Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam dunia kesehatan, tidak asing ketika kita mendengar kata euthanasia, yaitu cara mematikan seseorang dengan sengaja namun dalam latar belakang yang berbeda-beda. Kajian mengenai euthanasia sudah seringkali dibahas dalam berbagai aspek keilmuan, seperti agama, media, hukum, dan ilmu pengetahuan. Namun sejauh ini, hasilnya masih saja menimbulkan ketidakpuasan, karena sulit sekali dijawab dengan yakin dan objektif. Di berbagai negara termasuk Indonesia, juga pernah mengalami kasus euthanasia. Namun, persetujuan akan adanya euthanasia selalu menimbulkan pro dan kontra. Walupun demikian, Indonesia telah mngeluarkan aturan hukum yang mengatur euthanasia. Walaupun euthanasia di Indonesia telah mempunyai aturan hukum, yaitu melarang adanya euthanasia, namun secara tidak langsung dan tanpa disadari proses dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan RS atau keluarga pasien merujuk ke arah minimal terapi (euthanasia pasif). Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus Ibu Ruskia Manurung karena terdapat ciri-ciri yang merujuk ke arah eutanasia pasif (minimal therapy).

B. Rumusan Masalah Apa masalah kesehatan yang terjadi pada Ibu Ruskia Manurung? Apakah kasus Ibu Ruskia Manurung termasuk kasus euthanasia? Apa penyebab terjadi minimal terapi pada kasus Ibu Ruskia Manurung?

C. Tujuan Mengetahui masalah kesehatan yang diderita Ibu Ruskia Manurung.

~1~

Menganalisa kasus Ibu Ruskia Manurung apakah termasuk kasus euthanasia. Mengetahui penyebab terjadinya minimal terapi pada kasus Ibu Ruskia Manurung.

~2~

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Eutanasia Eutanasia berasal dari bahasa Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan; sedang thanathos = mati. Dengan demikian, euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa derita (Hanifah & Amri, 2007). Belanda adalah salah satu Negara di eropa yang maju dalam pengetahuan hokum kesehatan, mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Eutanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda): Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (Hanifah & Amri, 2007). Dilihat dari cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan atas : Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia (Hanifah & Amri, 2007). Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas : Eutanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien., atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. Eutanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien (Hanifah & Amri, 2007).

~3~

Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas: Eutanasia voluntir/ Eutanasia atas permintaan pasien adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang. Eutanasia involuntir/ Eutanasia tidak atas permintaan pasien adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta (Hanifah & Amri, 2007). B. Hak & Kewajiban Pasien 1. Hak memilih dokter Oleh karena terjadinya hubungan dokter pasien terutama berlandaskan kepercayaan, maka umumnya pasien selalu memilih untuk berobat kepada dokter tertententu. Akan tetapi hak memilih dokter ini bersifat relative, terutama misalnya pada karyawan dari suatu perusahaan yang telah mempunyai dokter perusahaan atau dokter langanan perusahaan. 2. Hak memilih sarana kesehatan Seperti halnya hak memilih dokter , pasien pun mempunyai hak memilih rumah sakit dalam batas-batas tertentu. Biasanya R.S yang dipilih pasien adalah R.S yang mengutamakan pelayanan-perawatan yang baik, di samping kelengkapan peralatan medisnya. Meskipun demikian pasien biasanya memilih dokter yang akan merawatnya dibandingkan Rumah Sakit dengan segala kelengkapan / pelayanannya.Oleh karena dokter yang laris diharapkan oleh pihak R.S untuk berpraktek di sana. 3. Hak menolak perawatan / pengobatan . Karena harus menghormati hak pasien, dokter tidak boleh memaksa orang yang menolak untuk diobati kecuali bila hal tersebut akan menganggu kepentingan umum atau membahayakan orang lain, misalnya pada pasien gangguan mental yang mengamuk. 4. Hak menolak tindakan medis tertentu. Apabila pasien menolak suatu tindakan medis yang diperluka dalam rangka diagnosis atau terapi, meskipun dokter telah memberikannya. Ada baiknya pasien diminta membuat pernyataan penolakan tindakan medis tersebut.

~4~

5. Hak menghentikan pengobatan / perawatan. Alasan penghentian pengobatan / perwatan bias karena kesulitan ekonomi atau karena menganggap hal tersebut tidak ada gunanya lagi untuk proses penyembuhan. Untuk itu pasien diminta membuat pernyataan penghentian perawatan atas dasar keinginan sendiri. 6. Hak atas second opinion . Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dari dokter lain mengenai penyakitnya dan hal ini idealnya dilakukan dengan

sepengetahuan dokter pertama yang merawatnya. 7. Hak inzage rekam medis. Ketentuan hokum menyatakan bahwa berkas rekam medis merupakan milik R.S (untuk administrasi yang baik) sedangkan data informasi / isi nya adalah milik pasien (karena berasal dari pasien). Oleh karena itu

pasien berhak untuk mengetahui atau memeriksa rekam medis tersebut, atau membuat fotocopynya (atas biaya pemohon). Akan tetapi ada

bagian-bagian tertentu bukan milik pasien, yaitu : a) Personal note, yaitu catatan pribadi dokter, misalnya mengenai

perkiraan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis / memutuskan terapi. b) Catatan tentang orang ketiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien. 8. Hak beribadah Setiap pasien berhak untuk beribadah sejauh hal itu memungkinkan menurut keadaan penyakitnya dan tidak menganggu pasien atau pengunjung R.S ( Danny, 1996). Pasien atau keluarganya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus

dilakukan untuk kesembuhannya dan sebagai imbangan dari hak-hak yang diperolehnya.

~5~

Kewajiban pasien terhadap rumah sakit. 1. Mentaati peraturan RS yang pada dasarnya dibuat dalam rangka menunjang upaya penyembuhan pasien-pasien yang dirawat, misalnya jam kunjungan keluarga, kerabat, kebersihan, dll. 2. Melunasi biaya perawatan (Danny, 1996).

~6~

BAB III PEMBAHASAN

Masalah kesehatan yang diderita Ibu Ruskia Manurung awalnya adalah kanker rahim, kanker ini semakin hari semakin berkembang sampai akhirnya menghalangi usus pasien sehingga pasien sulit untuk buang air besar (BAB). Tahan Saragih selaku suami ibu Ruskia Manurung, kesal terhadap tindakan operasi yang dilakukan RS Adam Malik. Suami pasien menginginkan operasi yang dilakukan RS Adam Malik adalah operasi untuk mengangkat kanker yang ada di rahimnya, ternyata operasi itu hanya untuk penyelamatan infeksi perut pasien. Setelah dilakukannya operasi penyelamatan infeksi perutnya itu, suami pasien mengaku melihat ada yang tidak beres terhadap jahitan di perutnya, karena bekas operasi itu tidak dijahit, hanya dibiarkan terbuka begitu saja. Setelah melaporkan kejadian tersebut ke pihak RS, maka dilakukan operasi kedua pengangkatan kanker dan penutupan jahitan diperut. Sejak operasi pertama kondisi perut pasien hingga sekarang masih membusuk. Dan perawatan yang diberikan pun tidak membuat pasien membaik. Hingga akhirnya sang suami membawa paksa pasien pulang ke rumah dan melakukan perawatan dirumah. Dalam kasus ini terjadi minimal terapi yang dilakukan Rumah Sakit maupun pihak keluarga. Bukti adanya minimal terapi yang dilakukan pihak RS adalah dengan dokter tidak memberikan obat antibiotik sesuai dengan ketentuan. Padahal antibiotik harus diberikan kepada pasien setiap 8 jam sekali. Oleh pihak keluarga sendiri, sang suami membawa paksa istrinya keluar dari rumah sakit karena merasa penyakitnya tidak kunjung sembuh. Namun pihak RS tidak mengizinkan pasien keluar dengan alasan pasien belum sembuh. Di sini, keluarga pasien tidak mematuhi SOP (system operasional prosedur) dari pihak

~7~

RS mengenai kepatuhan. Sampai saat ini Ibu Ruskia hanya dirawat dirumah dengan pengobatan yang dibeli di apotek. Namun di lain pihak, tindakan bapak Tahan memilih minimal terapi karena pengobatan yang dilakukan tidak memberikan hasil/sembuh. Ini sesuai dengan hak pasien dalam menghentikan pengobatan/perawatan.

~8~

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Masalah kesehatan yang dialami Ibu Ruskia Manurung adalah kanker rahim dan mengakibatkan infeksi perut, karena kanker rahim yang dideritanya menghalangi usus untuk buang air besar (BAB). Sampai pasien keluar dari RS, pasien hanya terbaring lemah di rumah dengan pengobatan dari apotek. Kasus Ibu Ruskia Manurung termasuk Eutanasia Pasif / Minimal terapi, karena proses perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit dihentikan, namun dari pihak kelurga hanya merawat dirumah dan memberi obat-obatan dari apotek. Penyebab terjadinya minimal terapi pada Ibu Ruskia Manurung adalah sang Suami merasa penyakit sang istri tak kunjung sembuh bahkan semakin parah dengan bertambahnya infeksi atau pembusukan pada bagian perutnya. Sehingga sang suami memutuskan memulangkan dan merawat istrinya dirumah. B. Saran Sebaiknya walaupun penggunaan antibotik pada pasien tidak berfungsi, pihak rumah sakit tetap harus memberikan solusi cepat pengobatan lain untuk mengobati masalah penyakit yang kedua. Rumah sakit jga seharusnya tidak membedakan pelayanan kesehatan pada pasien jamkesda maupun yang tidak menggunakan jaminan kesehatan apapun. Untuk bpk. Tahan sebaiknya tetap mengikuti prosedur pelayanan dari rumah sakit.

~9~

DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, Jusuf M. dan Amri Amir. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum kesehatan. Buku Kedokteran EGC: Jakarta Wiradharma, Danny. 1996. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara:Jakarta http://metrosiantar.com

~ 10 ~

Anda mungkin juga menyukai