Dear Kanda, Bagaimana? apakah masih bisa ku temukan kabarmu di balik tulisan-tulisan atau di antara koma-koma? Sepertinya aku sudah menunggu itu cukup lama. Aku tidak berhak merindu, bukan? Merasai senyummu yang tersembunyi itu cukup bagiku, pertanda bahwa tulisanku ini sempat terbaca. Sepertinya sudah keberapa puluh jadwal perjumpaanku dengan Hujan, dirimu tidak juga kunjung mewujud dalam barisan kata. Padahal aku sudah ingin berbagi ceritaku bersama Hujan, yang setia menemani tiap detik-detik harapku. Setiap rintiknya seolah ikut mengiyakan doa-doa penuh harap perjumpaan denganmu. Bahkan, aku terkadang takut rintik-rintik itu akan semakin menenggelamkanku dalam kerinduan. Merebutku darimu. Kau tahu, aku sempat membuat secarik tulisan soal dia, Hujan. Tapi aku merenungkanmu dalam jeda-jedanya, yang menyuguhiku dahaga sekaligus penawarnya, yang justru membuatku semakin tertimbun rindu di tiap pertemuannya. Hanya saja, kapan renunganku itu menyata?
Semoga tulisanku ini tidak melukai senyummu, Kanda. (masih pada setiap tulisanmu aku menunggu, Dinda)
iri pada-Nya yang begitu menyayangimu, sampai Dia menilaimu cukup berani mengalami itu semua, sekarang. Barangkali Ia juga sedang mengajariku sebuah rasa iri yang Ia lewatkan rasa itu padaku darimu agar kita sama-sama kembali menyadari cinta yang sebenarnya, cinta milik-Nya maka, yakinilah..kita sedang belajar bersama-sama dengan pena kerikil tajam kekecewaan dan kertas badai kepiluan entah siapa yang lulus terlebih dulu sampai dengan kita tahu, aku berharap, kau tetap berjuang dan menemukan jalan ujung ujian itu dengan menyampirkan sebentuk senyuman Terima kasih Kanda. (pada setiap tulisanmu aku menunggu, Dinda)
earthling.csa@gmail.com