Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Jakarta,
Juni 2010
1
pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga rakyat lebih cepat memperoleh kesejahteraan, karena korupsi merupakan penghambat dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Beberapa peraturan dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun korupsi masih saja berlangsung, baik di pusat maupun di daerah2. Perilaku korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah cukup mudah ditemukan di berbagai kegiatan pemerintahan seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Potensi tindak pidana korupsi dalam bidang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan ini menunjuk kepada besarnya jumlah pengadaan barang dan jasa di lembaga publik, rata-rata mencapai sekitar 15% -30% dari
Sering dinyatakan, bahwa kejahatan (termasuk Korupsi sebagai salah satu bentuknya) merupakan problem sosial tertua (the oldest social problem) dan merupakan fenomena universal (a universal phenomenon) yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat. Keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri. Bahkan dalam preamble UNCAC 2003, korupsi disebut sebagai a transnational phenomenon. Hendarman Soepandji, Orasi Ilmiah berjudul Membangun Budaya Anti-Korupsi Sebagai Bagian Dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Universitas Diponegoro, 18 Juli 2009. 2 Dalam penyelenggaraan desentralisasi atau otonomi daerah setelah reformasi digulirkan ternyata banyak terkuaknya kasus-kasus korupsi oleh para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Terjadinya praktik korupsi di era otonomi daerah hampir pada setiap bidang dan tingkat pemerintahan. Data hasil riset ICW selama tahun 2008 menunjukkan sebanyak 36 Kepala Daerah diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp.442,77 milyar.
Penghasilan Kotor Dalam Negeri (Gross Domestic Product GDP). Dengan banyaknya pengadaan barang dan jasa di lembaga-lembaga pemerintah, merupakan peluang yang menggiurkan dan tentunya meningkatkan resiko terjadinya korupsi. Besarnya kerugian akibat korupsi tersebut diperkirakan mencapai 10-25% pada skala normal. Dalam beberapa kasus, kerugian mencapai 40%-50% dari nilai kontrak.3 Temuan Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002 yang telah melakukan survey di 150 kebupaten dan kota di Indonesia yang dipilih secara random menunjukkan bahwa tender proyek menempati posisi tertinggi dalam penilaian LSM dan media massa, yang terkait dengan perilaku KKN.4 Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada tahun 2005 menyebutkan sebanyak 24 dari 33 kasus korupsi yang ditangani, terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah.5 Disebutkan pula bahwa sebanyak 24 dari 33 kasus korupsi yang ditangani, terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Modus operandi tindak pidana korupsi dalam pengadaan sebagaimana dimaksud meliputi penggelembungan harga (markup), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan pemalsuan.6
Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah, Transparency International, h.1. 4 Argyo Demartoto, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007, h.8. 5 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h.275. 6 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h.275.
Berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan ini, Robert Klitgaard, seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan rumus sederhana untuk mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban7. Dengan kata lain, unsur di atas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi. Kerugian negara akibat korupsi pengadaan barang dan jasa selama 2005 sampai 2009 mencapai Rp.689,19 miliar atau 35 % dari total nilai proyek sebesar Rp.1,9 triliun. Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses penunjukan langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Jumlahnya mencapai Rp.647 miliar atau 94 %dari total kerugian negara. Sementara sisanya diakibatkan oleh praktik penggelembungan harga, yaitu sebesar Rp.41,3 miliar atau 6 % dari total kerugian negara. 8 Dalam bidang jasa konsultansi9 juga rentan terjadinya tindak pidana korupsi, dikatakan demikian oleh karena ditengarai adanya gratifikasi. Biasanya, praktik ini terjadi apabila ada pertemuan antara supply and
7
Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Yayasan Obor, 2002), h.29. 8 Hal ini dikemukakan Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak Hatorangan Panggabean, di sela-sela Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Rabu (2/12). Ini berdasarkan data perkara dari tahun 2005 sampai 2009 yang ditangani KPK. Dalam: Yanuar Jatnika/Melati Hasanah Elandis Kamis, 03 Desember 2009 Sumber : Jurnal Naional 9 Khusus dalam sistem pemilihan penunjukan langsung sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (1) telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dengan adanya sejumlah persyaratan dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
demand10yakni antara si pemberi suap dengan si penerima suap.11 Selain bentuk gratifikasi juga kerap terjadi praktek kartel atau kolusi di antara peserta tender dengan tujuan untuk memanipulasi pemenang tender yang tentunya akan menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Ini dilakukan berdasarkan sistem arisan di antara anggota kartel. Istilah lain dari dua jenis cara memenangkan tender ini adalah persengkokolan secara vertikal bagi terjadinya gratifikasi, dan persengkokolan secara horisontal bagi terjadinya kartel atau kolusi peserta tender. Sedangkan teknik atau modus operandi yang lazim dilakukan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara - adalah melalui pengelembungan nilai proyek (mark up) dan spesifikasi pekerjaan diturunkan baik kualitas maupun kuantitas, tanpa mengoreksi nilai proyek. . Lebih khusus lagi, dalam rangka menekan laju pertumbuhan tindak pidana korupsi yang terkait dengan jasa konsultansi ini, maka diperlukan
10
Ini menunjuk kepada nilai pekerjaan yang tentunya lebih besar ketimbang melalui melalui seleksi terbatas, seleksi langsung atau penunjukan langsung. Terlebih lagi penunjukan langsung karena faktor efisiensi dari segi biaya seleksi selain pekerjaan yang berskala kecil dan lainnya.Lihat: Pasal 22 ayat (4) jo Penjelasan Pasal 22 ayat (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 11 Gratifikasi yang dimaksudkan dalam hal penentuan pemenang dalam pemilihan penyedia jasa konsultansi. sedangkan untuk seleksi terbatas, seleksi langsung atau penunjukan langsung, tingkat gratifikasinya tentu lebih rendah disebabkan adanya pembatasan pengaturan yakni adanya klausula keadaan tertentu atau keadaan khusus sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
suatu sistem yang lebih mendukung khususnya dari dalam lembaga publik itu sendiri. Sistem dimaksud adalah penguatan pengawasan dalam seluruh proses pengadaan barang dan jasa. Secara runtut sistem pengawasan bermula dari tahap penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan, tahap persiapan perancangan dan
persiapan dokumen tender, tahap pemilihan peserta dan penentuan pemenang, tahap pelaksanaan pekerjaan, pelaporan keuangan dan audit. Sistem pengawasan merupakan salah satu strategi yang tepat dan terkait dengan upaya pencegahan (preventif). Dengan demikian potensi korupsi dapat dideteksi sejak awal.
B. Tinjauan Umum 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Secara sederhana, korupsi dapat didefinisikan sebagai
menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip
"mempertahankan jarak", artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.
Sekali prinsip "mempertahankan jarak" ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul.12 Ditinjau dari segi istilah, korupsi adalah berasal dari kata "corrupteid" dalam bahasa Latin, "bribery" atau "seduction" dalam bahasa Inggris, sehingga korupsi diartikan sebagai "corrupted" dalam bahasa Latin dan dalam bahasa Inggris adalah "corrupter" atau "seducer". Dari kata "bribery" tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberi/menyerahkan kepada seseorang agar orang tadi berbuat demi keuntungan pemberi. Sedangkan "seduction" ialah suatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng, Seduction adalah "very attractive and charming, likely to lead a person astray (but often with no implication of immorality) " dan Bribery adalah "promised to subject in order to get him to do something (often something -wrong) in favour of the giver".
13
Indonesia adalah "perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya."14 Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga dibenkan pada tindakan tercela dari oknum
12
Jeremy Pope, "Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional", Edisi I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 30. 13 Hermien Hadiati Koeswadji, "Korupsi Di Indonesia, Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi", (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h. 32-33. 14 W.J.S. Poerwadarminta, "Kamus Umum Bahasa Indonesia", (Jakarta: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976), h.15.
pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum)15. Selanjutnya pengertian tentang korupsi menurut ketentuan dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sangatlah banyak yakni sejumlah 23 pasal dan 4 pasal tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dalam kaitannya dengan penulisan makalah ini, maka hanya disampaikan beberapa pasal terkait yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam bidang jasa konsultansi, sebagai berikut: 1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.16 2). Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
15
Indriyanto Seno adji, "Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif", Kompas Online, www. kompas.com/9709/25/Opini. tanggal 25 Agustus 2009. Diakses tanggal 19 Juni 2010. Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dan pelakunya.
16
Lihat: Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara.17 3). Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau18 4). Setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.19 5). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.20 6). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
17
Lihat: Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak ma Korupsi. Pasal 5 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi. 18 Lihat: Pasal 5 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 19 Lihat: Pasal 5 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 20 Lihat: Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut
diberikan
untuk
menggerakan
agar
melakukan
tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;21 7). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;22 8). Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;23 9). Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.24
21
Lihat: Pasal 12. UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 22 Lihat: Pasal 12.b UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 23 Lihat: Pasal 12.e UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 24 Lihat: Pasal 12. I UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
10
10).
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara, negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.25
11).
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan.26
12).
Setiap
orang
yang
melakukan
percobaan,
pembantuan,
atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.27 Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di
antaranya:
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan;
25
Lihat: Pasal 12. B. 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 26 Lihat: Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. 27 Lihat: Pasal 15 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
11
pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
2. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa Pengadaan Barang dan Jasa - atau dalam istilah asing disebut sebagai procurement - muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa, untuk jasa konsultasi serta kebutuhan jasa lainnya. Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement- dalam makalah ini diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau adminstrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian
(purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan, penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa lainnya. Lebih spesisik lagi, disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh
12
penyedia barang/jasa.28 Pengadaan barang tidak terbatas pada barang yang berwujud, tetapi juga barang yang tidak berwujud. Barang tidak berwujud umumnya adalah jasa, misalnya jasa konsultansi. Sedangkan Jasa Konsultansi adalah layanan jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang yang meliputi jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi, dan jasa pelayanan profesi lainnya, dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang keluarannya berbentuk piranti lunak yang disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang ditetapkan pengguna jasa.29 Dapat disimpulkan bahwa pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar hakikat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan pada filosofi pengadaan barang dan jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang dan jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode dan proses pengadaan barang dan jasa yang baku.
28
Pasal 1 angka1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 29 Pasal 1 angka 13 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
13
C. Pembahasan dan Analisis 1. Prinsip Dalam Pengadaan Jasa Konsltansi Pengadaan jasa konsultansi harus dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip pengadaan yang dipraktikkan secara nasional dan internasional, yaitu prinsip efisiensi, efektivitas, persaingan sehat, keterbukaan/transparansi, tidak diskriminasi, dan akuntabilitas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf f dengan penjelasan sebagai berikut:
a.
Efisien Yang dimaksud dengan prinsip efisien berarti pengadaan barang dan jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkatsingkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
b.
Efektif Yang dimaksud dengan prinsip efektif bahwa dalam pengadaan barang dan jasa harus didasarkan pada kebutuhan yang telah ditetapkan (sasaran yang ingin dicapai) dan dapat memberikan manfaat yang tinggi dan sebenar-benarnya sesuai dengan sasaran dimaksud.
c.
Persaingan Sehat
14
Yang dimaksud dengan prinsip persaingan yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa adalah diberinya kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, untuk menawarkan barang dan jasanya berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku, dan tidak terjadi kecurangan dan praktik KKN. d. Terbuka (Transparansi) Yang dimaksud dengan prinsip terbuka dalam pengadaan barang dan jasa adalah memberikan semua informasi dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang dan jasa, yang sifatnya terbuka kepada peserta penyedia barang dan jasa yang berminat, serta bagi masyarakat luas pada umumnya. a. Tidak Diskriminatif (Adil) Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif dalam pengadaaan barang dan jasa adalah pemberian perlakuan yang sama kepada semua calon penyedia barang dan jasa yang berminat mengikuti pengadaan barang dan jasa, dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara dan/atau alasan apa pun. b. Akuntabilitas
15
Yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa adalah adanya pertanggungjawaban pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (laporan) kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti bahwa pengadaan barang dan jasa harus mencapai sasaran, baik secara fisik, maupun keuangannya serta manfaat atas pengadaan tersebut terhadap tugas umum pemerintahan dan/atau pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.
2. Tata Urutan dan Proses Pengadaan Jasa Konsultansi Proses aktivitas pengadaan jasa konsultansi, berikut ini diuraikan secara deskriptif tata urutan dan proses pengadaan jasa konsultansi: 1) Perencanaan Pengadaan Perencanaan Pengadaan adalah tahap awal dalam kegiatan yang peranannya sangat strategis dan menentukan, yaitu bertujuan untuk membuat Rencana Pengadaan (Procurement Plan) untuk
mempersiapkan dan mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya, dan manfaat dari pengadaan jasa konsultansi untuk keperluan pemerintah, yang dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri (BLN). Rencana
16
Pengadaan akan menjadi acuan utama dalam kegiatan pengadaan jasa pemerintah per paket pekerjaan. 2) Pembentukan Panitia Lelang Panitia lelang adalah lembaga pelaksana pengadaan yang pertamatama dibentuk dan ditunjuk oleh pemimpin proyek setelah seluruh persiapan administrasi pelaksanaan proyek baku. Penunjukan panitia sepatutnya bersandar pada prinsip profesionalisme, responsivitas, akuntabilitas, kredibilitas, dan kemandirian. Panitia lelang memiliki kewenangan antara lain: (1) (2) (3) menyusun dokumen tender, menyusun dan menyeleksi peserta tender, melakukan kegiatan-kegiatan tender sampai dengan penetapan pemenang, dan (4) 3) melaksanakan tugas secara profesional.
Prakualifikasi Perusahaan Kegiatan Prakualifikasi adalah penentuan syarat administratif, teknis, dan pengalaman serta seleksi dari perusahaan (kontraktor/konsultan dan supplier), yang yang akan diperkirakan ditender mampu atau untuk melaksanakan Prakualifikasi
pekerjaan
dilelangkan.
dilaksanakan sebelum tender dalam rangka menjaring calon yang sanggup melaksanakan pekerjaan. Dalam tahap ini panitia menyusun kriteria kelulusan prakualifikasi dan mengumumkannya pada
17
masyarakat. Prioritas dalam prakualifikasi akan merujuk kepada sertifikasi, izin usaha, kemampuan keuangan, pengalaman yang sesuai, kepatuhan dalam perpajakan, pekerjaan yang sedang dikelola, serta kinerja perusahaan. Sebagaimana tahap-tahap lainnya,
pelaksanaan prakualifikasi harus mengacu pada prinsip keterbukaan, kejujuran, transparansi, kemandirian, dan profesionalisme. 4). Penyusunan Dokumen Lelang Penyusunan dokumen lelang adalah kegiatan yang bertujuan
menentukan secara teknis dan rinci dari pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh pihak penyedia jasa, mulai dari lingkup pekerjaan, mutu, jumlah, ukuran, jenis, waktu pelaksanaan, dan metode kerja dari keseluruhan pekerjaan yang akan dilelangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut. (1). Dokumen disusun secara sederhana oleh panitia agar mudah dipahami dan menjadi pedoman baku bagi seluruh pihak. (2). Dokumen tersebut meliputi petunjuk kepada peserta lelang, syarat kontrak, syarat teknis, daftar pekerjaan yang akan dikontrakkan, usulan perjanjian, serta gambar-gambar dan referensi yang diperlukan oleh peserta tender. 5). Pengumuman Pelelangan Pengumuman pelelangan dimaksudkan agar masyarakat mengetahui akan adanya pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, oleh
18
karena itu pengumuman tersebut harus disebarluaskan melalui media massa. Pada dasarnya, pengumuman tersebut mewakili proses pendaftaran bagi perusahaan yang telah lulus kualifikasi untuk mengikuti tender. 6). Pengambilan Dokumen Lelang Adalah kegiatan penyediaan dokumen pelelangan oleh Panitia Lelang kepada para peminat, secara lengkap dengan cuma-cuma maupun dengan biaya yang telah ditentukan, dalam waktu yang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Untuk mempermudah distribusi, dokumen lelang dapat dibagi menjadi dokumen tetap dan tidak tetap. Isi dokumen adalah instruksi standar untuk bidder, syarat-syarat umum kontrak, spesifikasi teknis umum, contoh-contoh dokumen yang umuni diberlakukan seperti surat penawaran, bid bond/guarantee, performance bond/guarantee, dan surat usulan ajudikator. 7). Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Harga Perkiraan Sendiri (HPS) menentukan perkiraan besaran biaya pekerjaan yang akan dilelangkan, berdasarkan: (1). (2). harga pasaran yang berlaku; patokan jenis, ukuran volume, metode, dan pekerjaan sesuai dengan desain atau rancang bangun pekerjaan dimaksud; (3). perhitungan kenaikan harga dan waktu pelaksanaan pekerjaan;
19
Harga Perkiraan Sendiri perlu dalam penyusunan anggaran, proses pengadaan, dan pelaksanaan. Harga Perkiraan Sendiri berperan dalam penentuan pemenang; setiap peserta lelang memperoleh akses untuk mengetahui Harga Perkiraan Sendiri; penyusun Harga Perkiraan Sendiri harus mengkaji studi kelayakan, engineering design, data harga kontrak di sekitar pekerjaan yang dilelangkan, harga pasar yang berlaku, dan harga yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan jasa. 8). Penjelasan Lelang Aanwijzing adalah pertemuan penjelasan lisan dari pihak pemberi kerja, yang dalam hal ini diwakili oleh Panitia Pengadaan di hadapan keseluruhan calon peserta pelelangan. Penjelasan dan tanya jawab dilakukan tentang hal teknis maupun administratif, agar tidak terjadi perbedaan persepsi maupun kekeliruan dalam pengajuan
penawarannya. Kegiatannya meliputi antara lain: (1). (2). harus bersifat terbuka dan dibuat berita acaranya oleh panitia; informasi yang diberikan dalam bentuk addendum dokumen lelang; (3). bila penjelasan lapangan diperlukan, panitia tidak diperkenankan memungut biaya untuk kegiatan tersebut. 9). Penyerahan Penawaran Harga dan Pembukaan Penawaran
20
Penyerahan dokumen penawaran dilakukan secara tepat waktu, lengkap dan memenuhi syarat administratif dan teknis, serta
dialamatkan seperti yang telah ditentukan. Penyerahan harus dapat dibuktikan dengan tanda terima dari petugas. Kegiatan ini antara lain meliputi: (1). penyampaian penawaran oleh peserta dapat dilakukan segera setelah peserta menerima addendum terakhir panitia; (2). (3). penyampaian dokumen di luar batas waktu tidak akan diterima; pembukaan, pemberian tanda, penelitian dokumen utama disaksikan oleh peserta; (4). setelah berita acara pembukaan, panitia tidak diperkenankan lagi menerima dokumen apa pun; (5). tidak ada peserta yang gugur sebelum dilakukan evaluasi terhadap dokumen. 10). Evaluasi Penawaran Evaluasi penawaran adalah kegiatan pemeriksaan, penelitian, dan analisis dari keseluruhan usulan teknis dari peserta pelelangan, dalam rangka untuk memperoleh validasi atau pembuktian terhadap harga penawaran yang benar, tidak terjadi kekeliruan sesuai dengan persyaratan teknis yang telah ditentukan. Adapun kegiatan itu adalah: (1). evaluasi penawaran meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga;
21
(2).
evaluasi
administrasi
perlu
mempertimbangkan
faktor
redaksional, keabsahan, jaminan penawaran, dan aritmatik; (3). setelah lulus evaluasi administrasi, penawaran akan dikaji dari sisi teknis di mana perusahaan yang mengikuti tender harus memiliki sertifikasi dari lembaga akreditas yang credible. 11). Pengumuman Calon Pemenang Kegiatan Pengumuman urutan calon Pemenang dilakukan setelah keseluruhan hasil penelitian dirumuskan oleh panitia pelelangan dinyatakan selesai dan diusulkan atau dipertanggungjawabkan kepada penanggung jawab alokasi dana atau pemilik proyek. Calon pemenang di urutan pertama akan disahkan sebagai pemenang pelelangan, setelah masa sanggah selesai dengan kegiatan sebagai berikut: (1). pengumuman dipasang di media massa dengan jangkauan yang luas sesuai besaran kontrak, pengumuman ditempelkan pula di Kantor proyek; (2). pengumuman harus jelas dan rinci sehingga sanggahan menjadi berkurang; (3). (4). 12). dilaksanakan dengan waktu yang cukup; pelaksanaannya on time dan tidak ditunda-tunda.
Sanggahan Peserta Lelang Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi para peserta pelelangan yang meminta penjelasan tentang keputusan
22
panitia pelelangan tentang urutan calon pemenang, dengan kegiatan sebagai berikut: (1). panitia harus terbuka, akomodatif, dan memproses setiap sanggahan dari masyarakat yang umumnya berkisar pada ketidakpuasan evaluasi, intransparansi, ketidakadilan, dan
penggelapan data dari pemenang; (2). berdasarkan informasi tefsebut, panitia harus segera melakukan investigasi untuk membuktikan kebenaran sanggahan. Bila sanggahan tersebut tidak benar, maka panitia akan melanjutkan ke penanda-tangan kontrak, sebaliknya bila sanggahan dari masyarakat benar; (3). pemerintah pembatalan harus memberikan mencoret sanksi nama administratif pemenang, yakni dan
tender,
pembubaran panitia. 13). Penunjukan Pemenang Lelang Setelah masa 'sanggah' berakhir maka kepala instansi/proyek wajib untuk mengeluarkan secara resmi surat penetapan pemenang pelelangan, guna dapat diproses di dalam ikatan perjanjian kerja pelaksanaan pekerjaan atau Kontrak Kerja. Kegiatan tersebut meliputi: (1). Berita acara yang telah selesai lengkap dengan tanda tangan seluruh anggota panitia.
23
(2).
Catatan
lengkap
sanggahan
dan
jawaban
merupakan
kelengkapan data yang diperlukan untuk pengeluaran surat tersebut. (3). Catatan samping (side letter) yang merupakan hasil
kesepakatan.
preaward meeting. 14). Penandatanganan Kontrak Perjanjian Kegiatan akhir dari proses pelelangan adalah penandatanganan perjanjian kontrak pelaksanaan pekerjaan. Perjanjian tersebut
mengatur tentang nilai harga pekerjaan, hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta waktu pelaksanaan pekerjaan yang ditentukan secara pasti. 15). Penyerahan Jasa Konsultansi kepada User Penyerahan jasa dapat dilakukan secara bertahap atau menyeluruh. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam dokumen lelang. Penyerahan final dilakukan setelah masa pemeliharaan selesai. Setelah penyerahan final selesai, tanggung jawab penyedia jasa masih belum berakhir. Penyerahan jasa dianggap memenuhi aturan yang berlaku apabila dilaksanakan: (1). (2). (3). tepat waktu sesuai perjanjian, tepat mutu sesuai yang dipersyaratkan, tepat volume sesuai yang dibutuhkan, dan
24
(4).
3. Permasalahan Umum Dalam Pengadaan Jasa Konsultansi Berdasarkan hasil pengkajian terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa untuk beberapa periode oleh Adrian Sutedi, ditemukan permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa sebagai berikut:30 1) Inefisiensi Secara umum, proses pengadaan barang dan jasa selama ini masih belum dapat menghasilkan harga yang kompetitif. Harga barang dan jasa yang diperoleh melalui proses pengadaan barang dan jasa cenderung lebih tinggi dibandingkan pembelian langsung/harga pasar. Hal ini menjadi indikator bahwa proses pengadaan cenderung menciptakan ekonomi biaya tinggi dan menciptakan biaya-biaya yang menambah harga penawaran. Harga yang tidak kompetitif pada akhirnya akan merugikan keuangan/perekonomian negara dan
masyarakat, karena berkurangnya manfaat dari belanja negara. Inefisiensi menjadi semakin bertambah besar manakala proses pelelangan juga tidak jujur. Perilaku ini menciptakan nilai pekerjaan dari barang dan jasa menjadi menggelembung, yang selanjutnya biasanya diikuti dengan pelaksanaan pengadaan yang tidak jujur dan ada unsur KKN.
30
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang Permasalahannya (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.6 8.
dan
Jasa
dan
Berbagai
25
2)
Lemahnya Daya Saing Nasional Belanja sektor publik dalam APBN dan APBD maupun belanja badan usaha milik negara pada prinsipnya dimaksudkan untuk dapat mendorong perekonomian, di samping merupakan penyediaan
pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi, pelaksanaan pengadaan yang tidak efisien dan iklim usaha yang tidak sehat (adanya unsur KKN) menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga harga tidak kompetitif, yang pada akhirnya menyebabkan belanja publik tidak cukup mendorong pertumbuhan industri dalam negeri untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan. Kesempatan yang terbatas bagi dunia usaha nasional untuk memanfaatkan peluang usaha belanja publik dalam jangka panjang telah ikut menciptakan dunia usaha yang tidak memiliki daya saing. 3) Pendekatan yang Protektif Pendekatan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah cenderung protektif dan mengedepankan aspek pemerataan peluang usaha. Pendekatan ini ditunjukkan dengan banyaknya pembatasan dalam keikutsertaan dunia usaha dalam pengadaan seperti penggolongan penyedia barang dan jasa (besar, menengah, kecil), pembatasan wilayah operasi berdasarkan golongan usaha, pembidangan yang kaku, dan sebagainya. Pendekatan ini terbukti tidak dapat memberi sumbangan yang berarti bagi peningkatan daya saing nasional dan
26
tumbuh
kembangnya
usaha-usaha
di
daerah
yang
kompetitif.
Pendekatan ini juga menciptakan peluang-peluang KKN dalam pengadaan barang dan jasa. Penyebab permasalahan di atas secara kerangka dibagi dalam 3 (tiga) segi yaitu ketentuannya, sumber daya manusianya, serta lembaga yang berwenang masyarakat.31 1) Legal Framework Ketentuan perundang-undangan yang ada sering tidak konsisten, tumpang tindih, tidak mengatur secara sama sehingga saling bertabrakan, tidak memberi kepastian hukum. Di samping itu, dalam hal-hal tertentu, ketentuan dan pedoman yang ada kurang memberi ruang untuk melaksanakan proses pengadaan barang dan jasa dengan sederhana. 2) Kapasitas Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia pengelola pengadaan barang dan jasa pada umumnya tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan barang dan jasa sesuai ketentuan. Hal ini disebabkan kurang dikembangkannya skema manajemen proyek yang baik maupun persyaratan pengelola pengadaan barang dan jasa. Pengelola pengadaan barang dan jasa belum dipandang sebagai profesi yang menuntut kualifikasi tertentu.
31
menyesuaikan
ketentuan
akibat
perubahan
era/tuntutan
Ibid, h.9.
27
3)
Kelembagaan yang Mengembangkan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Di berbagai negara, pedoman pengadaan barang dan jasa merupakan produk yang selalu diperbarui dan terus-menerus dievaluasi oleh suatu institusi yang lintas sektoral mengingat cakupannya yang luas. Institusi semacam ini belum dibentuk, sehingga pengembangan kebijakan pengadaan barang dan jasa masih cenderung dilakukan secara ad hoc. Terdapat dua asas dalam penyelenggaraan negara yang digemakan
sejak reformasi, yakni transparansi dan akuntabilitas. Asas yang menjadi landasan bagi pelaksana pemerintahan yang bersih dan bertata kelola baik. Demi menegaskan asas-asas tersebut, dibuatlah sistem peraturan perundangundangan. Seperangkat peraturan perundang-undangan yang akan menjamin bahwa penyelenggara negara taat dan siap menanggung risiko seandainya ditemui pelanggaran peraturan perundang-undangan. Salah satu aturan itu adalah Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 yang mengatur pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Keputusan Presiden itu memberikan penegasan terhadap pengadaan barang dan jasa baik yang dilakukan dengan cara lelang, pemilihan langsung, dan penunjukan langsung. Lahirnya Keputusan Presiden itu adalah untuk menjamin bahwa pengadaan barang dan jasa berlangsung adil (tidak diskriminatif), transparan, bersaing dan akuntabel Keputusan Presiden itu juga dibuat untuk mencegah
28
"pasar gelap", "persekongkolan", praktik penggelembungan harga atau penurunan jenis barang dari spesifikasi yang sudah ditentukan. Keppres tersebut juga menyebutkan pelaksanaan tender harus mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun serta perekayasaan nasional yang sasarannya untuk memperluas lapangan kerja serta
mengembangkan industri dalam negeri. 4. Identifikasi Pola Penyimpangan Dalam Jasa Konsultansi Berbagai penyimpangan bisa terjadi dalam tahap-tahap proses pengadaan jasa konsultansi. Hal ini bisa disebabkan oleh kelalaian dan inkompetensi pelaksana serta peserta pengadaan. Namun tak jarang penyimpangan ini juga merupakan tindakan yang disengaja pelaksana dan/atau peserta pengadaan dalam rangka kolusi dan korupsi. Berikut ini diuraikan berbagai pola penyimpangan dalam berbagai tahap proses pengadaan jasa konsultansi, mulai dari perencanaan pengadaan sampai penyerahan barang, yakni sebagai berikut:32 1). Tahap Perencanaan Pengadaan Berbagai bentuk penyimpangan dalam tahap ini, di antaranya: a. Penggelembungan biaya pada rencana pengadaan, terutama dari segi biaya. Gejala penggelembungan dapat terlihat dari unit-price yang tidak realistis dan pembengkakan jumlah anggaran
APBN/APBD, akibatnya:
Transparency International Indonesia, Modul Pakta Integritas dan Sistem Pemantauan Pelaksanaan Pengadaan Barang & Jasa di Lingkungan Institusi/Lembaga Publik, 2003, h. 3 et seq.
32
29
(1). (2).
Terjadi pemborosan dan/atau kebocoran pada anggaran; Terjadi "tender arisan", hal ini jamak dalam pemaketan yang kolutif;
(3).
(4).
Negara dirugikan dengan alokasi anggaran yang tidak realistis atau melebihi alokasi anggaran yang seharusnya.
b. Rencana pengadaan diarahkan untuk kepentingan produk tertentu. Spesifikasi teknis dan kriterianya mengarah pada suatu produk dan pengusaha tertentu (yang tidak mungkin dilakukan oleh pengusaha lain). Perencana, panitia, pemimpin proyek, dan mitra bekerja secara kolutif. c. Pemaketan untuk mempermudah KKN. Dalam kaitan dengan pemaketan tersebut33 pengadaan dijadikan satu sehingga pelaksanaannya harus dilakukan oleh perusahaan besar. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat dimana hanya kelompok tertentu yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bila ada kelompok lain yang memaksakan diri untuk melaksanakan pekerjaan itu, mereka akan merugi. d. Rencana yang tidak realistis, terutama dari sudut waktu
pelaksanaan waktu pelaksanaan ditentukan menjadi sangat singkat sehingga mereka yang mampu melaksanakan pekerjaan hanyalah
33
30
pengusaha yang telah mempersiapkan diri lebih dini. Hal tersebut dapat mereka lakukan dengan cara menyuap panitia agar informasi tender dan pekerjaan dapat mereka peroleh lebih dulu daripada peserta lain. Pembelian jasa tanpa memperhatikan kebutuhan substantif. 2). Tahap Pembentukan Panitia Pada tahap Pembentukan panitia lelang ini paling tidak ditemukan 4 jenis pola penyimpangan, yakni: a. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak adil. Patologi ini muncul karena panitia tidak lagi memiliki sifat jujur, terbuka, dan dapat dipercaya. Prinsip good governance
(transparency dan accountability) tidak dapat ditegakkan sebab pemegang kendali pada proses yang bias semacam ini adalah uang atau katabelece dari penguasa. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Dalam melaksanakan tugas panitia tidak pernah melakukan diseminasi informasi yang diperlukan oleh masyarakat pemerhati. Panitia juga tidak memberi layanan atau penilaian yang sama di antara peserta lelang karena sogokan atau tekanan dari atasan. (2). Ketertutupan tersebut didorong oleh petunjuk atasan, KKN, atau karena adanya kendali dari kelompok tertentu.
31
b. Panitia tidak jujur (Kelompok yang tidak jujur) Mereka bekerja tanpa visi, tidak profesional, tidak transparan, dan tidak bertanggung jawab. Keputusan yang ditetapkan oleh panitia berdasarkan sogok/suap dari peserta. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Panitia tidak pernah memberikan informasi yang benar kecuali bila mereka disuap. (2). Mitra kerja bersikap yang sama sehingga panitia dan mitra kerja dapat menjadi kelompok yang kuat. c. Panitia memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Panitia mengacu kepada kesepakatan tidak tertulis. Tidak ada formalitas, panitia sepenuhnya berpihak ke kelompok tertentu, mengabaikan kehendak kelompok lainnya. Diupayakan kelompok lain tidak lulus dalam proses. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Panitia bekerja dengan mengacu pada kriteria yang tidak baku dan muncul dengan kelompok-kelompok pimpro sehingga yang kualitas memiliki produk
kedekatan
34
Tender Arisan terjadi karena adanya suatu kartel/kolusi diantara para peserta tender dalam bentuk persengkokolan horisontal.
32
(2).
Terjadi kelompok interinstitusi yang menjadikan dana proyek sebagai konspirasi untuk dihamburkan tanpa memikirkan outcome dari proyek itu.
d. Panitia dikendalikan oleh pihak tertentu. Dalam rangka mengatur pelaksanaan pengadaan agar mengikuti atau terpakai, kelompok tertentu mengendalikan panitia melalui sogok/suap, sehingga keinginan kelompok tersebut tercapai. Biasanya kelompok tersebut mengarah pada "tender arisan". Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Dalam melaksanakan tugas, panitia bekerja secara tidak accountable, profesional, dan lamban karena mereka selalu menunggu perintah dari atasan. (2). Panitia ibarat mesin operator tanpa memiliki daya analisis, kemudi diambil alih oleh atasan atau pendana "operasi tender". (3). Sesuai harapan birokrat, panitia akan menyusun dokumen yang bersih. (4). Tender arisan tersebut hanya dapat terlihat di data resume akhir tahun, (pada awal proses belum terlihat). 3). Tahap Prakualifikasi Peserta Pada tahap prakualifikasi perusahaan ditemukan jenis penyimpangan di antaranya:
33
a. Dokumen mitra kerja tidak memenuhi syarat (tidak didukung oleh data yang benar). b. Dokumen mitra kerja tidak didukung oleh data yang benar, namun diluluskan oleh panitia dalam tahap prakualifikasi. Data sertifikasi palsu, atau ada surat tugas tanpa dokumen. 4). Tahap Penyusunan Dokumen Tender Pada tahap penyusunan dokumen lelang, ditemukan jenis
penyimpangan yang mungkin timbul, di antaranya: a. Spesifikasi teknis mengarah pada suatu produk tertentu. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat jumlah
perusahaan yang berpartisipasi dalam tender tersebut berkurang dan hanya kelompok tertentu yang survive sehingga timbul gejala "tender arisan". b. Kriteria evaluasi dalam dokumen lelang diberikan penambahan yang tidak perlu. Penambahan dilakukan untuk membatasi peserta di luar daerah, kelompok atau group. Pemenuhan kriteria tersebut mengakibatkan pengusaha di luar kelompok jangkauan tidak dapat memenuhi syarat atau akan merugi. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat dari banyak peserta yang gagal akibat tidak mampu melampaui kriteria evaluasi dan ternyata mereka yang mampu lulus evaluasi adalah kelompok eksklusif yang melakukan praktik KKN.
34
c. Dokumen lelang nonstandar (sehingga KKN mudah terjadi). Dokumen lelang dibuat dengan tidak mengikuti kaidah dokumen lelang, antara lain: Instruksi kepada peserta lelang dibuat dengan menambah syarat yang sukar, persyaratan tentang penyusunan pendukung dokumen penawaran yang seharusnya tidak diperlukan, namun diminta kalau tidak dipenuhi dapat mematikan, persyaratan tentang prakualifikasi yang seharusnya tidak lagi dimuat, namun menjadi persyaratan yang mematikan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Hanya kelompok tertentu yang akhirnya survive "berkat" praktik KKN dengan panitia lelang atau dengan kelompok yang lain. Hal ini berawal dari upaya kelompok tertentu
agar menang tender melalui rekayasa dokumen sehingga mitra-kerja yang gugur secara sukarela menerima dokumen rekayasa ini. (2). Cacat dalam dokumen tersebut hanya dapat diungkap melalui suatu cermatan yang tajam terhadap apa yang ditegakkan oleh panitia dalam menyusun
seharusnya
Dokumen Pengadaan. Persyaratan mengada-ada dan tidak standar. d. Dokumen lelang yang tidak lengkap
35
Dokumen ini tidak lengkap karena ketidakmampuan panitia dalam menyusun dengan baik dan benar, hal ini akan membuat peluang untuk berbuat KKN, kekurangan dan kelebihan dokumen akan memberi kesempatan dan peluang bagi oportunis untuk memainkan peran dalam proses pengadaan barang dan jasa. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Dalam mencerna dokumen tersebut, mitra kerja yang terkait, akan mengalami kebingungan, peluang untuk para mitra kerja adalah saat proses penjelasan/aanwijzing. (2). Pada saat tersebut panitia akan memperoleh pertanyaan yang cukup banyak. Dalam kondisi seperti ini ada kelompokkelompok tertentu yang memanfaatkan untuk melakukan kolusi dengan mitra dan panitia untuk melakukan pengaturan tender, kalau paket pekerjaan tersebut hanya ada beberapa paket, pengaturan mengarah kepada prakarsa untuk
memenangkan tender. Sedangkan untuk multi paket, kolusi diarahkan pada tender "arisan". (3). Dalam melakukan evaluasi, panitia dalam melakukan
tugasnya tidak dapat konsisten dengan aturan yang lazim dipergunakan dalam proses evaluasi, dalam klarifikasi, panitia akhirnya melakukan proses pembenaran untuk kelompoknya, dan melakukan penyalahan untuk yang harus
36
jatuh35. Adapun dalam sanggahan, panitia akan lebih tidak menghiraukan sanggahan itu sendiri, karena jawabannya hanyalah sanggahan tidak benar dalam penyusunan
dokumen kontrak, panitia akhirnya harus menerima kondisi pahit, apabila ternyata kontrak tidak lagi diatur win-win, namun lebih menguntungkan mitra kerja. 5). Tahap Pengumuman Tender Pada tahap pengumuman lelang ini ditemukan 4 (empat) jenis penyimpangan yang mungkin timbul: a. Pengumuman lelang yang semu atau palsu Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Panitia bersepakat dengan mitra kerja untuk melakukan tindakan KKN. (2). Dua institusi penyedia dan pengguna jasa sudah sepakat untuk melakukan penyimpangan dari pedoman yang ada. (3). (4). Semua produk pengadaan adalah produk rekayasa. Pelaksanaan tender mulus, sanggahan yang ada bersifat proforma, nilai penawaran sangat mendekati harga perkiraan sendiri, dan kualitas pekerjaan sangat rendah. b. Materi Pengumuman yang membingungkan (ambigious) Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat:
35
Hal ini tidak terjadi apabila tender sudah diformulasikan tender arisan.
37
(1).
Peserta Aanwijzing banyak, namun yang ikut tender akhirnya sedikit (tender yang diatur).
(2).
Suasana audensi sudah merefleksikan semangat tender yang diatur tersebut. Pemenangnya sudah dapat ditebak, peserta lainnya berperan hanya sebagai penggembira saja.
c. Jangka waktu pengumuman terlalu singkat Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat peserta terbatas dan kelompok yang dekat dengan proyek saja yang siap mengikuti tender. Sebaliknya, pengusaha yang tidak mengenal personil di proyek tersebut secara dekat, jangan berharap mempunyai peluang untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan tendering proyek tersebut. d. Pengumuman lelang tidak lengkap Pengumuman ini dibuat untuk mengurangi peserta lelang sehingga agar tender hanya diikuti oleh kelompok sendiri. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat peserta lelang relatif terbatas dan kelompok dekat proyek yang mengikuti. Hampir tidak ada peserta luar daerah walau pekerjaan cukup besar. 6). Tahap Pengambilan Dokumen Tender Pada tahap pengambilan dokumen lelang penyimpangan yang dapat terjadi di antaranya: a. Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (partial).
38
Dalam proses penyempurnaan dokumen dijumpai dokumen konsep dan dokumen final. Untuk menggalakkan peserta lain di luar kelompok (yang tidak ikut dalam kelompok kolusi) mereka diberi dokumen yang masih konsep. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat seperti banyak peserta gugur akibat tidak memenuhi kriteria evaluasi. Peserta yang tidak gugur hanya kelompok tertentu (termasuk dalam kelompok KKN). b. Waktu pendistribusian informasi terbatas Hal itu dilakukan dengan sengaja agar hanya kelompok tertentu yang dapat memperoleh informasi tersebut/praktik KKN. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat misalnya hanya sedikit peserta yang memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan terlihat adanya pengaturan dalam tender. Dalih yang digunakan untuk menjustifikasi perbuatan itu adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan yang segera datang. Peserta yang masih "sempat" mengambil dokumen ialah mereka yang dekat dengan pimpinan proyek. c. Penyebarluasan dokumen yang cacat. Misalnya dengan pemilihan tempat yang tersembunyi. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat pada:
39
(1).
Peserta terbatas dan tender diatur baik dengan metode arisan maupun metode lainnya.
(2).
Penyampaian dokumen lelang dilakukan di tempat yang sukar ditemukan dan papan pengumuman tidak dipasang. Hal itu dimaksudkan agar mitra kerja yang datang mengambil hanya mereka yang kenal baik dengan panitia.
7).
Tahap Penentuan Harga Perkiraan Sendiri Pada tahap penyusunan harga perkiraan sendiri (UPS/Owner's Estimate) ditemukan penyimpangan, di antaranya: a. Gambaran nilai Harga Perkiraan Sendiri ditutup-tutupi. Walaupun sudah ada pedoman bahwa Harga Perkiraan Sendiri tidak bersifat rahasia bukan berarti mitra kerja mudah memperoleh dokumen tersebut. Hanya kelompok tertentu yang mudah mengakses kandungan dokumen Harga Perkiraan Sendiri tersebut. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Penawaran yang ada berkisar jauh di atas atau di bawah Harga Perkiraan Sendiri. (2). Ada cluster penawaran yang berdekatan dengan Harga Perkiraan Sendiri. (3). Ada mitra kerja yang memasukkan nilai penawaran "asal hitung" karena panitia tidak mengumumkan nilai Harga Perkiraan Sendiri secara terbuka.
40
(4).
Intransparansi panitia pada kasus di atas ditujukan agar mereka memperoleh suap/uang pelicin.
b. Penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN. Dalam menyusun Harga Perkiraan Sendiri bahyak besaran yang harus diperhatikan. Besaran tersebut mempunyai andil dalam menentukan Harga Perkiraan Sendiri, antara lain: koefisien penggunaan peralatan, koefisien tenaga kerja, koefisien material perhitungan sewa alat, faktor kesukaran lapangan, faktor material, efisiensi peralatan, ketidakpastiannya hal tersebut memudahkan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri untuk memainkan perannya, sehingga dengan penjelasan yang meyakinkan Harga Perkiraan Sendiri dapat dihitung dengan cara yang sama, namun nilainya berbeda. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Nilai penawaran mendekati Harga Perkiraan Sendiri karena sudah diatur sebelumnya dengan mitra kerja. (2). Nilai kontrak menjadi tinggi karena nilai yang ditawarkan pemenang akan dekat dengan nilai Harga Perkiraan Sendiri. (3). Koefisien dan faktor yang mempengaruhi suatu harga tidak menguntungkan. (4). Produktivitas rendah karena upaya ini digunakan untuk berKKN oleh pihak-pihak terkait. Mitra kerja terkait akan memanfaatkan nilai Harga Perkiraan Sendiri.
41
c. Harga dasar yang tidak standar (dalam KKN) Harga dasar material, peralatan, dan tenaga merupakan salah satu penentu dalam HPS. Data yang tidak "valid" akan mengakibatkan HPS menjadi berbeda/berubah. Gejala-gejala yang dijumpai
biasanya dapat dilihat: (1). Walau metode sudah dibeberkan, namun panitia menyusun harga dasar nonstandar (yang cenderung tinggi). (2). Panitia membuat harga satuan tinggi untuk pekerjaan konstruksi terutama alat, material, dan tenaga, khusus untuk konsultan lihat rate tenaga kerja, sedangkan untuk barang, sampel diambil dari harga penawaran ranking tertinggi. (3). (4). Harga Perkiraan Sendiri akan mendekati nilai pasar. Panitia tidak cermat dalam menyusun perhitungan dan analisis harga terhadap bagian pekerjaan (ada kesengajaan untuk menempatkan penawaran tinggi). Sedangkan bagi pengusaha/mitra kerja yang melakukan perhitungan dengan perkiraan optimis (rendah) akan merasa tidak yakin untuk melakukan pekerjaan (Misal 50% dari Harga Perkiraan Sendiri). (5). Dari para penawar ada cluster yang saling berdekatan karena mereka mengetahui nilai HPS dan cara perhitungan. Di samping itu, ada cluster yang saling berjauhan nilainya.
42
d.
Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan (Dalam rangka KKN) Biasanya yang menyusun HPS adalah panitia, namun dalam rangka kolusi, yang menyusun adalah 'calon pemenang' (jadi yang menyusun mitra kerja). Cara dan data serta metode mirip dengan usulan mitra kerja dalam rangka kolusi (di samping panitia juga tidak berkemampuan menyusun HPS sendiri). Gejala-gejala yang
dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Panitia tidak tahu banyak mengenai detail HPS karena bukan panitia yang menyusunnya, namun mitra kerja telah
dicalonkan sebagai pemenang. (2). Ada kelompok penawar yang penawarannya mirip satu sama lain, yakni sebagai pemenang dan pendamping. (3). Bagian tertentu bernilai tinggi sehingga ketika ada addendum nilai kontraknya akan bertambah/membengkak. (4). Penyusunan HPS berbeda dengan pedoman yang formal digunakan dalam proyek. 8). Tahap Penjelasan Tender (Aanwijzing) Pola penyimpangan dalam tahap aanwijzing di antaranya: a. R-bid meeting yang terbatas (dalam rangka KKN) Pembatasan informasi oleh panitia agar hanya kelompok dekat saja yang memiliki informasi lengkap. Gejala-gejala yang dijumpai
43
biasanya dapat dilihat misalnya dalam penawaran, ada cluster yang penawarannya lengkap dan ada cluster lain yang penawarannya tidak lengkap. b. Informasi dan deskripsi terbatas Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Panitia memberikan penjelasan dalam bentuk question and answer. (2). Formulasi dan distribusi addendum tidak merata antarpeserta (setelah aanwijzing). (3). Penjelasan yang parsial dimaksudkan untuk ber-KKN, sehingga kelompok yang ikut KKN akan memperoleh informasi yang lebih sempurna. Sebaliknya pihak yang tidak ber-KKN akan menyampaikan penawaran yang kurang sempurna dan cenderung dinyatakan gugur secara
administratif. c. Ketiadaan partisipasi masyarakat Karena masyarakat pemerhati dilarang mengikuti (Hal ini dikaitkan dengan proyek yang direkayasa-pekerjaan fiktif) Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat misalnya beberapa hal dapat terjadi akibat tersumbatnya informasi publik yaitu seperti pada kasus angka 1) dan angka 2). Penjelasan normal
44
namun di antara peserta ada yang ber-KKN Panitia tertutup kepada pemerhati. d. Penjelasan yang kontroversial Hal ini dapat terjadi dalam proyek APBN. Sedangkan untuk proyek BLN diperlukan rekonfirmasi dari badan pemberi bantuan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1) Penawar banyak yang gugur karena perbedaan persepsi, penawar yang survive adalah mereka yang menyelaraskan dengan penjelasan panitia. (2). Panitia melanggar pedoman dalam keppres dan Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. S-42/A/2000-No. S-2262/ D.2/05/2000. Seharusnya panitia menjelaskan mengenai materi dokumen lelang. Bila panitia menjelaskan hal di luar dokumen tersebut, maka dia harus bertanggung jawab atas penjelasan tersebut. 9). Tahap Penyerahan Penawaran dan Pembukaan Penawaran Pada tahap penyerahan penawaran harga dan pembukaan penawaran, penyimpangan yang dapat terjadi di antaranya: a. Relokasi Penyerahan Dokumen Penawaran Dimaksudkan untuk membuang penawaran yang tidak mau diatur.
45
Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Relokasi penyerahan dokumen penawaran dilakukan oleh panitia dalam rangka pengaturan tender. Hal dimaksudkan untuk menyingkirkan peserta yang tidak termasuk dalam kelompok KKN mereka. Sebaliknya, kelompok mereka telah diberitahukan melakukan sebelum pemasukan sudah penawaran. membuat Dalam skenario
relokasi
panitia
sedemikian rupa agar peserta nonkelompok akan terlambat datang. (2). Kelompok yang datang lebih awal adalah kelompok yang berKKN dengan panitia. b. Penerimaan Dokumen Penawaran yang terlambat Biasanya
penawar itulah yang dijagokan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Penawar biasanya menyampaikan penawaran pada detikdetik terakhir. Faktor transportasi dapat saja menjadi aral dalam proses penyampaian tersebut, sehingga dokumen tiba terlambat. (2). Sesuai yang tertera di Juklak, panitia dilarang menerima dokumen yang terlambat.
c.
46
Dalam upaya menjatuhkan rival tertentu. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Dalam rangka menjatuhkan lawan usaha, mitra kerja melakukan tindakan ilegal, yakni memasukkan dokumen palsu atas nama penawar lain. (2). Dokumen palsu tersebut memiliki banyak kesamaan dengan dokumen lain, dalam hal perwajahan dan bentuk tanda tangan. (3). Bila hal tersebut terjadi, maka akan ditemukan 2 (dua) dokumen penawaran dari satu perusahaan yang sama. Kedua dokumen tersebut saling dokumen perubahan). (4). Bila indikasi tersebut ternyata tidak terbukti, maka dalam proses selanjutnya kedua dokumen tersebut akan dinyatakan tidak sah sebab dalam dokumen lelang disebutkan bahwa pemasukan dokumen penawaran hanya diperkenankan satu kali saja). d. Ketidaklengkapan Dokumen Penawaran Hal ini bisa terjadi karena tender telah diatur sebelumnya. Apabila paket cukup, pengaturan meruncing ke tender arisan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat seperti banyak penawar yang gugur karena silly mistake. menjelaskan (berupa
47
e. Upaya menghalangi pemasukan dokumen penawaran oleh oknum tertentu agar peserta tersebut terlambat menyampaikan dokumen penawarannya. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat, seperti banyak penawar yang gugur karena terlambat memasukkan penawaran akibat kecelakaan, gangguan di jalan. 10). Tahap Evaluasi Penawaran Pada tahap evaluasi ini, penyimpangan yang mungkin timbul di antaranya. a. Kriteria evaluasi cacat Hal tersebut dimaksudkan untuk memenangkan calon yang berani menyuap dengan jumlah yang tidak sedikit. Dari penyusunan kriteria awal, telah diterakan hal-hal yang khusus yang sukar dipenuhi oleh mitra kerja (dalam rangka justifikasi bagi kelompok tertentu). Gejalagejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Penawar yang tidak kompeten ternyata mampu
memenangkan tender. (2). Sekali panitia menyimpang dari peraturan yang ada, bukanlah hal yang sulit bagi mereka untuk menyelewengkan juga langkah dan aktivitas pengadaan dari pedoman yang baku. (3). Produk yang dihasilkan dari pola kerja yang cacat tersebut, akan berada di bawah standar.
48
(4).
Symptom: lainnya adalah perusahaan bonafid akan gugur, sebaliknya perusahaan yang kinerjanya lebih buruk akan lulus evaluasi administratif.
(5).
Lembaga klarifikasi menjadi tempat persekongkolan antara panitia dengan mitra kerja.
(6).
Hasil
yang
diperoleh
masyarakat
tidak
prima
sebab
pemenang tender atau pelaksana pekerjaan tersebut bukan mitra kerja yang terbaik, melainkan mereka yang bersedia bermain "kotor" untuk menjadi pemenang kontrak. b. Penggantian dokumen Untuk memenangkan mitra kerja tertentu, penggantian dokumen dilakukan dengan cara menyisipkan revisi dokumen di dalam dokumen awal. Dengan evaluasi tertutup dan sukar dijangkau, panitia dapat berbuat apa saja dalam menangani dokumen termasuk mengganti atau menukar dokumen penawaran agar dokumen Pengusaha itu menjadi pemenang. Misalnya walaupun di penawaran bukan terendah, dokumen diganti sedemikian rupa, sehingga setelah dilakukan koreksi aritmatik si penawar tersebut dapat menjadi pemenang (karena terendah). Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Pemenang belum tentu mewakili penawaran yang terbaik, karena bersifat kolutif.
49
(2).
Panitia bekerja secara tertutup dan akses terhadap kontrol diberlakukan. Seluruh informasi diusahakan tidak tersebar ke publik.
(3).
Dalam kegiatan panitia akan mengganti dokumen yang sesuai dengan keinginan mereka terutama yang terkait dengan aritmatik korektif atau yang sejenis.
(4).
Panitia yang telah masuk dunia perkeliruan, akan berusaha memenuhi keinginan mitra kerja yang bersedia
pemenuhan kebutuhan
c. Pemilihan tempat evaluasi yang tersembunyi Untuk memudahkan mengatur segala sesuatunya panitia memilih tempat yang terpencil dan tersembunyi untuk memperoleh hasil yang mantap karena keterbatasan tenaga dan waktu, sehingga konsinyasi bagi mereka adalah sesuatu yang sangat
menguntungkan, tidak banyak gangguan dari pihak luar yang akan mempengaruhi jalannya evaluasi, namun realisasinya lain dari yang diharapkan. Justru dengan terpencilnya lokasi evaluasi, akan dimanfaatkan panitia untuk melakukan KKN dengan mitra kerja. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat:
50
(1).
Tempat rapat panitia tersembunyi sehingga memudahkan panitia memanipulasi dokumen. Pembiayaan rapat evaluasi eksklusif (tergantung siapa yang membiayai).
(2).
Agar ketidakjujuran yang dilakukan panitia berhasil, mereka akan memilih tempat evaluasi yang tidak terjangkau oleh atasan. Di samping itu, mereka juga menjadikan aktivitas kepanitiaan yang seharusnya sebagai kegiatan paruh waktu menjadi kegiatan pokok mereka. Mereka memilih tempat yang nyaman untuk evaluasi tersebut, seperti di hotel berbintang. Pertanyaannya adalah, bila proyek tidak
menyediakan anggaran untuk akomodasi semacam itu, lalu siapa yang menjadi penyandang dananya? (3). Evaluasi yang dilakukan di tempat tertutup akan mengarah pada Intransparansi. (4). Atasan, mitra kerja, dan panitia yang bersekongkol akan mengeluarkan dokumen hasil evaluasi sementara sebagai bahan manuver. Semua honor dan kebutuhan panitia akan dipenuhi oleh mitra kerja. d. Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi Pengaturan seperti ini banyak dijumpai dalam tender arisan, sehingga beban evaluasi panitia tidak banyak dan panitia hanya mengevaluasi syarat minimum tertentu.
51
Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Jumlah peserta yang ikut dokumen, dan yang lulus prakualifikasi, semakin memasukkan secara
menurun
mencolok, dengan pola 15-10-5 penawar, (contoh). (2). Pada tender yang diatur, akan tampak jumlah peserta prakualifikasi banyak, namun yang lulus dan ikut tender hanya separuhnya. Selanjutnya ditemukan setengah dari total peserta, memasukkan penawaran yang salah dan akhirnya tinggal 3 peserta (sesuai dengan Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. S-42/A/2000-No. S-2262/D.2/05/ 2000, panitia akan
mengusulkan tiga calon). (3). Symptom: pada tender arisan tidak terlampau jelas, namun akan terlihat pada proses berikutnya (banyak surat kuasa, banyak kecerobohan, banyak kesamaan isi, pengetikan sama, dan nomor jaminan berurutan).
11).
Tahap Pengumuman Calon Pemenang Pada tahap Pengumuman calon pemenang ini penyimpangan yang mungkin timbul di antaranya:
52
a. Pengumuman yang disebarluaskan sangat terbatas Dengan maksud mengurangi sanggahan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1) Proses pengadaan adalah proses yang mengkaitkan
kegiatan birokrat dengan kegiatan publik. Bila semua langkah pengadaan hanya terbuka bagi mitra kerja, maka publik akan betul-betul buta mengenai proses tersebut. Ketertutupan panitia akan terus berlangsung hingga tahapan akhir proses pengadaan. Untuk menghindari kondisi itu, panitia harus lebih terbuka pada publik. (2). Informasi baru akan dibuka setelah pelaksanaan pekerjaan (hal ini membuat pejabat di lokasi merasa heran). (3). Sanggahan tidak ada, masukan dari publik tidak ada (karena tidak terbaca). b. Pengumuman tidak mengindahkan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan publik dengan harapan tidak adanya sanggahan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat, misalnya: (1). (2). Panitia bekerja sangat tertutup; dan Tidak adanya sanggahan dari peserta lelang.
c. Pengumuman tanggal ditunda Hal ini dilakukan agar panitia memperoleh uang sogok/suap dari peserta yang menang.
53
Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Pengumuman agar terlambat dari hari yang ditentukan karena proses suap/sogok terjadi. (2). Secara psikis, calon pemenang yang sudah mengetahui tentang kemenangannya, ingin segera kemenangan itu diumumkan agar tidak terjadi perubahan. (3). Hal tersebut dilakukan dengan menyogok panitia. Apabila suap tersebut diterima, maka telah terjadi kesalahan yang bersifat random. d. Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman. Pengumuman dimaksudkan untuk memberi tabu masyarakat tentang hasil lelang yang dilakukan dengan jujur dan adil, apabila ada kejanggalan agar masyarakat memberitahu kepada pimpro untuk pembenahan. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Tidak ada masukan dari masyarakat karena masyarakat tidak tahu. (2). Sejak awal proses, sudah ada upaya untuk mengelabui pihak pemerhati dan mitra kerja, yakni melalui pengumuman yang tidak informatif. (3). Hal di atas memunculkan hambatan pada mekanisme pasca evaluasi dan mereduksi sanggahan dari mitra kerja.
54
12).
Tahap Sanggahan Peserta Lelang Pada tahap Sanggahan Peserta Lelang ditemukan penyimpangan yang mungkin timbul di antaranya: a. Tidak seluruh sanggahan ditanggapi, terutama untuk menghindari adanya polemik. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Pengumuman yang dilakukan panitia akan ditanggapi oleh mitra kerja yang kurang setuju dengan hasil evaluasi. (2). Mereka mengkritik tugas panitia yang menyimpang dari pedoman yang ada serta menunjukkan bukti bahwa panitia ber-KKN dengan kelompok mitra kerja tertentu. Respons yang disampaikan panitia kepada pejabat yang berwenang kurang mencerminkan jawaban atas sanggahan yang disampaikan oleh mitra kerja. (3). Proses pengadaan tertutup dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. b. Substansi Sanggahan tidak ditanggapi Terutama untuk menghindari polemik Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Adanya polemik berkepanjangan, namun surat rekomendasi tetap dengan alasan kekhawatiran keterlambatan proyek.
55
(2).
Jawaban yang disusun oleh panitia yang nantinya akan disampaikan oleh pejabat terkait, tidak menyentuh substansi sanggahan. "Bahwa sanggahan immaterial", demikian kirakira bunyi tanggapannya, sesuai dengan klausul instruksi kepada bidder.
(3).
Seluruh sanggahan diarahkan pada klausul mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi tersebut.
c. Sanggahan proforman untuk menghindari tuduhan tender diatur Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Jumlah penyanggah cukup banyak, namun isi sanggahan bernuansa asal menyanggah, tanpa menghiraukan materi sanggahan, sehingga terlihat bahwa sanggahan mitra kerja adalah sanggahan yang dibuat-buat. (2). Jawaban yang disusun oleh panitia yang nantinya akan disampaikan oleh pejabat terkait, tidak menyentuh substansi sanggahan. "Bahwa sanggahan immaterial", demikian kirakira bunyi tanggapannya, sesuai dengan klausul instruksi kepada bidder. (3). Seluruh sanggahan diarahkan pada klausul mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi tersebut dan ini paling mudah dibuat.
56
d. Panitia kurang independen dan kurang akuntabel. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Jumlah penyanggah cukup banyak. Sanggahan memang mencakup ketidakpuasan mitra kerja dalam menerima hasil evaluasi. (2). Jawaban yang disusun oleh panitia yang nantinya akan disampaikan oleh pejabat terkait, tidak menyentuh substansi sanggahan. "Bahwa sanggahan immaterial", demikian kirakira bunyi tanggapannya, sesuai dengan klausul instruksi kepada bidder. Panitia sepertinya tidak bertanggung jawab atas proses ini. (3). Seluruh sanggahan diarahkan pada klausul mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi tersebut dan ini paling mudah dibuat.
13).
Tahap Penunjukan Pemenang Pada tahap penunjukan pemenang lelang ditemukan 4 jenis patologi yang mungkin timbul (penyimpangan ini dikaitkan dengan
penyimpangan terhadap pilar-pilar Good governance) yakni: a. Surat penunjukan yang tidak lengkap
57
Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Penunjukan sudah dikeluarkan, namun proses sanggahan belum selesai, data pendukung berita acara tentang sanggah jawab belum ada, seolah-olah tidak ada sanggahan. (2). Panitia bekerja secara tertutup. Mereka memasuki tahap berikutnya sebelum menyelesaikan proses yang seharusnya mereka selesaikan lebih dulu. b. Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Pada hari yang telah ditentukan surat tersebut belum dikeluarkan oleh proyek, ada berbagai alasan untuk
membenarkan langkah tersebut. (2). Di balik itu semua, adalah perlu adanya uang pelicin. c. Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu-buru. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Dengan dikeluarkan surat tersebut seolah-olah tidak ada masalah tentang tender yang sedang dilaksanakan. (2). Namun dalam kenyataannya saat tersebut proses sanggah jawab sedang berlangsung sehingga sangat merugikan mitra kerja yang sedang memproses sanggahan tersebut. d. Surat penunjukan yang tidak sah Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat:
58
(1). Surat yang belum lengkap sudah beredar atau sudah sampai kepada calon pemenang (dalam hal ini posisinya masih sangat rawan, sebab ada kemungkinan sanggahan benar). (2). Dalam hal ini tanggal dan tanda tangan belum ada, sesungguhnya belum memiliki kekuatan hukum. (3). Digunakan semacam suap kepada pihak tertentu bahwa calon pemenang tersebut memang betul menang, (4). Ada kemungkinan dalam proses akhirnya urutan pertama gugur dan yang mendapat kemenangan adalah terendah ke II. 14). Tahap Penandatanganan Kontrak Pada tahap Penandatanganan Kontrak penyimpangan yang mungkin timbul di antaranya: a. Penandatanganan kontrak yang kolutif secara sistemik Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Kontrak diatur rapi dan lengkap, namun dengan mengkaji agak mendalam, akan dijumpai adanya kejanggalan. (2). Tidak terdapatnya jaminan pelaksanaan, jaminan untuk penarikan uang muka belum ada. (3). Dan jadwal mobilisasi juga belum ada (kalau ada belum tentu tepat). (4). Kontrak fiktif mengandung banyak kekurangan dalam
dokumen pendukung.
59
b. Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda. Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Jaminan pelaksanaan belum ada sehingga kontrak belum dapat ditandatangani, (ini terjadi pada mitra kerja yang kurang memiliki kemampuan, ini merupakan produk prakualifikasi yang kurang credible). (2). Mitra kerja tidak saja melaksanakan tugas karena kemampuan keuangannya terbatas. (3). Akhirnya, mereka sulit memenuhi persyaratan yang diminta seperti jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka, dan mobilisasi pengadaan. c. Penandatanganan kontrak tidak sah Gejala-gejala yang dijumpai biasanya dapat dilihat: (1). Kontrak ditandatangani tanpa adanya dukungan yang
disyaratkan. (2). Atau data pendukung yang kurang dipercaya (kemungkinan fiktif/ palsu). 15). Tahap Penyerahan Untuk penyerahan Hasil Jasa Konsultansi penyimpangan yang mungkin timbul di antaranya: 1) Rekomendasi palsu Gejala ini dapat dilihat pada:
60
(1).
Serah terima pekerjaan pada dasarnya baru dapat terjadj apabila semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (KAK), sebagaimana tertuang dalam dokumen kontrak.
(2).
Namun dalam pelaksanaannya penyerahan dilakukan tanpa menghiraukan kesesuaian hasil kerja konsultan dengan term of re/ere/zce/kerangka acuan kerja.
(3).
Penyerahan hasil karya konsultan tanpa ada penelitian sampling yang komprehensif untuk pembuktian pemenuhan syarat terhadap KAK. Hasil rekomendasi terlihat seperti "sesuai dengan pesanan".
2) Kriteria penerimaan karya konsultan bias Gejala ini dapat dilihat pada: (1). Serah terima karya konsultan baru diterima setelah dilakukan seminar/workshop, apakah masukan dari pakar akan
tertuang dalam diskusi. Namun proses ini tidak dilakukan, panitia menentukan lain. (2). Panitia serah terima karya konsultan bersekongkol dengan panitia pengadaan agar pengaturan sebelumnya dengan mitra kerja dapat terjadi. Hal ini terbaca pada kriteria penerimaan hasil karya konsultan.
61
(3).
Hasil kerja konsultan dimasukkan dalam bookshelfsaja, karena penerima karya itu sendiri merasa bahwa produk tersebut bias (cenderung proforma).
3) Data lapangan dipalsukan. Gejala ini dapat dilihat pada: (1). Hasil rekomendasi sesuai dengan pesanan pemberi kerja, yang didasarkan pada data lapangan yang dikumpulkan secara "komprehensif' sehingga seolah-olah data pendukung dapat dipertanggungjawabkan. (2). Serah terima hasil karya dilakukan dengan cepat, tanpa adanya kajian yang "komprehensif, semua data seolah telah teruji dan rekomendasi merupakan yang paling baik. (3). Panitia serah terima karya konsultan dari awal tidak begitu memperhatikan detail dari dokumentasi lengkap termasuk data lapangan yang merupakan kunci pokok rekomendasi, tanpa adanya kajian. (yang penting rekomendasi cocok dengan yang diinginkan). 4) Design Plagiate (tanpa dukungan design note). Gejala ini dapat dilihat pada: (1). Serah terima karya konsultan (dalam hal ini terkait dengan design) tanpa/tidak dilengkapi data pendukung berupa design note. Panitia penerima meng "ia" kan hasil tersebut karena
62
desakan pihak mitra kerja yang sudah terlibat KKN sejak awal. (2). Serah terima karya konsultan tetap dilaksanakan oleh panitia penerima hasil karya konsultan dengan catatan design note dilengkapi di kemudian hari. (3). Panitia penerima karya konsultan mempunyai hubungan dalam rangka kolusi dengan panitia pengadaan (yang seharusnya tidak boleh ada hubungan, sehingga
kolusi/persekongkolan tidak terjadi). Berdasarkan pemaparan dalam identifikasi pole penyimpangan dalam jasa konsultasi di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa modus operandi dalam pengadaan jasa konsultasi setidaktidaknya diawali dengan adanya perbuatan kolusi diantara para peserta lelang dengan pejabat terkait (persengkokolan vertikal). Penyuapan atau gratifikasi sangat dominan dalam kolusi ini. Sedangkan diantara para peserta tender kolusi melahirkan persengkokolan tender
(persengkokolan horisontal) untuk memenangkan salah satu peserta. Akibat perbuatan ini, maka melahirkan suatu mark up atas nilai proyek dan dalam pelaksanaan proyek spesifikasi jasa diturunkan baik secara kualitas maupun kuantitas tanpa mengoreksi nilai proyek.
63
5. Upaya Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Jasa Pengadaan Konsultansi Pengawasan dan pemeriksaan (audit) merupakan dua hal yang selalu berkaitan dan bergandengan, atau dapat dikatakan bahwa pemeriksaan dan pengawasan bagaikan dua sisi mata uang, yaitu pengawasan dapat dilakukan melalui suatu pemeriksaan, dan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalan-kan fungsi pengawasan. Pengawasan dalam pengadaan barang dan jasa wajib dilakukan instansi pemerintah sebagai upaya mewujudkan keadilan, transparansi, dan pertanggungjawaban dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Sebagai fungsi manajemen, pengawasan sebagai manajemen diartikan sebagai suatu kegiatan pengamatan dan penilaian secara berkesinambungan terhadap suatu objek kegiatan dengan menggunakan metode, alat, dan aturan tertentu untuk menjamin kesesuaian pelaksanaannya dengan rencana dan kebijakan yang telah ditetapkan. Adapun pemeriksaan, yang berasal dari kata auditing adalah suatu proses pengumpulan dan evaluasi mengenai bukti atas informasi/data dari satuan usaha dalam rangka meyakinkan tingkat
kesesuaian informasi yang disajikan dengan kriteria yang ditentukan, serta melaporkan hasil kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa istilah pengawasan yang biasanya kita dengar, antara lain pengawasan preventif, pengawasan represif, pengawasan melekat,
pengawasan fungsional, pengawasan legislatif, dan pengawasan masyarakat. Pengawasan pengadaan barang dan jasa adalah pengawasan yang dilakukan
64
terhadap pelaksanaannya apakah sesuai dengan rencana, prinsip dasar pengadaan, prosedur, dan aturan yang berlaku. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, dilaksanakan pemborosan, secara efisien, dan kegagalan, hemat serta dan agar pengadaan Pengawasan
efektif,
tertib.
pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah merupakan tanggung jawab setiap pimpinan dalam instansi Pemerintah yang terkait dengan pengadaan. Sebagaimana diatur dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, adanya pengawasan dan pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat: meningkatkan kinerja aparatur pemerintah serta mewujudkan aparatur yang profesional, bersih, dan bertanggung jawab; memberantas penyalahgunaan wewenang dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; menegakkan peraturan yang berlaku dan mengamankan keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 dan 48 Keppres No. 80 Tahun 2003, Instansi Pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, wajib melakukan pengawasan terhadap pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan masing-masing, baik pengguna barang dan jasa, maupun panitia/ pejabat pengadaan. Untuk dapat melakukan fungsi
65
dimaksud, pimpinan instansi pemerintah berhak melakukan pemeriksaan melalui aparat pengawasan fungsional pada instansi tersebut. Untuk mendukung prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa
pemerintah, sesuai ketentuan, maka dalam proses pengadaan barang dan jasa, beberapa pihak akan terlibat dalam fungsi pengawasan, terdiri atas: a. Pimpinan dari Instansi Pemerintah yang Bersangkutan Pimpinan tertinggi dari Instansi Pemerintah terdiri atas
Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Direksi BUMN /Direksi BHMN, dan lain-lain. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh kelompok ini bersifat pengawasan preventif dan represif, dengan cara antara lain: menetapkan kebijakan dan juknis pelaksanaan pengadaan barang dan jasa; menciptakan sistem pengendalian manajemen dalam rangka pengadaan barang dan jasa; menciptakan sistem pemantauan terhadap pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa; mewajibkan kepada pengguna barang/jasa dan panitia/pejabat pengadaan untuk mendokumentasikan setiap proses pengadaan barang dan jasa, serta menyimpannya sebagai alat
pertanggungjawaban.
66
b.
Pengguna Barang dan Jasa Sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap Pengadaan barang dan jasa dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka kontribusi pengawasan yang dapat dilakukan oleh pengguna barang dan jasa dapat berupa pengawasan preventif dan alat pengawasan. Sebagaimana diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 maka pengguna barang dan jasa melakukan pengawasan dengan antara lain: membuat struktur organisasi yang memisahkan fungsi-fungsi otorisasi, pelaksanaan dan pengendalian, dengan uraian tugas yang jelas (bila belum ada); menyusun rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan kerja, serta sasaran yang harus dicapai; menyusun prosedur pelaksanaan kegiatan secara tertulis agar bisa dimengerti dan dilaksanakan, terutama yang terkait dengan pengadaan barang/jasa; melaksanakan pencatatan dan pelaporan atas hasil kegiatan pengadaan barang dan jasa; menyimpan dan memelihara catatan, laporan serta dokumen lain yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa;
67
melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan pekerjaan yang sudah dan sedang dilaksanakan penyedia barang dan jasa, bila diperlukan dapat memerintahkan pihak ketiga untuk melakukannya, seperti kantor konsultan, kantor akuntan, atau BPKP.
c.
Unit Pengawasan Intern Unit pengawasan intern adalah suatu unit yang berada dalam suatu instansi dan independen terhadap unit lain, serta bertanggung jawab langsung terhadap pimpinan instansinya. Unit pengawasan intern merupakan data dan telinga pimpinan, karena ia harus selalu awas terhadap pelaksanaan kegiatan yang menyimpang dan selalu
mendengar "nada miring" yang dikategorikan sebagai penyimpangan, kemudian mengujinya, serta melaporkan hasilnya langsung kepada pimpinan agar dapat diperbaiki. Unit pengawasan intern masing-masing instansi berbeda nama, namun tetap dengan fungsi sama, antara lain BPKP (Pemerintah Pusat), Inspektorat Jenderal (Departemen),
Inspektorat (Lembaga Non-Intern/Internal Auditor (BUMN/BUMD dan BHMN), Bawasda (pemerintah daerah), dan lain-lain. Sesuai dengan fungsinya, dalam pengadaan barang dan jasa, Unit Pengawasan Intern melakukan pengawasan dengan cara antara lain: melakukan pengawasan langsung terhadap kegiatan/proyek yang dilaksanakan;
68
melakukan
pemeriksaan
terhadap
proses
pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa sesuai tupoksinya; menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang terkait dengan permasalahan/penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa; menyampaikan laporan berkala insidentil kepada pimpinan instansi yang bersangkutan dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pem-bangunan (BPKP). Dengan tidak mengurangi kewenangan aparat pengawasan intern masing-masing instansi, BPKP sebagai aparat pengawasan internal pemerintah (pusat) berwenang pula untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, sebagai bagian integral atas penilaian kinerja pelaksanaan anggaran secara menyeluruh yang dilaksanakan BPKP sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Masyarakat Masyarakat merupakan muara terakhir atas seluruh pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, terutama yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintah yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat. Agar penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana dengan baik (good governance) perlu ada pengawasan dari penerima jasa pelayanan dimaksud. Pengawasan dari masyarakat
69
secara langsung diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat menyampaikan informasi atau pengaduan mengenai proses dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan, barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan, antara lain: 1. adanya panitia/pejabat yang menyalahgunakan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang dan jasa; 3. terjadi praktik KKN di antara peserta lelang dan/atau dengan panitia/ pejabat pengadaan; 4. adanya rekayasa pihak tertentu yang mengakibatkan pelelangan menjadi tidak adil/tidak sehat/tidak transparan; 5. kegiatan dimaksud merupakan wujud dari fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh masyarakat; 6. pengawasan masyarakat berfungsi sebagai berikut: a. sebagai barometer untuk mengukur dan mengetahui kepercayaan publik terhadap kinerja aparatur
pemerintahan khususnya dalam pengadaan barang dan jasa; b. memberikan koreksi secara mendasar atas
70
birokrasi yang menyimpang dalam pengadaan barang dan jasa, memberikan sekaligus kebijakan laporan masukan-masukan yang
mendinamisasi perencanaan,
per-tanggungjawaban,
pengawasan internal maupun fungsional (sebagai second opinion) dalam pengadaan barang dan jasa. Pengaduan masyarakat harus ditindaklanjuti baik oleh Unit Pengawasan Intern, pengguna barang dan jasa, maupun oleh pimpinan instansi pemerintah yang bersangkutan, bahkan aparat hukum terkait, bila ternyata ada indikasi
pidana/perdata yang berkibat pada kerugian negara. Oleh karena itu, tindak lanjut pengaduan masyarakat harus
dimanfaatkan untuk: a. Menegakkan hukum dan keadilan secara tertib dan proporsional bagi semua pihak yang melanggar ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa. b. Membangun citra aparat pemerintah yang bersih, profesional, dan bertanggung jawab. c. Menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam kontrol social terhadap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
71
d.
Membangun sensitivitas fungsi-fungsi manajerial para pejabat pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
e.
Memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam pengorganisasian, metode kerja, ketatalaksanaan dalam pengadaan barang dan jasa dan pelayanan masyarakat.
f.
Menggiatkan
dan
mendinamisasi
pelaksanaan
aparat
pengawasan fungsional.
C.
diambul suatu kesimpulan bahwa penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa konsultansi pemerintah harus dilakukan pengawasan yang sistematis dan menyeluruh. Dikatakan demikian oleh karena, rangkaian penyelenggaraan pengadaan jasa konsultansi demikian kompleksnya. Rangkaian tahapamtahapan mulai dari penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan sampai dengan pelaporan keuangan dan audit harus dilakukan pengawasan secara terpadu. Pengawasan secara melekat merupakan suatu strategi dalam upaya mencegah tindak pidana korupsi dalam pengadaan konsultansi jasa. Dengan pengawasan ini diharapkan praktek kolusi yang melahirkan korupsi dalam bentuk penyuapan/gratifikasi, maupun pola markup yang
72
dilakukan oleh pelaksana jasa serta pengurangan produk secara kualitas maupun kuantitas dapat dihindari.
73
Daftar Pustaka Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Argyo Demartoto, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007. Hendarman Soepandji, Orasi Ilmiah berjudul Membangun Budaya AntiKorupsi Sebagai Bagian Dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Universitas Diponegoro, 18 Juli 2009. Hermien Hadiati Koeswadji, "Korupsi Di Indonesia, Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi", Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994. Indriyanto Seno adji, "Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif", Kompas Online, www. kompas.com/9709/25/Opini. tanggal 25 Agustus 2009. Diakses tanggal 19 Juni 2010. K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Indonesia, 1971. Jakarta: Ghalia
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Pope Jeremy, "Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional", Edisi I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta. 2004. Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta: Yayasan Obor, 2002. Yanuar Jatnika & Melati Hasanah Elandis, Jurnal Nasional, Kamis, 03 Desember 2009
74
Transparency International Indonesia, Modul Pakta Integritas dan Sistem Pemantauan Pelaksanaan Pengadaan Barang & Jasa di Lingkungan Institusi/Lembaga Publik, 2003. Transparency International Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah, 2003. W.J.S. Poerwadarminta, "Kamus Umum Bahasa Indonesia", Jakarta: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah. Keppres RI Nomor 61 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 Perpres RI Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Perubahan Kedua Atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003. Perpres RI Nomor 70 Tahun 2005 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003.
75
Perpres RI Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat Atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003. Perpres RI No. 79 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kelima Atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003.
76