Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Kehidupan manusia sehari-hari tidak pernah lepas dari bahasa. Ketika mendengarkan lagu-lagu merdu, menonton film bagus, membaca buku-buku yang menarik, bahkan pada saat berbincang dengan sahabat maupun kerabat manusia juga tidak lepas dari bahasa. Bahasa dalam kehidupan sehari-hari mempunyai peranan sebagai alat komunikasi antar sesama manusia.

Salah satu sifat dari bahasa adalah manusiawi. Bahasa dikatakan manusiawi karena pada dasarnya hanya manusialah yang memiliki bahasa, dan selain manusia dapat dipastikan tidak memiliki bahasa. Hewan adalah makhluk yang berkomunikasi dengan suara, akan tetapi hewan tidaklah disebut berbahasa. Pada hewan alat komunikasinya hanya berupa bunyi dan gerak yang tidak bersifat produktif. Jadi dapat dikatakan cara berkomunikasi hewan tidak pernah berkembang. Selain itu alat komunikasi hewan muncul secara naluriah atau berupa insting. Hal ini jelas berbeda dengan manusia yang pemerolehannya harus melalui pembelajaran, dan pembelajaran itu diperoleh dari interaksi dengan manusia lain disekitarnya atau dalam masyarakat. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Gorys Keraf (1997:1) yang

menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang berarti makhluk yang bermasyarakat. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi, mempengaruhi dan saling bergantung. Dalam bermasyarakat inilah manusia tidak terlepas dengan kegiatan komunikasi dengan manusia lainnya, hal ini menunujukan bahwa fungsi sosial bahasa adalah sebagai alat komunakasi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Abdul Chaer

(2003:30) yang menyatakan bahwa bahasa sebagai alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi oleh sekelompok anggota masyarakat.

Saat berinteraksi antara manusia satu dengan manusia lainnya, pada keadaan tertentu akan kita temui manusia yang dapat menggunakan bahasa lebih dari satu atau biasa disebut dengan bilingual atau bahkan manusia dengan multilingual. Di Indonesia pada umumnya sering kita jumpai adalah masyarakat bilingual, yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa pertama. Bahkan sering juga kita menemukan masyarakat multilingual atau masyarakat yang menggunakan bahasa lebih dari dua bahasa, misalnya bahasa Indonesia , bahasa daerah dan bahasa asing lainnya.

Faktor masyarakat bilingual atau bahkan multilingual disebabkan oleh beberapa sebab. Menurut Sumarsono dan Pratana (2002:236) yang mengungkapkan beberapa faktor penyebab terjadinya kedwibahasaan yakni, faktor pernikahan, faktor pendidikan dan faktor migrasi atau perpindahan penduduk. bangsa dan Faktor perkawinan, anak-anak hasil dari perkawinan beda bahasa sangat memungkinkan untuk menguasai dan

menggunakan beberapa bahasa yang berbeda. Faktor pendidikan, sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada siswa, sehingga menyebabkan siswa menjadi masyarakat bilingual atau bahkan multilingual. Misalnya di pesantren-pesantren yang mengajarkan bahasa Arab sebagai bahasa tambahan, atau sekolah-sekolah formal yang memberikan pembelajaran bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya kepada siswa. Selain itu, faktor migrasi yaitu perpindahan penduduk yang juga sangat memungkinkan munculnya keanekaan bahasa, misalnya kelompok kecil yang berpindah ke daerah atau negara baru, tentu saja menyebabkan bahasa ibu mereka tidak berfungsi di tempat baru tersebut.

Pada masyarakat yang hidup bersama-sama dengan masyarakat baru dan saling mempengaruhi terhadap masyarakat bahasa lain, maka akan terjadi apa yang disebut dengan masyarakat bahasa (Speech Community). Sejalan dengan pendapat Gumperz (dalam Sumarsono.2007 : 318) yang mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda
3

verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa. Hal yang menonjol yang biasa terjadi dari suatu kontak bahasa adalah terdapatnya bilingualisme atau multilingualisme dengan berbagai macam peristiwa bahasa misalnya alih kode dan campur kode.

Alih kode dan campur kode bukanlah bentuk kesalahan berbahasa yang disebabkan lemahnya penguasaan penutur terhadap bahasa yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan Muharram

( http://muharrambanget.blogspot.com ) yang menyatakan bahwa alih kode bukanlah merupakan suatu kebetulan atau terjadi secara sembarang, dan bukan pula merupakan kekacauan pemakaian bahasa seperti banyak dikatakan orang, melainkan ditentukan oleh berbagai keadaan sosial dan situasional serta sarat dengan makna sosial.

Pada umumnya alih kode dan campur kode terjadi dalam wacana lisan maupun tulisan. Kecenderungan terbesar terjadinya alih kode dan campur kode adalah pada wacana lisan. Namun sering kali juga terdapat dalam tulisan. Hal ini dapat terjadi pada sebuah percakapan atau dialog antar tokoh dalam suatu novel atau karta sastra lainnya. Seorang penulis novel yang cukup sering menggunakan alih kode campur kode dalam mengisi dialognya adalah Habiburrahman El Shirazy. Pada novelnya yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih selain sering terjadi alih kode dan campur kode dalam dialognya
4

juga terjadi bentuk alih kode dan campur kode dalam bentuk deskripsi ceritanya, yaitu penulis menggambarkan cerita kepada pembaca dengan menggunakan campur kode dan alih kode.

Pemilihan novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, novel Ketika Cinta Bertasbih dikarang oleh salah satu sastrawan terkenal sekaligus sebagai dai yang telah menghasilkan novel-novel yang digemari pembaca (best seller), termasuk salah satunya novel Ketika Cinta Bertasbih yang terjual kurang lebih 5 juta eksemplar. Kedua, penulis adalah seorang yang multilingual menguasai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dan bahasa Arab sebagai bahasa ketiga. Ketiga, novel Ketika Cinta Bertasbih berdasarkan temuan peneliti, penulis sering menemukan beberapa peristiwa kebahasaan yang berupa campur kode dan alih kode dialog antar tokoh maupun bentuk deskripsi. Selain itu menurut peneliti Ketika Cinta Bertasbih merupakan novel yang sarat akan nilai moral, pendidikan, dan agama yang berguna bagi generasi muda.

Selain alasan di atas peneliti menjadikan novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian karena peneliti belum menemukan penelitian lain pada novel yang sama, yang menyajikan alih kode dan campur kode sebagai

subjek penelitian mereka. Beberapa penelitian lain yang menggunakan novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian antara lain: Analisis Unsur Instrinsik Dan Ekstrinsik Pada Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy yang diteliti oleh Ria Aminudin, Analisis Unsur Pendidikan Moral Pada Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy yang diteliti oleh Hieda Marlina.

Novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habibirrahman El Shirazy merupakan sebuah novel dwilogi pembangun jiwa yang menarik, peneliti tertarik untuk menganalisis peristiwa alih kode dan campur kode pada novel tersebut yakni pada deskripsi dan dialog tokohnya, baik alih kode intern atau alih kode ekstern, juga campur kode asing (outer code mixing) maupun campur kode bahasa daerah (inner code mixing). B. Rumusan Masalah Peneliti membatasi penelitian ini pada masalah wujud campur kode, dan fungsi gejala bahasa campur kode dengan perumusan masalah sebagai berikut . 1. Bagaimanakah wujud alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy? 2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy?

C. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada novel Ketika Cinta Bertasbih dan Ketika Cinta Bertasbih 2. 1. Judul Pengarang Penerbit Tahun Terbit Jumlah halaman 2. Judul Pengarang Penerbit Tahun Terbit Jumlah halaman D. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tujuan yang ingin dicapai adalah. a. Untuk mengetahui wujud alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. b. Untuk mengetahui fungsi alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman ElShirazy. : Ketika Cinta Bertasbih : Habiburahman El Shirazy : Penerbit Republika : 2007 : 386 : Ketika Cinta Bertasbih 2 : Habiburahman El Shirazy : Penerbit Republika : 2007 : 434

2. Manfaat Kegiatan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis. 1) Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah khazanah keilmuan bahasa Indonesia dari segi sosiolinguistik khususnya adalah alih kode dan campur kode. 2) Manfaat Praktis. Manfaat praktis dari penelitin ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dari segi sosiolinguistik khususnya alih kode dan campur kode bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya mahasiswa STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung. Selain manfaat di atas, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dalam penelitian kajian ssiolinguistik tentang alih kode dan campur kode selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN PUSTAKA a. Hakikat Bahasa Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antar sesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya. Bahkan bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti, tidak ada kegiatan manusia yang tidak di sertai bahasa.

Pakar linguistik struktural dengan tokoh bloomfield (dalam Sumarsono, 2008: 18) berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbiter) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Meskipun lambang bahasa bersifat arbiter, namun bahasa haruslah

bersifat konvensional. Artinya setiap penutur harus mematuhi aturan yang berhubungan antara lambing bunyi.

Pendapat lain tentang bahasa dikemukakan oleh Abdul Chaer (2004:11) yang mengatakan tentang hakikat bahasa, bahwasanya hakikat bahasa itu ada 12 butir, yaitu bahasa adalah sistem, bahasa adalah lambing, bahasa adalah bunyi, bahasa bersifat unik, bahasa bersifat universal, bahasa bersifat prodiktif, bahasa bersifat dinamis, bahasa bervariasi dan bahasa manusiawi.

Sejalan dengan pendapat (Sumarsono. 2008:19) Bahasa sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam setiap masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individual ini dapat berpengaru luas pada anggota masyarakat lainnya.

Pendapat diatas menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan berinteraksi, yang merupakan lambang bunyi yang bersifat arbiter, dan bersifat konvensional. b. Fungsi Bahasa Bahasa mempunyi fungsi penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif yaitu alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan. Fungsi-fungsi bahasa menurut Halliday, Finnocharia, dan jakobson (dalam Abdul Chaer dan Leona Agustina, 2004:14-17) dapat dilihat antara lain dari segi penutur, segi pendengar, segi kontak

10

anatar penutur dan pendengar, segi topik ujaran, segi kode, dan segi amanat.

Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi, menurut Halliday, Finnoccharia, Jackobson menyebutnya fungsi emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang

dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaiakam tuturannya. Dalam hal ini pihak pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi deriktif, yaitu mengatur tingkah laku menurut Finnochiaro, sedangkan Halliday menyebutnya sebagai fungsi instrumental. Jackobson

menyebutnya fungsi retorikal. Di sini bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang yang sesuai dengan yang diinginkan si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan permintaan, maupun rayuan.

Dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa berfungsi sebagai fatik, Jakobson dan Finnochario menyebutnya terpersonal; Halliday menyebutnya interactional, yaitu fungsinya
11

menjalin hubungan, memelihara, mempertahankan, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan kedaan keluarga. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya biasanya juga disertai dengan

unsur para linguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak-gerik tangan, air muka, air muka dan kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut yang disertai unsur paralinguistik tidak mempunya arti, dalam arti memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial antara partisipan di dalam penutur.

Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu bersifat referensial menurut Finnochiaro, Halliday menyebutnya represntasional, sedangkan Jakobson menyebutnya fungsi kognitif. Ada juga yang menyebutnya fungsi denotative atau fungsi informatif. Di sini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada pada budaya pada umumnya. Fungsi refrensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya.

Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu bersifat metalingual atau metalingualistik menurut Jakobson dan Finnochiaro,
12

yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa dimana dengan bahasa. kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan

Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginative menurut Halliday dan Finnochiario. Jakobson menyebutnya fungsi poetic speech. Sesungguhnya bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan; baik yang sebenarnya, maupun yang hanya imaginasi (khayalah, rekaan) saja. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, dan lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para pendengarnya. c. Hakikat Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian objektif yang ilimiah mengenai manusia dalam lingkungan bermasyarakat. Sosiologi mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok yang ada di masayarakat, dan fungsi dari kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat

13

dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam masyarakat.

Halliday dalam (sumarsono.2008:2) menyebut sosiolinguistik sebagai linguistic institusional berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orangorang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a language and the people who use it).

Pride dan holmes dalam (sumarsono.2008:2) merumuskan sosiolinguistik secara sederhana yaitu the Study of language as part of culture and society yaiyu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat. Di sini ada penegasan, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (language in culture), bahasa bukan sesuatu yang berdiri sendiri (language and culture).

Trudgil dalam (sumarsono.2008.3) merumuskan mirip dengan pride dan holmes: sociolinguistics.. is that part of linguistics which is concerned language as a social and culture phenomenon (sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan).

Di Indonesia Nababan (1991:2) menyatakan sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu
14

sebagai

anggota

masyarakat.

Menurut

Kridalaksana

(1978:94)

sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara para bahasawan dengan cirri variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat.

Maka dapat di ambil garis besar bahwasanya sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial yang ada di dalam masyarakat. d. Komponen Tutur Bahasa yang berada di masyarakat digunakan untuk berinteraksi satu. Manusia dapat menggunakan sarana lainnya selain bahasa dalam komunikasinya, namun alat komunikasi yang baik sepertinya terletak pada bahasa. Dalam komunikasi tersebut manusia saling bertukar pikiran, gagasan, ide, informasi maka dalam setiap komunikasi manusia melalui sebuah peristiwa yang disebut dengan peristiwa tutur.

Hymes mengemukakan komponen tutur dalam klasifikasi yang ia usulkan dalam akronim SPEAKING, di mana setiap huruf dalam akronim tersebut merupakan komponen-komponen yang harus ada dalam komunikasi. Pada awal mulanya Hymes tidak mencetuskan teori tersebut dalam sebuah akronim speaking, namun masih berupa rincian-rincian yang terdiri dari 16 poin mengenai unsur dalam pembicaraan. Kemudian Hymes melihat dari telaah psikologis bahwa ingatan manusia hanya
15

mampu mengingat dengan baik antara kisaran tujuh plus dua atau minus dua, sehingga keenam belas poin tersebut disederhanakan dalam satu akronim yang dikenal dengan SPEAKING. S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan, Scene mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal. P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima. E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil. A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs vernakular). N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan, perintah dalam

percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan.

16

G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana. e. Masyarakat Bahasa Salah satu ciri bahasa adalah manusiawi, dengan kata lain manusia di dunia sama-sama berbudaya dengan fasilitas bahasa. Kajian yang menitiberatkan pada hubungan antara bahasa dan masyarakat disebut sosiolinguistik.

Fishman (dalam abdul chaer dan Leona,2010:36) menyebut bahwa masyarakat tutur (masyarakat bahasa) adalah suatu anggota masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Bloomfield (dalam nababan,1991:5) mengartikan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama. Pengertian bloomfield dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistk, terutama dalam masyarakat modern, banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa; dan di dalam masyarakat itu sendiri terdapat lebih dari satu bahasa.

Pada intinya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian dan adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik. Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat bahasa bukanlah sekelompok orang
17

yang hanya menggunakan bahasa yang sama, melainkan sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentukbentuk bahasa.

Masyarakat bahasa itu dikelompokan menjadi beberapa bagian. Pengelompokan itu didasarkan pada verbal repertoire atau semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai oleh seorang penutur. Semakin mampu seorang penutur berkomonukasi dengan berbagai ragam bahasa, semakin luasalah verbal repetoir yang dimiliki oleh seorang penutur tersebut. Dengan kata lain semakin luas verbal repetoire penutur dan masyarakat maka semakin kamonikatiflah masyarakat bahasa itu. f. Alih Kode dan Campur Kode Sebelum membahas alih kode dan campur kode, kita harus memahami terlebih pengertian kode. Pada dasarnya kode berbentuk viariasi bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi anggota suatu masyarakat. Kode bahasa adalah sistem bahasa dalam suatu masyarakat.

Thalender (dalam Abdul Chaer dan Leona Agustina, 2004:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode,

menurutnya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi suatu pealihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode. Tetapi apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klauasa
18

maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari frasa atau klausa campuran (hybrid clauses, hybrish phrases), dan masing-masing frase atau klausa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut adalah campur kode, bukan alih kode.

Fasold (dalam Abdul Chaer dan Leona Agustina,2004:115) menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila jelas-jelas suatu klausa telah memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun berdasarkan gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. 1. Pengertian a) Alih Kode Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam alih kode masing-masing bahasa cenderung masih mendukung fungsi bahasa lainnya, dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.

19

Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain. Misalnya, ragam formal ke ragam santai, dari kromo inggil (bahasa jawa) ke bahasa ngoko dan lain sebagainya. Kridalaksana (1982:7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode. Selanjutnya Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek kebahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. b) Campur Kode Chaer dan Agustina (2004:107) menyatakan, Dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kodekode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.

Thelander (dalam Chaer, 2004:115) mengatakan apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase20

frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. 2. Latar Belakang Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode a) Alih Kode Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu. 1) Penutur Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang

mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. 2) Lawan Tutur Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau
21

agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. 3) Hadirnya Penutur Ketiga Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat

menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

4) Perubahan Situasi Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya. 5) Topik Pembicaraan Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat
22

formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. b) Campur Kode Latar Belakang Terjadinya Campur Kode Sama halnya dengan alih kode, campur kodepun disebabkan oleh masyarakat tutur yang multilingual yang artinya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Namun, tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. dalam
http://www.slideshare.net/ninazski/paper-sosling-nina

Setyaningsih mengatakan campur kode digunakan apabila seseorang yang sedang dalam kegiatan berkomunikasi tidak mendapatkan padanan kata yang cocok yang dapat

menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya, maka ia akan mencari padanan kata yang cocok dengan jalan mengambil istilah dari berbagai bahasa yang ia kuasai. Kemudian latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
23

1) sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur. 2) kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang

keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk

menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa 3. Jenis-jenis Alih Kode dan Campur Kode a) Alih Kode Alih kode merupakan bagian dari kajian sosioligustik yang membahas kode bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur dan hubungannya dengan lingkungan masyarakat tutur tersebut. Alih kode digunakan tergantung dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Maksudnya pengubahan kode bahasa terjadi tergantung pada siapa lawan bicaranya, dimana terjadinya, kapan, dengan tujuan apa dan sebagainya. Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern. 1) Alih Kode Intern Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya 2) Alih Kode Ekstern
24

Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya. b) Campur Kode
dalam sebuah literatur yang bersumber dari

www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pd f, campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing) dan campur kode ke dalam (inner codemixing). 1) campur kode ke luar (outer code-mixing) Campur kode ke luar (outer code-mixing) yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia bahasa Inggr is bahasa Jepang, dll 2) campur kode ke dalam (inner code-mixing) Campur kode ke dalam (inner code-mixing) yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia bahasa Jawabahasa Batak Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll.
25

Alih kode dan campur kode dapat pula terjadi dalam wacana tulis seperti karya sastra. Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang bermediumkan bahasa dengan fungsi dominannya sebagai media komunikasi sastrawan. Dengan demikian bahasa sastra dapat dikatakan bersifat dinamis, terbuka terhadap kemungkinan adanya penyimpangan dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan aspek komunikatifnya, termasuk di dalamnya alih kode dan campur kode. g. Pengertian Novel Dalam www.rasmianmenulis.com Novel dan cerita pendek dalam kesusasteraan Inggris dan Amerika disebut karya fiksi. Fiksi merupakan sebuah cerita, terkandung di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca, disamping tujuan estetis, membaca sebuah fiksi berarti menikmati sebuah cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasaan batin. Novel sebutan dalam bahasa inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novelle), secara harafiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, ukuran yang luas disini berarti cerita dengan plot (alur) yang komplek, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam
26

pula. Menurut KBBI (2002:788), novel adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak sikap setiap perilaku.

Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan-sastrawan Indonesia banyak yang beralih ke bacaan-bacaan berbahasa inggris. Novel secara resmi terbit di Indonesia setelah terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919, oleh Marari Siregar, yang merupakan novel saduran dari novel Belanda. Kemudian pada tahun berikutnya terbit novel berjudul Azab dan Sengsara, oleh pengarang yang sama; sejak saat itulah mulai berkembang sastra fiksi yang dinamai novel dalam khazanah sastra Indonesia.

Dalam perkembangannya novel disamakan dengan roman. Padahal pada kenyataanya berbeda. Para ahli yang menyatakan novel dan roman berbeda, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan sesuatu konsentrasi pada suatu saat yang tegang dan pemusatan yang tegas, sedangkan roman dikaitkan sebagai penggambaran kronik kehidupan yang lebih luas, yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanakkanak sampai dewasa, hingga meninggal dunia.

H.B. Jassin (1977:66) membedakan pengertian roman dan novel, roman melingkupi seluruh kehidupan pelaku-pelaku dilukiskan dari kecil hingga
27

matnya, dari ayunan hingga liang lahat. Sedangkan novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan tokoh cerita , dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan krisis atau pergolakan batin yang mengubah nasibnya. h. Deskripsi dan Dialog a. Deskripsi Pada karya sastra bentuk fiksi umumnya dikembangkan dengan bentuk deskripsi dan dialog, keduanya saling melengkapi sehingga sebuah karya sastra fiksi bervariasi dan cenderung tidak monoton.

Deskripsi merupakan pemaparan atau penggambaran dengan katakata suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisanya dapat melihat apa yang dilihat penulis, dapat mendengar apa yang didengar penulis, mencium bau yang di cium penulis, mencicipi apa yang dimakannya, merasakan apa yang dirasakannya, serta sampai memiliki kesimpulan yang sama dengan penulis. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil observasi melalui panca indera yang disampaikan dengan kata-kata.

Dalam Dalman (2012:97) Secara garis besar macam-macam bentuk deskripsi dibedakan dua macam saja, yakni: 1. Deskripsi Ekspositoris
28

Deskripsi ekspositoris adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar rincian, semuanya atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis objek yang diamati itu. Setiap benda, setiap tempat, setiap suasana tentu mempunyai urutannya sendiri-sendiri. 2. Deskripsi Impresionitas Deskripsi impresionitas bisa juga disebut deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Berbeda dengan deskripsi ekspositoris yang biasanya hanya terikat pada objek dan proses yang dideskripsikannya. Deskripsi impresionitas ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi.

b. Dialog Dialog dalam novel adalah percakapan diantara tokoh-tokoh dalam narasi, ada cerita atau narasi yang penuh dengan dialog, jalan cerita, karateristik tokoh, konflik dan sebagainya dapat kita ketemukan melalui sebuah dialog.

Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh dan memberikan penekanan terhadap kejadian atau cerita yang dituturkan
29

melalui gaya narasi. Ada ungkapan-ungkapan yang lebih tajam rasa dan maknanya apabila diucapkan melalui dialog, disbanding jika hanya dengan narasi saja. Dalam penulisan dialog haruslah digunakan bahasa lisan yang lazim digunakan dan sesuai dengan tokoh, tempat, waktu, dan suasana yang sesuai.

Penuturan dialog tidak dapat mungkin hadir tanpa disertai narasi atau deskripsi, sebaliknya deskripsi atau narasi dapat hadir tanpa adanya sebuah dialog. Namun guna menimbulkan kesan keindahan dan menjadikan cerita lebih nyata maka akan lebih baik jika digunakan kombinasi antara dialog dan deskripsi. i. Jenis-Jenis Novel Dalam www.remajasampit.blogspot.com novel dari segi mutu dibedakan atas novel popular dan novel literal atau serius, sedangkan Murphy

(dalam fanani,1994:51-52) menggolongkan atas novel horor, novel absurd, novel picisan. Berikut ini penjelasan novel-novel tersebut. 1. Novel Populer Novel populer merupakan jenis sastra populer yang menyuguhkan problema kehidupan, yang berkisah pada cinta dan asmara yang bertujuan menghibur. Novel jenis ini populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih imtens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
30

Novel populer lebih mengejar selera pembaca, mencari keuntungan materi, dan tidak menceritakan yang bersifat lebih serius. Oleh karena itu biasanya sebuah novel populer memiliki plot yang sengaja dibuat sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca. Contoh novel-novel jenis ini adalah Karmila, Badai Pasti Berlalu (Marga T), Cintaku Di Kampus Biru, Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar), dan novel-novel karya Mira W. 2. Novel Serius Atau Litere Novel serius adalah novel bermutu sastra, novel serius menyajikan persoalan-persoalan kehidupan manusia secara mendalam. Disamping memberikan hiburan, novel serius juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajak meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengungkapan yang baru pula. Dalam novel serius tidak akan terjasi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang menghindarinya. Contoh novel serius adalah Belenggu (Armijn Pane), Harimau-Harimau (Muchtar Lubis), Pada Sebuah Kapal (N.H Dini).

31

3. Novel Picisan Novel picisan isinya cenderung mengeksploitasi selera pembaca dengan menyuguhkan cerita yang mengisahkan cinta yang menjurus ke pornografi. Novel ini mempunyai cirri-ciri bertemakan cinta yang berselera rendah, ceritanya cenderung cabul, alur seritanya monoton, dan berujuan komersil. Novel-novel karya Abdullah Harahap dan Motinggo Busye digolongkan ke dalam novel picisan. 4. Novel Absurd Novel absurd merupakan jenis fiksi yang ceritanya menyimpang dari logika biasa, irrasional, realitas bercampur angan-angan dan mimpi, dan surrealism. Tokoh-tokoh cerita anti tokoh seperti orang mati bisa hidup kembali, mayat dapat berbicara dan lain-lain. Contoh novel absurd adalah Sobar (Putu Wijaya). 5. Novel Horor Novel horor (Ghotic Fiction) merupakan novel yang menceritakan kejadian-kejadian yang bersifat horor dan berbau mistis. Cerita yang sering muncul bersifat horor, seperti drakula penghisap darah, hantuhantu gentayangan, kuburan keramat, dan berbagai kejadian supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan kematian. B. Kerangka Pikir Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih terdapat satu segi yang akan penulis analisis, yaitu: alih kode dan campur kode yang digunakan pengarang. Alih
32

kode dan campur kode yang biasa terjadi di suatu masyarakat bahasa memiliki dua jenis yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern, dan campur kode outer code mixing dan inner code mixing . Supaya lebih jelas dapat dilihat pada diagram kerangka pikir berikut.

Ketika Cinta Bertasbih

Analisis Alih Kode Dan Campur Kode

Alih Kode : Alih kode intern Alih kode ekstern

Campur Kode : Outer code mixing Inner code mixing

Kesimpulan

33

BAB 3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini merupakan bentuk penelitian deskriptif kualitataif yang berusaha mendeskripsikan data secara sistematis, rinci, dan mendalam. Hal ini sesuai dengan pengertian bentuk penelitian deskriptif kualitatif yang disampaikan Sutopo (2002:111) bahwa, Penelitian deskriptif kualitatif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam tentang potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi, menganalisis, dan menjelaskan wujud alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya habiburrahman el shirazy, dan fungsi alih kode dan campur kode dalam karya sastra tersebut. A. Definisi Operasional Variabel Setiap penelitian pasti ada variabel yang akan diteliti, baik itu terdiri dari satu variabel maupun dua variabel. Sebelum penulis memaparkan secara operasional variable-variabel penelitian ini, maka penulis mengemukakan terlebih dahulu beberapa pendapat tentang definisi operasional variabel menurut beberapa ahli berikut.

Definisi operasional variabel adalah Menurut sugiyono (2004:31), definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi variabel yang dapat

34

diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan untuk meneliti dan mengoperasikan construct , sehingga memungkinkan bagi

peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau mengembangkan cara pengukuran construct yang lebih baik.

Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:69) Definisi Operasional Variabel adalah penentuan construct sehingga menjadi variabel yang dapat diamati dan diukur dengan menentukan hal yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari pendapat ahli di atas, menurut penulis, definisi operasional variabel adalah rumusan tentang konsep yang menjadi pokok pembahasan dan penelitian karya ilmiah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari pengertian variabel di atas, maka penelitian ini terdiri satu variabel yang menganalisa novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, dengan indikator penelitian yaitu analisis alih kode dan campur kode . Adapun indikator dalam variabel penelitian analisis wujud alih kode dan campur kode dan fungsi alih kode dan campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy

35

B. Instrumen penelitian dan pengembangannya Instrumen adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar memudahkan pengumpulan data dan hasilnya baik. Instrument yang digunakan peneliti adalah dengan kartu data. Tabel 1 Kartu data Nomor data Dialog para tokoh atau deskripsi Analisis Data penulis pada novel

Sumber : penulis novel, judul novel, halaman novel

Dalam pengumpulan data penelitian ini penulis, menggunakan beberapa metode atau teknik pengumpulan data, antara lain sebagai berikut. 1. Metode pustaka Metode pustaka adalah metode penulisan karya tulis ilimiah dengan mengumpulkan bahan-bahan, materi-materi, data-data, dan informasiinformasi yang diperoleh dari buku-buku atau jurnal yang tersedia. Pada teknik analisis ini penulis mencari dan membaca buku atau data-data yang berkaiatan tentang alih kode dan campur kode, juga hal-hal yang berakaitan dengan novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman el shirazy.

36

2. Metode dokumentasi Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analysis). Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) membaca secara intensif novel Ketika Cinta Bertasbih; 2) mengidentifikasi dan mencatat kutipan-kutipan kalimat percakapan yang ada dalam novel tersebut; 3) mengklasifikasikan data yang sudah diidentifikasi dalam kelompok alih kode dan campur kode dan menganalisis fungsi alih kode dan campur kode. C. Teknik analisis data Analisis data menunjukkan kegiatan yang penyederhanaan data kedalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis dialog tokoh dan deskripsi yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Peneliti menganalisis data dengan menggunakan metode simak dengan lanjutan teknik catat. 1. Metode simak Metode analisis data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak dalam metode di atas tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Dalam penelitian ini metode simak digunakana
37

untuk menganalisa bentuk alih kode dan campur kode dalam novel ketika cinta bertasbih karya habiburrahman el shirazy. Teknik dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik catat. Teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak. Dalam penelitian penulis, metode simak serta teknik catat ini dipadukan dengan table, dalam instrument. Adapun contoh penerapannya sebagai berikut: 1. Aku salut lho ada mahasiswa mandiri seperti Mas insinyur puji Eliana. (HBE, KCB 1:38) No 1 Aku Teks salut lho Analisis ada Peristiwa disamping adalah campur dialog kode yang

mahasiswa mandiri seperti peristiwa Mas insinyur puji Eliana. bentuk (HBE, KCB 1:38)

dilakukan oleh tokoh Eliana, masuknya unsur bahasa

jawa mas ke dalam tuturan fungsi bahasa Indonesia

38

Anda mungkin juga menyukai