Anda di halaman 1dari 13

PROSPEK DAN FUNGSI TANAMAN OBAT SEBAGAI IMUNOMODULATOR

Sintha Suhirman* dan Christina Winarti ** * Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ** Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian ABSTRAK
Imunomodulator tampak menjadi bagian terpenting dalam dunia pengobatan. Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan tubuh di mana kebanyakan orang mudah mengalami gangguan sistem imun. Beberapa jenis tanaman obat yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator adalah Echinacea purpurea, mengkudu, jahe, meniran dan sambiloto. Masalah yang sangat penting dalam pengembangan tanaman obat adalah pasokan bahan baku, keajegan kualitas dan jaminan khasiatnya. Tujuan penulisan untuk memberikan informasi dari beberapa tanaman obat berfungsi sebagai imunomodulator.

PENDAHULUAN Sebagian besar tanaman mengandung ratusan jenis senyawa kimia, baik yang telah diketahui jenis dan khasiatnya ataupun yang belum diketahui jenis dan khasiatnya. Senyawa kimia merupakan salah satu bahan dasar dalam pembuatan obat dari berbagai hasil pengkajian menunjukkan bahwa tanaman daerah tropis mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai obat (Sukara, 2000). Usaha pencarian tanaman yang berkhasiat sebagai imunomodulator dapat diawali dari penggunaan tanaman tersebut secara empiris. Beberapa pen-

dekatan dilakukan dari berbagai aspek seperti etnobotani, etnofarmasi, etnofarmakologi dan etnomedis dilanjutkan dengan test secara in vitro. Senyawa-senyawa yang mempunyai prospek cukup baik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun biasanya dari golongan flavonoid, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E (tokoferol) dan katekin. Hasil test secara in vitro dari favonoid golongan flavones dan flavonols telah menunjukkan adanya respon imun (Hollman et al., 1996). Sedangkan katekin merupakan senyawa fenol, aktivitasnya sebagai antioksidan yang lebih tinggi daripada antioksidan sintetik seperti BHA (Butil Hidroksi Anisol) (Das, 1994). Katekin mempunyai efek antiproliferatif dan bersifat toksik terhadap sel kanker. Kebanyakan senyawa fenol telah diuji secara in vitro dan in vivo memperlihatkan kemampuan antioksidan, antiinflamasi dan antialergi. Sedangkan senyawa yang mempunyai bioaktifitas sebagai imunostimulan agent adalah golongan senyawa polisakarida, terpenoids, alkaloid dan polifenol (Wagner, 1985). Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk melindungi dan mempertahankan keutuhan tubuh dari bahaya yang menyerang tubuh. Dikatakan pula bahwa

121

imunomodulator terutama dibutuhkan untuk kondisi dimana status sistem imun akan mempengaruhi kondisi pasien dan penyebaran penyakit, seperti pada kasus terapi adjuvan yang melibatkan infeksi bakteri, fungi atau virus (Tjandrawinata et al., 2005). Menurut Djauzi (2003) penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh diantaranya adalah : (1). Infeksi virus, pada umumnya infeksi virus menurunkan imunitas. Penurunan kekebalan tubuh dapat bersifat sementara misalnya pada SARS, influenza, herpes, morbili, juga common cold (batuk pilek), tetapi dapat pula menurunkan kekebalan tubuh secara lama dan progresif misalnya HIV, (2). Kanker, pada penyakit kanker juga terjadi penurunan kekebalan tubuh dan pada kanker lanjut penurunan kekebalan tubuh menjadi lebih nyata,dan (3). Penyakit kronik, beberapa penyakit seperti diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik, tuberkolosis, lepra, juga menurunkan imunitas. Beberapa jenis tanaman obat yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator antara lain: echinacea, mengkudu, jahe, meniran dan sambiloto. Tujuan penulisan untuk memberikan informasi mengenai beberapa tanaman obat berfungsi sebagai imunomodulator. Sistem imun atau kekebalan tubuh Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan tubuh yang bertugas merespon atau menanggapi ''serangan'' dari luar tubuh kita. Saat terjadi serangan, biasanya antigen pada tubuh akan mu-

lai bertugas. Antigen bertugas menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Kelak, mekanisme inilah yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai mikro organisma seperti bakteri, virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab penyakit. Ketika sistem imun tidak bekerja optimal, tubuh akan rentan terhadap penyakit. Beberapa hal dapat mempengaruhi daya tahan tubuh. Misalnya saja karena faktor lingkungan, makanan, gaya hidup sehari-hari, stres, umur dan hormon. Untuk itu sebelum jatuh sakit, penting kiranya setiap orang menjaga gaya hidup yang sehat dan baik. Caranya dengan mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, hidup yang sehat dan higienis, tidur cukup selama delapan jam sehari, minum air putih dua liter per hari, olahraga teratur dan menjaga berat badan yang ideal. Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga. Pertama sebagai pertahanan tubuh yakni menangkal ''benda'' asing. Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen yang tua, dan ketiga, sebagai pengintai (surveillence immune system), untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi atau ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun seseorang bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit, sistem keseimbangannya juga normal. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan). Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik.

122

Beberapa contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, antibodi monoklonal, jamur dan tanaman obat (herbal). Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin dan muramil peptidase (Djauzi, 2003). Banyak cara guna meningkatkan sistem kekebalan tubuh, salah satunya melalui suplemen obat yang berfungsi sebagai imunomodulator (meningkatkan sistem imun tubuh). Saat ini tersedia banyak suplemen makanan imunomodulator, terutama yang menggunakan bahan herbal alami seperti tanaman meniran (Phyllanthus niruri). Di samping menyeimbangkan sistem imun, suplemen tersebut juga berfungsi untuk meningkatkan dan menguatkan sistem imun. TANAMAN OBAT BERFUNGSI SEBAGAI IMUNOMODULATOR Echinacea purpurea Tanaman Echinacea purpurea dapat tumbuh beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis meskipun tanaman ini berasal dari daerah sub tropis, dapat tumbuh baik pada ketinggian 450-1100 m di atas permukaan laut (Rahardjo, 2000). Untuk pertumbuhannya diperlukan penyinaran matahari penuh. Industri obat tradisional Indonesia telah menggunakan dan mengimpor ekstrak echinacea, sebagai contoh pabrik jamu dan fitofarmaka telah menghasilkan beberapa produk jamu yang bahan bakunya menggunakan echinacea.

E. purpurea telah lama digunakan di Eropa dan Amerika untuk pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi pernapasan dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri maupun virus lainnya (herpes, konjungtivitis, stomatis, dan lain-lain). Manfaat echinacea dalam pengobatan penyakit infeksi disebabkan kemampuannya untuk berperan sebagai anti inflamasi dan imunostimulan. Echinacea dapat memacu aktivitas limfosit, meningkatkan fagositosis dan menginduksi produksi interferon. Echinacea sangat berguna dalam menurunkan simtom batukpilek, flu dan sakit tenggorokan (Tyler, 1995 dalam Craig, 1999). Sesungguhnya Echinacea memiliki 9 spesies, namun hanya E. purpurea yang direkomendasikan secara luas sebagai imunomodulator. Karena ada beberapa spesies Echinacea dengan kenampakan secara fisik ada yang mirip satu sama lain maka standardisasi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Pada awalnya ada dua spesies Echinacea lainnya yaitu E. angustifolia dengan parameter komponen echinacoside dan E. pallida yang secara fisik sangat mirip dengan E. angustifolia. Kedua tanaman ini pernah dilaporkan memiliki efek imunomodulator, tetapi karena hasil uji klinisnya masih membingungkan/data tidak stabil, ditetapkan dalam Commission E Monograph bahwa kedua spesies tersebut dinyatakan tidak direkomendasikan sebagai imunomodulator.

123

E. purpurea yang dimaksud dan direkomendasikan oleh badan-badan dunia yang mengatur tentang pengobatan seperti ditetapkan dalam Commission E Monograph, adalah preparat fresh juice (diolah secara proses dingin dari bunga segar E. purpurea yang diambil hanya bagian atasnya, dipanen pada saat bunga sedang mekar). Komponen karakteristik sebagai parameter E. purpurea adalah fructofuranosida dan alkilamida (Kreuter dan Cartellieri dalam Karnen et al., 2003). Burick et al., 1997 menyebutkan bahwa tanaman Echinacea mengandung 7 grup komponen kimia yaitu polisakarida, flavonoid, asam kafeat, minyak atsiri, poliasetilen, alkilamida dan miselaneus. Komponen polisakarida yang dikenal fungsinya untuk menstimulasi sistem kekebalan tubuh dan regenerasi jaringan yang rusak serta meningkatkan jumlah sel fagosit dan makrofag diketahui adalah jenis fruktofuranosida. Selanjutnya dikatakan oleh Bauer and Wagner dalam Perry et al., 2000 bahwa aktivitas imunostimulan dari echinacea disebabkan adanya komponen polisakarida, derivat polar asam kafeat dan lipofilik alkamida. Dikatakan pula bahwa alkamida adalah satu komponen yang paling relevan untuk standardisasi simplisia Echinacea. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan ekstrak E. purpurea yang tepat dan baik adalah : (1). Jenis ekstrak harus sesuai dengan apa yang sudah digariskan menurut ketentuan secara international; (2). Proses ekstraksi harus secara proses dingin; (3). Parameter komponen terapetiknya

adalah fructofuranosida dan alkilamida. (4). Data klinis lengkap, tidak hanya dilakukan pada hewan uji. (5). Validasi dan kualitas ekstrak harus terstandarisasi secara internasional sehingga dapat dipertanggungjawabkan data kestabilan dan farmakologinya. Pada penelitian double-blind (riset tersamar ganda), dengan kontrol placebo sebanyak 180 pasien penderita penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) diberikan dosis ekstrak alkohol dari akar E. purpurea yang lebih tinggi yaitu 900 ml/hari secara bermakna mengalami penurunan demam dan periode simtom yang lebih ringan dan lebih pendek daripada kontrol atau pada dosis yang lebih rendah (450 mg/hari). Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Walaupun berbagai bagian tanaman mengkudu telah lama digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, penggunaan yang paling umum adalah mencegah dan mengobati kanker. Beberapa penelitian ilmiah membuktikan bahwa jus mengkudu dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu memperbaiki kerusakan sel, tetapi penelitian-penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk membuktikan penemuan-penemuan tersebut. Telah diketahui bahwa salah satu komponen spesifik antrakuinon yaitu damnakantal yang secara in vitro memperlihatkan efek melawan proliferasi sel kanker pada tingkat gen. Penelitian telah menunjukkan bahwa satu komponen yang diisolasi dari buah mengkudu dapat mematikan sinyal dari sel tumor untuk berproliferasi. Seperti dila-

124

porkan oleh Asahina et al. dalam Wang et al., 2002 dan Hokama (1993) bahwa ekstrak buah mengkudu pada berbagai konsentrasi dapat menghambat produksi tumor necrosis factor-alpha (TNF), yang merupakan promotor endogen tumor. Selanjutnya Hirazumi et al., 1994 melaporkan bahwa jus mengkudu dapat menekan pertumbuhan kanker Lewis Lung Carcinoma (LLC), yaitu nama sejenis kanker yang diinokulasikan ke dalam tikus percobaan melalui aktivitas sistem kekebalan tubuh inang. Hirazumi et al., 1996 melaporkan bahwa jus buah mengkudu berfungsi sebagai imunomodulator yang mempunyai efek antikanker. Hal itu disebabkan jus mengkudu mengandung substansi kaya polisakarida yang menghambat pertumbuhan tumor. Kemungkinan jus mengkudu dapat menekan pertumbuhan tumor melalui aktivasi sistem kekebalan pada inang (Hirazumi dan Furuzawa 1999). Ekstrak buah mengkudu juga mengandung xeronin dan proxeronin yang berfungsi menormalkan fungsi sel yang rusak, sehingga daya tahan tubuh meningkat. Xeronin juga berperan mengaktifkan kelenjar tiroid dan timus yang berfungsi dalam kekebalan tubuh. Hasil penelitian Wang et al., 2002 melaporkan bahwa, terjadi pembesaran kelenjar timus dengan berat 1,7 kali hewan kontrol pada hewan yang diperlakukan dengan jus mengkudu, pada hari ke-tujuh setelah meminum air yang mengandung 10% jus mengkudu. Timus merupakan organ penting dalam tubuh yang membentuk sel T, yang terlibat dalam proses fungsi imun dengan

menstimulasi pertumbuhan thymus, dan selanjutnya mempengaruhi aktivitas antipenuaan dan anti kanker, dan melindungi tubuh dari penyakit degeneratif lainnya (Wang et al., 2002). Mengkudu dapat memberikan potensi di bidang bisnis, karena mengkudu dapat dipergunakan sebagai bahan baku pada industri minuman, industri farmasi, industri kosmetik dan industri tekstil. Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Secara empiris jahe biasa digunakan masyarakat sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, anti inflamasi, dan lain-lain. Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan. Beberapa komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol, dan gingeron dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan di atas vitamin E (Kikuzaki dan Nakatani, 1993). Selain itu jahe juga mempunyai aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Disebutkan oleh Radiati et al., 2003 bahwa konsumsi ekstrak jahe dalam minuman fungsional dan obat tradisional dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mengobati diare. Hasil penelitian Zakaria et al., 1999 menunjukkan bahwa ekstrak jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang direfleksikan dalam sistem kekebalan yaitu memberikan respon kekebalan inang terhadap mikroba pangan yang masuk ke dalam tubuh. Hal itu disebabkan ekstrak jahe dapat memacu proliferasi limfosit dan menekan limfosit yang mati (Zakaria et al., 1996)

125

serta meningkatkan aktifitas fagositas makrofag (Zakaria dan Rajab, 1999). Selain itu jahe mampu menaikkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinveksi virus (Zakaria et al.,, 1999). Hasil penelitian ini menopang data empiris yang dipercaya masyarakat bahwa jahe mempunyai kapasitas sebagai anti masuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang oleh virus (influenza). Peningkatan aktivitas NK membuat tubuh tahan terhadap serangan virus karena sel ini secara khusus mampu menghancurkan sel yang terinveksi oleh virus. Selanjutnya Nurrahman et al., 1999 menyatakan bahwa mengkonsumsi jahe setiap hari dapat meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit terhadap stress oksidatif. Komponen dalam jahe yaitu gingerol dan shogaol mempunyai aktivitas antirematik. Hal ini ditunjang dengan pendapat dari Kimura et al., 1997 bahwa jahe berfungsi sebagai antiinflamasi rematik artritis kronis. Meniran (Phyllanthus niruri L.) Meniran secara empiris digunakan sebagai obat gonorrhea, infeksi saluran kencing, sakit perut, sakit gigi, demam, batu ginjal, diuretik, diabetes dan desentri. Terdapat beberapa dua jenis meniran yang banyak dijumpai dan digunakan sebagai obat, adalah P. niruri dan P. urinaria. Di beberapa negara P. niruri juga diidentifikasikan untuk spesies lain dari suku Phyllanthus. Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan tanaman yang dikenal

sebagai P. niruri sebenarnya adalah P. amarus. Di Indonesia P. niruri dan P. urinaria penggunaannya sebagai obat saling menggantikan dengan naman lokal meniran. Dilaporkan bahwa komponen aktif metabolit sekunder dalam meniran adalah flavonoid, lignan, isolignan, dan alkaloid. Komponen yang bersifat imunomodulator adalah dari golongan flavonoid, golongan flanoid mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh hingga mampu menangkal serangan virus, bakteri atau mikroba lainnya. Thyagarajan (1988) telah berhasil mengisolasi tiga senyawa aktif dari genus Phyllanthus yaitu P. amarus yang mempunyai aktivitas menghambat perkembangbiakan virus hepatitis B, meningkatkan sistem imun dan melindungi hati. Selain itu menurut Maat dalam Tjandrawinata et al., 2005 melaporkan bawa ekstrak P. niruri dapat meningkatkan aktivitas dan fungsi komponen sistem imun baik imunitas humoral maupun selular. Selanjutnya Tjandrawinata et al., 2005 telah melakukan penelitian uji pra-klinis untuk menguji aktivitas meniran. Uji pra-klinis terhadap tikus dan mencit dilakukan untuk menentukan keamanan dan karakteristik imunomodulasi. Hasil penelitian bahwa ekstrak P. niruri dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa sitokin spesifik seperti interferon-gamma, tumor nekrosis faktor-alpha dan beberapa interleukin, aktivasi sistem komplemen, aktivasi sel fagositik seperti makrofag, dan monosit. Selain itu

126

juga terjadi peningkatan sel sitotoksik seperti sel pemusnah alami natural killer cell. Selanjutnya dilakukan pula uji klinis untuk melihat efek imunomodulasi pada beberapa pasien dengan kondisi tertentu. Akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak P. niruri bekerja sebagai imunomodulator yang dapat digunakan sebagai terapi adjuvan (penunjang) untuk beberapa penyakit infeksi. Sambiloto (Androgaphis paniculata) Produksi dan mutu simplisia sambiloto sangat dipengaruhi oleh kondisi agroekologi. Dari hasil analisis mutu, sambiloto di tanam di dataran tinggi menujukkan kadar sari yang larut dalam air mempunyai kadar yang lebih tinggi dibandingkan dataran rendah (Yusron et al., 2004). Kadar sari yang larut dalam air menunjukkan indikasi adanya kandungan zat berkhasiat dalam suatu tanaman yang terlarut. Komponen aktif dari sambiloto yaitu andrographolide, 14-deoxyandrographolide dan 14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide yang diisolasi dari ekstrak metanol mempunyai efek imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV. Komponenkomponen tersebut meningkatkan proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer darah manusia (Kumar et al. dalam Elfahmi, 2006). Dari hasil penelitian Cahyaningsih et al., 2003 bahwa dengan pemberian sambiloto dosis bertingkat dengan koksidiostat (preparat sulfa) akan menaikkan heterofil pada darah ayam. Dengan penambahan dosis sambiloto akan menaikkan heterofil, kenaikkan

tersebut diduga berkaitan erat dengan fungsi ganda dari sambiloto sebagai imunosupresan dan imunostimulan (Deng, 1978; Puri et al., 1993). Heterofil merupakan salah satu komponen sistem imun yaitu sebagai penghancur bahan asing yang masuk ke dalam tubuh (Tizard, 1987). Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal (Yin dan Guo, 1993). Hal ini dikarenakan sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pituitari anterior yang berbeda di dalam otak yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal bagian kortek untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini selanjutnya akan bertindak sebagai imunosupresan (West, 1995). Efek imunosupresan akan mengakibatkan timbulnya penurunan respon imun. Menurut Puri et al., 1993 bahwa sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh baik berupa respon antigen spesifik maupun respon imun non spesifik untuk kemudian menghasilkan sel fagositosis. Respon antigen spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein yang akan mengikat antigen dan merangsang proses fagositosis (Decker, 2000).

127

PROSPEK TANAMAN OBAT SEBAGAI IMUNOMODULATOR Akhir-akhir ini di pasaran banyak dijumpai obat atau suplemen dengan klaim bisa meningkatkan sistem imun tubuh yang berasal dari herbal. Produk tersebut dijumpai dalam bentuk tablet maupun sirup dalam kemasan modern. Meningkatnya jenis suplemen di pasaran berkaitan dengan tingginya permintaan mengenai jenis suplemen tersebut. Hal ini tidak lepas dari semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan dan sehubungan dengan semakin tingginya biaya kesehatan apabila sudah terjangkit penyakit. Selain itu semakin banyaknya faktor-faktor yang bisa menurunkan kekebalan tubuh seseorang seperti tingginya tingkat polusi, perubahan gaya hidup dan pola makan, dan banyaknya wabah penyakit serta perubahan cuaca. Karena hampir tidak mungkin untuk menghindarkan diri dari berbagai kondisi yang merugikan tersebut, maka yang diperlukan adalah bagaimana mencegah agar segala gangguan tadi tidak menyebabkan penyakit, dengan meningkatkan daya tahan tubuh. Cerahnya prospek imunomodulator dari bahan alami dikarenakan saat ini ilmu kedokteran sudah mulai meninggalkan imunomodulator yang terbuat dari bahan kimia dan memilih menggunakan imunomodulator dari berbagai jenis tumbuhan yang sudah terbukti meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu mencegah influenza. Hal itu senada dengan

pernyataan bahwa saat ini obat yang berfungsi sebagai imunomodulator kebanyakan berasal dari bahan herbal. Sebagai salah satu bentuk pangan fungsional, yaitu bahan pangan yang mempunyai khasiat fisiologis bagi tubuh, diantaranya meningkatkan imunitas, prospek imunomodulator dari bahan alami sangat baik. Menurut Silalahi (2005) sifat pangan fungsional antara lain adalah dapat mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan imunitas, serta memperlambat proses penuaan. Menurut ramalan Euro Monitor Internasional, penjualan produk pangan fungsional dan pangan fortifikasi di Australia dan Asia akan mencapai 1,6 milyar dolar AS pada tahun 2009. Angka ini berarti peningkatan sebesar 29% dari tahun 2004. Sedangkan di Amerika Utara pada tahun yang sama peningkatannya lebih tinggi yaitu mencapai 36%, dengan angka penjualan sebesar 22,4 milyar dolar AS (Haryadi, 2006). Sementara itu untuk imunomodulator, pasarnya mencapai 43 milyar dolar pada tahun 2006, dan diharapkan meningkat sebesar 13% mencapai 80 milyar dolar pada tahun 2011 (www. globalbussinesinsight.com). Echinacea sebagai salah satu imunomodulator yang popular di dunia barat, pada dua tahun terakhir menduduki rangking pertama penjualan suplemen herbal di pasaran pangan alami. Nilai penjualan Echinacea mencapai 33 juta dolar selama setahun sampai akhir juli 1998 (Flannery, 2005). Sedangkan menurut Danutirto, (2001) berdasarkan volume dan nilai jual di pasar dunia, echinacea menduduki peringkat kedua di Ame-

128

rika setelah tanaman St. Johns Wort dengan nilai penjualan mencapai US $ 17.037.000 dan peringkat ketiga di pasar Eropa. Peningkatan volume penggunaan simplisia dari echinacea di Amerika sebesar 67,9% ada tahun 1999 dengan peningkatan penjualan mencapai 56,3%. Kebutuhan echinacea di pasar dunia terus meningkat, diantaranya dengan adanya gerakan back to nature yang menyebabkan beralihnya minat penggunaan obat dari bahan alami untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat sintetis. Faktor-faktor yang mempengaruhi tanaman obat sebagai imunomodulator dan penanganan masalahnya Banyak faktor yang mempengaruhi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan tanaman obat yang berfungsi sebagai imunomodulator, diantaranya : Pembudidayaan tanaman Pada aspek pembudidayaan tanaman obat diperlukan peningkatan dan kesinambungan agar sumber bahan obat tersebut tidak mengalami kepunahan, selama ini tanaman obat belum dibudidayakan secara meluas, hanya ditanam sesuai dengan kebutuhan saja, budidaya tanaman obat mash bersifat sporadis, berbentuk petak-petak lahan kecil atau pekarangan, yang hasilnya tidak direncanakan sebagai komoditi utama. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang demikian besar, budidaya perlu lebih dikembangkan menjadi agroindustri dengan lahan luas dengan melibatkan investor, petani dan industri (usaha kemitraan dan binaan industri

pengolah tumbuhan obat seperti pabrik jamu). Standarisasi bahan baku Penjualan bahan simplisia di pasaran pada umumnya merupakan bahan yang belum distandarisasi. Standarisasi bahan baku baru dilakukan di tingkat industri besar saja yang sudah memproduksi bahan-bahan fitofarmaka. Perlu adanya iptek kefarmasian, terutama di bidang ekstraksi, analisis dan teknologi proses sehingga dapat menerima ekstrak sebagai bentuk bahan yang dipertanggungjawabkan mutu dan keajegan kandungan kimianya. Oleh karena itu bahan terstandar baik sebagai bahan baku maupun bahan produk dapat dipertanggungjawabkan dari aspek konsep keamanan, farmakologi dan khasiatnya. Dosis obat Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan obat fitofarmaka adalah dosis obat dan cara aplikasi obat belum jelas, konsistensi dosis dari minum obat pertama, kedua dan seterusnya kurang konsistensi. Hal ini disebabkan data dosis respon dari studi klinis masih terbatas, belum semua jenis obat telah melalui prosedur standar sampai uji klinis. Selain itu juga mengenai reprodusibilitas metode preparasi obat fitofarmaka. Hal itu disebabkan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai suatu jenis obat fitofarmaka kadangkala hasilnya tidak stabil/reprodusibel.

129

Aspek agribisnis Pengembangan tanaman obat melalui agribisnis diharapkan sangat strategis dalam mengantisipasi perkembangan yang pesat di bidang pemanfaatan tanaman obat sebagai komoditas perdagangan di samping sasaran utama untuk peningkatan kesehatan masyarakat, melalui pembangunan industri obat tradisional/industri jamu, fitofarmaka dan kosmetik. Pengembangan tanaman obat harus berorientasi pada potensi pemasaran/pemanfaatannya yang diperluas, sehingga satu jenis tanaman obat digunakan untuk berbagai produk industri yang mendukung proses kinerja suatu pabrik sepanjang tahun seperti untuk obat (jamu dan fitofarmaka), kosmetik, makanan sehat dan minuman sehat. KESIMPULAN Tanaman obat imunomodulator adalah tanaman yang dapat mempengaruhi atau memodulasi sistem imun tubuh. Beberapa tanaman obat memiliki fungsi sebagai imunomodulator diantaranya echinaceae, mengkudu, jahe, meniran dan sambiloto. Penggunaan imunomodulator bagi kepentingan pengobatan sebaiknya diarahkan sebagai kombinasi sinergis pada terapi infeksi. Di samping itu adalah untuk mengurangi keparahan, mempercepat masa penyembuhan, memperkecil angka kekambuhan serta meringankan biaya terapi. Salah satu permasalahan dari aspek pembudidayaan tanaman obat luas lahannya terbatas, lokasi budidaya masih terpisah-pisah dan belum dibudi-

dayakan secara meluas. Untuk itu salah satu cara memenuhi kebutuhan pasar, budidaya perlu lebih dikembangkan menjadi agroindustri dengan lahan luas dengan melibatkan investor, petani dan industri (usaha kemitraan dan binaan industri pengolah tumbuhan obat seperti pabrik jamu). Di Indonesia sudah mulai tumbuh industri pangan fungsional yang berbasis herbal. Untuk pengembangan suplemen pangan berbasis tanaman asli Indonesia, diperlukan kegiatan penelitian dan pengembangan mendalam dalam bidang ini. DAFTAR PUSTAKA Burick, J., H. Quick, and T. Wilson, 1997. Medicinal attributes of Echinacea spp. Coneflowers. http:
//www.interme.com/iom/team/nimmune.html. 3p.

Craig, W.J., 1999. Health-promoting properties of common herbs. Am J of Clinical Nutrition 70 (3) : 491s499s. Cahyaningsih U.K, Setiawan dan D.R. Ekastuti, 2003. Perbandingan Gambaran Diferensiasi Leukosit Ayam Setelah Pemberian Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Dengan Dosis Bertingkat Dan Koksidiostat. Prosiding Seminar dan Pameran Nasional TOI XXIV. hal. 245-257. Deng, W.L., 1978. Preliminary Studies On The Pharmacology of The Andrographis Product Dihydroandrographolide Sodium Succinate. Newsletters Of Chinese Herb Med.

130

8: p. 26-28. http://www. Altcancer. Com/andcan.htm # 101 Das, D.K., 1994. Naturally Occuring Flavonoids: Structure, Chemistry, and Hight Performance Liquid Chromatography Methods for Separation and Characterization. Methods in Enymology. 234 : 410421. Decker J.M., 2000. Introduction to immunology 11 th Hour. Blackwell Science. Inc. p. 1-2. Danutirto, H., 2001. Pengembangan fitofarmaka di Indonesia. Lokakarya dan Pameran Pengembangan Agribisnis Berbasis Biofarmaka, Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati Mendukung Agribisnis Tanaman Obat. Jakarta 13-16 Nopember 2001. 23 p. Djauzi, S., 2003. Perkembangan Imunomodulator. Simposium Peranan Echinacea sebagai imunomodulator dalam Infeksi Virus dan Bakteri. Elfahmi, 2006. Phytochemical and Biosynthetic Studies of Lignans with a Focus on Indonesian Medicinal Plants. Facilitas Beddrif of Groningen The Netherlands. Thesis (Disertasi). Flannery, M.A., 2005. From rudbeckia to Echinacea: the emergence of the purple coneflower in modern theraupeutics. The J. of American Botanical Council issue 51 : 28-33. Hokama, Y., 1993. The effect of noni fruit extract (Morinda citrifolia, Indian mulberry) on thymocytes of

BALB/c mouse. FASEB J (7) : A866. Hirazumi, A., E. Furuzawa., S.C. Chou and Y. Hokama, 1994. Anticancer activity of Morinda citrifolia (Noni) on intraperitoneally implanted Lewis Lung Carcinoma in syngeneic mice. Proc. West Pharmacol. Soc. 37 : 145-146. Hirazumi, A., E. Furuzawa., S.C.Chou and Y. Hokama, 1996. Imunomodulation contributes to the anti-cancer activity of Morinda citrifolia (Noni) Fruit Juice. Proc. West Pharmacol. Soc. 39 : 7-9. Hollman, P.C.H, M.G.L. Hertog and M.B. Katan, 1996. Analysis and Health Effects of Flavonoids. Food Chemistry, 57 (1) : 43-46. Hirazumi, A and E. Furuzawa, 1999. An immunomodulatory polysaccharide-rich substance from the fruit juice of Morinda citrifolia (Noni) with antitumor activity. Phytochem. Res. 13 (5) : 380-387. Haryadi, P., 2006. Pangan fungsional Indonesia. Food Review Indonesia. Mei 2006 : 8-10. Kikuzaki, H and N. Nakatani, 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents. J Food Sci. 58 : 14071410. Kimura, M., L. Kimura., B. Luo and S. Kobayashi, 1997. Antiinflammatory effect of Japanese-seno medicine Keishi-kajutsubo-to and its component drugs on adjuvant air

131

pouch granuloma of mice. J. Phytoterapy-Res. 5 (5) : 195-200. Karnen, G.B., S. Djauzi., T.Y. Aditama., W. Heru dan S. Cartellieri, 2003. Peranan Echinacea (EFLAR 894) sebagai imunomodulator dalam infeksi virus dan bakteri. Jurnal Kedokteran dan Farmasi MEDIKA 6 th XXIX, Juni 2003 : 389-391. Nurrahman, F.R. Zakaria, D. Sajuti dan Sanjaya, 1999. Pengaruh konsumsi sari jahe terhadap perlindungan limfosit dari stress oksidatif pada mahasiswa pondok pesantren Ulil Albaab. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. 707-716. Puri A., Saxena R.P., Saxena K.C, Srivastava V., Tanden J.S., 1993. Immunostimulant Agent From Andrographis paniculata. J. Nat. Prod. Jul 56 (7) : p. 995-999. http//www.rechnature.com/product s/herbal/articles/Aleanson.hlml. Perry, N.B., J.W. van Klink., E.J. Burges, and G.A. Parmenter, 2000. Alkamide levels in Echinacea purpurea: effects of processing, drying and sorage. Planta Medica 66 : 5456. Rahardjo, M., 2000. Echinacea Tanaman Obat Introduksi Potensial. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 6 (2) : 1-3. Radiati, L.E., E.P. Nabet, P. Franck, B. Nabet, J. Capiaumont, D. Fardiaz, R.f. Zakaria, I. Sudirman dan R.D. Haryadi, 2003. Pengaruh ekstrak diklormetan jahe (Zingiber

officinale) terhadap pengikatan toksin kolera B-subunit conjugasi (FITC) pada reseptor sel hibridoma LV dan Caco-2. J. Teknologi dan Industri Pangan XIV (1) : 59-67. Sukara, E., 2000. Sumber daya alam hayati dan pencarian bahan baku obat (Bioprospekting). Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor : 31-37. Silalahi J., 2005. Makanan Fungsional dan Suplemen Makanan : Apakah Manfaat dan Keamanannya Sama?. Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan. Medika Vol. XXXI. Tizard I., 1987. Pengantar Imunology Veteriner. Penerjemah: Soehardjo Hardjosworo. Terjemahan dari : Introduction to Veterinary Immunology. p. 18-25. Thyagarajan, S.P., S. Subramanian, T. Thirunalasundari, P.S. Venkateswaran and B.S. Blumberg, 1988. Effect of Phyllanthus amarus on chrinic carriers of hepatitis B virus. The Lancet : 764-766. Tjandrawinata, R.R., S. Maat dan D. Noviarny, 2005. Effect of standardized Phyllanthus niruri extract on changes in immunologic parameters: correlation between preclinical and clinical studies. Medika XXXI (6) : 367-371. Wagner, H., 1985. Immunostimulants from medicinal plants. In Advances in Chinese medicinal materials research (Eds.) H.M. Chang; H.W.

132

Yeung; W.W. Tso and A. Koo. World Scientific Publ. Co. Singapura : 159-170. West G., 1995. Blacks Veterinary Dictionary 18 th Edition. A dan C Black London. p. 288. Wang, M.Y., B.J. Brest, C.J. Jensen, D. Nowicki, C. Su, A.K. Palu and G. Andersen, 2002. Morinda citrifolia (Noni): A literature review and recent advances in noni research. Acta Pharmacol. Sin. 23 (12) : 1127-1141. Yin J. Dan L. Guo, 1993. Contemporary traditional Chinese Medicine. Beijing: Xie Yuan. http: //www alcancer com/andcan.htm# 101. Yusron M., M. Januwati dan W.J. Priambodo, 2004. Keragaan mutu simplisia sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) pada beberapa kondisi agroekologi. Prosiding Seminar Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) Tanaman Obat Indonesia di Tawangmangu, 27-28 April 2004.

Zakaria, F.R., L. Darsana., dan H. Wijaya, 1996. Immunity enhancement and cell protection activity of ginger buds and fresh ginger flesh on mouse spleen lymphocytes. In Non-nutritive Health Factors for Future Foods. Proceedings IU FOST 1996 Regional Symposium Seoul Education and Culture Center Seoul. Korea. Zakaria, F.R., dan T.M. Rajab, 1999. Pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap produksi radikal bebas makrofag mencit sebagai indicator imunostimulan secara invitro. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan 1999 : 707-716. Zakaria, F.R, Y. Wiguna dan A. Hartoyo, 1999. Konsumsi sari jahe (Zingiber officinale Roscoe) meningkatkan aktivitas sel natural killer pada mahasiswa pesantren Ulil Alkab di Bogor. Bul. Tekn. Industri Pangan Vol. X (2) : 40-46.

133

Anda mungkin juga menyukai