telapak tangan sangat pucat Telapak tangan agak pucat Tidak ditemukan tanda kepucatan pada telapak tangan Klasifikasi ANEMIA BERAT ANEMIA TIDAK ANEMIA

9. Status Imunisasi Anak Sesudah diterbitkannya SK Menkes RI no 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi, jadwal pemberian imunisasi berbeda untuk kelahiran di rumah dan sarana kesehatan dimana vaksin DPT dan Hepatitis B tercampur dalam satu suntikan yang disebut combo JADWAL IMUNISASI DI RUMAH UMUR JENIS VAKSIN 0-7 hari 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan HB 0 BCG, Polio 1 DPT/HB1, Polio 2 DPT/HB 2, Polio 3 DPT/HB3, Polio 4 Campak

TEMPAT Rumah Posyandu Posyandu Posyandu Posyandu Posyandu

JADWAL IMUNISASI DI TEMPAT PELAYANAN KESEHATAN UMUR 0 hari JENIS VAKSIN HB 0, BCG, Polio 1 TEMPAT RS/RB/Bidan

2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan

DPT/HB1, Polio 2 DPT/HB 2, Polio 3 DPT/HB3, Polio 4 Campak

RS/RB/Bidan RS/RB/Bidan RS/RB/Bidan RS/RB/Bidan

10. Pemberian Vitamin A Untuk pemberian Vitamin A periksa status pemberian vitamin A pada semua anak yang berumur 6 bulan 5 tahun dan catat pada kolom KMS, tidak ada kontra indikasi JADWAL PEMBERIAN VITAMIN A Pemberian setiap Pebruari dan Agustus Umur 6 bulan 11 bulan : 100.000 IU (warna biru) Umur 12 bulan-5 tahun : 200.000 IU (warna merah) IV. TINDAKAN DAN PENGOBATAN 1. Menentukan perlunya dilakukan rujukan segera Rujukan untuk klasifikasi berat dengan lajur berwarna merah muda - Pneumonia berat/penyakit berat - Diare dehidrasi berat - Diare persisten berat - Penyakit berat dengan demam - Campak dengan komplikasi berat - DBD - Mastoiditis - Sangat kurus dan atau edema - Anemia berat 2. Menentukan tindakan /pengobatan pra rujukan Bila anak memerlukan rujukan segera harus cepat ditentukan tindakan yang paling dibutuhkan dan segera diberikan - Beri dosis pertama antibiotik - Beri dosis suntikan artemeter untuk malaria berat (daerah risiko tinggi atau rendah) - Beri dosis pertama vitamin A - Beri cairan intravena pada anak DBD dengan syok - Cegah agar gula darah tidak turun (termasuk pemberian ASI, susu atau air gula) - Beri dosis pertama suntikan antibiotik

Beri dosis pertama obat antimalaria oral Beri dosis pertama parasetamol jika demam tinggi (38,5C atau lebih) atau nyeri akibat mastoiditis Beri tetes /salep mata tetrasiklin atau kloramfenikol tanpa kortikosteroid (bila ada kekeruhan kornea atau mata bernanah) Beri ASI dan larutan oralit selama perjalanan ke RS

3. Merujuk anak - Menjelaskan pentingnya rujukan dan minta persetujuan untuk membawa anaknya ke RS - Hilangkan kekhawatiran ibu dan bantu untuk mengatasi setiap masalah - Tulis surat rujukan untuk dibawa ke RS - Membawa peralatan yang diperlukan selama perjalanan ke RS

4. Menentukan tindakan dan pengobatan untuk anak yang tidak memerlukan rujukan Anak yang tidak memerlukan rujukan dapat ditangani di klinik saudara yaitu yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut: - Batuk : bukan pneumonia - Diare dehidrasi ringan /sedang - Diare tanpa dehidrasi - Diare persisten - Anemia - Kurus - Infeksi telinga kronis - Demam : bukan DBD - Demam : bukan malaria - Campak dengan komplikasi dimulut dan mata Tindakan dan pengobatan untuk anak yang tidak memerlukan rujukan a. Memilih obat oral yang sesuai dan menentukan dosisnya dan jadwal pemberian Memberi antibiotik oral yang sesuai Memberi obat anti malaria artemisin combination therapi (ACT) Parasetamol pada demam tinggi > 38.5 C dan nyeri telinga - Memberi vit A pada campak tanpa komplikasi hanya pada hari 1 sebagai suplemen pada semua balita umur 6 bulan. Kapsul biru (100.000 IU) pada umur 6 bln 11 bulan, kapsul merah (200.000 IU) pada umur 12 bulan 5 tahun. Diberikan setiap 6 bulan sekali (Pebruari dan Agustus) Memberi Zat besi dalam bentuk tablet dan sirup

b.

Memberikan cairan tambahan dan tablet zinc untuk diare dan melanjutkan pemberian makanan (Zinc adalah zat mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan dan zinc sangat diperlukan dalam proses kesembuhan) kecuali pada bayi muda - Rencana terapi A (penanganan diare di rumah) diare tanpa dehidrasi dengan memberi cairan semaunya, beri tablet zinc, lanjutkan pemberian makan, dan kunjungan ulang - Rencana terapi B (penanganan dehidrasi ringan /sedang dengan oralit) dengan pemberian oralit 3 jam pertama dan segera dirujuk - Rencana terapi C (penanganan di RS) dengan rehidrasi melalui intravena/menggunakan pipa nasogastrik pada dehidrasi berat - Menangani diare persisiten dengan memerlukan makanan khusus - Mengobati disentri yaitu dengan kotrimoksasol/asam nalidiksat - Tindakan dan pengobatan infeksi lokal salep mata dengan tetrasiklin/kloramfenikol, mengeringkan telinga dengan kertas penyerap, luka dimulut dengan Gentian violet - Memberi imunisasi setiap anak sakit sesuai kebutuhan c. Kunjungan ulang V. KONSELING BAGI IBU Sangat penting menyediakan waktu untuk menasehati ibu dengan cermat dan menyeluruh. Konseling memerlukan keterampilan komunikasi, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan mengecek pemahaman ibu. Konseling yang dapat diberikan: a. Mengajari ibu cara pemberian obat di rumah b. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah c. Mengajari ibu cara mencampur dan memberi oralit d. Anjuran makan untuk anak sehat maupun sakit e. Menilai cara pemberian makan anak f. Menentukan masalah pemberian makan anak g. Menasehati ibu tentang masalah pemberian makan anak h. Menasehati ibu tentang pemberian cairan selama anak sakit i. Menasehati ibu kapan harus kembali ke petugas kesehatan KUNJUNGAN ULANG UNTUK PELAYANAN TINDAK LANJUT Untuk kunjungan ulang gunakan kotak pelayanan tindak lanjut yang sesuai klasifikasi sebelumnya Jika anak mempunyai masalah baru, lakukan penilaian klasifikasi dan tindakan terhadap masalah baru tersebut seperti pada bagan PENILAIAN, KLASIFIKASI

VI.

DAN TINDAKAN/PENGOBATAN ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN *Kunjungan ulang sesudah 2 hari pada masalah : a. Pneumonia b. Diare persisiten c. Disentri d. Malaria, Demam mungkin bukan malaria e. Demam bukan malaria f. Campak dengan komplikasi pada mata dan mulut g. Mungkin DBD,Demam mungkin bukan DBD h. Infeksi telinga akut * Kunjungan ulang setelah 5 hari - Infeksi telinga kronis - Masalah pemberian makan *Kunjungan ulang setelah 14 hari - Anak kurus - Anemia Extrapulmoner TB Tuberkulosis Ekstrapulmonal ( Pleuritis Tuberkulosis, Meningitis tuberkulosis, Tuberkulosis Limfonodi, dan Tuberkulosis Tulang )

Tuberkulosis Ekstrapulmonal dibagi atas beberapa bagian, diantaranya:

1. Pleuritis Tuberkulosis Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer. Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata

pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer : (i). Adanya data tes PPD positif baru, (ii). Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkolosis parenkim paru, (iii). Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim. Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB reaktivasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif. Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.

Gambaran Klinis dan Sekuele Gambaran klinis dari Pleuritis TB yang paling sering dilaporkan adalah batuk (7194%), demam (71-100%), nyeri dada pleuritik (78-82%) dan dispneu. Batuk yang terjadi biasanya nonproduktif terutama ketika tidak terdapat lesi paru aktif. Keringat malam, sensasi mengigil, dyspneu, malaise, dan penurunan berat badan merupakan keluhan umum. Demam dan nyeri dada umumnya terdapat pada pasien muda,

sedangkan batuk dan dyspneu umumnya pada pasien yang lebih tua. Durasi rata-rata dari gejala penyakit sekitar 14 hari pada pleuritis TB primer dan 60 hari pada pleuritis TB reaktivasi. Pasien dengan TB efusi pleura dan HIV bergejala dalam periode yang lebih lama dan mempunyai gejala tambahan seperti takipneu, keringat malam hari, malaise, diare, dan mempunyai kemungkinan lebih banyak terjadi hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Hasil tes PPD negatif dilaporkan pada 30% pasien immunokompetan, dan lebih dari 50% pada pasien terinfeksi HIV. Pemeriksaan fisik ditemukan berkurangnya suara nafas dan perkusi pekak diatas tempat efusi. Pada keadaan tidak diberikannya obat anti tuberkulosis, resolusi dari efusi yang terjadi pada pleuritis TB biasanya spontan dalam beberapa bulan. Akan tetapi, setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberkulosis paru dan ekstra paru yang lebih berat yang dapat berakibat pada kecacatan dan kematian. Sekule lain pada pleuritis TB primer adalah terjadinya sisa penebalan pleura yang potensial menyebabkan pembatasan ventilasi. Infeksi kronik aktif dapat mengawali berkembangnya tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkhopleural dan pyopnemothoraks.

Metode Diagnosis Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim, dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis. Hasil thorakosintesis efusi pleura dari Pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan kharakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura. Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M.tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan Pleuritis TB.

Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien. Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis TB di daerah dengan prevalensi TB yang rendah (atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes tuberkulin negatif dapat terjadi pada sepertiga pasien. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara PA, pewarnaan BTA dan kultur. Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosin deaminase) untuk mendiagnosis Pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA > 70 IU/L dalam cairan pleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar < 40 IU/L mengekslusi diagnosis. Sebuah meta analisis dari 40 penelitian yang diterbitkan sejak tahun 1966 sampai 1999 menyimpulkan bahwa tes aktivitas ADA (sensitivitas berkisar antara 47,1 sampai 100% dan spesifitas berkisar antara 0-100%) dalam mendiagnosis Pleuritis TB sangat baik (cukup baik untuk menghindari dilakukannya biopsi pleura pada pasien muda dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi). dINF- sebuah sitokin yang mempunyai hubungan dengan Th, terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan efusi pleura yang disebabkan oleh karena TB. (menggunakan cut off point 140 pg/mld. Pada sebuah penelitian, INF- dalam cairan pleura) mempunyai sensitivitas 85,7% dan spesifitas 97,1% pada pasien dengan pleuritis TB. Pemeriksaan dengan PCR (polymerase chain reaction) didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung sedikit basil TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan bahwa sensitivitas berkisar antara 20-90% dan spesifitas antara 78100%.

2. Meningitis tuberkulosis Meningitis Tuberkulosa tidak dapat di diagnosa hanya berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis saja. Pada kasus meningitis tuberkulosa anak adanya riwayat paparan

terhadap tuberkulosa sangat membantu diagnosa. Peranan foto toraks sangatlah penting pada pendekatan diagnosis meningitis tuberkulosa. Diagnosis pasti meningitis tuberkulosa didasarkan pada isolasi Mycobacterium tuberculosis pada cairan serebrospinal, namun kultur tersebut membtuhkan waktu lama dan tidak sensitive. Pemeriksaan pewarnaan Ziehl Neelsen untuk basil tahan asam merupakan pemlihan untuk pemeriksaan yang cepat, namun tehnik ini tidak sensitive.

Gejala dan tanda meningitis tuberculosa dapat dibagi menjadi 3 fase : 1. a. b. Fase Prodormal: Berlangsung selama 2 3 minggu Gejala: i. ii. iii. iv. 2. a. Fase meningitik: Tanda neurologis lebih nyata: i. ii. iii. iv. v. 3. a. Fase paralitik: Merupakan fase percepatan penyakit Meningismus Cephalgia hebat Muntah Kebingungan Cranial Nerve Syndrome malaise Cephalgia Demam tidak Tinggi Perubahan kepribadian

b.

Gejala kebingungan berlanjut menjadi stupor dan koma, kejang, hemiparesis.

Diagnosis meningitis tuberculosa tidak mudah. Perlu kewaspadaan tinggi kearah kemungkinan meningitis tuberculosa bila didapatkan tanda-tanda kelainan neurologis dan tuberculosis millier. Maka bila didapatkan tanda-tanda SSP berupa rangsang meningeal dan bila ditemukan tuberculosis millier harus dilakukan pungsi lumbal untuk deteksi dini tuberculosis. Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari CSS sangat penting. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal ke-2 dan ke-3. Cairan serebrospinal memberikan gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuclear dengan hitung sel antara 100-500 sel/ml. Gambaran dari pemeriksaan CT scan dan magnetic resonance imaging (MRI) kepala pada pasien meningitis tuberculosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah penyangatan didaerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberculoma yang silent, yang biasanya didaerah cortex cerebri atau thalamus. Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis kearah meningitis tuberculosa. Terapi tuberculosa sesuai dengan konsep baku, yaitu 2 bulan fase intensive dengan 4-5 OAT (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomycin, dan etambutol), dilanjutkkan dengan 2 OAT(isoniazid dan rifampisin) hingga 12 bulan. Bukti klinis mendukung pnggunaan steroid sebagai terapi adjuvant. Steroid yang dipakai adalah prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tapering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya regimen. Pada bulan pertama pasien harus tirah baring total. Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahap klinis semakin buruk prognosisnya. Adanya hidrosefalus disertai penyangatan (enhancement) daerah basal pada pemeriksaan CT scan menunjukkan tahap lanjut penyakit dengan progmosis yang buruk.

3.Tuberkulosis Limfonodi ( Tuberkulosis Kelenjar ) Tuberkulosis limfonodi superficial (scrofula) merupakan bentuk tuberkulosis ekstrapulmonal yang paling sering pada anak yang biasanya disebabkan karena minum susu yang tidak dipasteurisasi yang mengandung M. bovis. Kebanyakan kasus

terjadi dalam 6-9 bulan infeksi awal oleh M. tuberkulosis, walaupun beberapa kasus tanpa bertahun-tahun. Limfonodi yang terinfeksi pada inguinal, epitrokhanter atau daerah aksiler akibat dari limfadenitis regional dihubungkan dengan tuberkulosis kulit atau system skeleton.

Patofisiologi Limfonodi biasanya membesar perlahan-lahan pada awal stadium penyakit limfonodi. Limfonodi ini tetap tetapi tidak keras, tersendiri, dan tidak nyeri. Limfonodi sering terasa difiksasi pada jaringan dibawahnya atau yang menumpanginya. Penyakit paling sering unilateral, tetapi keterlibatan bilateral dapat terjadi karena perpindahan pola drainase pembuluh limpa pada dada dan leher bagian bawah.

Gejala klinis Bila infeksi memburuk banyak nodus yang terinfeksi. Tanda-tanda dan gejala sistemik selain demam ringan biasanya tidak ada. Mulainya sakit kadang-kadang lebih akut dengan pembesaran limfonodi yang cepat, demam tinggi, nyeri dan berubah-ubah.

4.

Tuberkulosis Tulang

Penyakit ini tidak pernah primer, selalu sekunder terhadap fokus tuberculosis ditempat lain. Tuberculosis pada tulang paling banyak ditemukan ditulang panjang bagian metafisis dan di trockhanter major. Tuberkulosis tulang tersering pada vertebra ( spondilitis TB ), diikuti oleh sendi panggul ( koksitis TB ) dan sendi lutut ( gonitis TB ). http://ketobapadah.blogspot.com/2011/05/tuberkulosis-ekstrapulmonal-pleuritis.html

Wallgren time table Wallgren Time Table Manifestasi klinis tuberkulosis di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgreen dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya tuberkulosis di berbagai organ. Proses infeksi tuberkulosis tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman tuberkulosis. Pada awal terjadinya infeksi, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema

nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit tuberkulosis primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini. Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi tuberkulosis, begitu juga dengan meningitis tuberkulosa. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.

http://ketobapadah.blogspot.com/2011/05/tuberkulosis-tbc-i.html

Indikator Hasil. Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk (sangat kurang) dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Hasil BPB Kabupaten Cianjur tahun 2012 prevalensi gizi buruk (sangat kurang) 1,27 % (target < 1,0 %) dan gizi kurang sebesar 8,07 %. Jadi prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 9,34% dimana pencapaian tersebut lebih baik dari target nasional perbaikan gizi tahun 2015 (20%) dan MDGs 2015 (18%). Hanya satu kecamatan yaitu Kecamatan Ciranjang yang belum mencapai target nasional dan target MDGs 2015 yang mencapai 41,60%. Prevalensi balita gizi lebih sebesar 2,01%, lebih tinggi daripada prevalensi gizi buruk (1,27%). Kecamatan yang perlu diwaspadai karena mempunyai prevalensi gizi lebih di atas 10% yaitu Kecamatan Cibinong (10,19%) dan Kecamatan Ciranjang yang mendekati 10% sebesar 9,74%.

Indikator Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Masalah pendek (sangat pendek+pendek) pada balita di Kabupaten Cianjur ditemukan pada 1 dari 5 anak (18,56%). Bahkan masalah pendek ditemukan pada lebih dari sepertiga balita di 6 kecamatan (Ciranjang, Takokak, Cijati, Sukanagara, Naringgul, dan Campakamulya). Tingginya prevalensi balita pendek menunjukkan bahwa masalah ini serius dan perlu mendapat perhatian khusus untuk mengatasinya.

Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek. Masalah kekurusan pada balita di Kabupaten Cianjur sebesar 4,73% yaitu sangat kurus ditemukan 385 kasus (0,22%) dan kurus 4,51%. Meskipun berada di bawah batas kondisi yang dianggap serius (10%), tetapi masih ada satu kecamatan yang berada pada keadaan serius yaitu Kecamatan Ciranjang. http://dinkescianjur.blogspot.com/2013/02/hasil-bulan-penimbangan-balita-bpb.html

Anda mungkin juga menyukai