Kota Lhokseumawe sebagai daerah yang sedang berkembang memerlukan suatu data dan indikator dalam rangka menunjang proses perencanaan pembangunan termasuk pembangunan manusia. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Penyusunan Pembangunan buku Perhitungan dan Analisis 2010 Indeks dapat
Manusia
Kota
Lhokseumawe
Tahun
memberikan gambaran tentang indikator keberhasilan pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta tingkat daya beli masyarakat. Hasilnya diharapkan sebagai bahan acuan dalam
perencanaan pembangunan manusia Kota Lhokseumawe di masa mendatang. Akhirnya, semoga Pembangunan Manusia buku Perhitungan dan Analisis Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Indeks dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, umumnya kepada masyarakat luas. Kepada semua pihak yang telah
Lhokseumawe,
Oktober 2011
Drs. A. Madjid
NIP. 195903031986031001
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT dan rahmat serta hidayah-Nya, hingga tersusun buku Perhitungan dan Analisis Indeks Pembangunan Manusia Kota Lhokseumawe Tahun 2010 yang digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe. Berbagai kebijakan yang mengarah pada peningkatan kualitas manusia telah ditempuh oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe. Data yang tersaji pada buku ini kami jadikan sebagai alat pemantauan terhadap perkembangan pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe serta dapat digunakan sebagai bahan akuntabilitas publik yang mengevaluasi kinerja pemerintah. Kepada tim penyusun, kami ucapkan terima kasih atas daya dan upaya dalam penyusunan buku ini. Akhirnya saran dan kritik sangat kami harapkan untuk penyempurnaan penyusunan buku ini di masa mendatang.
DAFTAR ISI Halaman SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Manfaat 1.4 Ruang Lingkup METODOLOGI 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.2 Metode Pengolahan Data 2.3 Metode Analisis dan Penghitungan IPM 3.5.1 Rumus Umum IPM 3.5.2 Angka Harapan Hidup 3.5.3 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah 3.5.4 Purchasing Power Parity (PPP) 3.5.5 Perubahan IPM 2.4 Metode Penyajian GAMBARAN UMUM 3.1 Kondisi Geografis 3.2 Kondisi Pemerintahan 3.3 Kondisi Demografi 3.4 Kondisi Ketenagakerjaan 3.5 Kondisi Perekonomian 3.5.1 Struktur Ekonomi 3.5.2 Pertumbuhan Ekonomi INDIKATOR KESEHATAN INDIKATOR PENDIDIKAN 5.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat 5.2 Angka Melek Huruf 5.3 Rata-rata Lama Sekolah INDIKATOR DAYA BELI 6.1 Pengeluaran Konsumsi Per Kapita 6.2 Daya Beli Penduduk i ii iii v vi 2 2 7 7 7 9 9 10 11 12 14 17 19 23 24 28 28 29 31 36 39 39 46 51 54 55 56 58 60 60 63
BAB II
BAB III
BAB IV BAB V
BAB VI
iii
Halaman BAB VII PERKEMBANGAN IPM 7.1 Indeks Pembangunan Manusia 7.2 Shortfall IPM KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan 8.2 Implikasi Kebijakan 8.2.1 Identifikasi Permasalahan Pembangunan 8.2.2 Strategi dan Sasaran Pembangunan Manusia 67 67 71 75 75 76 76 78
BAB VIII
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Nilai Ekstrim Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang Digunakan dalam Penghitungan Jenjang Pendidikan dan Skor yang Digunakan untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Klasifikasi IPM Luas Wilayah Kota Lhokseumawe per Kecamatan Nama Gampong Berdasarkan Kecamatan dan Kemukiman di Kota Lhokseumawe Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Produktif di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Berdasarkan Sektor Pekerjaan Utama di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Dengan Migas (persen) Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Tanpa Migas (persen) Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi Dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Dengan dan Tanpa Migas (persen) Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Propinsi Aceh Tahun 2009-2010 (Rp) Pendapatan Per Kapita Kota Lhokseumawe Tahun 20072010 (Rp) 13
Tabel 2.2
19 24 29
30
Tabel 3.3
32
Tabel 3.4
33
Tabel 3.5
37
Tabel 3.6
40
Tabel 3.7
44
Tabel 3.8
48
Tabel 6.1
61
Tabel 6.2
62
Tabel 7.1
Jumlah Sarana Pendidikan di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2010
69
Tabel 7.2
70
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Gambar 3.2 Piramida Penduduk Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Peranan PDRB Dengan Migas Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Peranan PDRB Tanpa Migas Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Angka Harapan Hidup di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Angka Melek Huruf di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 2010 Rata-rata Lama Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010 Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan Lhokseumawe, 2006-2010 (Rp 000) Kota 64 65 35
43
Gambar 3.3
46
Gambar 4.1
52
Gambar 5.1
56
Gambar 5.2
57
58
Indeks Daya Beli Kota Lhokseumawe Tahun 2006-2010 Perkembangan IPM Kota Lhokseumawe dan Beberapa Kabupaten/Kota Lainnya di Aceh Tahun 2006 - 2010 Perkembangan Reduksi Shortfall Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010 IPM Kota
67
Gambar 7.2
72
vii
BAB I PENDAHULUAN
http://www.bappedalhokseumawe.web.id
PENDAHULUAN
merupakan suatu paradigma yang menempatkan manusia sebagai titik sentral sehingga setiap upaya pembangunan mempunyai ciri dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam kerangka ini maka pembangunan daerah ditujukan untuk meningkatkan partisipasi penduduk dalam semua proses pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan upaya peningkatan kualitas penduduk sebagai sumber daya baik dari aspek fisik (kesehatan), intelektualitas (pendidikan), kesejahteraan ekonomi (daya beli) maupun moralitas (iman dan takwa). Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa yang secara implisit juga mengandung makna pemberdayaan manusia. Dalam Programme perspektif (UNDP), United Nations Development (human
pembangunan
manusia
development) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choices of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah perluasan pilihan dan
sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut (UNDP, 1990). Pada saat yang sama pembangunan manusia
dapat
dilihat
juga
sebagai
pembangunan
(formation)
kemampuan manusia melalui perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan; sekaligus sebagai
pemanfaatan (utilization) kemampuan/ketrampilan mereka tersebut. Konsep pembangunan di atas jauh lebih luas
pengertiannya dibandingkan konsep pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan (economic growth), kebutuhan dasar (basic needs), kesejahteraan masyarakat (social welfare), atau pembangunan sumber daya manusia (human resource development). Karena konsep pembangunan UNDP mengandung empat unsur, yaitu : produktivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan
(sustainability), dan pemberdayaan (empowerment). Pembangunan manusia dapat juga dilihat dari sisi pelaku atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam kaitan ini UNDP melihat pembangunan manusia sebagai semacam model pembangunan tentang penduduk, untuk penduduk, dan oleh penduduk. a. tentang penduduk; berupa investasi di bidang pendidikan, lainnya; b. untuk penduduk; berupa penciptaan peluang kesehatan, dan pelayanan sosial
kerja melalui perluasan (pertumbuhan) ekonomi dalam negeri; dan c. oleh penduduk; berupa penduduk upaya dalam pemberdayaan menentukan
(empowerment)
harkat manusia dengan cara berpartisipasi dalam proses politik dan pembangunan. Untuk melihat sejauh mana capaian pembangunan manusia di suatu daerah, maka kehidupan masyarakat perlu dipantau perkembangannya. Pemantauan bertujuan untuk mengevaluasi kemajuan hasil pembangunan. Selain itu juga sebagai kerangka akuntabilitas publik untuk mengevaluasi kinerja pemerintah daerah sebagai penyelenggara
pemerintahan di tingkat kabupaten/kota. Bidang kehidupan yang perlu dipantau meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik yang berkaitan dengan individu dalam hal kelangsungan hidup secara individu (kebutuhan dasar, kesehatan dan KB), tumbuh kembang (pendidikan, gizi), partisipasi (ketenaga-kerjaan, politik),
perlindungan (kesejahteraan sosial, hukum dan ketertiban), maupun yang berkaitan dengan wilayah seperti
kependudukan, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Berbagai indikator dapat digunakan untuk memantau kemajuan pembangunan di suatu daerah, baik indikator ekonomi maupun indikator sosial. Dalam konteks
masyarakat sebagai obyek pembangunan, maka diperlukan suatu indikator untuk mengukur perkembangan
kehidupan/tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Untuk melihat tingkat kesejahteraan dari segi ekonomi secara umum, indikator yang tepat digunakan adalah PDRB. Untuk melihat gambaran tingkat kesejahteraan sosial dalam arti lebih sempit, dapat menggunakan indikator IMH (Indeks
Mutu
Hidup),
karena
indikator
IMH
hanya
mempertimbangkan variabel-variabel sosial saja. Sedangkan untuk melihat gambaran tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi secara luas, dapat menggunakan indikator IPM (Indeks Pembangunan Manusia), karena IPM
mempertimbangkan variabel-variabel sosial dan ekonomi. UNDP sejak tahun 1990 menggunakan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) untuk mengukur keberhasilan atau kinerja
(performence) suatu negara atau daerah dalam bidang pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia memiliki dimensi yang sangat luas. Menurut UNDP upaya ke arah perluasan pilihan hanya mungkin dapat direalisasikan jika penduduk paling tidak memiliki : peluang berumur panjang dan sehat, pengetahuan ketrampilan yang memadai, dan peluang untuk merealisasikan pengetahuan yang dimiliki dalam kegiatan yang produktif (misalnya dapat bekerja dan memperoleh uang sehingga memiliki daya beli). Dengan kata lain, tingkat pemenuhan ketiga unsur tersebut minimal sudah dapat merefleksikan tingkat keberhasilan pembangunan manusia suatu negara/daerah. Untuk mengukur tingkat pemenuhan ketiga unsur di atas, UNDP menyusun suatu indeks komposit berdasarkan pada 3 (tiga) indikator, yaitu : Angka Harapan Hidup (life expectancy at age o : eo), Angka melek huruf penduduk dewasa (adult literacy rate : Lit), Rata-rata lama sekolah
(mean years of schooling : MYS), serta Purchasing Power Parity (merupakan ukuran pendapatan yang sudah
disesuaikan dengan paritas daya beli). Indikator pertama mengukur berikutnya umur panjang dan sehat, dan dua indikator
mengukur
pengetahuan
ketrampilan,
sedangkan indikator terakhir mengukur kemampuan dalam mengakses sumber daya ekonomi dalam arti luas. Ketiga indikator inilah yang digunakan sebagai komponen dalam penyusunan IPM/HDI. Pengukuran tingkat pemenuhan ketiga indikator di atas dilakukan dengan sistem pengukuran yang dipakai oleh UNDP dalam menyusun IPM global. Hal ini didorong harapan agar indeks yang dihasilkan terbanding secara nasional maupun internasional. Bagi daerah-daerah yang relatif baru seperti Kota Lhokseumawe, kegiatan penyusunan IPM memiliki peran sangat strategis dalam perencanaan pembangunan regional khususnya pembangunan manusia, manusia. IPM ini Dalam dapat evaluasi diamati
pembangunan
perkembangannya setiap periode sehingga dapat diketahui seberapa besar percepatan pembangunan manusia antar periode. Di sisi lain, secara cross section IPM juga dapat digunakan sebagai indikator pembanding antar wilayah untuk melihat posisi relatif pembangunan manusia suatu wilayah terhadap wilayah lain.
Pembangunan Manusia Kota Lhokseumawe bertujuan untuk melihat kondisi pembangunan manusia dan diharapkan mampu digunakan sebagai pembanding kinerja
1.3 Manfaat Beberapa manfaat penting yang dapat diperoleh dari perhitungan dan analisis Indeks Pembangunan Manusia Kota Lhokseumawe adalah sebagai berikut : 1. sebagai bahan Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) di Kota Lhokseumawe, 2. sebagai alat bantu pemerintah dalam dan rangka evaluasi
melakukan
perencanaan
pembangunan daerah, 3. sebagai bahan akuntabilitas publik terhadap kinerja pemerintah daerah khususnya dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan 4. sebagai basis data dan data acuan bagi pihak lain yang berkepentingan.
1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup bahasan dalam penyusunan publikasi ini adalah wilayah administratif Kota Lhokseumawe.
BAB II METODOLOGI
http://www.bappedalhokseumawe.web.id
METODOLOGI
II
2.1 Metode Pengumpulan Data Informasi yang dicakup dalam kegiatan penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Lhokseumawe adalah data sekunder yang diperoleh dari lembaga, institusi maupun instansi pemerintah yang relevan. Data-data
tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Indiktor Kesehatan, yang meliputi angka harapan hidup dan IMR, dengan data dasar adalah jumlah wanita usia subur 15-49 tahun (wus), status
perkawinan wus, jumlah anak lahir hidup maupun anak lahir mati dari wus, dan life table model western dari UN (United Nations ). 2. Indikator Pendidikan, yang meliputi rata-rata lama sekolah (mean years school) dan angka melek huruf (literacy rate), dengan data pokok jumlah penduduk yang bersekolah, pendidikan tertinggi yang
ditamatkan, dan kemampuan baca tulis penduduk. 3. Indikator Daya Beli, yang meliputi indeks kemahalan dan paritas daya beli yang menggunakan data pokok: a. Pengeluaran konsumsi makanan maupun non makanan oleh penduduk
b.Harga
27
paket
komoditi
dasar
di
Kota
Lhokseumawe dan di Kota Banda Aceh sebagai pembanding. Penggunaan harga-harga komoditi di Kota Banda Aceh sebagai angka pembanding dimaksudkan agar dapat terlihat kewajaran harga-harga dari 27 komoditi tersebut, mengingat Kota Banda Aceh sebagai pusat perekonomian di wilayah Propinsi Aceh. Tingkat daya beli penduduk menggambarkan
kondisi relatif daya beli antar wilayah dan antar waktu. Sehubungan dengan hal tersebut daya beli penduduk ini harus disesuaikan dengan
komponen lain seperti indeks harga dan indeks kemahalan melalui formula atkinson. Angka daya beli yang dihasilkan tidak dapat diinterpretasikan berdasarkan angka nominalnya, melainkan harus diinterpretasikan secara riil dengan
membandingkan antar wilayah dan antar waktu. Harga 27 paket komoditi yang dimaksud di sini adalah komoditi terpilih untuk menghitung paritas daya beli.
2.2 Metode Pengolahan Data Setelah berikutnya tahap adalah pengumpulan pengolahan data selesai, tahap data
data.
Pengolahan
10
dilakukan dengan menggunakan cara manual dan dengan bantuan komputer atau software. - Tahap pertama pengolahan data, metode yang
digunakan adalah secara manual (pra komputer). Pengolahan data secara manual ini terdiri atas tahap pemeriksaan (verification) dan penyuntingan-
pengkodean (editing coding). - Tahap kedua, setelah tahap manual dengan selesai, bantuan
pengolahan
data
dilanjutkan
komputer. Pada tahap ini dilakukan perekaman data (entry data) dengan menggunakan paket program SPSS (Statistical hasil Program entry for Social dan Science), proses
pengecekan
(validasi),
tabulasi untuk mempermudah analisis. Secara rinci tahapan dalam pengolahan data dalam kegiatan ini adalah: 1. Pengelompokan data (data batching) 2. Pemeriksaan data hasil lapangan (verifikasi) 3. Perekaman data (entry) 4. Pengecekan konsistensi data (validasi) 5. Tabulasi
2.3 Metode Analisis dan Penghitungan IPM Analisis yang dilakukan dalam penyusunan Indeks Pembangunan Manusia Kota Lhokseumawe menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif ditujukan untuk memperoleh gamabaran atau
11
deskripsi dari angka IPM dan berbagai indikator turunannya. Berbagai data yang ada melalui analisis kuantitatif berupa perhitungan-perhitunagn tertentu sangat diperlukan untuk pembentukan indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan indikator daya beli sebgai pembentuk angka IPM.
2.3.1 Rumus Umum IPM Seperti dikemukakan sebelumnya komponen IPM terdiri dari angka harapan hidup (eo), angka melek huruf (Lit), ratarata lama sekolah (MYS), dan Purchasing Power Parity (PPP). Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai antara 0 (keadaan terburuk) dan 1 (keadaan terbaik). Lebih kanjut komponen angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah digabung menjadi satu sebagai indikator pendidikan dengan perbandingan 2:1. Dalam laporan ini indeks tersebut dinyatakan dalam ratusan (dikalikan 100) untuk mempermudah penafsiran. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti
Xi Xi min Indeks Xi = Xi maks Xi min di mana: Xi Xi maks Xi min = Indikator ke-i (i=1,2,3) = Nilai maksimum Xi = Nilai minimum Xi
12
Ketiga indeks yang dihitung ini (X1,X2,X3) adalah: 1. Indeks Harapan Hidup (Indeks X1) 2. Indeks Pendidikan (Indeks X2) 3. Indeks Daya Beli (Indeks X3) Dengan nilai maksimum dan minimum sebagai berikut : Tabel 2.1 Nilai Ekstrim Komponen IPM Komponen IPM (Xi) Angka Harapan Hidup (e0) Angka Melek Huruf (Lit) Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Daya Beli (Real Per Capita Expenditure/Real PPP Adjusted) (Rp 000) Nilai Maksimum 85 100 15 Nilai Minimum 25 0 0
792.720
360.000
Nilai maksimum dan minimum untuk komponen angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah adalah sama seperti yang digunakan UNDP dalam menyusun IPM global tahun 1994, kecuali untuk nilai real PPP adj telah disesuaikan dengan keadaan negara Indonesia. Setelah ketiga angka indeks tersebut dihasilkan, maka dapat dihitung IPM secara global: X1 + X2 + X3
IPM =
di mana :
13
X1 = Indeks Harapan Hidup X2 = Indeks Pengetahuan (2/3 Indeks Melek Huruf + 1/3 Indeks Lama Sekolah) X3 = Indeks Standar Hidup Layak
2.3.2 Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup pada waktu lahir (e0), yaitu ratarata jumlah tahun yang akan dijalani oleh sekelompok orang yang dilahirkan pada suatu waktu tertentu dengan asumsi pola mortalitas untuk setiap kelompok umur pada masa yang akan datang tetap. Variabel e0 diharapkan mencerminkan lama hidup sekaligus hidup sehat suatu masyarakat. Meskipun
sebenarnya angka morbiditas/kesakitan akan lebih valid dalam mengukur hidup sehat, akan tetapi hanya sedikit negara yang memiliki data morbiditas yang dapat dipercaya, maka variabel tersebut tidak digunakan untuk tujuan perbandingan. Penghitungan angka harapan hidup Kota Lhokseumawe dilakukan dengan menggunakan bantuan tabel kematian (life tables) dan software Mortpak-Lite. Angka harapan hidup dihitung dengan metode tidak langsung yaitu : Brass variant Trussel dan bantuan Life Tables model Western. Data dasar yang digunakan untuk penghitungan metode tidak langsung adalah rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak masih hidup dari wanita per kelompok umur. Oleh karena
14
itu, metode penghitungan tersebut memerlukan data-data sebagai berikut : 1. Jumlah wanita per kelompok usia (15-19, 20-24, 2529, 30-34, 35-39, 40-44, 45-49) 2. Anak Lahir Hidup (ALH) dari wanita per kelompok usia (15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 4549) 3. Anak Masih Hidup (AMH) dari wanita per kelompok usia (15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 4549) Melalui metode ini secara tidak langsung juga
menghasilkan angka kematian bayi (Infant Mortality RateIMR). IMR merupakan suatu indikator kesehatan dan
kesejahteraan rakyat yang sangat penting. IMR didefinisikan sebagai banyaknya atau tingkat kematian bayi sebelum mencapai usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada suatu daerah dalam waktu tertentu. IMR dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : 1. Jika angka IMR < 40 (Hard Rock), berarti tingkat kesehatan dan kesejahteraan ibu yang melahirkan baik, namun pada level ini sangat sulit diupayakan penurunan angka IMR-nya. 2. Jika angka IMR antara 40-70 (Intermediate Rock), berarti tingkat kesehatan dan kesejahteraan ibu yang melahirkan sedang (agak baik), namun pada level ini agak sulit diupayakan penurunan angka IMR-nya.
15
3. Jika angka IMR > 70 (Soft Rock), berarti tingkat kesehatan dan kesejahteraan ibu yang melahirkan buruk, namun pada level ini cukup mudah
diupayakan penurunan angka IMR-nya. Adapun tahapan yang dilakukan untuk memperoleh Angka Harapan Hidup adalah sebagai berikut: 1. Cari jumlah wanita per kelompok usia; 15-19, 2024, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 45-49 (Wi) 2. Cari jumlah anak lahir hidup dari wanita per kelompok usia; 15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 45-49 (ALHi) 3. Cari jumlah anak masih hidup dari wanita per kelompok usia; 15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 45-49 (AMHi) 4. Cari Pi = ALHi/Wi 5. Cari Si = AMHi/Wi 6. Cari Di = 1- (Si/Pi) 7. Cari xQ0 = Di x Ki (i = kelompok umur) (i = kelompok umur) (i = kelompok umur) (Ki untuk setiap kelompok umur
diperoleh dari table Trussel) 8. Cari IMR dari xQ0 untuk kelompok umur 20-24, 2529, 30-34 dengan bantuan Life Tables model Western 9. Cari rata-rata ketiga IMR tersebut (=IMR) 10. Cari level dari IMR dengan bantuan Life Tables model Western 11. Dari level yang diperoleh maka akan diperoleh pula e0.
16
2.3.3 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Untuk mengukur dimensi pengetahuan BPS
menggunakan kombinasi angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk dewasa (15 tahun ke atas). Kedua indikator pendidikan ini diharapkan mencerminkan tingkat pengetahuan dan ketrampilan penduduk. Angka melek huruf didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Angka ini diolah dari variabel kemampuan baca tulis dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Kor. Pentingnya angka melek huruf (Lit) sebagai komponen IPM tidak banyak diperdebatkan. Permasalahannya hanya sebatas kepekaan Lit sebagai ukuran dimensi pengetahuan karena dinilai angkanya sudah cukup tinggi di semua wilayah Indonesia. Dampak kelemahan tersebut berkurang dengan
dimasukkannya variabel rata-rata lama sekolah (MYS) dalam penghitungan indeks pendidikan (IP) yang menurut UNDP dihitung dengan cara sebagai berikut: IP = 2/3 Indeks Lit + 1/3 Indeks MYS Rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel dasar dalam kuesioner Kor-Susenas, yaitu kelas tertinggi yang pernah/sedang diduduki dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Penghitungan MYS dilakukan dengan cara penghitungan tidak langsung. Langkah pertama adalah memberikan bobot variabel pendidikan tertinggi yang
17
ditamatkan kemudian langkah selanjutnya menghitung rata-rata tertimbang dari variabel tersebut sesuai bobotnya. Secara sederhana prosedur penghitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
10
fi * LSi
i=1
MYS =
10
fi
i=1
di mana: MYS fi = rata-rata lama sekolah = frekuensi penduduk untuk jenjang pendidikan i Si = skor untuk masing-masing jenjang pendidikan i LSi LSi LSi = 0 (bila tidak/belum pernah sekolah) = Si (bila tamat) = Si + kelas yang diduduki-1 (bila masih bersekolah dan pernah tamat) LSi = kelas yang diduduki-1 (bila jenjang yang diduduki SD/SR) i = jenjang pendidikan (1,2,3,....,11)
18
Tabel 2.2 Jenjang Pendidikan dan Skor Yang Digunakan Untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Jenjang Pendidikan
(1)
Skor
(2)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tidak/belum pernah sekolah SD/MI/sederajat SLTP/MTs/sederajat/Kejuruan SMU/MA/sederajat SM Kejuruan Diploma I Diploma II Diploma III/Sarjana Muda Diploma IV/S1
0 6 9 12 12 13 14 15 16 18 21
10. S2 11. S3
2.3.4 Purchasing Power Parity (PPP) Dengan dimasukkannya variabel PPP sebagai ukuran paritas daya beli, IPM secara konseptual jelas lebih lengkap dalam merefleksikan taraf pembangunan manusia daripada IMH atau PQLI. Karena IMH yang tinggi hanya merefleksikan kondisi masyarakat yang memiliki peluang hidup panjang (dan sehat) serta tingkat pendidikan (dan ketrampilan) yang memadai. memberikan Menurut UNDP kondisi ideal tersebut karena belum belum
gambaran
yang
memasukkan aspek peluang kerja/berusaha yang memadai sehingga memperoleh sejumlah uang yang memiliki daya
19
beli (purchasing power). Pemenuhan kebutuhan seperti itulah yang dicoba diukur dengan PPP. Komponen standar hidup layak dihitung dengan ratarata konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan metode Atkinson. UNDP dalam menyusun IPM global, menggunakan PDB per kapita untuk mengukur standar hidup layak. Untuk kepentingan penghitungan IPM
Kabupaten/Kota, BPS tidak menggunakan pendapatan per kapita. Alasannya pendapatan per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah sehingga tidak mencerminkan daya beli riil masyarakat yang merupakan fokus perhatian IPM. Sebagai penggantinya BPS menggunakan indikator dasar rata-rata pengeluaran per kapita. Data pengeluaran per kapita dihitung dari data Susenas Kor yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga menjamin keterbandingan antar waktu dan antar wilayah di Indonesia. Dalam tahapan penyesuaian ini dihitung juga indeks kemahalan dengan tujuan menstandarkan nilai beli atau manfaat rupiah di seluruh Indonesia dan didiscount dengan formula Atkinson. Ilustrasinya adalah bahwa
kenaikan Rp 50.000,- bagi kabupaten/kota yang memiliki pengeluaran per kapita Rp 100.000,- akan memiliki nilai beli atau nilai manfaat yang berbeda dengan kenaikan yang sama bagi kabupaten/kota yang memiliki pengeluaran per kapita Rp 500.000,Secara garis besar, proses penyesuaian untuk
20
A=
2. Menyesuaikan nilai A (mark-up) dengan data Susenas Modul sekitar 20 persen (=B). Penyesuaian ini diperlukan karena data pengeluaran hasil survei, dalam hal ini data konsumsi Susenas Kor, cenderung under estimate. B = 1,2 x A 3. Mendeflasikan nilai B dengan IHK/Indeks Harga Konsumsen (=C). Bagi daerah yang tidak memiliki data inflasi, IHK bias didekati dengan IHK ibukota propinsi (jika dekat) atau inflasi PDRB. C= disebut
B IHK
4. Menghitung daya beli per unit (=PPP/unit) yang dengan indeks kemahalan. dimaksudkan di semua Indeks untuk wilayah
kemahalan
(PPP/unit) nilai
menstandarkan
rupiah
Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan standar baku penghitungan IPM secara nasional digunakan harga-harga pada wilayah Jakarta Selatan sebagai pembanding. sesuai rumus : Penghitungan PPP/unit dilakukan
21
E(i,j)
j
di mana : E(i,j) = Total pengeluaran untuk komoditi j di kab/kota p(9,j) = Harga komoditi j di Jakarta Selatan q(i,j) = Total komoditi j (unit) yang di konsumsi di kab/kota
5. Membagi nilai C dengan PPP/unit (=D) 6. Menyesuaikan (mendiscount) nilai D dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari D (riil/PPPadj) (=D*). Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian ratarata konsumsi riil secara matematis dapat
dinyatakan sebagai berikut: D(i)* = D(i) = Z+2(D(i) Z)(1/2) = Z+2(Z)(1/2) +3(D(i)-2Z)1/3 = Z+2(Z)(1/2)+3(Z)(1/3)+4(D(i)-2Z)(1/4) dimana: D(i) = konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 6) Z = threshold yang atau tingkat sebagai pendapatan tertentu batas kecukupan jika D(i) Z jika Z<D(i)2Z jika 2Z<D(i)3Z jika 3Z<D(i)4Z
digunakan
22
dalam
laporan
ini
ditetapkan
sebesar
Rp 1.500,- per kapita sehari atau Rp 547.500,per kapita setahun 2.3.5 Perubahan IPM Pencapaian pembangunan manusia dapat dilihat dari dua segi, yaitu : 1. Kecepatan Perubahan IPM (shortfall) Kecepatan perubahan IPM dalam suatu periode dapat dilihat dari angka shortfall. Angka tersebut mengukur rasio pencapaian kesenjangan antara jarak yang sudah ditempuh dengan yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi yang ideal
(IPM=100). Semakin tinggi angka shortfall, semakin cepat kenaikan IPM. Secara formulasi reduksi
sortfall (r) adalah: IPM t1 IPM t0 R = IPM di mana : IPM t0 IPM t1 IPM
ref ref
x100 IPM t0
= IPM tahun dasar = IPM tahun terakhir = IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100
2. Meningkatnya
status
pembangunan
manusia
23
Tabel 2.3 Klasifikasi IPM Nilai IPM < 50 50 IPM < 66 66 IPM < 80 80 2.4 Metode Penyajian Penyajian data merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan publikasi atau buku. Hal ini berkaitan dengan kemudahan para pengguna atau Status Pembangunan Manusia Rendah Menengah bawah Menengah atas Tinggi
konsumen publikasi IPM Kota Lhokseumawe. Penyajian data dalam penyusunan IPM ini akan berbentuk tulisan, grafik, dan tabel. Penyajian isi materi akan disajikan secara terstruktur dengan rincian sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bagian pertama ini akan dijelaskan tentang latar belakang, maksud, tujuan, dan ruang
lingkup dari penghitungan dan analisis IPM Kota Lhokseumawe. BAB II METODOLOGI Bagian ke dua ini menjelaskan berbagai metode atau teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan data, berbagai formulasi
24
penghitungan indikator, dan metode analisis. BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH Bagian ke tiga ini menjelaskan secara ringkas mengenai kondisi wilayah Kota Lhokseumawe, seperti kondisi geografis, musim, pemerintahan, kependudukan, budaya. BAB IV INDIKATOR KESEHATAN Bagian ke empat ini merupakan bagian awal dari substansi publikasi IPM. Dalam bagian ini akan dijelaskan secara rinci mengenai kondisi perekonomian, dan sosial
kesehatan penduduk berdasarkan relevansinya dengan penghitungan IPM, seperti kematian bayi dan angka harapan hidup. BAB V INDIKATOR PENDIDIKAN Bagian ini akan kondisi menjelaskan pendidikan secara rinci
mengenai
masyarakat
berdasarkan relevansinya dengan penghitungan IPM, seperti tingkat pendidikan penduduk, ratarata lama sekolah, dan angka melek huruf. BAB VI INDIKATOR DAYA BELI Bagian ini merupakan bagian terakhir dari
substansi publikasi IPM. Di bagian ini akan dijelaskan kondisi daya beli masyarakat
25
IPM,
seperti
variabel
pengeluaran
konsumsi
penduduk dan daya beli penduduk. BAB VII PERKEMBANGAN IPM Bagian ke tujuh ini merupakan bagian pokok karena di dalamnya akan dijelaskan mengenai kondisi pembangunan manusia di Kota
Lhokseumawe yang ditunjukkan oleh indikator IPM beserta kecepatan perubahan pembangunan manusia (shortfall). BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Bagian penutup ini berisi tentang kesimpulan hasil berbagai penghitungan indikator beserta model implikasi kebijakan kepada yang akan Kota
direkomendasikan Lhokseumawe.
Pemerintah
26
GAMBARAN UMUM
III
Kota Lhokseumawe merupakan salah satu daerah otonom baru dalam Provinsi Aceh. Kota Lhokseumawe pemekaran dari kabupaten induknya yaitu Kabupaten Aceh Utara yang dibentuk dengan Undang-undang No. 2 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001.
3.1 Kondisi Geografis Kota Lhokseumawe adalah salah satu kota setingkat kabupaten yang berada di wilayah timur Provinsi Aceh. Terletak pada posisi astronomis 04o54 05o18 Lintang Utara dan 96o20 97o21 Bujur Timur. Kota Lhokseumawe secara administratif memiliki batas sebagai berikut : Sebelah Utara Sebelah Selatan : Selat Malaka : Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara) Sebelah Barat Sebelah Timur : Kecamatan Dewantara (Aceh Utara) : Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara) Curah hujan di Kota Lhokseumawe rata-rata berkisar 50 294,5 mm pada tahun 2010 setara dengan suhu udara antara 19 oC - 34 oC. Wilayah Kota Lhokseumawe berada pada ketinggian antara 2 24 meter dpl (di atas permukaan laut).
28
Luas wilayah Kota Lhokseumawe berdasarkan undangundang No. 2 Tahun 2001 seluas 181,06 Km atau 18.106 Ha yang meliputi 3 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Blang Mangat, dan Kecamatan Muara Dua. Pada tahun 2006 terjadi pemekaran wilayah Kecamatan Muara Dua menjadi kecamatan Muara Dua dan Kecamatan Muara Satu. Rincian luas wilayah kecamatan sebagai berikut :
Tabel 3.1 Luas Wilayah Kota Lhokseumawe per Kecamatan No. Kecamatan Luas Wilayah Km 56,12 Ha 5.612
1.
Blang Mangat
2.
Muara Dua
57,80
5.780
3.
Muara Satu
55,90
5.590
4.
11,24 181,06
1.124 18.106
Lhokseumawe terdiri dari: 4 ( empat ) kecamatan 9 ( sembilan ) kemukiman 68 ( enam puluh delapan ) gampong
29
Tabel 3.2 Nama Gampong Berdasarkan Kecamatan dan Kemukiman di Kota Lhokseumawe
Nama Kecamatan dan Mukim No. Urut Nama Gampong
BANDA SAKTI I. Mukim Lhokseumawe Selatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 II. Mukim Lhokseumawe Utara 10 11 12 13 14 15 16 17 18 MUARA DUA I. Mukim Kandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kuta Blang Kota Lhokseumawe Mon Geudong Keude Aceh Simpang Empat Pusong Lhokseumawe Lancang Garam Pusong Baru Kampung Jawa Baru Kp Jawa Lama Hagu Teungoh Uteun Bayi Ujong Blang Hagu Selatan Tumpok Teungoh Hagu Barat Laut Ulee Jalan Banda Masen Alue Awe Blang Crum Cut Mamplam Meunasah Mee Cot Girek Kandang Meunasah Manyang Meunasah Blang Keude Cunda Meunasah Uteunkot Cunda Lhokmon Puteh Meunasah Mesjid Meunasah Panggoi Meunasah Paya Bili Meunasah Alue Paya Peunteuet Blang Poh Roh Paloh Batee
II
30
No. Urut
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Cot Trieng Paloh Punti Padang Sakti Meuria Paloh Meunasah Dayah Blang Panyang Ujong Pacu Blang Pulo Blang Naleung Mameh Batuphat Timur Batuphat Barat Kuala Blang Cut Mesjid Meuraksa Jambo Timu Tunong Blang Teueu Teungoh Baloy Blang Peunteuet Kumbang Peunteuet Mesjid Peunteuet Ulee Blang Mane Keude Peunteuet Mane Kareung Asan Kareung Rayeuk Kareung Alue Lim Blang Buloh Blang Weu Panjou Jeulikat Blang Weu Baroh Seuneubok
IV
3.3 Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe pada tahun 2010 mencapai 171.163 jiwa dengan komposisi penduduk
31
laki-laki sebanyak 85.436 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 85.727 jiwa. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Kota Lhokseumawe yang seluas 181,06 km2, maka kepadatan penduduk di kota ini mencapai 945 jiwa per km2. Dari empat kecamatan yang ada di Kota
Lhokseumawe, Kecamatan Banda Sakti adalah kecamatan dengan penduduk terbanyak, mencapai 73.452 jiwa.
Kecamatan Blang Mangat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu 21.689 jiwa. Tabel 3.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2010
Kecamatan
(1)
Penduduk (jiwa)
(2)
Kepadatan (jiwa/km2)
(4)
1 2 3 4
Kecamatan Banda Sakti memiliki tingkat kepadatan tertinggi mencapai 6.543 jiwa per km2. Adapun Kecamatan Blang Mangat adalah wilayah yang memiliki tingkat
32
Komposisi penduduk Kota Lhokseumawe pada tahun 2010 untuk kelompok usia 0-14 tahun sebesar 32,11 persen. Kelompok usia 15-64 tahun 65,28 persen dan kelompok usia 65 tahun ke atas 2,61 persen. Rasio beban tanggungan (dependency ratio) sebesar 53,18 yang berarti sebanyak 53 penduduk usia non produktif (usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) di Kota Lhokseumawe di tanggung oleh 100 penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun). Tingginya angka tersebut dapat menyebabkan pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe terhambat. Hal ini dikarenakan sebagian pendapatan yang diperoleh golongan penduduk usia produktif terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif. Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Usia Produktif di Kota Lhokseumawe Tahun 2010
Kelompok Usia
(1)
L+P
(4)
33
Perubahan
demografis
yang
selalu
mendapat
perhatian dalam analisis kependudukan adalah perubahan struktur umur. Perubahan struktur umur ini umumnya akibat dari menurunnya tingkat fertilitas dan mortalitas. Proporsi penduduk yang berumur muda akan mengalami penurunan, sedangkan proporsi penduduk yang berumur tua akan mengalami peningkatan. Keadaan struktur umur penduduk akan tampak jelas dengan menggunakan piramida penduduk. Piramida penduduk menggambarkan perkembangan penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Bentuk piramida penduduk dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, tingkat kelangsungan hidup setiap kelompok umur, dan oleh perpindahan penduduk. Penduduk dengan tingkat kelahiran tinggi biasanya ditandai dengan bentuk piramida penduduk yang alasnya besar dan berangsur mengecil hingga puncak piramida. Tingkat kelahiran rendah ditandai oleh bentuk piramida dengan alas tidak begitu besar dan tidak langsung mengecil hingga puncaknya. Adapun tingkat kelangsungan hidup dan tingkat perpindahan penduduk pada setiap kelompok piramida. Berdasarkan Gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2010 dapat digolongkan penduduk muda. Artinya, lebih banyak jumlah penduduk kelompok usia muda. umur akan mempengaruhi fluktuasi pada
34
Batang piramida untuk kelompok umur 0-4 tahun dan 5-9 tahun masih relatif panjang dari kelompok umur lainnya, kecuali kelompok umur 15-19 tahun. Hal ini berarti fertilitas di kota ini masih cukup tinggi. Apabila dibandingkan dengan batang piramida kelompok umur 10-14 yang hampir sama, maka dapat ditafsirkan paling tidak dalam 15 tahun terakhir tidak terjadi penurunan kelahiran yang berarti. Bahkan untuk penduduk berjenis kelamin perempuan selama 25 tahun terakhir tidak terjadi penurunan kelahiran yang berarti karena panjang batang piramida yang hampir sejajar. Hal lain yang menarik adalah perubahan panjang batang piramida yang cukup signifikan dari kelompok umur
35
30-34 tahun ke kelompok umur 35-39 tahun untuk jenis kelamin laki-laki. Diduga kuat penyebabnya adalah tingginya migrasi keluar pada kelompok umur 35-39 tahun tersebut. Untuk penduduk berjenis kelamin perempuan, perubahan yang signifikan terjadi pada kelompok umur 44-49 tahun ke kelompok umur 50-54 tahun dan ke 55-59 tahun. Dengan angka harapan hidup sebesar 70,81 dan dengan
membandingkan piramida penduduk, dapat dilihat bahwa penduduk yang berumur 70 tahun ke atas adalah penduduk perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk perempuan memiliki harapan hidup yang lebih panjang dari penduduk laki-laki di Kota Lhokseumawe. 3.4 Kondisi Ketenagakerjaan Peningkatan jumlah penduduk di Kota Lhokseumawe berakibat pada meningkatnya jumlah penduduk usia kerja (tenaga kerja). Dengan demikian jumlah penduduk yang memasuki angkatan kerja juga akan meningkat. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan memasuki pasar kerja, maka penciptaan dan perluasan lapangan kerja produktif diupayakan dapat terlaksana secara mantap
seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Dalam rangka memperluas lapangan kerja produktif dan mengurangi harus pengangguran, mengupayakan di Pemerintah berbagai Kota
Lhokseumawe melalui
kegiatan
beberapa
program
bidang
ketenagakerjaan.
36
lapangan kerja maupun meningkatkan kualitas pekerja. Namun, upaya-upaya tersebut harus dilakukan
berkesinambungan karena pertumbuhan tenaga kerja baru yang memasuki pasar kerja ke depan akan semakin tinggi.
Tabel 3.5
Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Berdasarkan Sektor Pekerjaan Utama di Kota Lhokseumawe Tahun 2010 Sektor
(1)
Jumlah
(4)
Jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di Kota Lhokseumawe tahun 2010 adalah sebesar 58.478 jiwa. Dari sejumlah itu penduduk laki-laki yang bekerja mempunyai persentase sebesar 68,95 persen,
sisanya adalah penduduk perempuan. Terjadi peningkatan jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja dari tahun 2009 yaitu sebesar 4.670 jiwa atau sebesar 8,6 persen. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Lhokseumawe pada tahun 2010 adalah 57,73. TPAK
37
penduduk usia kerja. Angka ini juga dapat menggambarkan jumlah penduduk yang masuk dalam dunia kerja. Angka TPAK sebesar 57,73 dapat diartikan diantara 100 orang penduduk usia kerja terdapat 57 orang yang bekerja atau mencari pekerjaan. TPAK penduduk laki-laki di Kota
Lhokseumawe lebih besar daripada penduduk perempuan. Hal ini sejalan dengan kebiasaan di masyarakat bahwa lakilaki lebih bertanggungjawab terhadap pemenuhan nafkah. Indikator ketenagakerjaan yang tak kalah penting untuk diamati adalah tingkat pengangguran terbuka.
Pengangguran terbuka didefinisikan sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan,
termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang yang temasuk angkatan kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka. Angka TPT untuk jenis kelamin laki-laki adalah 5,92 sedangkan angka TPT untuk perempuan lebih tinggi sebesar 22,64. Penggangguran terbuka sebagian besar adalah
pencari kerja, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perempuan masih membutuhkan lapangan kerja untuk mereka.
38
1.5 1.5.1
kontribusi masing-masing sektor ekonomi di suatu daerah. Dengan mengamati struktur perekonomian akan tampak seberapa besar kekuatan ekonomi suatu negara atau
daerah. Indikator makro semacam ini sangat penting bagi pengambilan keputusan untuk menentukan arah dan
sasaran kebijakan pembangunan di masa yang akan datang. Pola kegiatan ekonomi Kota Lhokseumawe sejak tahun 2007 dapat dikatakan sama. Kontribusi terbesar selalu disumbangkan oleh sektor sekunder. Walaupun
mengalami penurunan di tiap tahunnya, kontribusi sektor sekunder selalu lebih dari 50 persen. Sektor yang
mempunyai peningkatan berarti tiap tahun adalah sektor tersier. Sektor primer mempunyai kontribusi terkecil dalam perekonomian Kota Lhokseumawe. Apabila dilihat dari sektor-sektor pembentuk sektor sekunder, maka diketahui bahwa selama periode 2007 hingga 2010 sektor industri pengolahan mempunyai peranan paling besar, bahkan sangat mendominasi dalam struktur ekonomi Kota Lhokseumawe secara keseluruhan. Kendati demikian, cenderung kontribusinya mengalami dalam kurun waktu tersebut rata-rata
penurunan
dengan
penurunan 5,8 persen tiap tahunnya. Kontribusi tahun 2007 mencapai 67,32 persen dan terus menurun menjadi 49,92 persen pada tahun 2010.
39
Tabel 3.6 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Dengan Migas (persen) Sektor (1) Primer 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian Sekunder 3. Industri Pengolahan 4. Listrik & Air Minum 5. Bangunan/Konstruksi Tersier 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa PDRB
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe Ket: *) Angka Revisi **) Angka Sementara
2007 (2) 4,67 4,52 0,15 71,27 67,32 0,05 3,90 24,05 16,79 3,76 0,81 2,69 100,00
2008 (3) 4,58 4,43 0,15 67,14 62,00 0,06 5,08 28,29 20,30 4,27 0,98 2,74 100,00
2009*)
2010**) (5) 4,91 4, 74 0,17 57,76 49,92 0,09 7,75 37,32 26,77 6,09 1,48 2,98 100,00
(4) 4,77 4,61 0,16 62,49 55,84 0,07 6,58 32,75 23,45 5,09 1,26 2,95 100,00
Industri perekonomian
pengolahan wilayah
menjadi
leading karena
sector
Lhokseumawe
pengaruh
beberapa industri besar terutama industri pengolahan migas yakni PT Arun. Meskipun mengalami penurunan peranan dalam perekonomian dikarenakan produksi migas yang menurun, sektor industri pengolahan migas masih menjadi primadona dalam perekonomian Kota Lhokseumawe.
40
Sementara itu sektor bangunan/konstruksi memberikan kontribusi sebesar 7,75 persen pada tahun 2010. Sektor ini cenderung mengalami kenaikan sejak tahun 2007 sejalan dengan maraknya pembangunan properti seperti perumahan dan pertokoan di wilayah kota ini. Sektor sekunder mengalami penurunan sejalan
dengan berkurangnya peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Kota Lhokseumawe. Dua sektor lainnya yakni sektor konstruksi dan sektor listrik, air, dan gas, masing-masing mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir. signifikan Meskipun demikian share kenaikan sektor tersebut tidak karena
menaikkan
sekunder
dominasi sektor industri pengolahan yang cukup besar. Secara keseluruhan, kontribusi terbesar kedua pada perekonomian Lhokseumawe selama empat tahun terakhir diberikan oleh sektor tersier terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini mengalami kenaikan dari share sebesar 16,79 persen pada tahun 2007 menjadi 26,77 persen pada tahun 2010. Sektor yang mempunyai sumbangan terbesar kedua terhadap sektor tersier Sektor adalah ini sektor
perhubungan
dan
komunikasi.
mengalami
kenaikan rata-rata satu persen selama empat tahun terakhir. Sektor pendukung sektor tersier rata-rata semua mengalami kenaikan share selama empat tahun terakhir. Hal ini menyebabkan sektor tersier juga terdukung kenaikannya. Sektor jasa-jasa mengalami kenaikan meskipun cenderung stabil selama empat tahun, sedangkan sektor keuangan,
41
persewaan, dan jasa perusahaan mempunyai kontribusi sebesar 0,81 1,48 persen. Sektor pertanian mempunyai andil yang cenderung stabil dalam perekonomian Kota Lhokseumawe dengan besaran 4,67 4,91 persen. Sektor ini sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 seiring dengan menurunnya share sektor pertanian, sektor pendukung utama sektor primer. Penurunannya cenderung sangat kecil hanya sebesar 0,09 persen dan pada tahun 2009 sektor pertanian kembali mengalami kenaikan menjadi 4,61 persen. Pada tahun 2010 peranan sektor pertanian adalah sebesar 4,71 persen; terbesar kelima dalam perekonomian Kota Lhokseumawe. Konversi lahan pertanian yang terjadi sebagai konsekuensi dari wilayah yang berstatus kota memerlukan perhatian lebih. Konversi lahan yang terjadi harus diusahakan ke sektor-sektor produktif agar perekonomian tetap stabil, bahkan meningkat. Berbeda dengan sektor pertanian, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian sebagai bagian dari sektor primer sangat kecil dan juga cenderung stabil. Kontribusi yang diberikan terhadap perekonomian Kota Lhokseumawe hanya sebesar 0,15 persen pada tahun 2007 dan empat tahun kemudian, yaitu tahun 2010 menunjukkan besaran yang mengalami hanya sedikit kenaikan menjadi 0,17 persen. Berdasarkan struktur perekonomian yang terbentuk sepanjang periode 2007 hingga 2010, masih mengukuhkan
42
Kota Lhokseumawe sebagai kota indutri migas terbesar di Aceh, dengan kontribusi kelompok sektor sekunder
mencapai lebih dari 50 persen terhadap perekonomian Kota Lhokseumawe sendiri. Kontribusi yang telah diberikan oleh masing-masing kelompok sektor tentunya harus lebih
dioptimalkan, meskipun nantinya optimalisasi kontribusi ini tentunya akan sangat tergantung pada kinerja ekonomi masing-masing sektor di tahun-tahun yang akan datang. Gambar 3.2 Peranan PDRB Dengan Migas Kota Lhokseumawe Tahun 2010
Sementara itu jika sektor migas dikeluarkan dari peranannya terhadap perekonomian Kota Lhokseumawe, akan terlihat bahwa PDRB tahun 2010 didominasi oleh kelompok tersier. Share sebesar 72,5 persen diberikan oleh sektor tersier. Besaran share sektor tersier terhadap
43
perekonomian Kota Lhokseumawe tanpa migas, sangat mendominasi karena jauh diatas 50 persen.
Tabel 3.7 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Tanpa Migas (persen) Sektor (1) Primer 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian Sekunder 3. Industri Pengolahan 4. Listrik & Air Minum 5. Bangunan/Konstruksi Tersier 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa PDRB
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe Ket: *) Angka Revisi **) Angka Sementara
2007 (2) 13,80 13,37 0,43 15,12 3,45 0,14 11,53 71,08 49,62 11,11 2,39 7,96 100,00
2008 (3) 11,69 11,32 0,37 16,01 2,88 0,14 12,98 72,30 51,88 10,92 2,51 6,99 100,00
2009*)
2010**) (5) 9,53 9, 20 0,33 17,97 2,74 0,17 15,06 72,50 52,00 11,84 2,88 5,79 100,00
(4) 10,52 10,17 0,34 17,27 2,61 0,15 14,51 72,21 51,71 11,23 2,78 6,50 100,00
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi terbesar dari total PDRB tanpa migas dan merupakan leading sector dari sektor tersier. Sektor ini terus meningkat dari tahun ke tahun, walaupun kenaikannya cenderung stabil. Sektor pengangkutan & komunikasi serta
44
sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan juga semakin meningkat dalam kurun waktu 2007-2010 dengan peningkatan yang relatif kecil. Sektor jasa-jasa mengalami penurunan share selama kurun waktu empat tahun, dari 7,96 persen pada 2007 menjadi 5,79 persen pada 2010. Kelompok primer berada pada posisi kedua terbesar peranannya dalam pembentukan PDRB Kota Lhokseumawe. Pada tahun 2010 kelompok primer ini memberikan
kontribusi sebesar 9,53 persen. Namun, kontribusi yang diberikan cenderung menurun setiap tahunnya. Misalnya saja pada tahun 2007 kontribusi kelompok ini mencapai angka 13,80 persen dan menjadi 9,53 persen pada tahun 2010. Sektor yang dominan pada kelompok primer adalah sektor pertanian dimana pada tahun 2010 memberikan kontribusi sebesar 9,20 persen. Sementara itu peranan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang tidak lebih dari setengah persen sejak periode 2007-2010. Yang berada di posisi ketiga adalah kelompok
sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik dan air bersih serta sektor konstruksi. Kelompok sekunder ini lebih didominasi oleh sektor konstruksi yang memberikan kontribusi sebesar 15,06 persen pada tahun 2010. Sektor konstruksi juga menunjukkan kecenderungan meningkat peranannya setiap tahun. Sementara itu sektor industri pengolahan
memberikan kontribusi sebesa 2,74 persen pada tahun 2010. Sedangkan sektor listrik dan air bersih kontribusinya
45
masih sangat kecil baru mencapai 0,17 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Lhokseumawe tahun 2010. Sektor ini juga merupakan sektor yang paling kecil kontribusinya terhadap nilai PDRB.
Gambar 3.3 Peranan PDRB Tanpa Migas Kota Lhokseumawe Tahun 2010
1.5.2
satu ukuran kinerja pembangunan daerah khususnya di bidang perekonomian. Pertumbuhan ekonomi ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan, yaitu dengan menghilangkan faktor perubahan harga (inflasi) dan menggunakan faktor pengali harga konstan (at constant price inflation factor) sehingga diperoleh gambaran
46
Sesuai dengan panduan dari The System of National Accounts 1993 (SNA), pembagian nilai pertumbuhan
ekonomi untuk negara Indonesia dibagi ke dalam dua bagian, yaitu pertumbuhan PDRB Dengan Migas dan Tanpa Migas. Nilai pertumbuhan PDRB Kota Lhokseumawe dengan dan tanpa migas adalah tidak sama karena kegiatan sub sektor pertambangan dan industri pengolahan migas
terdapat di kota ini, bahkan menjadi leading sector. Pertumbuhan ekonomi Kota Lhokseumawe sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor industri, terutama industri minyak dan gas. Selama kurun waktu 2007 hingga 2010, pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan yang menurun seiring dengan menurunnya pertumbuhan sektor industri pengolahan di Kota Lhokseumawe yang didominasi industri gas alam cair oleh PT Arun, NGL. Dengan memasukkan unsur minyak dan gas,
pertumbuhan ekonomi Kota Lhokseumawe masih minus yaitu minus 6,45 persen. Meskipun demikian, angka
pertumbuhan ini mengalami kenaikan sebesar 0,12 persen dari tahun sebelumnya. Sektor yang mengalami
pertumbuhan minus adalah sektor industri pengolahan. Selain itu, sektor yang mengalami penurunan adalah sektor jasa-jasa. Tanpa faktor minyak dan gas, sektor listrik dan air minum adalah sektor dengan pertumbuhan terbesar.
Adapun sektor dengan kenaikan pertumbuhan terbesar adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.
47
Sektor
pertanian
adalah pada
sektor tahun
yang 2010
mengalami walaupun
pertumbuhan
terkecil
pertumbuhannya sudah mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Tabel 3.8 Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi Dalam PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Sektor, 2007-2010 Dengan dan Tanpa Migas (persen)
Sektor (1) 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3a. Industri Pengolahan 3b. Industri Pengolahan 4. Listrik & Air Minum 5. Bangunan/Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa PDRB Dengan Migas PDRB Tanpa Migas
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe Ket: *) Angka Revisi **) Angka Sementara
2007 (2) (2,39) 4,35 (16,37) 2,12 38,20 7,31 21,28 13,03 17,03 3,01 (7,81) 12,11
2008 (3) 1,23 2,81 (12,56) 4,05 7,13 6,64 9,41 3,96 5,43 3,05 (5,69) 6,38
2009*)
2010**) (5) 2, 22 5,26 (17,19) 2,29 12,26 4,41 8,07 5,02 8,75 2,85 (6,45) 5,93
(4) 1,54 3,29 (15,08) 2,35 10,76 4,29 7,94 4,58 5,51 3,51 (6,57) 5,66
Pertumbuhan
ekonomi
Kota
Lhokseumawe
tanpa
memasukkan unsur minyak dan gas tahun 2010 sebesar 5,93 persen yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Secara sektoral di tahun 2010 seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan
48
positif dan pertumbuhan tertinggi secara berturut-turut dialami oleh sektor listrik dan air bersih sebesar 12,26 persen; sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan sebesar 8,75 persen; sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,07 persen; pertambangan dan penggalian 5,26 persen; pengangkutan dan komunikasi 5,02 persen; konstruksi 4,41 persen; jasa-jasa 2,85 persen; industri pengolahan 2,29 persen; serta sektor pertanian tumbuh terkecil yaitu sekitar 2,22 persen.
49
INDIKATOR KESEHATAN
IV
Kondisi kesehatan penduduk merupakan salah satu modal bagi keberhasilan pembangunan bangsa. Hal ini dikarenakan aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebagai pelaku
pembangunan. Kondisi kesehatan penduduk dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi derajat kesehatan dan dari sisi status kesehatan. Derajat kesehatan penduduk dapat diukur
melalui angka kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Harapan Hidup (Life Expectancy at Birth). Dua ukuran ini merupakan indikator penting dalam
penghitungan IPM. Angka harapan hidup memberikan banyak arti dalam kaitannya dengan berbagai faktor kehidupan masyarakat. Angka harapan hidup atau yang dikenal dengan istilah Life Expectancy at Birth merupakan rata-rata peluang hidup penduduk. Dari angka harapan hidup tersebut tercermin tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya kualitas
kesehatan penduduk di suatu wilayah. Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi, maka angka harapan hidup penduduk di Kota Lhokseumawe pun mengalami peningkatan. Secara perlahan peluang hidup penduduk di Kota Lhokseumawe menunjukkan perbaikan pada tahun 2010. Angka harapan hidup penduduk kota ini
51
pada tahun 2010 mencapai 70,81 tahun, sedikit lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 70,41 tahun. Hal ini berarti pada tahun tersebut penduduk Kota
Lhokseumawe memiliki harapan hidup sekitar hampir 71 tahun. Gambar 4.1 Angka Harapan Hidup di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010
52
INDIKATOR PENDIDIKAN
Pada era globalisasi saat ini keberhasilan suatu bangsa di ajang internasional tidak lagi hanya ditentukan oleh keunggulan komparatif, seperti kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Akan tetapi, akan lebih ditentukan oleh keunggulan kompetitif yang dalam hal ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. bertitik pendidikan. upaya Peningkatan tolak Oleh untuk pada karena kualitas upaya itu,
manusia bidang
sebagai
suatu
meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi instrumen yang sangat penting. Melalui pendidikan diharapkan akan terbentuk SDM berkualitas dan berdaya guna bagi
pembangunan. Bagi pemerintah keuntungan yang akan diperoleh dari investasi di bidang pendidikan antara lain bahwa pendidikan merupakan salah satu cara memerangi kemiskinan,
mengurangi ketimpangan pendapatan, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Adapun bagi masyarakat,
pendidikan yang semakin baik merupakan modal dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan mereka. Untuk mengetahui perkembangan pembangunan
54
kondisi pendidikan penduduk melalui pendekatan indikator turunan dari IPM. 5.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kualitas sumber daya manusia secara spesifik dapat digambarkan dari tingkat pendidikan penduduk. Komposisi penduduk memberikan menurut gambaran pendidikan tentang yang kualitas ditamatkan sumberdaya
manusia. Kebutuhan akan tenaga kerja berpendidikan tinggi dirasakan sangat penting bagi kepentingan pembangunan. Hal ini berkaitan dengan daya saing SDM antar daerah dalam menghadapi era kompetisi global di masa mendatang. Penduduk Kota Lhokseumawe yang berumur 10 tahun ke atas pada tahun 2010 yang berijazah (pendidikan tertinggi yang ditamatkan) SMA sederajat sebesar 34,46 persen; berijazah SMP sederajat sebanyak 21,32 persen; SD
sederajat sebanyak 20,13 persen; dan perguruan tinggi sebanyak 10,69 persen. Sementara itu persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang belum/tidak tamat SD adalah 13,40 persen. Berdasarkan fakta bahwa sebagaian besar penduduk berpendidikan SMA sederajat, maka pembangunan sumber daya manusia di bidang pendidikan di Kota Lhokseumawe dapat dikatakan telah berlangsung dengan baik karena sebagian besar penduduk telah melampaui Program Wajib Belajar 9 Tahun. Hal ini berkaitan dengan daya saing dengan sumber daya manusia daerah lain dalam menghadapi era
55
kompetisi global di masa mendatang. Dengan kualifikasi penduduk di bidang pendidikan yang cukup, diharapkan Kota Lhokseumawe mampu menghadapi persaingan
tersebut. Penduduk yang berpendidikan akan menambah peluang partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Gambar 5.1 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Kota Lhokseumawe Tahun 2010
5.2 Angka Melek Huruf Pada tingkat makro ukuran yang sangat mendasar dari pendidikan adalah kemampuan baca tulis penduduk.
Minimal penduduk harus mempunyai kemampuan membaca dan menulis agar dapat menerima informasi secara tertulis, dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan, dan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara wajar. Dengan kata lain, kemampuan baca tulis merupakan 56
keterampilan minimum yang dibutuhkan penduduk untuk dapat menuju hidup sejahtera. Dalam penghitungan IPM, kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis dilihat dari angka melek huruf (Literacy Rate) penduduk umur 15 tahun ke atas. Pada tahun 2010 angka melek huruf penduduk Kota Lhokseumawe umur 15 tahun ke atas mencapai 99,62 persen. Dengan kata lain, sebesar 0,38 persen penduduk umur 15 tahun ke atas di kota ini belum atau tidak dapat membaca dan menulis. Namun, dapat dimaklumi karena pada umumnya penduduk yang belum atau tidak membaca dan menulis tersebut terkonsentrasi pada penduduk
kelompok umur tua. Gambar 5.2 Angka Melek Huruf di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010
57
5.3 Rata-rata Lama Sekolah Ukuran lain dari pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (Mean Years School). Secara umum indikator ini menunjukkan jenjang pendidikan yang telah dicapai oleh penduduk dewasa (15 tahun ke atas). Semakin tinggi angka rata-rata lama sekolah penduduk, berarti semakin baik tingkat pendidikan tersebut. Pada tahun 2010 rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Kota Lhokseumawe mencapai 9,99 tahun. Artinya, mayoritas penduduk dewasa di kota ini pernah mengenyam pendidikan formal antara 9 sampai 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Kota Lhokseumawe umur 15 tahun ke atas telah mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SMP. Program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah dapat dikatakan telah terwujud. Gambar 5.3 Rata-rata Lama Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010
58
VI
variabel yang
Daya
beli
masyarakat
merupakan
mencerminkan kemampuan masyarakat dalam membeli barang-barang dan jasa. Tingkat daya beli masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pendapatan, pengeluaran konsumsi, indeks harga konsumen, dan indeks kemahalan. Oleh karena itu, pendapatan yang tinggi tidak menjamin daya beli masyarakat yang tinggi pula. Faktor inflasi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan seberapa riil nilai uang yang dimilki masyarakat. Artinya, seberapa mampu masyarakat belanja dengan uang yang dipegangnya. Jika dilihat kemampuan membeli barang dan jasa (daya beli) antar wilayah, maka daya beli itu sendiri merupakan sesuatu yang relatif. Artinya, pertanyaan
Apakah daya beli masyarakat suatu wilayah lebih baik dari daya beli masyarakat di wilayah lain, maka faktor relatif-nya daya beli tersebut melatarbelakangi penghitungan indeks kemahalan.
6.1 Pengeluaran Konsumsi Per Kapita Pengeluaran konsumsi merupakan variabel yang
memiliki kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Oleh karena itu, pengeluaran 59
konsumsi per kapita adalah variabel yang cukup penting sebagai alat pemantau perkembangan standar hidup
penduduk di suatu wilayah. Sebagai contoh, penentuan jumlah penduduk miskin di suatu wilayah ditentukan berdasarkan pengeluaran konsumsi per kapita penduduk. Selain itu, pengeluaran konsumsi per kapita ini juga merupakan perkiraan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah. Bagi penduduk dengan pendapatan
menengah ke bawah penggunaan uang untuk pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran terbesar di banding pengeluaran non konsumsi. Tabel 6.1 Pengeluaran Konsumsi Masyarakat
Kota Lhokseumawe dan Propinsi Aceh Tahun 2009-2010 (Rp)
Persentase Rata-rata Persentase Rata-rata Rata-rata pengeluaran Rata-rata pengeluaran Pengeluaran pengeluaran bukan pengeluaran makanan per kapita bukan makanan makanan sebulan makanan sebulan sebulan sebulan
Tahun
Wilayah
2009 Kota Lhokseumawe Propinsi Aceh 2010 Kota Lhokseumawe Propinsi Aceh
Nilai pengeluaran konsumsi masyarakat diperoleh dari kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dari tabel terlihat bahwa pengeluaran rata-rata per bulan
60
daripada pengeluaran bukan makanan. Nilai pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Kota Lhokseumawe lebih tinggi daripada rata-rata pengeluaran untuk Propinsi Aceh. Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya dapat menggunakan indikator pendapatan per kapita. Indikator ini didapatkan dari besaran nilai PDRB per kapita. Pendapaten per kapita merupakan nilai perkiraan pendapatan per jumlah penduduk selama satu tahun. Perkembangan pendapatan per kapita Kota Lhokseumawe atas dasar harga berlaku tahun 2007-2010 dengan atau tanpa migas dapat dilihat pada tabel 6.2.
Tabel 6.2 Pendapatan Per Kapita Kota Lhokseumawe Tahun 2007-2010 (Rp) ADHB Dengan Migas
(1) (2)
Tahun
ADHK 2000
Tanpa Migas
(3)
Untuk melihat seberapa besar tingkat pertumbuhan per kapita secara riil akibat peningkatan output adalah dengan memperhatikan perkembangan pendapatan per
kapita atas dasar harga konstan. Atas dasar harga konstan tahun 2000, pendapatan per kapita penduduk Kota
61
migas meningkat 12,28 persen. Tahun 2007 pendapatan per kapita tersebut sebesar Rp 11.470.415,75 dan meningkat menjadi Rp 12.878.843,73 pada tahun 2010. Jadi, secara rata-rata hanya mengalami peningkatan 3,07 persen per tahun. Pengaruh sektor migas terhadap pendapatan
penduduk cukup besar. Kendati demikian pengaruh sektor ini memberikan dampak penurunan terhadap pendapatan per kapita penduduk karena produktivitas ataupun output dari sektor ini mengalami penurunan tiap tahunnya. Baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan,
pendapatan per kapita dengan memasukkan nilai sektor migas akan mengalami penurunan. Pendapatan per kapita penduduk Kota Lhokseumawe atas dasar harga berlaku pada tahun 2010 tanpa sektor migas adalah sebesar Rp 31.978.315,17. Nilai ini mengalami peningkatan sebesar 58,87 persen dari tahun 2007. Dengan demikian nilai pertumbuhan pendapatan per tahunnya adalah sebesar 14,72 persen.
6.2 Daya Beli Penduduk Berdasarkan data pengeluaran per kapita penduduk, maka dapat dilihat bagaimana tingkat daya beli penduduk di Kota Lhokseumawe. Tingkat daya beli penduduk ini
menggambarkan kondisi relatif daya beli antar wilayah dan antar waktu. Pada penghitungan IPM, daya beli penduduk disesuaikan dengan komponen lain, seperti indeks harga dan
62
indeks kemahalan melalui formula Atkinson. Oleh karena itu, angka daya beli yang dihasilkan tidak dapat
diinterpretasikan berdasarkan angka nominal, melainkan harus diinterpretasikan secara riil dengan membandingkan antar wilayah dan antar waktu. Angka daya beli ini dibaca sebagai nilai pada kondisi tahun 2000. Gambar 6.1 Pengeluaran per Kapita Disesuaikan Kota Lhokseumawe Tahun 20062010 (Rp 000)
Perkembangan
daya
beli
masyarakat
Kota
Lhokseumawe berangsur menunjukkan peningkatan. Setelah ditimbang dengan indeks harga konsumen, indeks
kemahalan, dan disesuaikan dengan formula Atkinson, maka daya beli penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2010
mencapai Rp 634.070. Artinya, karena daya beli telah ditimbang dengan faktor indeks harga (tahun dasar 2000), maka kemampuan penduduk membeli barang dan jasa selama satu tahun tersebut setara dengan nilai uang sebesar 63
Rp 634.070,- di tahun 2000. Besaran ini meningkat apabila dibandingkan 621.490. Nilai indeks daya beli Kota Lhokseumawe tahun 2010 adalah sebesar 63,34. Indeks ini mengalami kenaikan setiap tahun, dari tahun 2006 sebesar 60,43; tahun 2007 sebesar 62,00; tahun 2008 sebesar 62,57; dan tahun 2009 sebesar 63,34. Gambar 6.2 Indeks Daya Beli Kota Lhokseumawe Tahun 20062010 dengan tahun 2007 yang mencapai Rp
64
PERKEMBANGAN IPM
VII
7.1 Indeks Pembangunan Manusia Berdasarkan empat variabel yaitu angka harapan hidup, tingkat melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan daya beli masyarakat diperoleh indeks harapan hidup, indeks pengetahuan, dan indeks standar hidup layak. Dari ketiga indeks ini dihasilkan indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Lhokseumawe. Gambar 7.1 Perkembangan IPM Kota Lhokseumawe dan Beberapa Kabupaten/Kota Lainnya di Aceh Tahun 2006 - 2010
65
Apabila dibandingkan antar kabupaten/kota di Aceh, kondisi pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe berada di peringkat kedua di bawah Kota Banda Aceh. Jika dibandingkan Lhokseumawe dengan berada IPM di rata-rata atas Aceh, IPM Kota
rata-rata
pembangunan
manusia di Aceh. Kondisi ini disebabkan pembangunan manusia di seluruh aspek, bidang kesehatan yang
dicerminkan oleh angka harapan hidup, bidang pendidikan yang dicerminkan oleh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf, serta bidang ekonomi yang dicerminkan oleh daya beli masyarakat, berada di atas rata-rata Aceh. Nilai IPM Kota Lhokseumawe berselisih tipis dengan Kota Sabang yang menempati peringkat ketiga di Aceh. Peringkat berikutnya yaitu Kota Langsa kemudian
Kabupaten Aceh Tengah. Sementara kabupaten induk Aceh Utara menduduki peringkat ke delapan se-Aceh. Propinsi Aceh sendiri menempati peringkat ke-17 IPM secara
nasional. Pada tahun 2010 angka IPM Kota Lhokseumawe mencapai 76,10. Selama kurun waktu 2006 sampai 2010 angka IPM kota ini menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Selain itu, selama lima tahun terakhir status pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe masuk dalam kategori menengah atas. Hal ini ditunjukkan dari angka IPM yang selalu berada di atas angka 66. Pada tahun 2010 indeks pendidikan (pengetahuan) sebesar 88,61 diatas indeks harapan hidup sebesar 76,35
66
dan indeks daya beli (standar hidup layak) sebesar 63,34. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pencapaian pembangunan manusia di bidang dengan pendidikan bidang relatif lebih dan baik jika
dibandingkan
kesehatan
ekonomi.
Tingginya nilai indeks pendidikan ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan berbagai perguruan tinggi, meningkatnya jumlah sarana pendidikan, dan berkurangnya angka putus sekolah. Lhokseumawe merupakan kota terbesar kedua di Propinsi Aceh dimana keadaan fasilitas penunjang
pembangunan manusia seperti pendidikan dan kesehatan telah cukup memadai. Table 7.1 dan 7.2 menunjukkan banyaknya sarana pendidikan (sekolah) dan sarana
kesehatan pada tahun 2010 di Kota Lhokseumawe, baik negeri maupun swasta. Tabel 7.1 Jumlah Sarana Pendidikan Lhokseumawe Tahun 2010 di Kota
Kecamatan
(1)
SD/MI
(2)
13 18 10 28 69
7 8 8 12 35
2 7 6 12 27
2 5 0 3 10
67
Jumlah memberikan
sarana kesempatan
pendidikan kepada
yang masyarakat
memadai untuk
meneruskan pendidikan sampai ke jenjang yang diinginkan, tidak hanya sampai pada level pendidikan dasar dan menengah namun juga sampai ke level perguruan tinggi. Lokasi akademi atau perguruan tinggi yang berada di kawasan Kota Lhokseumawe menambah iklim pendidikan menjadi lebih maju karena akses terhadap sarana
pendidikan menjadi semakin mudah. Selain itu kemajuan sector pendidikan dapat meningkatkan indeks pendidikan melalui persentase melek huruf dan rata-rata lamanya bersekolah. Tabel 7.2 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Lhokseumawe Tahun 2010
Sarana Kesehatan Dasar No Kecamatan Polin Praktek Puskes Posyan des & Toko Pustu Pusling Dokter mas du Poskes Obat des
(3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
(1)
(2)
1 2 3 4
0 10 0 26 36
2 1 1 2 6
7 4 2 8 21
2 1 1 2 6
29 24 15 32 100
12 8 10 4 34
4 4 5 12 25
68
Meskipun letak Rumah Sakit Umum Daerah yang agak jauh dari pusat kota, tidak menjadi penyebab
masyarakat yang bertempat tinggal di pusat kota kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Terdapat praktek dokter dan rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Dengan adanya sarana kesehatan yang mencukupi juga dapat menekan angka kematian bayi dan kematian maternal. Secara tidak langsung hal ini dapat meningkatkan angka harapan hidup bagi masyarakat Kota Lhokseumawe. 7.2 Shortfall IPM Angka shortfall diilustrasikan sebagai rasio
pencapaian kesenjangan antara jarak yang sudah ditempuh terhadap jarak yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi ideal (IPM=100). Jadi, semakin besar nilai shortfall, maka semakin cepat waktu yang akan ditempuh untuk menuju kondisi pembangunan manusia yang diharapkan. Nilai shortfall ini sangat erat kaitannya dengan evaluasi percepatan pembangunan manusia di suatu daerah.
Berdasarkan angka IPM yang disajikan pada gambar 7.2 diketahui bahwa nilai shortfall (r) tahun 2010 sebesar 2,28. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 2,14. Hal ini berarti pada tahun 2010 terjadi percepatan dalam pencapaian kondisi ideal dibanding tahun sebelumnya.
69
Gambar 7.2 Perkembangan Reduksi Shortfall IPM Kota Lhokseumawe Tahun 2006 - 2010
Untuk mencapai kondisi IPM ideal bukan merupakan hal yang mudah. Berbagai faktor harus diperhatikan oleh pihak pemerintah baik pusat maupun daerah. Pertama, masalah kesehatan, akses ke sarana kesehatan dan fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, bidan desa, dan tenaga kesehatan yang lain harus cukup. Selain itu, program imunisasi bayi dan penyuluhan bagi masyarakat maupun ibu hamil dan menyusui harus terus digalakkan. Kedua, masalah pendidikan, jumlah dan daya
tampung sekolah, kualitas sekolah, kualitas pengajar, rasio murid guru yang ideal serta akses ke sarana pendidikan baik tingkat SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi sudah harus ada dan memadai. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu syarat kondisi ideal pembangunan manusia adalah pendidikan yang ditamatkan tiap penduduk minimal
Selain aspek kesehatan dan pendidikan, hal penting lainnya adalah masalah perekonomian penduduk. Tingkat perekonomian masyarakat yang berhasil tidak cukup hanya diukur dari tingginya PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), namun harus lebih menyentuh ke masyarakat, yaitu dengan tingginya daya beli. Diharapkan dengan pendapatan per kapita yang tinggi disertai inflasi yang rendah dan relatif stabil akan
meningkatkan daya beli masyarakat. Pada dasarnya dalam pembangunan manusia tidak hanya pihak pemerintah saja yang berperan. Masyarakat dituntut berpartisipasi aktif, sedangkan pihak pemerintah hanya sebagai fasilitator. Dengan kata lain, masyarakat
tidak hanya sebagai obyek pembangunan, tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan pendidikan dapat membantu meningkatkan
pembangunan manusia. Dengan kesehatan yang terjamin dan pendidikan yang tinggi masyarakat dapat dengan lancar beraktivitas menggali potensi-potensi yang ada dengan
bekerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini berdampak pada tingginya pendapatan yang diperoleh. Pendapatan yang tinggi tentu akan mendongkrak daya beli masyarakat sehingga perekonomian dapat berjalan stabil.
71
VIII
8.1
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Angka harapan hidup di Kota Lhokseumawe
mencapai 70,81 tahun yang berarti rata-rata usia hidup setiap penduduk Kota Lhokseumawe
mencapai usia 70 tahun. 2. Angka melek huruf di Kota Lhokseumawe sebesar 99,62 menunjukkan masih ada 0,38 persen
penduduk usia 15 tahun ke atas masih belum bisa baca tulis. 3. Rata-rata lama sekolah penduduk di Kota
Lhokseumawe
sebesar
rata lama sekolah penduduk kota ini 9 sampai 10 tahun atau setara dengan kelas 3 SMP. Hal ini menunjukkan program wajib belajar 9 tahun sudah terwujud. 4. Daya beli penduduk tahun 2010 yang
direpresentasikan dari angka rata-rata pengeluaran riil per kapita di Kota Lhokseumawe mencapai Rp 634.070,-.
78
5. IPM Kota Lhokseumawe pada tahun 2010 mencapai 76,10; berarti tingkat pencapaian pembangunan manusia di Kota Lhokseumawe sudah di atas rata rata tingkat pencapaian pembangunan manusia di Propinsi Aceh (71,70). 6. Shortfall IPM di Kota Lhokseumawe pada tahun 2010 sebesar 2,28 menunjukkan manusia tinggi di tingkat Kota
percepatan
pembangunan termasuk
Lhokseumawe
dibandingkan
8.2
Implikasi Kebijakan
8.2.1 Identifikasi Permasalahan Pembangunan Permasalahan-permasalahan manusia yang dapat pokok pembangunan penyebab
diidentifikasi
sebagai
rendahnya indikator IPM antara lain meliputi : 1. Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi, 2. Rendahnya pendapatan per kapita, 3. Semakin bertambahnya angka pengangguran, 4. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dari sisi kesehatan dan pendidikan, serta 5. Adanya kenaikan beberapa harga barang-barang kebutuhan pokok yang dirasakan berat oleh
masyarakat sehingga mengurangi tingkat daya beli. Permasalahan dan tantangan pembangunan manusia yang dihadapi ini akan menentukan agenda, sasaran, serta
79
program pembangunan manusia yang juga harus bersifat lintas sektoral dan lintas koordinasi. Permasalahan-
permasalahn ini harus dicari penyelesaiannya secara tepat sasaran dan berangsur. Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita mengakibatkan rendah serta menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang mendasar. Kesejahteraan kemampuan masyarakat ekonomi untuk sangat dipengaruhi oleh
meningkatkan
pendapatan
peningkatan IPM sebagai manifestasi pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dalam mempeluas pilihan-pilihan (enlarging the choices of people). Untuk meningkatkan IPM, tidak hanya semata tergantung pada pertumbuhan sejalan dengan ekonomi. Agar
pertumbuhan
ekonomi
pembangunan
manusia, maka petumbuhan ekonomi harus disertai dengan syarat cukup, yaitu pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan diperlukan untuk
menjamin semua penduduk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Diketahui beberapa faktor penting dari hasil pembangunan yang sangat efektif bagi pembangunan
manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Dua faktor penting ini merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya.
80
Umumnya semakin tinggi kapabilitas dasar yang dimiliki suatu daerah, semakin tinggi peluang untuk
meningkatkan potensi wilayah tersebut. Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan untuk mempercepat pembangunan manusia, yaitu (1) distribusi pendapatan yang merata dan (2) alokasi belanja publik yang memadai untuk pendidikan dan kesehatan.
8.2.2 Strategi dan Sasaran Pembangunan Manusia Berdasarkan nilai masing-masing indikator IPM dan beberapa identifikasi penyebabnya seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka Pemerintah Kota
Lhokseumawe diharap dapat membuat implikasi kebijakan yang tepat sasaran. Implikasi kebijakan yang dapat dibuat untuk perencanaan pembangunan adalah dititikberatkan kepada rakyat peningkatan dan tentunya di atau pemberdayaan tidak perekonomian
dengan
pembangunan
bidang
kesehatan
Diharapkan dengan sedikit lebih memacu pembangunan di bidang ekonomi, daya terutama beli yang lebih maka menyentuh nantinya
peningkatan
masyarakat,
pencapaian ideal pembangunan manusia dapat tercapai secara bersamaan dengan pembangunan di bidang
kesehatan dan pendidikan. Karena jika tidak, pembangunan manusia di bidang ekonomi akan tertinggal jauh dengan pencapaian pendidikan. pembangunan di bidang ksehatan dan
81
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa rendahnya pembangunan manusia yang dicerminkan oleh rendahnya taraf kesehatan dan pendidikan penduduk disebabkan atau daya oleh beli
keterbatasan
perekonomian
penduduk yang rendah. Untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki drajat kesehatan yang baik diperlukan biaya yang besar. Hal ini akan sulit terealisasi jika daya beli penduduk masih rendah. Jika daya beli penduduk tinggi, maka pendidikan dan kesehatan penduduk dapat erjamin secara mandiri oleh penduduk itu sendiri. Sementara untuk meningkatkan daya beli, penduduk harus memiliki
kesehatan yang terjamin dan pendidikan yang memadai. Sebagai konsekuensi logis, penduduk dapat beraktivitas dengan lancar dalam rangka menggali potensi-potensi yang ada sehingga akan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan yang tinggi tentu turut mendongkrak daya beli masyarakat sehingga perekonomian dapat berjalan stabil. Oleh karena itu, permasalahan ketiga indikator IPM ini saling berkaitan dan tidak dapat dibuat kebijakan secara parsial, tetapi harus simultan. Salah satu strategi yang cukup tepat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan taraf pendidikan
masyarakat di daerah yang memiliki penduduk dengan daya beli rendah adalah melalui program pendidikan dan
kesehatan gratis (bebas biaya). Hal ini memang cukup berat bagi pemerintah karena membutuhkan anggaran yang besar, terlebih sarana dan prasarana juga harus dilengkapi. Saat
82
sudah
melaksanakan program tersebut. Artinya, program tersebut bukan merupakan hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Pada jangka pendek mungkin hanya terjadi sedikit pergeseran positif pada beberapa indikator kesehatan dan pendidikan, namun paling tidak dapat mendongkrak tingkat daya beli penduduk. Hal ini dikarenakan pendapatan yang seharusnya dikelarkan untuk akses pendidikan dan
kesehatan dapat berfungsi untuk jenis pengeluaran lain. Dalam jangka panjang akan tampak hasil yang diharapkan, yaitu tersedianya manusia Kota Lhokseumawe yang memadai yang dan
berkualitas,
memiliki
pendidikan
kesehatan yang terjamin. Hal tersebut pada akhirnya dapat menjadi modal dasar pembangunan yang baik dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pendapatan.
83