Anda di halaman 1dari 18

Diskusi Pagi Keratitis, Endoftalmitis, Uveitis, dan Ulkus

Penyaji Mohammad Ardhian Sharon Loraine S

Departemen Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2006 KERATITIS Definisi dan Etiologi Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Keratitis dapat terletak superfis ial maupun profunda. Keratitis superfisial tidak akan meninggalkan parut ketika masa penyembuhan, sedangkan keratitis profunda dapat meninggalkan parut yang men gganggu penglihatan ketika masa penyembuhan. Keratitis dapat disebabkan oleh ber bagai hal seperti infeksi, mata kering yang disebabkan oleh gangguan kelopak mat a atau kurangnya air mata, pajanan terhadap sinar yang terlalu terang, reaksi al ergi terhadap iritan, dan defisiensi vitamin A. Keratitis dapat terjadi pada dew asa maupun anak. Mata yang kering dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea s ehingga mengakibatkan keratitis. Gejala dan tanda keratitis diantaranya ialah ma ta merah, hiperlakrimasi, nyeri, penurunan visus, serta fotofobia. Diagnosis keratitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan oftalmologis, d an pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala keratitis dan berdasa rkan pemeriksaan oftalmologis ditemukan tanda keratitis. Kornea dapat diperiksa dengan menggunakan fluorescent yang menggambarkan defek epitel kornea. Slit lamp digunakan untuk melihat lapisan dalam kornea. Sekret dari mata yang diduga kera titis juga diambil dan dilakukan analisis laboratorium. Klasifikasi Keratitis 1. Keratitis 2. Keratitis 3. Keratitis berdasarkan lokasinya terbagi atas : pungtata marginal interstitial

Keratitis Pungtata Keratitis pungtata (KP) ialah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowm an, dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. KP dapat disebabkan oleh mol uskum kontangiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis neu roparalitik, infeksi virus lainnya, traukoma, serta trauma radiasi. KP biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihat gejala kelainan konjungtiv a, ataupun tanda akut, yang sering terjadi pada dewasa muda. Keratitis Marginal

Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejaja r dengan limbus. Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi lokal konjungtiva, bersi fat rekuren, biasanya terdapat pada pasien paruh baya dengan blefarokonjungtivit is. Bila tidak diobati dengan baik akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita ak an mengeluh sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau multipel, serin g disertai neovaskularisasai dari limbus. Pengobatan yang diberikan adalah antib iotika sesuai penyebabnya dan steroid dosis ringan Keratitis Interstisial Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Keratitis int erstisial (KI) dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea, dan tuberkulosis. Pada keratitis interstisial akibat lues kongenital di dapatkan neovaskularisasi dalam, yang terlihat pada usia 5-20 tahun pada 80% pas ien lues. KI merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskul arisasi. Biasanya akan memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, dan penurunan vi sus. Pada keratitis intertisial maka keluhan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat, permukaan kornea seperti pe rmukaan kaca. Terdapat injeksi siliar disertai serbukan pembuluh ke dalam sehing ga memberikan gambaran merah kusam atau disebut juga salmon patch dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berbentuk merah cerah. Kelainan ini biasanya bilateral. Pe ngobatan tergantung penyebabnya. Pada keratitis diberikan tetes mata sulfas atro pin untuk mencegah sinekia akibat terjadinya uveitis dan tetes mata kortikostero id. Keratitis profunda dapat juga terjadi akibat trauma sehingga mata terpajan p ada kornea dengan daya tahan rendah. 1. 2. 3. 4. Berdasarkan jenis patogen penyebab keratitis dapat terbagi atas : keratitis bakterial keratitis jamur keratitis virus keratitis akantamuba

Keratitis Bakterial Keratitis bakterial adalah suatu infeksi yang mengancam penglihatan, bersifat progresif, serta terjadi destruksi kornea secara keseluruhan dalam 24-48 jam pa da jenis bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stromal, edema ko rnea, dan peradangan segmen anterior merupakan karakteristik dari penyakit ini. Gangguan pada epitel kornea yang utuh, penyakit kelopak mata kronik, trauma p emakaian kontak lensa dan abnormal tear film dapat mengakibatkan masuknya mikroo rganisme ke dalam stroma kornea, dimana proliferasi serta pelepasan toksin dan e nzim bakteri dapat mengakibatkan destruksi dari kornea dan terbentuk ulkus. Pros es infeksi dipengaruhi oleh faktor virulensi dari bakteri. Pada fase awal, epite l dan stroma daerah yang terinfeksi membengkak dan nekrosis, sel inflamasi akut (umumnya PMN) mengelilingi area yang terinfeksi dan menyebabkan terbentuknya inf iltrat. Nekrosis dan penipisan dari kornea dapat menyebabkan parut kornea. Peni pisan yang berat dapat menyebabkan perforasi dan mengakibatkan terjadinya endoft almitis. Difusi dari produk peradangan (termasuk sitokin) posterior merangsang s el inflamasi menuju bilik mata depan dan dapat mengakibatkan hipopion. Organisme patogen penyebab keratitis bakteri diantaranya Streptococcus, Pseud omonas, Enterobacteriaceae (termasuk Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan Pro teus), dan Staphylococcus sp. Kehilangan epitel kornea yang berkaitan dengan : 1. Pemakaian kontak lensa berlebihan ( infeksi pada umumnya disebabkan oleh Pseu domonas aeruginosa yang dapat dapat menginvasi kornea apabila terdapat defek kor nea. 2. Kontaminasi solutio kontak lensa atau pengobatan tetes mata 3. Penurunan status imunologis sebagai akibat dari malnutrisi, alkohol, dan dia betes ( infeksi pada umumnya disebabkan oleh Moraxella 4. Penyakit permukaan okular yang terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh mel emah seperti pada keadaan penyakit kornea pasca herpes, trauma, keratopati bulos

a, pajanan kornea, mata kering, dan kehilangan sensasi pada kornea. Resiko kerat itis meningkat dengan adanya dakriosistitis kronik dan pemakaian steroid topikal atau agen imunosupresif sistemik. 5. Defisiensi air mata 6. Malposisi dari kelopak mata yaitu entropion dengan trikiasis dan lagoftalmus 7. Pemakaian steroid topikal Pasien dengan keratitis bakteri pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, foto fobia, hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan diantaranya riwayat pemakaian kontak lensa, trauma, penurunan s tatus imunologis, defisiensi air mata, penyakit kornea, dan malposisi kelopak ma ta. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan sekret kental mukopurulen. Kornea edem , injeksi konjungtiva, dan pada kasus yang berat dapat ditemukan hipopion. Tekan an intraokular dapat turun disebabkan hipotonus badan siliar. Namun, pada umumny a tekanan intraokular meningkat akibat sumbatan dari trabecular meshwork oleh se l peradangan. Kelopak mata juga dapat edema. Beberapa jenis bakteri memiliki respon kornea yang khas yaitu : 1. S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval, kuning-put ih, supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih, serta me nyebar dari fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48 jam setela h inokulasi pada kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan Gram akan dite mukan diplokokus Gram positif. 2. Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis liquefaktif yang difus, dan semi-opak ground-glass pada penampakan stroma. Infeksi berkembang dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh Pseudomonas. Terasa nyeri, dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada pemeriksaan Gram ak an ditemukan bakteri batang Gram negatif 3. Enterobacteriaceae biasanya menyebabkan ulserasi dangkal, supurasi pleomorfik abu-abu-putih dan diffuse stromal opalescence. Endotoksin yang dihasilkan bakte ri Gram-negatif dapat memberikan gambaran infiltrat ring cornea. Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan ulserasi epitel, infiltrat korn ea tanpa kehilangan jaringan, peradangan supuratif stroma dan padat, kehilangan jaringan stroma, dan edema stroma. Dapat juga ditemukan peningkatan reaksi bilik mata depan dengan atau tanpa hipopion, lipatan pada membran descemet, edema kel opak mata, sinekia posterior, peradangan kornea fokal maupun difus, hiperemis ko njungtiva, dan eksudat mukopurulen. Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah kult ur mikroorganisme dengan pengambilan spesimen dari ulkus, menggunakan spatula pl atinum dan ditempatkan pada agar darah dan agar coklat. Pewarnaan menggunakan Gr am, Giemsa, dan pewarnaan tahan asam atau akridin orange. Pemeriksaan penunjang yaitu slit lamp untuk melihat progresi dari keratitis serta biopsi kornea. Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial se ring terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi, a minoglikosida (gentamisin 1,5%, tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam, cefazolin fortifik asi 1 tetes/jam pada jam bangun selama lima hari, dan sefalosporin (cefuroxim 5% ) atau monoterapi dengan fluoroquinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30 menit selama 18 jam dan kemudian di tap p off sesuai respon pengobatan. Monoterapi kurang adekuat pada infeksi Streptoco ccus. Kombinasi terapi menggunakan fluorokuinolon dan cefuroxim dapat disarankan pada anak. Perbaikan kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya. Perawatan di rumah sakit dapat dilakukan bila kepatuhan pasien kurang atau di butuhkan perawatan malam hari pada kasus sulit. Apabila hasil yang didapatkan cu kup baik maka antibiotik topikal dapat diberikan setiap dua jam. Apabila perbaik an yang terjadi dapat dipertahankan maka tetes mata dapat diganti yang lebih ren dah kadarnya atau dihentikan. Pemberian tetes mata yang terlalu sering terutama aminoglikosida dapat mengakibatkan keracunan konjungtiva dan kornea serta memper lambat penyembuhan epitel. Ciprofloksasin dapat menyebabkan penumpukan deposit k ornea berwarna putih dan memperlambat penyembuhan. Antibiotik diganti apabila or ganisme telah resisten dan infeksi bertambah berat. Siklopegik seperti atropin 1 % dapat digunakan pada kedua mata untuk mencegah sinekia posterior akibat uveiti s anterior sekunder serta mengurangi nyeri akibat spasme siliar. Kompres dingin

dapat membantu mengurangi peradangan. Terapi steroid masih kontroversial, keuntu ngan penggunaan steroid adalah mengurangi nekrosis pada stroma dan mengurangi pa rut yang terjadi. Namun, steroid juga dapat memperpanjang infeksi. Terapi steroi d diindikasikan pada kultur yang steril dan terjadi perbaikan dengan penggunaan steroid. Pada umumnya perbaikan terjadi 7-10 hari setelah terapi dimulai. Keratitis Jamur Biasanya diawali dengan kerusakan epitel kornea akibat ranting pohon, daun, d an bagian dari tumbuhan. Jamur yang dapat mengakibatkan keratitis ialah Fusarium , Candida, Cephalocepharium, dan Curvularia. Keratitis jamur dapat terjadi akiba t efek samping dari pemakaian antibiotik dan steroid yang tidak tepat serta peny akit sistemik inumosupresif. Keratitis jamur sering ditemukan di daerah pertania n, dengan didahului trauma kornea (umumnya oleh kayu), dan terjadi pada individu sehat tanpa predisposisi penyakit mata. Keluhan timbul setelah 5 hari-3 minggu setelah kejadian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair, dan silau. Pada awalnya akan terdapat nyeri hebat, namun perlahan-lahan menghilang seiring dengan saraf kornea yang rusak. Pada mata akan terlihat infiltrat yang berhifa dan satelit bila terletak di d alam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plak tampak bercaban g-cabang dan lipatan membran descement. Gejala khasnya adalah ulkus putih-abu-ab u tanpa batas yang jelas, lesi dikelilingi oleh infiltrat seperti jari-jari. Ker atitis kandida umumnya berkaitan dengan penyakit kornea kronik atau imunokomprom ise. Didapatkan ulkus putih-kuning dengan supurasi padat seperti keratitis bakte ri. Terdapat 2 tipe jamur yaitu molds dan ragi. Molds (filamen jamur) terbagi ata s septa (penyebab tersering keratitis jamur) dan non-septa. Mereka menghasilkan koloni-koloni yang bergabung menjadi hifa. Ragi membentuk pseudohifa. Penyebab t ersering infeksi jamur adalah Fusarium, Aspergillus (filamen jamur) dan Candida (ragi). Trauma organik adalah penyebab tersering keratitis oleh jamur berfilamen , sedangkan imunosupresi atau gangguan epitel kornea kronik umumnya menyebabkan keratitis jamur ragi. Gangguan pertahanan kornea dapat menyebabkan infeksi Candi da. Kolonisasi fungi di stroma akan berlanjut menuju lapisan yang lebih dalam da n sulit untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik dan tatalaksana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan KOH 10% pada kerokan kornea yan g menunjukkan adanya hifa, dan kultur pada agar saboroud. Diagnosis pada umumnya sulit ditegakkan dan sering terjadi misdiagnosis dengan keratitis bakteri. Dokt er dapat mempertimbangkan diagnosis keratitis jamur apabila gejala memburuk deng an terapi antibiotik. Tatalaksana keratitis jamur tidak mudah, hanya sebagian antijamur yang bersif at fungistatik. Terapi antijamur membutuhkan sistem imunitas baik dan waktu tera pi cukup lama. Antijamur yang dapat digunakan adalah polyene antibiotik (nistati n, amfoterisin B, natamisin); analog pirimidin (flusitosin); imidazol (klorteima zol, mikonazol, ketokonazol), triazol (flukonazol, itrakonazol); dan perak sulfa diazin. Steroid dikontraindikasikan untuk keratitis jamur. Untuk infeksi jamur f ilamen, natamisin adalah pilihan pertama. Alternatif amfoterisin B dan flusitosi n dapat digunakan untuk infeksi jamur ragi. Pemilihan obat sesuai dengan patogen penyebab dapat dilihat pada tabel 1. Pemberian siklopegik disertai obat oral an tiglaukoma diperlukan bila timbul peningkatan tekanan intraokular. Bila tidak be rhasil dapat dilakukan keratoplasti. Penyulit yang terjadi adalah endoftalmitis. Keratitis Virus Gambaran keratitis pungtata dapat terjadi pada keratitis virus. Keratitis ter kumpul di daerah membran Bowman, serta bersifat bilateral dan kronis. A. Keratitis Herpes Simplek Keratitis herpes simplek terdiri atas dua bentuk : primer dan rekurens. Infek si okuler HSV pada pasien imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada pasi en imunokompromise perjalanan penyakitnya dapat menahun. Infeksi virus aktif dap at timbul di dalam stroma, sel-sel endotel, dan segmen anterior. Kortikosteroid topikal dapat mengendalikan peradangan akan tetapi memberi peluang terjadinya re

plikasi virus. Sebagian besar infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 (pen yebab herpes labialis), tetapi beberapa kasus pada bayi dan dewasa disebabkan HS V tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan. Kerokan dari lesi e pitel dan cairan dari lesi kulit menunjukkan sel-sel raksasa multinuklear. Tabel 1. Pilihan terapi medikamentosa sesuai organisme penyebab keratitis OrganismoPilihan pertamaPilihan keduaPilihan ketigaGram positif kokus ( S.pneumo niaeCefazolinPenisilin GVancomisin atau ceftazidimGram positif batang ( nocardia sp, actinomyses spAmikasinCiprofloksasinOrganisme gram positif lain : kokus dan batangCefazolinPenisilin GVancomisin atau ceftazidimGram negatif kokusCeftriaks onPenisilin GCefazolin atau vancomisinGram negatif batang ( pseudomonasTobramisi n atau gentamisinCiprofloksasinPolimiksin B atau karbenisilinGram negatif batang ( moraxellaPenisilin GGentamisinTobramisinGram negatif batang lainnyaTobramisin SeftazidimGentamisin atau karbenisilinYeast like organism = candida spNatamisin Amfoterisin BNistatin, mikonazolHifa-like organism = jamurNatamisin Amfoterisin BMikonazolKista, tropozoit = akantamubaPropamidin dan poliheksametilen biguanidP ropamidin atau neomisisnMikonazol Herpes simplek primer jarang ditemukan, bermanifestasi sebagai blefarokonjung tivitis vesikuler, kadang kornea, dan umumnya pada anak muda. Umumnya sembuh sen diri tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat di pakai untuk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi penyakit ko rnea. Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya dipicu oleh demam, pajana n berlebihan terhadap cahaya ultraviolet, trauma, stres psikis, awal menstruasi, atau sumber imunosupresi lokal atau sistemik lain. Biasanya unilateral dan seri ng terjadi pada pasien atopik. Gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, lakrimasi, dan dapat terjadi gangg uan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal. Ulserasi kornea kadang merupakan gejala infeksi herpes rekuren . Lesi paling khas adalah ulkus dendritik, terdapat pada epitel kornea, memiliki pola percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus-bulbus termin alis pada ujungnya. Ulserasi geografik adalah penyakit dendritik menahun yang le si dendritiknya berbentuk lebih lebar dengan tepian ulkus tegas, serta sensasi k ornea menurun. Herpes simpleks terbagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal berdasarka n mekanisme kerusakannya. Bentuk epitelial yang murni ialah dendritik, dan strom al adalah diskiformis. Biasanya infeksi herpes simpleks berupa campuran epitel d an stroma. Pada bentuk epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di da lam sel epitel sehingga terjadi kerusakan sel dan terbentuk tukak kornea superfi sial yang biasanya menetap lebih dari 1 tahun. Sedangkan bentuk stromal diakibat kan reaksi imunologik tubuh terhadap virus tetapi kemungkinan adanya penyakit vi rus aktif tidak dapat disingkirkan, dan dapat sembuh sendiri setelah beberapa mi nggu sampai bulan. Antigen dan antibodi bereaksi di dalam stroma kornea dan mena rik sel leukosit dan sel radang lain. Sel mengeluarkan bahan proteolitik untuk m erusak antigen (virus) yang juga akan merusak jaringan stromal di sekitarnya. Ha l ini berkaitan dengan pengobatan dimana pada bentuk epitelial dilakukan terhada p virus dan pembelahannya, sedangkan pada keratitis stromal dilakukan pengobatan menyerang virus dan reaksi radangnya. Pasien cenderung kurang fotofobik daripada pasien dengan pasien infiltrat kor nea non-herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi. Terapi keratitis HSV bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea d an memperkecil efek merusak respon radang. 1. Debridement ( Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement e pitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Epitel terinfeksi mudah dilepa skan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopl egik seperti atropin 1% atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva , dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien diperiksa setiap hari dan diganti p enutupnya sampai defek kornea sembuh, umumnya dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi keracunan obat. 2. Terapi obat ( Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adal

ah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclo vir efektif untuk penyakit stroma. Idoxuridine dan trifluridine sering menimbulk an reaksi toksik. Acyclovir oral digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil, bekerja dengan meng hambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga bersifat toksik untuk epitel norm al dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan 1% d an diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vidarabin sama denga n IDU, akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sam a dengan IUD, diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap si ntesis DNA virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efekti f dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal. Replikasi virus dalam pasien imunokompeten umumnya sembuh sendiri dan terjadi pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tida k perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Sekali dipakai kortikosteroid topikal , umumnya pasien terpaksa memakai obat itu untuk mengendalikan episode keratitis berikutnya, dengan kemungkinan terjadi virus yang tidak terkendali dan efek sam ping lain yang berhubungan dengan steroid, seperti superinfeksi bakteri dan fung i, glaukoma, dan katarak. Kortikosteroid topikal dapat pula mempermudah perlunak an kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu pemakaia n kortikosteroid topikal karena hebatnya peradangan, penting sekali ditambahkan obat antivirus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus. 3. Terapi bedah ( Keratoplasti penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi pada p arut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit her pes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma b edah dan kortikosteroid topikal yang dipakai untuk mencegah penolakan transplant asi kornea. Keratoplasti lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti pene trans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transplant. 4. Pengendalian mekanisme pemicu ( Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, p ajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat dihindari , keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. B. Keratitis Virus Varicella-Zoster Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicell a) dan rekurens (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella ak an tetapi sering pada zoster oftalmik. Pada varicella lesi mata terdapat di kelo pak dan tepian kelopak, jarang ada keratitis. Komplikasi kornea pada zoster ofta lmik diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi c abang nervus nasosiliaris. Biasanya herpes zoster akan mengenai orang dengan usi a lanjut. Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat se l. Kehilangan sensasi kornea merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berb ulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderun g menetap. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata. Gejala yang terlihat pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan berasa hangat. Penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak akan terliha t vesikel serta pada kornea akan terlihat infiltrat. Vesikel tersebar sesuai den gan dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus dan dapat progresif dengan terben tuknya jaringan parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis meridian. Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatik. Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah 800 mg 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulny a kemerahan (rash). Peran antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid to pikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mun gkin diindikasikan untuk mengurangi insidens dan hebatnya neuralgia pasca herpes , namun risiko komplikasi steroid cukup bermakna. Keratitis Acanthamoeba

Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang terdapat di dalam air tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh Acanthamoeba ada lah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna soft contact lens, khususnya b ila memakai larutan garam buatan sendiri, berenang di kolam renang, danau, atau air asin ketika menggunakan kontak lensa, dan kurangnya higienis kontak lensa. I nfeksi ini juga ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak, setelah terpapar pada air atau tanah tercemar. Gejala awal adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Keratitis Acantha moeba sering disalahdiagnosiskan sebagai keratitis herpes. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan pada media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan adanya ben tuk amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan kotak lensa kontak harus dibiak. S ering bentuk amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak. Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionate propamidine topikal (lar utan 1%) secara intensif dan tetes mata neomycin. Biquanide polyhexamethylene (l arutan 0,01-0,02%), dikombinasi dengan obat lain atau sendiri, kini makin popule r. Agen lain yang mungkin berguna adalah paromomycin dan berbagai imidazole topi kal dan oral seperti ketoconazole, miconazole, dan itraconazole. Acanthamoeba sp p mungkin menunjukkan sensitivitas obat yang bervariasi dan dapat menjadi resist en. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang kornea. Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut atau setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan. Bila amuba telah s ampai di sklera maka terapi obat dan bedah tidak berguna lagi.

ULKUS KORNEA Definisi, Klasifikasi dan Epidemiologi Ulkus kornea adalah lesi kornea yang melibatkan degradasi stroma kornea. Ulku s kornea merupakan kasus emergensi mata. Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan pada epi tel. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus vaskular. Ulkus kornea sentral d ibagi menjadi keratitis bakterial, keratitis fungi, keratitis virus, dan keratit is akantamuba. Ulkus perifer terdiri dari ulkus dan infiltrat marginal, ulkus Mo oren, keratokonjungtivitis fliktenularis, keratitis marginal pada penyakit autoi mun, ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A, keratitis neurotropik, dan kerati tis pajanan. Tabel 2. Insiden ulkus kornea di Asia Tenggara Etiologi Ulkus kornea dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, dan infek si. Penyebab infeksi adalah bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes simpleks. Bak teri penyebab tersering adalah Pseudomonas. Penyebab lain ulkus lainnya adalah defisiensi vitamin A, lagoftalmos akibat p arese nervus VII, lesi nervus III atau neurotropik, dan ulkus Mooren. Patofisiologi Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenas e yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Proses pembentukan ulkus me libatkan proses penyembuhan lesi di epitel dan stroma, lapisan air mata, persara fan kornea, enzim proteolitik, dan sitokin: 1. Penyembuhan lesi epitel. Ulkus kornea selalu diawali dengan defek epitel. Def ek epitel persisten menyebabkan stroma kornea terpajan pada lingkungan eksternal dan mempermudah terjadinya proses degradasi stroma. Migrasi sel epitel terjadi

sentripetal sampai defek tertutup seluruhnya. 2. Penyembuhan lesi stroma. Penyembuhan lesi stroma terjadi melalui migrasi kera tosit stroma, proliferasi, dan deposisi matriks ekstraseluler, termasuk kolagen, protein adesi, dan glikosaminoglikan. 3. Nekrosis dan degradasi stroma. Sekresi matriks metaloproteinase, yang berfung si mendegradasi matriks ekstraseluler dan membran basal, sangat meningkat saat p enyembuhan luka. Enzim ini disekresi sebagai proenzim oleh neutrofil, sel epitel yang mengalami lesi, dan keratosit. 4. Peran persarafan kornea. Kornea dipersarafi oleh divisi oftalmika nervus trig eminal dan persarafan simpatis dari ganglion servikalis superior. Penurunan sens asi kornea karena denervasi saraf menurunkan produksi air mata, refleks protekti f, dan frekuensi berkedip. 5. Peran lapisan air mata dan sitokin. Air mata mengandung sitokin yang penting dalam regulasi penyembuhan epitel kornea. Perjalanan penyakit ulkus kornea dapat progresif, regresif, atau membentuk ja ringan parut. Bila ulkus disebabkan kokus Gram positif, Staphylococcus aureus, dan Streptoc occus pneumoniae, gambaran tukak terbatas, bulat atau lonjong, berwarna putih ab u pada anak ulkus yang supuratif. Ulkus kornea Pneumococcus cenderung menyebar s ecara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampa kkan ulserasi aktif dan infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai semb uh. Efek merambat ini dikatakan sebagai ulkus serpiginosa akut. Ulkus ini sering terdapat pada sumbatan duktus lakrimalis dan muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang lecet. Bila disebabkan Pseudomonas, ulkus melebar dengan cepat karena bakteri ini me nghasilkan enzim proteolitik. Infiltrat dan eksudat yang berwarna hijau kebiruan akibat pigmen yang dihasilkan P aeruginosa khas untuk ulkus ini. Meskipun awaln ya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Ulkus ini biasanya terj adi pada abrasi kornea minor, penggunaan lensa kontak lunak, terutama yang dipak ai agak lama, setelah penggunaan larutan fluoresein atau obat tetes mata yang te rkontaminasi. Bila disebabkan jamur, terdapat infiltrat berwarna abu dikelilingi infiltrat halus di sekitarnya (fenomena satelit). Ulkus fungi ini indolen, dengan infiltra t kelabu, sering dengan hipopion dan peradangan nyata pada bola mata, ulserasi s uperfisial. Ulkus ini pernah banyak dijumpai pada pekerja pertanian tetapi kini banyak pada penduduk perkotaan karena pemakaian steroid dalam pengobatan mata. Pada ulkus kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epite l yang dikelilingi leukosit polimorfonuklear. Bila infeksi disebabkan virus, aka n terlihat reaksi hipersensitivitas di sekitarnya. Ulkus khas pada keratitis vir us ialah dendritik. Ulkus kornea perifer memiliki karakteristik morfologi dan imunologi yang memp ermudah terjadi reaksi inflamasi. Tidak seperti kornea sentral yang avaskular, k ornea perifer lebih dekat dengan konjungtiva limbal dan memperoleh suplai nutris i dari arcade kapiler limbus. Tiap stimulus inflamasi pada kornea perifer yang d isebabkan invasi organisme, deposisi kompleks imun, trauma, keganasan, menyebabk an datangnya neutrofil dan aktivasi komplemen. Neutrofil menginfiltrasi kornea per ifer dan melepaskan enzim proteolitik dan kolagenolitik, metabolit oksigen reakt if, dan zat proinflamasi, yang menyebabkan disolusi dan degradasi stroma kornea. Konjungtiva limbal yang mengalami inflamasi juga dapat memproduksi kolagenase y ang menyebabkan degradasi stroma kornea. Ulkus dan infiltrat marginal bersifat jinak. Ulkus dimulai dengan infiltrat l inier atau lonjong, terpisah dari limbus oleh interval bening. Ulkus karena defi siensi vitamin A terletak di sentral, bilateral, berwarna kelabu, indolen, serta kehilangan kilau kornea di sekitarnya. Kornea melunak dan nekrotik (keratomalas ia) dan sering tejadi perforasi. Ulkus neurotropik terjadi karena lesi nervus trigeminus akibat trauma, tindak an bedah, tumor, inflamasi, sehingga kornea akan kehilangan sensitivitas dan ref leks berkedip. Keratitis pajanan terjadi jika kornea tidak cukup dibasahi dan di tutupi oleh palpebra. Kornea yang terbuka mudah mengering selama tidur. Ulkus ti mbul setelah trauma kecil dan terjadi di sepertiga kornea bawah.

Gejala Klinis Gejala ulkus kornea adalah mata merah, nyeri ringan hingga berat, fotofobia, penglihatan menurun, kadang kotor. Ulkus Pseudomonas dan ulkus marginal menimbul kan rasa amat nyeri. Gejala pada keratitis virus adalah iritasi, fotofobia, dan lakrimasi. Bila kornea sentral yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihata n. Sering ada riwayat timbul lepuh dan demam. Yang perlu ditanyakan pada ulkus kornea adalah riwayat trauma dan benda penye bab trauma, riwayat pembedahan okular dan adneksa, riwayat infeksi berulang (sep erti herpes), riwayat status imunologis, infeksi sistemik, diabetes, malnutrisi, alkoholisme, riwayat penggunaan lensa kontak dan higienenya, riwayat pengobatan mata atau lainnya, riwayat lingkungan sekitar yang endemic suatu penyakit infek sius. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa kemungkinan fokus infeksi. Pemeriksaan Oftalmologi Pada pemeriksaan dengan slit lamp, yang perlu diperiksa adalah: * Konjungtiva, sklera, dan kelopak: eritema, injeksi silier, nodul perilimbus, s ekret, spasme kelopak * Lapisan air mata: derajat, simetri, regularitas, dan adanya debris * Epitel: lokasi defek dan regularitas * Stroma: penipisan dan infiltrat * Endotel: keratic precipitate * Bilik mata depan: hipopion dan inflamasi * Sensitivitas kornea * Simetrisitas kedua mata Pada ulkus kornea terdapat kekeruhan berwarna putih pada kornea. Daerah korne a yang tidak terkena akan tetap jernih dan tidak terdapat infiltrat. Iris sulit dilihat karena edema kornea dan infiltrasi sel radang pada kornea. Pada pewarnaa n fluoresein akan memberikan warna hijau yang menunjukkan adanya defek epitel. Pada ulkus kornea sentral, hipopion biasanya menyertai ulkus. Hipopion khas u ntuk ulkus konea sentral bakteri dan fungi. Hipopion steril pada ulkus kornea ba kteri, kecuali terjadi robekan pada membran Descemet. Pada ulkus fungi, hipopion mungkin mengandung unsur fungus. Dapat juga dilakukan pemeriksaan fluoresein yang dapat membedakan ulkus dari abrasi sederhana. Pada keratitis virus akan tampak ulkus dendritik atau geografi k. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat diagnosis kaus al. Jika dicurigai penyebabnya bakterial, dilakukan pewarnaan Gram dari swab kor nea. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sedian hapus dengan larutan KOH 10%. Ker okan dari ulkus kornea fungi, kecuali yang disebabkan Candida, mengandung hifa. Kerokan dari ulkus Candida mengandung pseudohifa atau ragi. Dapat juga dilakukan pewarnaan Giemsa. Sebaiknya pada setiap ulkus kornea dilakukan kultur segera di agar darah, Sabouraud, triglikolat, dan agar coklat. Tatalaksana Kasus ulkus kornea harus dirujuk segera ke spesialis mata. Tujuan pengobatan ulkus kornea adalah menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika topikal atau subkonjungtiva. Antibiotik dipilih yang berspektrum luas, dosis tinggi, dan dib erikan setiap jam. Antibiotik sistemik diberikan pada ulkus bakterial bila ada k eterlibatan sklera atau perforasi. Antifungal sistemik diberikan bila ulkus fung al lebar dan dalam atau ada perforasi kornea atau ada keterlibatan sklera. Stero id tidak boleh diberikan pada keratitis fungal. Pemberiannya pada ulkus bakteria l masih kontroversial. Steroid topikal juga tidak boleh diberikan pada ulkus per ifer yang disebabkan penyakit sistemik karena dapat menghambat sintesis kolagen yang menyebabkan perlunakan kornea. Selain itu diberikan sikloplegik dan analgesik bila nyeri. Mata yang terkena tidak boleh dibebat karena akan menaikkan suhu sehingga akan terjadi efek inkuba tor. Sekret dibersihkan 4 kali sehari. Debridemen sangat membantu penyembuhan. P engobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang, ke

cuali penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan 1-2 minggu. Pada ulkus neurotropik dapat diberikan air mata buatan dan salep pelumas untuk menjaga aga r kornea tetap basah. Inhibitor kolagenase sistemik seperti tetrasiklin 250 mg, 4 kali sehari, atau doksisiklin 100 mg, 2 kali sehari dapat memperlambat progres i ulkus perifer. Siklofosfamid adalah obat pilihan untuk semua ulkus perifer yan g disebabkan kelainan jaringan penyambung, seperti arthritis rheumatoid. Sementa ra menunggu efek kemoterapi siklofosfamid 4-6 minggu kemudian, dapat diberikan p rednisone oral dosis tinggi. Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila dengan pengo batan tidak sembuh atau terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan. Jeni s pembedahan dan indikasinya: 1. debridemen : mengangkat epitel kornea tanpa merusak membran basal. Indikasiny a keratitis virus herpes simpleks epitelial, erosi kornea berulang, untuk mendia gnosis keratitis infektif superfisial, meningkatkan penetrasi antibiotik topikal . 2. keratektomi superficial : mengangkat epitel superfisial, membrane Bowman, dan stroma anterior. Indikasinya biopsi ulkus kornea yang tidak membaik atau mengan gkat bahan infektif. 3. tarsorrhaphy lateral atau sentral : Indikasinya keratitis pajanan atau neurot ropik. 4. adesi jaringan : Indikasinya lesi dengan kehilangan jaringan minimal, kebocor an aqueous humor persisten, laserasi kecil, luka tusuk. 5. flap konjungtiva : Indikasinya ulkus superfisial yang tidak membaik atau ulku s kornea perifer dengan perforasi kecil. 6. patch graft : Indikasinya perforasi kecil. 7. keratoplasti penetrasi. Indikasi rawat adalah bila ada ancaman perforasi, bila pasien tidak dapat mem beri obat sendiri, respon pengobatan kurang baik, dan perlunya pengobatan sistem ik.

Tabel 3. Pedoman tatalaksana ulkus kornea infeksi

Gambar 1. Algoritma tatalaksana ulkus bakterial apabila terapi gagal Komplikasi Komplikasi ulkus kornea adalah terjadinya jaringan parut, neovaskularisasi, p

enurunan visus, perforasi kornea, dan endoftalmitis, katarak, glaukoma, dan kebu taan. Prognosis Prognosis tergantung pada derajat keparahan ulkus, respon pasien terhada p terapi, serta faktor lokal dan sistemik. UVEITIS Definisi dan Klasifikasi Uveitis ialah peradangan pada uvea yang meliputi iris, badan siliar, dan koro id. Uveitis diklasifikasikan menurut berbagai kategori, yaitu usia, demografik, faktor sosial, lokasi anatomi, kronologi atau durasi, dan karakter lesinya. Berdasarkan lokasi anatominya, uveitis dibagi menjadi: 1. uveitis anterior, terdiri dari iritis, iridosiklitis, dan siklitis anterior. Uveitis anterior adalah bentuk inflamasi intraokular tersering ; 2. uveitis intermedia, terdiri dari siklitis posterior, hialitis, koroiditis, da n korioretinitis. Istilah pars planitis hanya digunakan untuk uveitis intermedia yang membentuk gambaran bola salju dan tidak disebabkan oleh infeksi atau penyaki t sistemik ; 3. uveitis posterior, terdiri dari retinokoroiditis, retinitis, dan neuroretinit is ; 4. panuveitis, bila tidak ada lokasi inflamasi yang predominan. Inflamasi terlih at pada bilik depan, vitreus, serta retina dan atau koroid. Epidemiologi Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang. Di Amerika S erikat diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000 populasi per tahu nnya. Uveitis dapat terjadi pada usia berapapun, namun umumnya terjadi pada usia dewasa muda dan anak. Uveitis biasanya bilateral. 8-15% kasus uveitis ialah uve itis intermedia. Etiologi Penyebab uveitis dapat primer maupun sekunder karena infeksi atau penyakit si stemik. Sebagai suatu proses inflamasi mata, etiologi uveitis dapat diklasifikas ikan menjadi 7 i yang meliputi inflammatory (penyakit autoimun primer), infectious (patogen okular dan sistemik), infiltrative (proses neoplastik yang invasif), i njurious (trauma), iatrogenic (pembedahan atau obat-obatan), inherited (kelainan metabolik atau distrofik), ischemic (gangguan sirkulasi), dan idiopathic. Gejala Klinis Uveitis anterior Pasien uveitis anterior datang dengan gejala yang bervariasi. Gejala tersebut meliputi penurunan penglihatan ringan dengan mata yang terlihat normal hingga g ejala yang berat seperti nyeri, fotofobia, penurunan penglihatan, injeksi berat, dan hipopion. Pada pasien harus ditanyakan usia, latar belakang ras, dan riwayat okular. Et iologi uveitis anterior multipel. Sebagian besar adalah reaksi inflamasi steril, berbeda dengan sebagian besar sindroma uveitis posterior yang disebabkan infeks i. Sebagian besar kausa uveitis anterior adalah idiopatik (38-60%). Kausa kedua adalah penyakit yang berhubungan dengan HLA-B27. Kausa berikutnya adalah trauma (5,7%). Presentasi klasik uveitis anterior akut adalah nyeri, mata merah, dan fotofob ia. Nyeri dideskripsikan sebagai nyeri tumpul di dalam dan sekitar mata. Penglih atan dapat normal atau sedikit menurun. Uveitis intermedia Umumnya pasien datang dengan keluhan pandangan kabur dan seperti melihat bend a yang melayang-layang. Jarang terjadi mata merah dan fotofobia. Uveitis posterior

Keluhan pasien adalah penurunan penglihatan tanpa disertai nyeri, melihat ben da melayang, dan skotoma. Pemeriksaan Oftalmologi Uveitis anterior Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan injeksi silier, keratic precipitate p ada kornea (kumpulan leukosit pada endotel). Tipe keratic precipitate dapat menu njukkan klasifikasi uveitis anterior. Keratic precipitate mutton-fat adalah kara kteristik uveitis granulomatosa. Keratic precipitate stelata difus terlihat pada iridosiklitis heterokromik Fuchs. Keratitis interstisial didapatkan pada pasien sifilis dan herpes. Flare, yang merupakan protein, dapat terlihat di bilik depa n. Jika leukosit di bilik depan ada dalam jumlah yang banyak, akan terlihat hipo pion. Adanya hipopion menunjukkan kemungkinan penyakit HLA-B27, penyakit Behcet, atau endoftalmitis. Pada kasus uveitis anterior akut, kecuali yang disebabkan herpes, tekanan int raockular seringkali rendah namun dapat meningkat pada kasus kronik. Inflamasi l ama dapat menyebabkan sinekia posterior. Nodul inflamasi pada iris menunjukkan u veitis granulomatosa. Atrofi iris mengarahkan pada herpes zoster sebagai penyeba b. Heterokromia adalah temuan klasik pada iridosiklitis heterokromia Fuchs. Lensa dapat mengalami perubahan menajdi katarak yang menunjukkan keterlibatan lensa berulang. Presipitat inflamasi dapat terlihat pada kapsul lensa anterior. Uveitis intermedia Terdapat inflamasi segmen anterior ringan hingga sedang. Kumpulan sel radang ( bola salju ) cenderung berakumulasi di basal vitreus. Di daerah tersebut dapat jug a terdapat eksudat perivaskular dan neovaskularisasi. Sering terlihat eksudat ku ning keputihan di retina perifer dan pars plana ( snowbanking ) yang menunjang diagn osis uveitis intermedia. Uveitis posterior Pada vaskulitis retina dengan funduskopi terlihat eksudasi perivaskular, cell dan flare di bilik depan, dan vitritis. Dapat juga disertai perdarahan retina, cotton-wool spots, edema makular cystoid, neovaskularisasi, perdarahan vitreus, atau edema papil. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan HLA-B27 sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan uveitis nong ranulomatosa anterior berulang. Jika uveitis anterior diduga disebabkan penyakit sistemik seperti tuberkulosis dan sifilis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjan g untuk memastikannya. Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah darah perifer l engkap, urinalisis, angiotensin converting enzyme, VDRL, FTA-ABS. Perlu juga dil akukan foto polos dada. Tabel 4. Tipe uveitis anterior dan kemungkinan penyakit yang melatarbelakangi Type of InflammationAssociated FactorsSuspected DiseaseLaboratory TestsAcute/sudden onse t, severe with or without fibrin membrane or hypopyonArthritis, back pain, GI/genitourinary symptomsSeronegative spondyloarthropathiesHLA-B27, sacroiliac filmsAphthous ulcers Behet diseaseHLA-B5 , HLA-B51Postsurgical, posttraumaticInfectious endophthalmitisVitreous tap, vitrectomy Medication inducedRifabutinNone None Idi opathicPossibly HLA-B27 Moderate severity of pain and rednessShortness of breath, African descent, subcutaneous nodulesSarcoidosisSerum ACE, lysozyme, chest x-ray

or chest CT scan, gallium scan, biopsy PosttraumaticTraumatic iritisIncreased IOP, sectorial iris atrophy, corneal dendriteHerpetic iritis Poor response to steroid, manifestations of 2? or 3? syphilis, HIV SyphilisRapid plasma reagent (RPR) or VDRL, FTA-ABSPostcatar act extraction, white plaque on posterior capsule Endophthalmitis, intraokular lens (IOL)related iritisVitrectomy and/or culture, consider anaerobic and fungal culturesMedication inducedEtidronate (Didronel), metipranolol (OptiPranolol), latanoprost (Xalatan) History of HIV, alcohol abuse, exposure to infected individuals, residence in endemic regions TBPurified protein derivative (PPD), chest x-ray, referral to infectious disease specialist None Idiopathic Chronic, minimal signs of redness or pain Child, especially with arthritis JIA-related iridocyclitis Antinuclear antibody (ANA), erythrocyte sedimentation rate (ESR)He terochromia, diffuse stellate keratic precipitate, unilateralFuchs heterochromic iridocyclitis NonePostsurgicalLow-grade endophthal mitis, IOL Vitrectomy, capsulectomy with cultureNone Idiopathic Lyme titers (possibly) Tabel 5. Pemeriksaan penunjang untuk berbagai penyebab uveitis intermedia Clinical Entity Diagnostic Tests Idiopathic (pars planitis) None Sarcoidosis ACE , chest x-ray, gallium scan, biopsy (possibly) Multiple sclerosis MRI and neurol ogic consultation if history of neurologic symptoms or optic neuritis, HLA-DR2Ly me disease Lyme serology if from endemic region and/or presence of systemic sign s Syphilis VDRL, FTA-ABS Inflammatory bowel diseaseGI consultationWhipple diseas e GI consultationLymphoma Vitreous cytology with immunophenotyping, lumbar punct ure for cytology, neuroimaging Pemeriksaan penunjang untuk uveitis posterior adalah angiografi fluoresein (t erlihat mikroaneurisma, teleangiektasis, kapiler nonperfusi, neovaskularisasi, d an edema makular sistoid) untuk menentukan apakah kelainan yang ditemukan adalah kelainan vaskular retina noninflamasi. Tatalaksana Tatalaksana terpenting adalah dengan steroid topikal, periokular, atau sistem ik dan sikloplegik. Steroid diindikasikan pada uveitis yang penyebabnya non infe ksi. Pemilihan cara pemberian steroid sebagai berikut: * Topikal. Untuk uveitis anterior digunakan steroid tetes mata. Frekuensi pember ian dapat setiap jam hingga 2 hari sekali. Steroid pilihannya adalah prednisolon asetat 1% yang botolnya harus dokocok sebelum digunakan. Selama penggunaan pasi en dimonitor tiap 4-6 minggu untuk mencegah efek samping hipertensi okuli. * Periokular. Jika steroid diharapkan bekerja di bagian posterior atau kepatuhan pasien rendah. Dapat diberikan transseptal atau sub-Tenon. Efek kerjanya lebih lama. Contohnya adalah triamsinolon asetonid. Cara ini tidak boleh diterapkan pa da pasien uveitis atau skleritis yang infeksius. * Sistemik. Jika terdapat penyakit sistemik yang juga perlu diterapi atau pada u veitis yang mengancam penglihatan yang tidak responsif pada cara pemberian stero id lain. Dapat diberikan oral atau intravena. Steroid oral yang sering digunakan adalah prednison.

Sikloplegi tetes mata kerja pendek (siklopentolat) dan kerja panjang (atropin ) dapat mengurangi fotofobia karena spasme siliar dan untuk mengatasi atau mence gah sinekia posterior. Pada kasus uveitis yang berat yang tidak responsif terhad ap steroid atau pasien yang mengalami komplikasi dengan terapi standar, dapat di gunakan imunosupresan. Terapi imunosupresan adalah terapi lini pertama pada pasi en penyakit Behcet dengan keterlibatan segmen posterior, granulomatosis Wegener, dan skleritis nekrotikan. Terapi imunomodulasi diberikan pada pasien yang memer lukan terapi steroid sistemik jangka panjang, seperti koroiditis serpiginosa, ko roiditis birdshot, penyakit VKH, oftalmia simpatika, dan artritis rheumatoid juv enilis. Indikasi pembedahan pada uveitis adalah rehabilitasi visual, biopsi diagnosti k, dan menghilangkan opasitas media refraksi agar dapat memonitor segmen posteri or. Misalnya terjadinya katarak, glaukoma sekunder karena blok pupil atau penutu pan sudut, ablasio retina. Sebelum pembedahan, terapi medis harus diintensifikas i minimal 3 bulan untuk meredakan inflamasi. Uveitis intermedia dan posterior dapat menyebabkan kekeruhan vitreus yan g signifikan yang tidak berespon pada terapi medis. Neovaskularisasi juga dapat terjadi pada vaskulitis atau oklusi vaskular sehingga menyebabkan perdarahan vit reus. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan vitrektomi. Vitrekomi juga diperlukan jika inflamasi intraokular tidak atau kurang berespon terhadap terapi atau ada k ecurigaan neoplasia intraokular atau infeksi. Komplikasi Komplikasi uveitis anterior adalah katarak, peningkatan tekanan intraokular y ang menyebabkan glaukoma, penurunan tekanan intraokular yang menyebabkan atrofi bola mata, sinekia posterior, dan kalsifikasi kornea. ENDOFTALMITIS Definisi dan Klasifikasi Endoftalmitis adalah inflamasi berat dalam rongga intraokular (aqueous atau v itreus humor), biasanya akibat infeksi setelah trauma atau bedah, atau endogen a kibat sepsis. Bentuk endoftalmitis adalah radang supuratif dalam rongga mata. Secara garis besar, endoftalmitis dibagi menjadi endoftalmitis eksogen dan en dogen. Dikatakan eksogen bila port d entre-nya ekstrinsik, dikatakan endogen bila i nfeksinya berasal dari penyebaran hematogen karena bakteremia. INCLUDEPICTURE "endoftalmitis/Endogenous%20Endophthalmitis%20Case%20Report%20and% 20Brief%20Review%20-%20August%201999%20-%20American%20Academy%20of%20Family%20Ph ysicians_files/510_f4.gif" \* MERGEFORMATINET Gambar 2. Klasifikasi endoftalmitis oleh Greenwald Epidemiologi 60% kasus endoftalmitis eksogen terjadi pasca pembedahan intraokular. Bentuk endoftalmitis yang paling sering di Amerika Serikat adalah endoftalmitis pasca k atarak. 0,1-0,3% operasi katarak mengalami komplikasi endoftalmitis. Endoftalmit is pasca trauma terjadi pada 4-13% trauma tajam mata. Keterlambatan menutup luka akibat trauma tajam berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinnya endoftalmit is. Di Amerika Serikat endoftalmitis endogen jarang terjadi, hanya berkisar antar a 2-15% dari seluruh kasus endoftalmitis. Insiden tahunan rata-rata adalah 5 dar i 10.000 pasien yang dirawat. Pada kasus endoftalmitis unilateral, mata kanan du a kali lebih sering terinfeksi dibanding mata kiri. Hal ini disebabkan letak mat a kanan yang lebih proksimal dan aliran darahnya yang langsung ke arteri karotis kanan. Sejak 1980, infeksi Candida pada penyalahguna obat intravena meningkat. Peningkatan risiko tersebut dapat disebabkan penyebaran AIDS, penggunaan obat im unosupresif yang makin sering, dan peningkatan prosedur invasif (seperti transpl antasi sumsum tulang).

Etiologi 56-90% endoftalmitis disebabkan oleh organisme Gram positif. Organisme terser ing adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus sp. Organisme Gram negatif, seperti Pseudomonas sp, Escherichia coli, dan Entero coccus, didapatkan pada trauma tajam. Tapi pada endoftalmitis endogen persentase di atas turun bermakna karena proporsi infeksi jamur yang lebih besar. Penyebab tersering endoftalmitis endogen adalah Candida. Faktor risiko untuk terinfeksi Candida antara lain adalah penyalahguna obat intravena, pembedahan, k eganasan, hiperalimentasi intravena, jalur endovaskular, diabetes, neutropenia, serta penggunaan antibiotik spektrum luas dan obat imunosupresif. Patofisiologi Pada keadaan normal, sawar darah-okular memiliki resistensi alami terhadap or ganisme. Pada endoftalmitis endogen, organisme hematogen menembus sawar darah-ok ular dengan cara invasi langsung (seperti emboli septik) ataupun dengan melep askan substansi yang menimbulkan perubahan pada endotel vaskular pada saat infek si. Destruksi jaringan intraokular dapat disebabkan karena invasi langsung organ isme dan atau karena mediator inflamasi respon imun. Prosedur pembedahan yang merusak integritas bola mata (seperti katarak, glauk oma, retinal, keratotomi radial) dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen. Gambaran endoftalmitis dapat hanya berupa nodul-nodul putih di kapsul lensa, iris, retina, atau koroid; atau dapat berupa inflamasi seluruh jaringan okular y ang menyebabkan bola mata penuh dengan eksudat purulen. Inflamasi ini dapat meny ebar ke jaringan lunak orbita. Gejala Klinis Diperlukan kekritisan untuk dapat mendiagnosis dini endoftalmitis endogen. Um umnya pasien mengeluh nyeri pada mata, pandangan kabur, keluar sekret dari mata, fotofobia, nyeri kepala, dan injeksi mata. Gejala endoftalmitis bakterial biasa nya akut, meliputi mata nyeri dan merah, kelopak mata bengkak, dan penurunan vis us. Beberapa bakteri, seperti Propionibacterium acnes, dapat menyebabkan inflama si kronik dengan gejala yang ringan. Organisme tersebut adalah flora normal kuli t dan biasanya inokulasi terjadi saat pembedahan intraokular. Sebaliknya, endoft almitis fungal memiliki perjalanan penyakit yang lambat, dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu. Gejalanya meliputi penglihatan kabur, nyeri, dan p enurunan visus. Pada pasien sering didapatkan riwayat trauma tajam karena tanama n atau benda asing yang terkontaminasi tanah. Pasien dengan infeksi Candida dapa t menderita demam tinggi yang diikuti gejala okular beberapa hari kemudian. Feve r of unknown origin yang persisten dapat berkaitan dengan infiltrat fungal retin okoroidal yang tidak terlihat. Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan endoftalmitis juga harus ditanyak an untuk memperkuat dugaan adanya infeksi primer (seperti penyalahgunaan obat in travena, risiko sepsis atau endokarditis, riwayat prosedur oftalmologi invasif). Pada kasus endoftalmitis pasca operasi, infeksi dapat terjadi segera setelah op erasi atau berbulan-bulan hingga bertahun-tahun kemudian seperti pada kasus P. a cnes. Pemeriksaan Oftalmologi Temuan pemeriksaan oftalmologis sesuai dengan struktur yang terkena dan deraj at infeksi atau inflamasi. Pemeriksaan oftalmologi yang perlu dilakukan adalah p emeriksaan visus, pemeriksaan eksternal, funduskopi, dan slit lamp mata bilatera l. Pemeriksaan dengan slit lamp dan ultrasonografi okular perlu dilakukan untuk melihat adanya kekeruhan vitreus anterior, penebalan retinokoroidal, dan keutuha n retina. Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pengukuran tekanan intraokular. Tanda yang perlu dicari adalah edema dan eritema kelopak mata, injeksi konjun gtiva dan sklera, hipopion, vitreitis, kemosis, penurunan atau hilangnya refleks merah, proptosis (tanda lanjut pada panoftalmitis), papilitis, cotton-wool spot s, edema dan infeksi kornea, lesi putih di koroid dan retina, uveitis kronik, ma

ssa dan debris vitreus, sekret purulen, demam, serta cells and flare di bilik an terior pada pemeriksaan slit lamp. Tidak adanya nyeri dan hipopion tidak menying kirkan kemungkinan endoftalmitis, terutama pada kasus infeksi P. acnes kronik in dolen. Kemosis, proptosis, dan hipopion adalah tanda pada stadium lanjut. Tanda dini seperti Roth s spots (titik bulat putih di retina yang dikelilingi perdarahan ) dan periflebitis retina dapat terlihat pada funduskopi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium terpenting adalah pewarnaan Gram dan kultur aqueus d an vitreus humor. Kultur darah dan kultur intraokular dari kedua rongga mata seb elum memulai terapi antibiotik kemungkinan besar akan membantu menemukan patogen penyebab. Spesimen kultur juga dapat diambil dari dari tempat lain, seperti uri n. Ada juga pendapat yang menyatakan pewarnaan Gram cairan intraokular kurang me mbantu. Untuk endoftalmitis endogen, pemeriksaan lain yang perlu dilakukan meliputi: * darah perifer lengkap dan hitung jenis untuk mengevaluasi tanda-tanda infeksi berupa leukositosis dan shift to the left; * laju endap darah untuk mencari penyebab reumatik, infeksi kronis, atau keganas an; * blood urea nitrogen dan kreatinin untuk melihat kemungkinan diagnosis atau pen ingkatan risiko gagal ginjal. Selain pemeriksaan laboratorium diagnostik awal, pemeriksaan terhadap infeksi HIV sebaiknya dipertimbangkan pada orang sehat yang menderita endoftalmitis. Fo to polos dada mungkin memperlihatkan gambaran sumber infeksi di paru. Ekokardiog rafi dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan endokarditis. CT scan atau MRI orbita dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial. Pemeriksaa n lain dilakukan sesuai manifestasi klinis, antara lain kultur dari cairan sereb rospinal, tenggorok, feces, catheter tip, atau benda tajam penyebab trauma. Diagnosis Diferensial Diagnosis diferensial endoftalmitis ialah trombosis sinus kavernosus, abrasi kornea, laserasi kornea, ulkus korena dan keratitis ulserativa, endokarditis, ru ptur bola mata, herpes zoster oftalmikus, iritis dan uveitis, lupus eritematosus sistemik, serta perdarahan vitreus. Tatalaksana Tatalaksana endoftalmitis dilakukan di ruang gawat darurat. Jika telah didiag nosis atau diduga kuat endoftalmitis, pasien harus dirujuk segera ke spesialis m ata untuk evaluasi lebih lanjut. Tatalaksana diberikan berdasarkan penyebab endo ftalmitis. Pada endoftalmitis endogen, terapi antibiotik yang tepat adalah kunci keberhasilan tatalaksana. Endoftalmitis endogen responsif terhadap pemberian an tibiotik intravena, sedangkan pada endoftalmitis eksogen tidak selalu perlu dibe rikan antibiotik. Antibiotik sistemik juga diberikan untuk membunuh fokus infeks i yang jauh dan mencegah berlanjutnya bakteremia, dengan demikian mengurangi kem ungkinan endoftalmitis pada mata lainnya. Terapi parenteral tidak diperlukan pad a endoftalmitis pasca operasi kecuali ada bukti infeksi di luar bola mata. Pada endoftalmitis bentuk lain, perlu diberikan antibiotik spektrum luas bila kultur positif. Antibiotik empirik spektrum luas yang digunakan adalah vankomisin dan aminogl ikosida atau sefalosporin generasi tiga. Sefalosporin generasi tiga mampu mempen etrasi jaringan okular dan efektif terhadap bakteri Gram negatif. Tatalaksana endoftalmitis pasca operasi: * vitrektomi pars plana atau aspirasi vitreus oleh dokter spesialis mata diserta i pemberian antibiotik intravitreal, seperti vankomisin, amikasin, atau seftazid im; * dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik sistemik dan steroid intravitreal; * pasien dengan endoftalmitis pasca operasi biasanya tidak dirawat di rumah saki t. Namun keputusan merawat pasien ditentukan oleh dokter spesialis mata.

Tatalaksana endoftalmitis pasca trauma: * pasien dirawat di rumah sakit; * tatalaksana bila terjadi ruptur bola mata; * antibiotik sistemik dengan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin gen erasi tiga. Pertimbangkan klindamisin jika kemungkinan etiologi Bacillus belum d apat disingkirkan dan dicurigai ada kontaminasi tanah; * diberikan antibiotik topikal dan intravitreal; * pertimbangkan vitrektomi pars plana; * diperlukan imunisasi tetanus jika riwayat imunisasi telah lama; * sikloplegi tetes mata, seperti atropin dapat diberikan. Tatalaksana endoftalmitis endogen bakterial: * pasien dirawat di rumah sakit; * antibiotik intravena spektrum luas vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosp orin generasi tiga. Pertimbangkan menambahkan klindamisin untuk penyalahguna oba t intravena hingga infeksi Bacillus dapat disingkirkan; * antibiotik periokular kadang diperlukan; * antibiotik intravitreal adalah indikasi; * sikloplegi tetes mata, seperti atropin, dan steroid topikal dapat diberikan; * mungkin diperlukan vitrektomi untuk organisme virulen. Tatalaksana endoftalmitis Candida: * pasien dirawat di rumah sakit; * flukonazol oral merupakan indikasi; * dapat dipertimbangkan pemberian amfoterisin B intravena atau intravitreal dan sikloplegi tetes mata. Tabel 6. Dosis antibiotik dan antifungal parenteral AntibiotikDosisVankomisinIV: 1 g diinfus dalam 1 jam, dilanjutkan q12h Intravitreal: 1 mg dalam 0,1 mLGentamisinIV: 2 mg/kg dalam 30-60 menit, dilanjut kan 1,7 mg/kg q8h atau 3-6 mg/kg/hari dibagi 3 dosisKlindamisinIV: 600-900 mg q8 hCeftazidimeIV: 2 g q12hCeftriaxonIV: 2 g q24h Intravitreal: 2 mg dalam 0,1 mLCefotaximeIV: 2 g q4hAntifungalDosisAmfoterisin B IV: 3 mg/kg/hari, diinfuskan dalam 2-6 jam, selama 14 hari Injeksi antibiotik intravena telah merevolusi tatalaksana endoftalmitis eksog en namun pada kasus endoftalmitis endogen, keefektifannya masih kontroversial. D emikian juga intervensi bedah, seperti vitrektomi, dilakukan pada endoftalmitis pasca operasi dan pasca trauma tapi kegunaannya pada kasus endogen diperdebatkan . Sumber infeksi dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan antibiotik. Pada kas us dengan riwayat infeksi gastrointestinal atau genitourinaria, antibiotik pilih annya adalah sefalosporin generasi dua atau tiga dan aminoglikosida. Vankomisin digunakan untuk penyalahguna obat untuk mengatasi kemungkinan infeksi Bacillus. Bila sumber infeksinya diperkirakan luka, digunakan oksasilin atau sefalosporin generasi pertama. Jika anamnesis pasien, pewarnaan, atau kultur mengarah pada in feksi jamur, rejimen obat harus menyertakan amfoterisin B, flukonazol, atau itra konazol. Intervensi bedah disarankan terutama untuk pasien yang terinfeksi organisme v irulen, visus 20/400 atau kurang, atau keterlibatan vitreus berat. Kadang endoft almitis posterior difus atau panoftalmitis menyebabkan kebutaan meski telah dita talaksana dengan baik, namun vitrektomi dan antibiotik intravitreal mencegah atr ofi okular atau keharusan enukleasi. Beberapa kerusakan berhubungan dengan mediator inflamasi. Steroid seperti dek sametason diberikan intravitreal, meskipun perannya belum jelas. Secara empiris, steroid topikal diberikan pada pasien dengan endoftalmitis fokal anterior atau difus untuk mencegah komplikasi seperti glaukoma dan sinekiae. Komplikasi Penurunan visus dan kebutaan adalah komplikasi endoftalmitis yang tersering. Bila terjadi komplikasi, perlu dilakukan enukleasi.

Pencegahan Penggunaan alat pelindung mata dapat mengurangi risiko terjadinya trauma okul ar dan penetrasi bola mata pada situasi tertentu. Prognosis Fungsi penglihatan pada pasien endoftalmitis sangat tergantung pada kecepatan diagnosis dan tatalaksana. Prognosisnya sangat bervariasi tergantung penyebab. Faktor prognostik terpenting adalah visus pada saat diagnosis dan agen penyebab. Prognosis endoftalmitis endogen secara umum lebih buruk dari eksogen karena j enis organisme yang menyebabkan endoftalmitis endogen biasanya lebih virulen, te rdapat pada pejamu yang imunokompromais, dan keterlambatan diagnosis. Pada suatu studi retrospektif, meskipun dengan terapi agresif, dikatakan hanya 40% pasien dengan visus dapat menghitung jari atau lebih baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Department of Ophthalmology and Visual Sciences. The Chinese University of Ho ng Kong. Get to know uveitis. Diunduh dari: HYPERLINK "http://www.afv.org.hk/uve itis_e.htm" http://www.afv.org.hk/uveitis_e.htm. Tanggal akses: 6 Desember 2006. 2. Foster CS. Uveitis, classification. Diunduh dari: HYPERLINK "http://www.emedi cine.com/oph/topic581.htm" http://www.emedicine.com/oph/topic581.htm. Tanggal akses : 6 Desember 2006. 3. Foster S. Central sterile corneal ulceration. Diunduh dari: HYPERLINK "http:/ /www.emedicine.com/oph/topic746.htm" http://www.emedicine.com/oph/topic746.htm. Tan ggal akses: 6 Desember 2006. 4. Hodge WG. Traktus uvealis & sklera. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum (ed. 14). Jakarta: Widya Medika. 2000. 5. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam: Ilyas S. Ilmu p enyakit mata (ed. 3, cet. I). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. h. 6. Keratitis bacterial. Diunduh dari HYPERLINK "http://www.emedicine.com/OPH/top ic98.htm" http://www.emedicine.com/OPH/topic98.htm. Tanggal akses 6 Desember 2006. 7. Peters JR. Endophthalmitis. Diunduh dari: HYPERLINK "http://www.emedicine.com /emerg/topic880.htm" http://www.emedicine.com/emerg/topic880.htm. Tanggal akses: 6 Desember 2006. 8. Romero CF, Rai MK, Lowder CY, Adal KA. Endogenous endophthalmitis. J Am Fam P hysician 1999;60(2). 9. The Eye M.D. Association. Bacterial keratitis. American Academy of Ophthalmol ogy. September 2000. 10. Wang JC. Keratitis herpes simplex. Diunduh dari HYPERLINK "http://www.emedic ine.com/OPH/topic100.htm" http://www.emedicine.com/OPH/topic100.htm. Tanggal akses 6 Desember 2006. 11. World. Health Organization Regional Office for South-East Asia. Guidelines f or the management of corneal ulcer at primary, secondary & tertiary care health facilities in the South-East Asia region. World Health Organization. 2004.

Anda mungkin juga menyukai