Anda di halaman 1dari 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.15 The National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.
15,16

Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada

penyakit ginjal kronik jika Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.4 Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah. 1,2,15-17
Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik 2

Universitas Sumatera Utara

b. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin, uremic milieu, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.1,2,15-17 Kehilangan Darah Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 1), sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.1,2 Pemendekan masa hidup eritrosit Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis15-17 Defisiensi Eritropoetin Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik.1,2,15-17 Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah sesuai dengan derajat anemianya.2 Donelly mengatakan bahwa defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus.18 Satu studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang tinggi.19

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Homeostasis besi pada penyakit ginjal kronik 2

Defisiensi Besi Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.2, 15-18 Inflamasi Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang

Universitas Sumatera Utara

bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.10,20,21

c.

Diagnosis Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya

berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya.15,16

Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah eritrosit, yaitu : Darah lengkap Pemeriksaan darah tepi Hitung retikulosit Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum feritin) Pemeriksaan darah tersamar pada tinja Kadar vitamin B12 Hormon paratiroid

2.2 FERITIN PADA GAGAL GINJAL KRONIK Struktur dan Fungsi Feritin Feritin merupakan protein cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan tubuh manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan jantung (H), dengan berat molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang penting dalam mendetoksifikasi besi secara cepat oleh karena aktivitas feroksidasenya, dimana oksidasi besi menjadi bentuk Fe(III). Sedangkan subunit L memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan besi jangka panjang.5,6

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Gambaran skematik feritin serum 6

Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).5,6,7 Feritin pada Keadaan Inflamasi Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut respon fase akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag. Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam

Universitas Sumatera Utara

tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi highly toxic hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh. 5,22,23 Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks. Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan disebabkan oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.5,6,7,22,23

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Metabolisme besi pada keadaan inflamasi, defisiensi besi dan kombinasi inflamasi + defisiensi besi 5

Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan adanya kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis.5,6,7 Kebanyakan laporan kasus mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.23 Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan dalam menilai status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisikondisi tersebut. Feritin serum merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasienpasien dengan PGK dan lebih dari 40-70% pasien dengan PGK dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi kemungkinan keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada PGK. 5-7, 22

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Keadaan-keadaan yang dapat berhubungan dengan hiperferitinemia pada pasienpasien PGK 6

2.3 INFLAMASI DAN ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasienpasien dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami respon fase akut.24 Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi TNF- dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA.20,24,25 Gunell dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga

Universitas Sumatera Utara

memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.24

2.4

PENATALAKSANAAN ANEMIA PADA PASIEN-PASIEN GAGAL

GINJAL KRONIK DENGAN INFLAMASI Sebelumnya telah diketahui bahwa dosis ESA yang digunakan untuk mempertahankan target kadar hemoglobin dapat meningkat 30-70% pada pasienpasien dialisis yang inflamasi dibandingkan dengan mereka dengan kadar CRP yang lebih rendah.15 Tentu saja, pada inflamasi sistemik berat, respon terhadap epoetin dapat terhambat dan transfusi darah mungkin dibutuhkan. Oleh karena inflamasi mungkin merupakan peyebab utama resistensi ESA, ada benarnya eradikasi terhadap stimulus inflamasi haruslah menjadi tujuan utama dalam penatalaksanaan pasienpasien anemia dengan inflamasi. Namun, walaupun terdapat angka prevalensi inflamasi yang tinggi pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, masih belum ada rekomendasi yang valid bagaimana inflamasi kronik harus diterapi pada pasienpasien ini. Kondisi-kondisi komorbid yang yang dapat berpengaruh terhadap inflamasi, seperti infeksi persisten, gagal jantung dan penyakit jantung koroner haruslah diterapi secara adekuat.20,24 Oleh karena stres oksidatif dapat berhubungan dengan inflamasi ataupun anemia, begitu pula dengan resistensi ESA, sehingga dapat diambil hipotesa bahwa berbagai strategi pengobatan antioksidan mungkin memiliki efek juga terhadap ESA. Sebagai hasil contoh efek protektif melawan peroksidasi lipid, vitamin E tampaknya dapat menjadi bahan yang ideal untuk menurunkan stres oksidatif pada pasien-pasien dialisis.24 Beberapa data terbaru menunjukkan bahwa obat-obat antioksidan juga dapat memodulasi respon inflamasi. Pertama, suplemen vitamin E pada pasien-pasien non renal berhubungan dengan penurunan kadar CRP dan monosit IL-6. Kedua, efek tidak langsung vitamin E sebagai anti inflamasi ( dan antioksidan lainnya seperti vitamin C, melatonin dan glutation) ditunjukkan bahwa mereka dapat memberikan respon terapi ESA pada pasien-pasien dialisis. Ketiga, sebelumnya telah ada hipotesa

Universitas Sumatera Utara

yang mengatakan bahwa pemberian obat-obat antioksidan mencegah hemolisis oksidatif dari membran eritrosit, sehingga dapat menunjukkan mekanisme lain bahwa antioksidan dapat memperbaiki respon terhadap ESA.20,24

2.5 PROTEIN DIALISIS

ENERGY

MALNUTRITION

PADA

PASIEN-PASIEN

Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal kronik yang diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang akan memberikan outcome yang buruk pada pasien.26

a. Penyebab Malnutrisi pada pasien dialisis Malnutrisi tidak jarang terjadi pada pasien-pasien dialisis dan penyebabnya bermacam-macam. Prosedur dialisis sendiri menyebabkan hilangnya nutrisi-nutrisi kedalam dialisat dan efek dari hilangnya nutrisi-nutrisi ini menyebabkan peningkatan katabolisme selama hemodialisis. Timbulnya asidosis metabolik yang biasa terjadi pada pasien-pasien dengan gagal ginjal mungkin berhubungan dengan peningkatan katabolisme pada pasien-pasien ini.27,28 Asam amino hilang melalui dialisat dan dengan aliran dialiser yang kuat, hilangnya vitamin melalui dialisat juga terjadi. Gejala uremia seperti anoreksia, nausea dan muntah dan gejala-gejala ini tidak selalu terkontrol pada pasien-pasien dialisis reguler, menyebabkan terjadinya pengurangan ambilan protein dan energi. Falken-hagen dkk meneliti bahwa pasien gagal ginjal yang diterapi dengan hemodialisis ataupun peritoneal dialisis menunjukkan pola konsumsi makanan yang berbeda-beda. Penyebab dari berkurangnya nafsu makanan tidak sepenuhnya diketahui, namun peningkatan leptin serum atau faktor lainnya yang menekan nafsu makan mungkin terlibat.26-30

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Penyebab anoreksia pada pasien-pasien hemodialisis regular 27

b. Diagnosis Malnutrisi pada Pasien Dialisis Adanya malnutrisi tidaklah diketahui hanya dengan satu tes saja atau dievaluasi hanya pada satu waktu saja, sehingga penting untuk menskrining pasien apakah dijumpai adanya malnutrisi dengan beberapa pemeriksaan dan dilakukan secara reguler. Penting juga untuk melakukan pemeriksaan status protein dan komposisi tubuh sama seperti ambilan nutrisi, untuk mengidentifikasi adanya malnutrisi.26, 29

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Evaluasi nutrisi pada pasien dialysis 27

Albumin serum, sering digunakan untuk mengukur cadangan protein, dapat terganggu dengan adanya proses akut, infeksi yang sering terjadi pada pasien-pasien dialisis. Adanya infeksi akses yang kronis atau infeksi lainnya dapat mengurangi konsentrasi serum albumin oleh karena berkurangnya sintesa albumin di hati sebagai respon terhadap peningkatan produksi fase akut reaktan. Yeu dan Kaysen

menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin merupakan petunjuk hilangnya albumin melalui dialisat, begitu juga produksi CRP yang berkitan dengan inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa serum albumin tidak selalu dipercaya dalam menilai status nutrisi.29 Pada populasi pre gagal ginjal terminal, serum transferin tampaknya sangat berguna dalam menilai status nutrisi, namun serum transferin terganggu pada keadaan defisiensi besi, dan keadaan defisiensi besi yang sering terjadi ini

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan penggunaan ESA dalam pengobatan anemia pada pasien-pasien hemodialisis reguler menyebabkan pengukuran ini kurang diandalkan.29 Pengukuran komposisi tubuh seperti antropometri, Bioelectrical Impedance Analysis (BIA), dan Subjective Global Assessment (SGA), telah semua dilaporkan berguna untuk menilai satus nutrisi pada pasien dengan gagal ginjal terminal yang didialisis reguler. Antropometri telah digunakan bertahun-tahun pada subjek yang sehat, sama seperti pada pasien gagal ginjal dengan dialisis reguler, dan antropometri telah sering digunakan pada pasien-pasien tersebut.30 Subjective Global Assessment awalnya dikembangkan untuk digunakan pada keadaan akut di rumah sakit, namun juga berguna untuk mengukur status nutrisi pada populasi CAPD.12 Kesemua alat pengukuran komposisi tubuh ini memiliki keterbatasan. Antropometri sangat dipengaruhi kesalahan operator dan juga dipengaruhi turgor kulit. Untuk menghindarinya gunakalah kaliper kulit dengan kualitas yang baik. BIA ternyata tidak terlalu berguna dikarenakan BIA lebih signifikan untuk pengukuran komposisi tubuh dan komposisi air tubuh. Dual energy x ray absorptiometry dapat membedakan lemak dengan massa non lemak namun ketersediaanya tidak sellau dapat diharapkan. Karena antropometri cukup banyak tersedia dan cukup simpel, ia bersifat aplikatif pada berbagai klinik dialisis dan merupakan alat yangpaling berguna untuk mengukur komposisi tubuh.29,30 Status nutrisi harus dianalisa secara teratur pada semua pasien-pasien dialisis, sehingga jika terjadi sedikit penurunan pada status nutrisi dapat segera diketahui. Protein serum harus dimonitor setiap 1-3 bulan, antropometri dimonitor setiap 6 bulan dan daftar makanan apa saja yang dikonsumsi juga harus selalu dicatat.30

c. Penatalaksanaan Malnutrisi pada Pasien Dialisis Jika malnutrisi terjadi, outcome pasien akan menurun. Sehingga, pencegahan terhadap malnutrisi sangatlah penting. Pasien-pasien harus diberikan protein dan energi yang adekuat untuk mencegah kejadian malnutrisi. Meskipun belum ada studi yang menunjukkan pencegahan malnutrisi dapat mengubah outcome pasien,

Universitas Sumatera Utara

hubungan yang jelas antara status nutrisi yang buruk dan peningkatan risiko kematian menunjukkan malnutrisi haruslah dihindari.30

Diet Protein Adanya diet protein sering diteliti, sebagai salah satu strategi utnuk memperlambat progresivitas gagal ginjal terminal, mengurangi sindroma uremikum dan unutk mengevaluasi kebutuhan protein yang tepat pada pasien-pasien gagal ginjal dengan terapi dialisis reguler. Pada pasien-pasien hemodialisis, belum ada penelitian prospektif non randomized yang meneliti diet protein dan outcome yang terjadi. Namun, beberapa studi menunujukkan bahwa kebutuhan protein 1,2 gr/kgBB/hari berhubungan dengan keseimbangan nitrogen positif. Kebutuhan akan protein yang meningkat mungkin berhubungan dengan hilangnya protein dan asam amino melalui dialisat atau efek katabolik dari prosedur hemodialisis. Hilangnya protein melalui dialisat lebih tinggi pada peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis sekitar 5-15 gr/hari dan hilangnya protein meningkat pada episode peritonitis.26-30

Tabel 5. Rekomendasi pemberian protein dan kalori pada pasien hemodialisis dan CAPD reguler 26

Universitas Sumatera Utara

Kebutuhan Energi Kebutuhan energi juga merupakan hal yang penting pada pasien-pasien dialisis. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kebutuhan energi pada pasienpasien dialisis tidak berbeda dari orang yang sehat. Rekomendasi kebutuhan energi pada pasien-pasien dialisis adalah 35 kkal/kgBB/hari.26-30 Jika pasien tidak mampu mengkonsumsi protein dan energi yang dibutuhkan dari diet, pengukuran yang lebih agresif haruslah dikerjakan untuk meyakinkan kebutuhan energi yang adekuat.30-32

2.6 RESISTENSI ESA Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin proinflamasi di sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk melawan kerja dari ESA pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi ESA. 20,25

Gambar 4. Bagaimana aktivitas imun pada uremia dan status inflamasi lainnya menyebabkan resistensi terhadap ESA25

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap respon awal ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi kegagalan terapi. Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah penggunaan terapi anti sitokin adjuvan yang spesifik.25

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai