Anda di halaman 1dari 3

Optimalkan Peran Keluarga untuk Perkembangan Anak Oleh Yulina Eva Riany

Fenomena pornografi yang belakangan mengusik ketenangan publik telah membuat banyak pihak prihatin dan penuh was-was akan dampak yang ditimbulkannya. Bombastisnya pemberitaan media massa tentang kasus asusila yang juga melibatkan selebriti tenar itu dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan mental dan moral anak-anak dalam skala yang luas. Begitu seriusnya kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan cepat bertindak dengan mengadukan kasus pornografi ini ke pihak yang berwenang dengan alasan membahayakan proses perkembangan mental anak. Tak hanya itu, razia pornografi terhadap para siswa di sekolah-sekolah, juga marak dilakukan dengan tujuan memberantas pornografi yang tersebar luas di kalangan siswa, di tingkat dasar sekalipun.

Pornografi memang bisa menjadi ancaman besar bagi perkembangan anak, terutama perkembangan mental dan karakter mereka. Mengapa demikian? Pertama, pornografi dapat menyebabkan anak menjadi kecanduan (addicted) untuk mengakses hal-hal serupa. Ini disebabkan karena pada usia anak, memori otak sedang berkembang dengan pesat untuk mengingat hal-hal yang baru dan berkesan bagi mereka. Sehingga sekali mereka mengenal pornografi, mereka akan dibayang-bayangi untuk kembali mengakses pornografi. Bahkan dalam Teori Perkembangan Kognitif (cognitive development theory), Piaget (1983) mengingatkan bahwa anak-anak akan cepat merespon atau bahkan mempraktikkan apa yang dilihatnya, sebagai konsekuensi atas tingginya daya abstraksi yang masih berkembang pada tahap perkembangan otak anak, yaitu tahap perkembangan menuju fase kongkret. Selain itu, tingginya tingkat keingintahuan (curiocity) yang ada pada usia anak, juga dapat menuntun mereka untuk selalu ingin mencari tahu mengenai hal-hal baru. Terlebih lagi fenomena yang ada saat ini, pelaku porografi adalah publik figur yang juga idola mereka. Sehingga bukan hal mengagetkan jika anak-anak pun memiliki keinginan tinggi untuk dapat mengakses pornografi tesebut. Kementrian Komunikasi dan Informatika melalui surveinya bahkan mengklaim bahwa 97 persen pelajar remaja Indonesia di 12 kota besar pernah mengakses pornografi. Lebih memprihatinkan lagi ketika anak-anak tersebut terpanggil untuk lebih tahu tentang arti, rasa, dan sensasi terkait hal-hal yang mereka saksikan dari produk pornografi itu dengan cara mempraktekkannya. Menjadi lebih fatal jika niat itu disalurkan ke teman-teman di

sekitarnya. Bahkan KPAI (25/6/10) menginformasikan ada 33 anak berusia 9-12 tahun yang telah menjadi korban perkosaan oleh remaja yang berusia 16-18 tahun. Alasan aksi pemerkosaan itu umumnya karena mengaku terangsang setelah menyaksikan video porno selebriti idola mereka. Dapat dibayangkan bagaimana dampak jangka panjang yang dapat diakibatkan oleh akses pornografi pada anak. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk melindungi anak-anak kita sehingga mereka tidak menjadi korban keganasan dampak pornografi? Pembentukan karakter anak sejak dini adalah jawaban utamanya. Pada tahap usia anak, memori otak yang sedang berkembang pesat itu seharunya dimanfaatkan secara optimal untuk merekam dan menanamkan hal-hal bernuansa positif guna memperkokoh karakter positif dalam kejiwaan anak. Untuk memfilter input yang masuk ke memori otak anak, maka peran keluarga sebagai lingkungan sosial terdekat bagi mereka mutlak harus mampu menjalankan perannya secara optimal. Keluarga adalah unit terkecil di mana anak-anak dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif mereka. Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, serta prinsip hidup yang diinternalisasikan melalui persinggungan dan interaksi sosial anak yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah menancap kuat di alam kesadaran anak yang kelak akan sistem kontrol internal bagi perilaku mereka. Dalam konteks ini, orang tua adalah pemegang kendali utama tanggung jawab atas proses pembentukan karakter anak. Kita tidak dapat menutup mata misalnya, bahwa saat ini terjadi pergeseran nilai kesusilaan pada masyarakat mengenai terminologi patut dan tidak patut. Di level itu, peran orang tua menjadi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anak sebagai bekal utama sebelum mereka terjun ke masyarakat melalui sekolahan dan media interaksi sosial lainnya. Karena itu, teladan sikap orang tua sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak mereka. Hal ini penting karena pada fase perkembangan manusia, usia anak adalah tahapan untuk mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitar mereka. Dengan sikap dan teladan yang baik ditambah dengan penguatan emotional bonding antara anak dengan orang tua, upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan karakter yang baik pada anak akan lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu, sikap keterbukaan antara anak dan orang tua juga sangat dibutuhkan untuk menghindari anak dari pengaruh nilai-nilai negatif yang ada di luar lingkungan keluarga. Selain itu, upaya untuk menghindarkan anak-anak dari paparan kencangnya arus negatif di masyarakat dapat dilakukan melalui penyaluran minat dan bakat anak ke kegiatan-kegiatan positif. Memberikan perhatian kepada penyaluran bakat yang diminati oleh anak-anak dapat menjadi alternatif upaya untuk mencegah anak agar tidak terjebak pada kegiatan negatif ketika mereka berusaha untuk menyalurkan kondisi stress mereka yang mungkin disebabkan oleh beban belajar yang tinggi di sekolah. Dengan demikian, diharapkan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional 29 Juni, peran keluarga sebagai unit utama penanaman nilai-nilai karakter bagi anak dapat kembali digalakkan. Sehingga nilai moral yang baik akan tertanam kuat di diri anak-anak kita. Apabila hal

tersebut telah terlaksana, anak-anak dengan sendirinya akan dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan tahap perkembangannya. Karena dengan penguatan karakter individu anak, diharapkan mereka tidak mudah terbawa arus perkembangan negatif di lingkungan sekitar. Namun, walaupun penanaman nilai karakter telah dilakukan dengan begitu kuatnya pada keluarga, masih bukan tidak mungkin anak-anak kita masih akan terbawa kuatnya arus akses negatif yang ada diluar. Oleh karena itu, kerjasama yang solid sangat diperlukan pada usia anak antara pihak keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini arus pemberitaan media massa yang sangat ekplisit menampilkan tampilan yang tidak selayaknya juga sebaiknya dihindari bagi anak-anak karena akan mengaktivasi curiocity mereka untuk terus mencari tahu dan mengakses produk pornografi tersebut.***

Anda mungkin juga menyukai