Anda di halaman 1dari 2

1

Memberdayakan Departemen Pertahanan


Edy Prasetyono
Masih ada pemahaman yang keliru di masyarakat bahwa Departemen Pertahanan bukanlah lembaga sipil, melainkan lembaga militer. Persepsi seperti itu dibentuk oleh pengalaman selama kekuasaan Soeharto, suatu periode ketika TNI memasuki dan mendominasi wilayah politik. Pada saat itu, seringkali Menteri Pertahanan merangkap jabatan Panglima. Menyatunya Departemen Pertahanan dan TNI (Mabes) dilihat sebagai hal yang lumrah. Bahkan, sampai sekarang pun, secara kultural-psikologis, para anggota TNI yang ditempatkan di Departemen Pertahanan lebih merasa mewakili angkatan dari pada sebagai pejabat Departemen Pertahanan. Akibatnya, gagasan tentang pembagian tataran kewenangan antara kedua lembaga ini kurang berkembang. Penafsiran atas Ketetapan MPR Nomor VI dan VII/2000 yang mendudukkan Panglima TNI setara dengan posisi menteri kabinet memperumit hubungan antara Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Inilah salah satu masalah terbesar dalam reformasi sektor keamanan.

Hubungan Dephan-Mabes TNI Dengan melihat masalah-masalah di atas, pemberdayaan Departemen Pertahanan sangat penting dilakukan untuk menegaskan bahwa Departemen Pertahanan adalah pemegang otoritas politik atas masalah-masalah dan kebijakan pertahanan, termasuk di dalamnya kewenangan dan kontrol atas TNI. Sementara itu, TNI mengelaborasi kebijakan pertahanan tersebut kedalam pengembangan postur TNI, doktrin, dan langkah-langkah lain yang berkaitan dengan pembinaan kekuatan dan tugas-tugas operasional. Departemen Pertahanan memegang akuntabilitas politikkebijakan, sedangkan Mabes TNI memegang akuntabilitas operasional. Dengan demikian, tumpang tindih antara Departemen Pertahanan dan Mabes TNI yang dalam beberapa kasus mengurusi dua atau lebih hal yang sama (duplikasi institusi dan kewenangan) seharusnya tidak perlu terjadi. Baik Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU TNI yang baru saja disahkan sebenarnya telah mengatur hal ini. Tetapi, masih diperlukan aturan-aturan pelaksana dan kebijakan-kebijakan baru bidang pertahanan dan militer untuk memberdayakan Departemen Pertahanan itu sendiri. Yang menarik adalah kedudukan Panglima TNI. Kedudukan TNI langsung di bawah Presiden menurut Ketetapan MPR kemudian diartikan bahwa Panglima mempunyai kedudukan sejajar dengan Menteri Pertahanan dan karena itu tidak ada hubungan subordinasi antara Panglima dan Menteri Pertahanan. Persoalannya terletak pada ketidakjelasan posisi Panglima yang mempunyai dua makna. Pertama, Panglima bisa diartikan komandan perang atau senopati. Di sini Panglima tunduk pada Presiden yang berkedudukan sebagai seorang supreme commander atau panglima tertinggi. Tetapi, jarang sekali Panglima TNI sekaligus berperan sebagai senopati dalam suatu operasi militer. Biasanya, untuk melakukan operasi ditunjuk panglima komando atau komandan operasi. Perintah operasi mengalir dari Presiden, yang kemudian secara faktual dikomunikasikan melalui Panglima TNI kepada komandan operasi. Peran Panglima lebih banyak sebagai penasehat militer dan dalam perencanaan operasi militer, bukan panglima dalam pengertian senopati.

Edy Prasetyono adalah Ketua Departemen Hubungan Internasional dan Peneliti Masalah-masalah Keamanan Internasional, Pertahanan dan Militer, CSIS, Jakarta.

2
Makna kedua, Panglima sebagai pemimpin sebuah organisasi yang bernama Tentara Nasional Indonesia. Sebagai pemimpin organisasi TNI, Panglima bertugas menjabarkan kebijakan pertahanan yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan ke dalam pengembangan kekuatan TNI dan langkah-langkah operasional TNI. Di sinilah Panglima TNI tunduk dan bertanggung jawab pada Menteri Pertahanan, sebagai perpanjangan tangan Presiden. Sayangnya, kedua makna panglima tersebut tidak diselesaikan secara kelembagaan, sehingga sering lahir penafsiran yang terbuka tentang hubungan antara Departemen dan Menteri Pertahanan dengan Mabes dan Panglima TNI. Bisa jadi, kerumitan ini juga disebabkan oleh kemiskinan bahasa Indonesia yang menyebut kedua posisi tersebut sebagai panglima. Oleh karena itu, mulai sekarang perlu dipikirkan apakah hubungan kelembagaan antara Departemen Pertahanan dan Mabes TNI akan tetap seperti sekarang, tanpa mengubah posisi Panglima. Ataukah, akan digunakan model Gabungan Kepala Staf dengan konsekuensi perubahan dalam garis komando dan hubungan antara Presiden, Departemen Pertahanan, dan Panglima TNI. Restrukturisasi ini memerlukan keputusan politik dari pucuk pimpinan politik nasional yaitu Presiden. Dalam kaitan ini satu masalah yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan TNI sebagai entitas atau organisasi. Hubungan-hubungannya dengan Presiden dan Departemen Pertahanan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan sebenarnya masih menempatkan TNI sebagai suatu entitas tersendiri, bukan bagian integral dari Departemen Pertahanan. Ini menyulitkan Departemen Pertahanan, terutama ketika hubungan TNI dengan Presiden dianggap mencakup semua hal, yang kemudian meminggirkan peran Departemen Pertahanan. Ketentuan UU TNI tahun 2004 bahwa di masa yang akan datang TNI akan berada di dalam Departemen Pertahanan harus diwujudkan dengan melakukan restrukturisasi Departemen Pertahanan di mana TNI akan ditempatkan di bawah wewenang, arah, dan kontrol Menteri Pertahanan. Panglima TNI dan para Kepala Staf bertindak sebagai penasehat militer dan staf militer Menteri Pertahanan dan Presiden. Inilah makna TNI berada di dalam Departemen Pertahanan. Justru di sini peran dan suara TNI ditampung sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan pertahanan yang berimplikasi pada pengembangan, pembinaan, dan penggunaan kekuatan militer. Mekanisme lain untuk menampung masukan dari TNI adalah dengan menciptakan dewan keamanan nasional atau yang di dalam Undang-undang No. 3/2002 disebut sebagai Dewan Pertahanan Negara.

Catatan penutup Pemberdayaan Departemen Pertahanan menjadi lebih penting lagi untuk menetralisir kekhawatiran adanya politisasi jabatan Panglima yang pengangkatannya memerlukan persetujuan DPR. Artinya, siapa pun yang menjadi Panglima tidaklah penting, sepanjang Departemen Pertahanan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan Presiden bisa menyelenggarakan otoritas, arah, dan kontrol terhadap TNI. Karena itu penting dilakukan penataan hubungan Presiden, Departemen Pertahanan, dan Mabes TNI, justru untuk melindungi TNI dari tarikan-tarikan politik. Sementara itu, ke dalam, Departemen Pertahanan perlu mengembangkan kemampuan manajemen pertahanan dan penataan hubungan sipil-militer yang menjadi salah satu syarat mutlak dalam menuntaskan reformasi sektor keamanan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai