Anda di halaman 1dari 12

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan

Nur Hidayati Staf pengajar pada Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Abstract: In the labor involved parties are generally located in an unbalanced position both socially and economically which is between the workers/laborers and employers. Applicable wage policy as a means or instrument which is suitable to improve the working relationship. The study is in the realm of sociointeractional approach to legal research with symbolic and hermeneutic. This type of data in this study consists of primary data and secondary data. Data collection techniques by means of interviews and observations conducted indepth semi-structure on the informants. Data analysis techniques include editing, coding and presentation of data. Data validation techniques include: prolonged engagement, persistent observation, trianggulation, peer debrifing, negative case analisis, membercheck. Data interpretation techniques to critically analyze research results with the theory that is relevant and accurate information obtained from the field and data presentation techniques is one of the front line of the triad package in addition to interpretation, and evaluation. Remuneration arising in wages of workers/laborers in general terms and the different interests of the wage. The diversity of the wage system. The low level of wages or income due to the low level of management skills that lead to waste of funds, sources of time, labor productivity. Characteristics of labor contracts between workers and firms in the form of wage per unit (piece rates) and hourly wages (time rates) and holiday compensation. Overtime wage system is fair and prosperous for both the workers/laborers and entrepreneurs are the preparation and structure determination of pay scales as a guide so that there is certainty of overtime pay overtime wages per worker/laborer as well as reducing the gap between the lowest and highest overtime pay in the company concerned as set the Law. 13 of 2003, Article 92 paragraph (1) with regard to the principles of wage. Keywords: labor/unions, wage, overtime wages I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Tenaga kerja merupakan faktor yang mendukung suatu perusahaan untuk merealisasikan rencana dan tujuan perusahaan. Balas jasa yang utama bagi seorang tenaga kerja adalah berupa pemberian upah pokok, upah lembur dan tunjangan kehadiran sehingga diharapkan mampu memberikan dorongan serta mempengaruhi tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja langsung. Setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan produktivitasnya, salah satu kegiatan perusahaan dalam meningkatkan produktivitasnya adalah dengan kebijaksanaan penentuan upah yang layak bagi tenaga kerjanya. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012

187

Sistem pengupahan di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber-sumber, tetapi juga memiliki fungsi kebijakan sosial yang penting yaitu untuk melindungi yang lemah dengan mengaitkan upah dengan sedemikian rupa. Undang-undang Ketenagakerjaan yaitu Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 77 serta Kep. Men No. 102/Men/VI/2004 dengan tegas mengatur tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur, dimana setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur untuk melindungi pekerja/buruh, yang diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan. Maraknya aksi demo para pekerja/buruh di mana-mana, seperti PT. Star Cosmos Tangerang sebagaimana dapat dilihat dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2011/ 08/18/11160567/100.Buruh.Star.Cosmos.Tangerang, PT. Toba Surimi Industries (TSI) dan PT. Era Cipta Bina Karya di kawasan Industri Medan (KIM) dapat dilihat dalam http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/201108/10/38842/demo_buruh_marak_kim_ tuntut_normatif//#TeQimnywd. Mereka melakukan aksi demo menuntut adanya hak-hak normatif yang tidak terpenuhi yaitu upah lembur yang tidak pernah diberikan, tidak adanya cuti libur, pemberian Jamsostek yang tidak merata ke seluruh karyawan, menuntut adanya penetapan status karyawan dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap, serta slip gaji harus transparan. Hal ini wajar jika pekerja/buruh menginginkan perbaikan kehidupannya dan salah satunya berupa upah lembur untuk memenuhi kebutuhan seharihari, menyekolahkan anak, memilki rumah serta melaksanakan kewajiban sosialnya. Persoalannya adalah dunia usaha mengalami pasang surut akibat berbagai faktor. Pada suatu periode bisa berkembang pesat, tetapi pada periode yang lain mungkin agak tersendat. Upah diterapkan sebagai sarana atau instrumen kebijaksanaan yang cocok untuk memperbaiki hubungan kerja. Kerja lembur sebagai jalan keluar yang sangat diharapkan pekerja/buruh apabila upah yang diterima dirasakan belum memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Namun kerja lembur tidak dapat dilaksanakan sewaktu-waktu sesuai keinginan pekerja/buruh, melainkan tergantung order dan kebutuhan perusahaan. Jika perusahaan membutuhkan tenaga untuk mendorong produksi dalam rangka memenuhi permintaan pasar secara cepat, pihak pekerja diwajibkan lembur. Bahkan hari minggu ataupun hari-hari bebas lainnya pekerja/buruh terpaksa harus mengikuti kerja lembur. Mereka tidak bisa menolak, karena bagi yang menolak akan menerima akibat sampingan yang cukup berat yaitu PHK (pemutusan Hubungan Kerja) atau dimutasikan ke bagianbagian lain serta sanksi-sanksi lainnya. Jadi kerja lembur ini di satu sisi dapat membantu pekerja dalam meningkatkan pendapatan, tapi di sisi lain dapat membebani pekerja/ buruh. Dilema yang dihadapi pekerja/buruh dalam kerja lembur dan berbagai masalah lain yang dihadapi pekerja/buruh sering juga diperburuk lagi oleh langkanya perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan misalnya Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau SPN. Pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun SPN masih cenderung memihak kepada pengusaha, jika terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dan pihak pengusaha, SPN ditingkat lokal perusahaan lebih merupakan perpanjangan tangan perusahaan daripada membela kepentingan pekerja. B. Permasalahan Dari latar belakang penyusun paparkan di atas, dapat diangkat per masalahan sebagai berikut: 1. Seberapa jauh semua kebijakan yang berkaitan dengan pengupahan khususnya upah lembur ini dalam menyediakan akses keadilan? 2. Bagaimanakah sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu?

188

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

C. Tujuan Penelitian 1. 2. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui sejauhmana semua kebijakan yang berkaitan dengan pengupahan khususnya upah lembur menyediakan akses keadilan. Untuk membangun sistem pengupahan khususnya upah lembur yang adil dan sejahtera baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha.

D. Tinjauan Pustaka Upah adalah salah satu sarana yang digunakan oleh pekerja meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 31 Undang-undang No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmani dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. Sedangkan menurut Yanuar (2000) tujuan upah diberikan pengusaha kepada pekerja/buruh adalah sebagai berikut: ikatan kerjasama, kepuasan kerja, penggadaan efektif, motivasi, stabilitas karyawan, disiplin, pengaruh serikat kerja, pengaruh asosiasi sejenis/Kadin, pengaruh pemerintah. Asas-asas dalam penentuan upah menurut Yanuar (2000) adalah sebagai berikut: 1. Asas keadilan. Besarnya upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut: prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan pekerjaan, dan memenuhi persyaratan internal konsistensi. Dengan asas adil akan tercipta suasana kerjasama yang baik, semangat kerja, disiplin, loyalitas dan stabilitas pekerja/buruh akan baik. 2. Asas layak dan wajar. Upah yang diterima setiap pekerja/buruh harus memenuhi eksternal konsistensi yang berlaku. Manajer HRD harus selalu memantau dan menyesuaikan upah agar sesuai dengan eksternal konsistensi yang berlaku. Di Indonesia dikenal beberapa sistem pemberian upah sebagaimana dapat dilihat dalam http://id.wikipidia.org/wiki/gaji, yaitu: upah menurut waktu, upah menurut satuan hasil, upah borongan, sistem bonus, sistem mitra usaha. Dasar pemberian upah adalah waktu kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 dijelaskan setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Adapun ketentuan waktu kerja diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003, yaitu: 1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam (1) satu minggu; atau 2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu 3. Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Penyusunan struktur dan skala upah dmaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan (Haridjan Rusli, 2011).

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012

189

Pengusaha harus melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan. Bentuk perlindungan kedua adalah waktu kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-undang No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: 1. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan 2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No. Kep.102/Men/VI/2004, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jama sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Kepmenakertrans No.Kep.102/Men/VI/2004, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur. Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), dengan ketentuan mendapat upah yang lebih lebih tinggi. Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang dtetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi pengusaha jika akan mewajibkan pekerja untuk bekerja lembur. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 Kepmenakertrans No.Kep.102/Men/VI/2004, untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan. Perintah dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha. Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur (Haridjan Rusli, 2011). Perhitungan upah lembur berdasarkan Keputusan Menteri No. Kep-102/Men/VI/ 2004, yaitu ketentuan yang mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (Whimbo Pitoyo, 2010): 1. Hari Biasa 1) Satu jam pertama = 1,5 x upah per jam 2) Jam kedua dan seterusnya = 2 x upah per jam 2. Hari Raya/Hari Libur Perusahaan 1) Tujuh jam pertama = 2 x upah per jam 2) Jam ke-8 = 3 x upah per jam 3) Jam ke-9 dan seterusnya = 4 x upah sejam 3. Hari Libur jatuh pada hari terpendek 1) Lima jam pertama = 2 x upah sejam 2) Jam ke-6 = 3 x upah sejam 3) Jam ke-7 dan seterusnya = 4 x upah per jam Dasar rumus perhitungan upah perjam berasal dari ketentuan UU No. 13 tahun 2003 Jo. No. Kep-102/Men/VI/2004, yaitu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Nilai upah per jam adalah sebagai berikut (Whimbo Pitoyo, 2010):

190

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

1.

Pekerja bulanan didapatkan dari 1/173 x upah pokok dan tunjangan tetap Untuk upah bulanan: Angka 1/173 didapatkan dari: Satu tahun = 12 bulan; satu minggu = 40 jam; satu tahun = 52 minggu Rumus:
Jumlah minggu x Jumlah jam per minggu Waktu dalam setahun

52 x 40 12

= 173,333

2.

Jumlah hari dalam seminggu

Bagi pekerja harian = 3/20 x upah harian Untuk upah harian: Angka 3/20, didapatkan dari: Satu minggu = 40 jam; satu minggu = 6 hari Rumus:
Jumlah jam dalam seminggu

3.

Bagi pekerja borongan = 1/7 dari rata-rata hasil kerja sehari Untuk upah borongan = Angka 1/7 dari rata-rata upah sehari dihitung satu hari = 7 jam

40

20

Contoh perhitungan upah lembur (Whimbo Pitoyo, 2010): 1. B bekerja dengan upah pokok Rp350.000,00. Tunjangan jabatan: Premi hadir (tidak tetap) = Rp40.000,00. Uang makan (tidak tetap) = Rp30.000,00. Uang transport (tidak tetap) = Rp30.000,00. Jumlah keseluruhan tetap dan tidak tetap Rp450.000,00. Untuk pembanding perhitungan upah lembur: Rp450.000,00 x 75% = Rp337.500,00 Penjelasan lengkap: Perhitungan upah lembur diambil dari upah tetap Rp350.000,00 karena nilai 75% dari perkalian upah keseluruhan (75% x Rp450.000,00) hanya menghasilkan angka Rp337.500,00 yang berarti lebih kecil daripada upah tetap Rp350.000,00 tersebut. Dengan kata lain: lembur harus dihitung dari nilai yang lebih besar, kalau upah pokok lebih besar daripada 75%-nya upah keseluruhan, maka yang diambil adalah nilai upah pokok, tetapi jika 75% dari upah keseluruhan lebih besar dari nilai upah pokok, yang diambil adalah nilai 75% dari upah keseluruhan. 2. Si C bekerja dengan mendapat upah sebagai berikut: Upah pokok sebesar (tetap) = Rp400.000,00. Uang makan tetap sebesar = Rp100.000,00. Uang transport (tetap) = Rp100.000,00. Jumlah keseluruhan = Rp600.000,00. Perhitungan upah lembur tersebut tidak dikalikan 75% dari Rp600.000, tetapi dari upah keseluruhan Rp600.000,00 karena semua sudah merupakan upah tetap. Penjelasan tambahan dasar perkalian upah lembur: Jika yang diberikan bervariasi tunjangan dalam pemberian upah, ada tunjangan tetap/tunjangan tidak tetap, jumlah keseluruhan upah dikalikan 75%. Jika nilainya lebih besar dari jumlah upah tetap, yang diambil perhitungan upah lembur dari 75% itu. (1) Jika keseluruhan upah dikalikan 75% nilainya lebih kecil dari jumlah upah tetap yang diambil perhitungan lembur dari upah tetap bukan dari 75%. (2) Jika semua upah yang diberikan sudah merupakan komponen upah tetap, tidak perlu dikalikan 75%, tetapi langsung 100%. E. Metode Penelitian Pendekatan Masalah Penelitian ini termasuk dalam ranah socio-legal research dengan pendekatan interaksional simbolik dan hermeneutik. Pendekatan interaksional simbolik digunakan untuk memahami persepsi pekerja/buruh terhadap penetapan upah lembur dalam Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012 1.

191

kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja/buruh dan perkembangan perusahaan, sementara pendekatan hermeneutik digunakan untuk mengukur kualitas metode penetapan upah lembur dalam kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja/buruh dan perkembangan perusahaan, mengingat masih sering maraknya demo pekerja/buruh untuk menuntut hak yang normatif sifatnya, salah satunya dalam hal upah lembur. 2. Lokasi Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa pemilihan persepsi pekerja/buruh terhadap penetapan upah lembur dalam kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja/ buruh dan perkembangan perusahaan sebagai pintu masuk karena persoalan pengupahan khususnya upah lembur kerap berkelindan dengan HAM dan kontruksi regulasi di Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan. Konsekuensinya, penelitian ini dilakukan pada domain-domain yang erat hubungannya dengan ketenagakerjaaan. Domain-domain tersebut diantaranya adalah para pekerja/buruh, Serikat Pekerja Nasional (SPN) di kota Semarang, dan pengusahanya. Domain-domain ini penting untuk dilihat guna memperoleh data tentang berbagai masalah yang terkait dengan semua kebijakan yang berkaitan dengan pengupahan khususnya upah lembur ini sudah menyediakan akses keadilan atau belum. Setelah dianalisa dan diinterpretasi melalui dua pendekatan diatas, realitas sosial tersebut direkonstruksi untuk menemukan model konstruksi baru tentang sistem pengupahan yang adil dan sejahtera baik baik pekerja/buruh maupun pengusaha. 3. Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dari para pekerja/buruh, Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan pengusaha. Data ini diperoleh langsung dari lapangan melalui serangkaian kegiatan pengumpulan data dengan wawancara dan pengamatan mendalam. Adapun data sekunder bersumber dari studi dokumentasi terhadap teks, baik berupa buku, hasil kajian dan data tertulis lainnya meliputi konsep, teori, pancasila dan UUD 1945, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, SK Kep.Men No.102/Men/IV/2004 tentang Upah Lembur dan Waktu Bekerja, hasil-hasil penelitian, serta berbagai literatur yang terkait penelitian ini. Pada penelitian ini, instrumen utama untuk mendapatkan dan mengumpulkan data penelitian adalah peneliti sendiri. Sesuai dengan penelitian kualitatif-interpretatif atau konstruktivis, maka motif penelitian ini adalah untuk to explore, to evaluate, to understand. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan cara wawancara dan pengamatan mendalam yang dilakukan secara semi struktur terhadap para informan. Wawancara semi terstruktur ini dipandu dengan interview guide, yang disusun secara terbuka, sehingga memberikan kesempatan untuk probbing atau melakukan penyelidikan lebih jauh. Straregi probing ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang lebih leluasa kepada informan untuk mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah penelitian yang ditanyakan. Adapun key-informant penelitian ini telah disebutkan pada sumber data di muka. 5. Teknik Analisa Data

Data penelitian yang sudah terkumpul dari hasil kegiatan pengumpulan, pertamatama dilakukan pengorganisasian data. Kegiatan ini meliputi editing, koding dan sajian data. Langkah pertama dilakukan editing, yaitu memeriksa hasil pengumpulan data

192

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

mengenai persepsi pekerja/buruh terhadap penetapan upah lembur berkaitan upaya perlindungan bagi pekerja/buruh dan perkembangan perusahaan, apakah sudah memenuhi harapan yang dibutuhkan. Kemudian hasil editing tersebut dilakukan koding yaitu kegiatan pemberian kode terhadap transkripsi interview atau catatan lapangan secara konsisten untuk fenomena yang sama. Hal ini dilakukan untuk beberapa hal, yaitu (1) memudahkan indentifikasi fenomena, (2) memudahkan perhitungan frekuensi kemunculan fenomena, (3) frekuensi kemunculan kode menunjukkan kecenderungan temuan, dan (4) membantu untuk menyusun kategori berdasarkan kategori-kategori tertentu untuk mempermudah melakukan klasifikasi data penelitian (A. Chaedar Alwasilah, 2008). Klasifikasi data didasarkan pada tema dan masalah yang menjadi ruang lingkup penelitian. Setelah itu data yang sudah di-edit dan di-koding, disistimatisasi dan dikonstruksi dalam bingkai analisis dengan menggunakan analisis induktif-kualitatif. Langkah-langkah teknik analisis data penelitian ini mengikuti model interaktif analisis data seperti yang dikemukakan oleh Mattew B. Miles and A. Michel Huberman (1992), yang bergerak dalam tiga siklus kegiatan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Simpulan yang dimaksud bukanlah simpulan yang bersederajat dengan generalisasi. Model interaktif tersebut dapat disajikan dalam ragaan sebagai berikut (B. Miles and A. Michel Huberman, 1992): Ragaan 5.1. Proses Teknik Analisis Data Model Interaktif

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Sajian Data

Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi Teknik analisis data terhadap data sekunder, dalam mencari kebenaran umum dengan menggunakan logika deduktif, khususnya pada saat analisis awal (penggunaan teori-teori), namun tidak tertutup kemungkinan dilakukan analisis dengan menggunakan logika induktif terhadap kasus-kasus ketenagakerjaan yang telah terdokumentasi dalam bentuk hasil studi, pencatatan maupun hasil penelitian. 6. Teknik Validasi Data

Kriteria standar kredibilitas, yang meliputi (Noeng Muhadjir, 2002): (a) prolonged engagement, dilakukan dengan menjaga hubungan baik dengan informan, (b) persistensi observation dengan cara memahami pemikiran dan pengalaman informan dan masyarakat secara emic, (c) trianggulation (Lexy Moleong, 2010) meliputi tiga hal: Pertama, triangulasi data adalah data yang terkumpul dari sumber, tempat dan peran Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012

193

yang berbeda dilakukan pengecekan silang. Triangulasi sumber dilakukan dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membanding pendapat yang dilakukan secara terbuka dengan yang diungkapkan sendiri secara pribadi, membandingkan pendapat atau perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan dokumen tertentu. Kedua, triangulasi teori adalah suatu topik penelitian dikaji dari berbagai aspek dan perspektif. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini dikaji dari dua sisi yang dipandang dapat saling menunjang, yakni kajian secara filosofis dan sosiologis. Ketiga, triangulasi metode adalah data yang diperoleh merupakan hasil aplikasi dari bebrapa metode pengumpulan data untuk memperkuat keabsahan data, dilakukan dengan cara melakukan uji keabsahan dan konsistensi teori, metode penelitian, dan instrumen yang digunakan, (d) peer debriefing, dengan cara melakukan diskusi hasil penelitian untuk falsifikasi dengan informan, para aktor serta seluruh stakeholders terkait dalam penelitian ini, (e) negative case analysis menganalisis kasus terkait dengan permasalahan penelitian, khususnya tentang seberapa jauh semua kebijakan yang berkaitan dengan pengupahan khususnya upah lembur ini menyediakan akses keadilan, bagaimanakah sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi pekerja/ buruh maupun pengusaha, serta (f) member check, melakukan monitoring dan evaluasi seluruh proses mulai dari merancang proposal, pencarian data lapangan, analisis data, serta presentasi hasil penelitian. Pada tahap berikutnya dievaluasi keabsahan dan kebenaran datanya. Kemudian dianalisis dan diorganisasikan ke dalam sebuah laporan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Dalam presentasi hasil penelitian digunakan berbagai cara antara lain, cara deskriptif naratif, penampilan tabel-tabel, gambar, bagan atau diagram alir sebagai data pendukung untuk menegaskan, dan memperkuat hasil penelitian. 7. Teknik Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan proses pemahaman makna dari serangkaian data yang telah tersaji, dalam wujud yang tidak sekedar melihat apa yang tersurat, namun lebih pada memahami atau menafsirkan mengenai apa yang telah disajikan. Pembahasannya dilakukan dengan cara menganalisis hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan (field) (Lexy J. Moleong, 2010). Model interpretasi data ini telah dibedakan antara: (1) terjemah atau translation, model ini digunakan untuk melakukan alih bahasa dari teks/bahasa lain atau dari variable ke gambar dengan cara sederhana, (2) tafsir atau interpretasi, model ini digunakan untuk memahami teks/bahasa dan tanda-tanda dengan cara mencari latar belakang dan konteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya yang lebih jelas, (3) ekstrapolasi, model ini digunakan untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan. Teks/bahasa atau materi yang tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikatorindikator bagi sesuatu yang lebih jauh lagi, dan (4) pemaknaan atau meaning, model ini digunakan untuk menafsirkan teks/bahasa dengan lebih mendalam lagi, dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia: indrawinya, daya pikirnya, dan akal budinya (Noeng Muhadjir, 2002) 8. Teknik Presentasi Data

Pada saat data telah terkumpul, tahap berikutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah evaluasi keabsahan dan kebenaran data. Berikutnya dianalisis dan diorganisasikan ke dalam sebuah laporan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian untuk dipresentasikan. Presentasi merupakan salah satu garis depan dari paket tiga serangkai selain interpretasi, dan evaluasi. Melalui fase presentasi inilah hasil kerja peneliti

194

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

langsung berhadapan dengan pembaca. Presentasi memang menyatu dengan proses penulisan itu sendiri . II. 1. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kebijakan pengupahan khususnya upah lembur dalam menyediakan akses keadilan Masalah pertama, pengupahan yang timbul dalam pengupahan pekerja/buruh pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Adanya permasalahan tersebut perlu pemahaman atas konsep upah itu sendiri yaitu hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Secara riil di lapangan, masalah pengupahan khususnya upah lembur ternyata masih terdapat perusahaan-perusahaan pada sektor industri tertentu yang belum merealisasikan kebijakan penetapan upah lembur sebagaimana perhitungan upah lembur berdasarkan Keputusan Menteri No. Kep-102/Men/VI/2004, yaitu ketentuan yang mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Dari data lapangan yang diperoleh peneliti, pekerja/buruh ketika diwawancarai (Ibu Juminem, saudara Yudha Manggala) serta angket yang dibagikan kepada mereka, pada hakekatnya tidak mengetahui dasar-dasar perhitungan waktu kerja dan upah lembur yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana Kep.Men. No.Kep-102/Men/VI/2004. Pada hakekatnya mereka disuruh lembur oleh perusahaan dan diberi upah berapapun mereka terima terlepas dari asas adil yaitu apakah besarnya upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh sesuai dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, jabatan pekerjaan dan memenuhi persyaratan internal konsistensi serta asas layak dan wajar yaitu apakah upah yang diterima setiap pekerja/buruh sudah memenuhi eksternal konsistensi yang berlaku atau tidak. Dan ketika diwawancarai serta angket yang dibagikan kepada pekerja/buruh mengenai kerja lembur itupun apakah sudah tertulis dalam perjanjian kerja atau tidak, merekapun juga tidak mengetahuinya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pekerja/buruh itu sendiri tidak paham apa isi perjanjian kerja itu dan kenyataannya mereka telah menandatangani perjanjian kerja tersebut. Sehingga berakibat banyak pekerja/buruh tidak tahu akan hak-haknya yang seharusnya dapat diterima. Hal ini menunjukkan adanya akses ketidakadilan selama dalam perjanjian kerja memang telah ditentukan oleh perusahaan tentang upah lemburnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pengusaha tidak menepatinya (wanprestasi). Masalah kedua, rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan pemborosan dana, sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah karena produktivitas kerja. Produktivitas kerja pekerja/buruh rendah, sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga. Hal ini dapat dikatakan sebagai upah wajar. Sebagaimana pendapat Barbage dan Andrew Uze (2002) bahwa kesejahteraan buruh tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan pengusaha, yang artinya pihak pengusaha tidak perlu mengejar keuntungan sebesar-besarnya, melainkan keuntungan yang wajar, yang daripadanya sebagian digunakan untuk mengembangkan perusahaan dan sebagian lagi dinikmati pengusaha dengan buruhnya dalam suatu kehidupan yang wajar sesuai tingkatan kerjanya masing-masing secara perimbangan seadil-adilnya, pengusaha merasa puas dan pekerja/buruhnya merasakan pula kepuasan dalam perolehannya. Masalah ketiga, karakteristik kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan berupa penetapan upah per satuan (piece rates) dan upah perjam (time rates). Masalah yang muncul pada kontrak kerja akan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dan tingkat Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012

195

keuntungan perusahaan. Jenis kontrak kerja yang dipilih sangat penting karena pemberi kerja (pengusaha) sering tidak tahu produktivitas pekerja yang sebenarnya, sementara pekerja menginginkan upah yang besar dengan kerja yang sekecil mungkin. Sistem upah per satuan (piece rates) mengkompensasi pekerja berdasarkan pada output yang dihasilkan oleh pekerja/buruh. Sebagaimana data diperoleh peneliti pekerja/buruh garmen pada PT.Sun-sun dibayarkan berdasarkan pada seberapa banyak jumlah celana yang dihasilkan, para tenaga penjual dibayar sesuai dengan besarnya komisi tertentu dari volume penjualannya. Sedangkan kompensasi upah per jam (time rates) sangat bergantung kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja/buruh dalam pekerjaannya dan tidak berhubungan sama sekali dengan jumlah output yang dihasilkan pekerja/buruh. Perusahaan yang memiliki biaya pengawasan yang tinggi jika memberikan upah per satuan (piece rates) yang kecil kepada pekerja/buruh maka hanya sedikit pekerja yang mau menerima upah yang demikian sedikitnya (low take home salaries). Sehingga perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang tinggi lebih memilih upah per jam seperti dari data yang diperoleh peneliti PT.EUDE Indonesia, PT. Tossa Sakti, sementara perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang rendah memilih tingkat upah per satuan (piece rates). Oleh karenanya, upah per satuan (piece rates) sering dipakai untuk membayar pekerja yang output nya dapat diamati dengan mudah misalnya jumlah celana yang diproduksi, volume penjualan pada periode yang lalu, sementara upah per jam (time rate) ditawarkan kepada pekerja/buruh yang outputnya sulit untuk diukur seperti pekerja/buruh pada tim produksi pada software. Bahkan dari data yang diperoleh peneliti di lapangan, masih adanya suatu perusahaan seperti PT. Aparel yang tidak menerapkan upah lembur yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu upah lembur per jam, tetapi menurut managemen perusahaannya yang mana apabila pekerja/buruh dipekerjakan melebihi waktu kerja hanya diberikan kompensasi berupa hari libur untuk hari berikutnya. Hal ini menunjukkan ketidakadilan bagi pekerja/buruh. Karena tidak sesuai dengan sistim pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Kebijakan penetapan pengupahan khususnya upah lembur dalam kerangka perlindungan upah, dewasa ini masih menemui banyak kendala terbukti secara riil di lapangan dalam pelaksanaannya belum adanya keseragaman upah lembur antara sektor industri yang satu dengan sektor industri lain dengan beberapa alasan: kondisi perusahaan, ketrampilan pekerja/buruh, jenis pekerjaan. Adanya beberapa alasan tersebut diatas perlu adanya penyusunan struktur dan skala upah termasuk dalam hal ini upah lembur, dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah lembur sehingga terdapat kepastian upah lembur tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah lembur terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 92 ayat (1). Dalam menyusun struktur dan skala upah, termasuk upah lembur pengusaha memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip: Upah lembur sebagai imbalan atas jasa kerja harus mencerminkan keadilan, berimbang, dapat menambah pendapatan pekerja dalam rangka 2.

196

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, memuat sistim insentif untuk mampu menarik tenaga-tenaga berkualitas, mendorong peningkatan produktivitas kerja, menumbuhkan motivasi dan kreativitas serta menurunkan tingkat pergantian atau perpindahan pekerja (labour turn-over), mampu menjamin kelangsungan perusahaan, Skala upah atau gaji pokok disusun konkordan dengan struktur jabatan dan struktur kepangkatan, perlu dijaga keseimbangan antara gaji pokok, tunjangan-tunjangan, dan jaminan lainnya. Sedangkan dalam pelaksanaannya diperlukan adanya peranan pemerintah dan serikat pekerja/buruh dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis. III. PENUTUP Kesimpulan Dalam ketenagakerjaan terlibat pihak-pihak yang umumnya berada pada posisi yang tidak seimbang baik secara sosial dan ekonomis antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pengusaha adalah pihak yang mampu menentukan keadaan perburuhan/ ketenagakerjaan. Kebebasan berkontrak yang dimilki tiap-tiap pekerja/buruh tidak lebih dari sebuah kepatuhan secara sukarela terhadap kondisii yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha. Masih adanya perusahaan-perusahaan pada sektor industri tertentu yang belum merealisasikan kebijakan penetapan upah lembur sebagaimana Keputusan Menteri No. Kep-102/Men/VI/2004, yaitu ketentuan yang mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur seperti pada perusahaan garmen (PT.Sun-sun) menggunakan dasar perhitungan lemburnya berdasarkan satuan hasil. Bahkan dengan alasan managemen perusahaannya tidak memberikan upah lembur kepada pekerja/buruh tetapi dengan mengkompensasinya dengan hari libur untuk hari berikutnya (PT.Aparel). Hal ini menunjukkan belum adanya akses keadilan. Karena tidak sesuai dengan sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha adalah diperlukan adanya penyusunan struktur dan skala upah termasuk dalam hal ini upah lembur, dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah lembur sehingga terdapat kepastian upah lembur tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah lembur terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 92 ayat (1) dengan memperhatikan prinsip-prinsip: keadilan, berimbang, dapat menambah pendapatan pekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, memuat sistem insentif untuk mampu menarik tenaga-tenaga berkualitas, mendorong peningkatan produktivitas kerja, menumbuhkan motivasi dan kreativitas serta menurunkan tingkat pergantian atau perpindahan pekerja (labour turn-over), mampu menjamin kelangsungan perusahaan, Skala upah atau gaji pokok disusun konkordan dengan struktur jabatan dan struktur kepangkatan, perlu dijaga keseimbangan antara gaji pokok, tunjangan-tunjangan, dan jaminan lainnya. 2. a. Saran Masih diperlukan adanya pengawasan dari pemerintah secara langsung terhadap perusahaan di semua sektor industri terutama dalam pelaksanaan pengupahan khususnya upah lembur. Perlu adanya sanksi bagi pelanggarnya sehingga tercipta sistem pengupahan yang adil dan sejahtera antara pekerja/buruh dan pengusaha. 1.

b.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 3, Desember 2012

197

c.

Diperlukan adanya peran serikat pekerja sebagai lembaga bipatrit dan bukan hanya sebagai perpanjangan tangan perusahaan saja.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003 Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Bernard Arief Sidharta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009 Chaedar Alwasilah A, Pokoknya Kualitatif, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 2008 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1995 Kansil dan Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang N0.40 tahun 2007, Jakarta: Rineka Cipta, 2009 Mattew B. Miles and A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, UII Press, Jakarta, 1992, hal. 43 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002 Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan Pekerja (Bipatrid) dan Pemerintah (Tripatrid), Jakarta: YTKI, 1999 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Rajawali, 1983 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Malang: Bayumedia, 2000 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Visimedia, 2010 Yanuar, Managemen Pengupahan dan Perburuhan, Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB, 2010 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan SK Kep.Men No. 102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur Suara Merdeka, 22 Desember 2010, Furqon Karim Mencari Konsep Upah Lembur Bagi Pekerja http://abgafrizanraja.blogspot.spot/2010/10/faktor_pendorong_perkembangan_perusahaa n.html/Oktober 2010. diunduh 03 Oktober 2011 http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/18/11160567/100.Buruh.Star.Cosmos.Tang erang.Demo diunduh 17 November 2011 http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/201108/10/38842/demo_buruh_marak_kim_t untut_normatif/#TeQimnywd diunduh 17 November 2011

198

Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan (Nur Hidayati)

Anda mungkin juga menyukai