Anda di halaman 1dari 14

J.

Agrivigor 11(2): 230-243, Mei Agustus 2012; ISSN 1412-2286

EVALUASI DAN KERAGAMAN GENETIK 12 GALUR GANDUM INTRODUKSI DI LINGKUNGAN TROPIKA BASAH
Evaluation and genetic variation of introduced wheat lines in tropical agroecosystem Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya
E-mail: nuramin02@yahoo.com 1.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Jl.Meranti, Kampus IPB Darmaga 16680, Indonesia 2.Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, IPB. Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga 16680, Indonesia

ABSTRAK
Pengembangan gandum di Indonesia yang merupakan lingkungan tropika, perlu adanya uji adaptasi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui adaptasi dan keragaman genetik 12 galur gandum pada lingkungan tropika basah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi galur x lingkungan dan galur berpengaruh nyata terhadap karakter hampir semua karakter agronomi, kecuali pada karakter jumlah anakan produktif dan panjang malai, sedang karakter fisiologi hanya kehijauan daun yang dipengaruhi oleh interaksi galur x lingkungan. Karakter luas daun, kerapatan stomata dan kehijauan daun yang dipengaruhi oleh galur. Begitu pula lingkungan mempengaruhi hampir semua karakter morfologi, kecuali tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen dan bobot 1000 biji, sedang karakter fisiologi yang dipengaruhi lingkungan adalah luas daun, kerapatan stomata dan klorofil b. Karakter yang nilai Hertabilitasnya tinggi adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, luas daun, kerapatan stomata klorofil a dan ketebalan daun. Namun yang memiliki hertabilitas tinggi dengan diikuti keragaman genetik yang luas adalah karakter jumlah anakan produktif, jumlah spikelet dan luas daun.

Kata Kunci: Evaluasi, Keragaman Genetik, wheat dan lingkungan tropik

ABSTRACT
Wheat development in Indonesia is oriented in low land regions which has specific characteristics, high temperature and high humidity. So, adaptability study to identify the suitable galurs is essential key for wheat growing in Indonesia. The objective of this research was to determine the adaptation of some introduced galurs at two different environment, low land (< 400 m asl) and high land (>1000 m asl) regions. The used experimental design at each environment is randomized complete block design with three replication. The research result showed that the galur x environment interaction significant for all morphological traits, but not for physiological traits. The experimental environments also give significant effect on plant performance. The productive tillering number, spikelet number, and leaf area have highes heritability and broad genetic variability. So the selection of desirable galurs will effective using these traits.

Key Word : evaluation, Genetic variation, wheat and wet tropical enviroment

PENDAHULUAN
Gandum Sebagai tanaman serealia penting di dunia, memiliki peran

strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Menurut Wittenberg 230

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya (2004) bahwa gandum sebagai sumber pangan, dikonsumsi sekitar dua milyar penduduk di dunia (sekitar 36% dari total penduduk dunia). Di tinjau dari kandungan nutrisi, gandum merupakan tanaman serealia yang memiliki komposisi nutrisi lebih tinggi dibanding tanaman serealia lain. Komposisi protein Gandum (13%), jagung dan Oats (10%), Padi (8%), Barley dan Rye (12%), sedang karbohidrat gandum (69%), padi (65%), Jagung (72%) Barley (63%) dan Rye (71%). Namun yang paling penting adalah gandum memiliki kandungan glutein yang tinggi yang mencapai 80%. Kandungan glutein yang tinggi merupakan karakter kandungan fitokimia yang khas untuk gandum dibanding serealia lain. Glutein adalah protein yang bersifat kohesif dan liat yang berperan sebagai zat penentu elastisitas adonan berbasis tepung (Sleper dan Poehlman 2006) Tepung terigu sebagai produk olahan dari biji gandum sebagai bahan baku makanan yang tidak asing lagi di Indonesia, konsumsi terbesar adalah untuk 40% untuk konsumsi rumah tangga baik dalam bentuk mie basah atau mie kering, 25% untuk industri roti, 20% industri mie instant, 15% untuk industri cake dan biskuit, sisanya 5% untuk gorengan,. Jenis-jenis makanan tersebut sangat disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak sampai kalangan orang dewasa/orang tua, baik dari kalangan bawah sampai tingkat atas. Beragamnya produk olahan berbasis terigu menyebabkan produksi terigu dan permintaan gandum meningkat sebanding dengan tingkat konsumsi masyarakat terkait dengan tingkat pendapatan dan laju pertambahan penduduk yang selalu meningkat (Adnyana et al. 2006). Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), konsumsi terigu Indonesia meningkat sangat signifikan dari 9,9 kg per kapita pada 2002, menjadi 17,11 kg per kapita pada 2007 atau sekitar 12% dari konsumsi pangan Indonesia dan pada tahun 2009 mencapai 17,7 kg kapita-1. Karena itu, impor gandum juga terus mengalami peningkatan di mana pada tahun 2003 hanya sekitar 3,736 juta ton, pada tahun 2005 mencapai 4,5 juta ton, kemudian mengalami peningkatan mencapai 4.770.000 ton (US$697.524.000) pada tahun 2007 dan pada tahun 2010 mencapai level 5 juta ton. Data BPS menunjukkan bahwa impor biji gandum tahun 2011 telah mencapai 5,4 juta ton dengan sumber utama dari Australia sebanyak 3,7 juta ton, Canada 982.200 ton dan Amerika Serikat 747.900 ton. Sedangkan impor tepung terigu tahun 2011, mencapai 680.100 ton dengan nilai 281,7 juta dolar AS (BPS 2012). Pengekspor tepung terigu impor utamanya berasal dari Turki sebanyak 387.400 ton dan Sri Lanka 207.800 ton serta sisanya dari Ukraina, Belgia, dan Australia. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) memperkirakan permintaan tepung terigu dalam negeri pada 2012 naik 6 persen dibanding 2011 yang mencapai 4,7 juta ton (Aptindo 2012) Sebagai tanaman subtropik pengembangan gandum di Indonesia yang merupakan lingkungan tropik terkendala dengan masalah Iklim, sehingga pengembangannya selama ini masih di daerah ketinggian > 1000 m dpl yang memiliki iklim mirip dengan lingkung-

231

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah an subtropik, khususnya suhu yang rendah. Proses adaptasi tanaman gan-dum dilingkungan tropis khususnya dataran rendah dibatasi faktor iklim yang memiliki variasi cukup tinggi, utamanya suhu, kelembaban, lama pe-nyinaran dan intensitas penyinaran. Perbedaan tersebut memberikan pe-tunjuk adanya ciri-ciri dan potensi-po-tensi khusus dari suatu wilayah dan karakter khusus tanaman yang perlu dimanfaatkan secara baik dan kajian lebih dalam. Adanya variasi lingkungan makro tersebut tidak akan menjamin suatu genotip/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah.Hal ini terkait dengan kemungkinan ada tidak-nya interaksi antara galur tanaman dengan kisaran keragaman lingkungan. Memahami mekanisme genetik dan fisiologis tanaman dengan perubahan-perubahan kondisi lingkungan sangat penting untuk menciptakan strategi yang efisien untuk mengembangkan kultivar tahan cekaman untuk sistem produksi yang berkelanjutan (Rao 2001). Untuk menilai tingkat keragaman genetik dari galur yang diuji dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pendugaan keragaman genetik yang meliputi nilai heritabilitas, ko-efisien keragaman genetik, koefisien ke-ragaman fenotipik dengan berpedoman pada karakter visual tanaman (Bahar dan Zen, 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan melihat keragaman genetik 12 galur gandum di lingkungan tropik dan mengidentifikasi karakter agronomi dan fisiologis yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk perakitan gandum dataran rendah.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Seameo-Biotrop (< 400 m.dpl) dan kebun percobaan Balithi-Cipanas (>800 m.dpl). Penelitian dilaksanakan mulai Mei September 2010. Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, ukuran plot 1.5 x 5 m. Materi genetik terdiri atas 10 galur gandum dan 2 varietas sebagai pembanding (Selayar dan Dewata). Tiap nomor ditanam 6 baris sepanjang 5 m dengan jarak tanam antar baris 25 cm, benih dilarik dalam baris. Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg. Urea ha-1, 200 kg. SP36 ha-1 dan 100 kg. KCl ha-1 pada umur 10 hst dan pemupukan kedua dengan dosis 150 kg. Urea ha-1 pada umur 30 hst. Sebelum ditanam benih diberi insektisida carbaryl 85% dan pada saat tanam lubang larikan diberi Carbofuran. Pengamatan karakter agronomi meliputi umur berbunga (hari), umur panen (hari), tinggi tanaman (cm), jumlah anakan, jumlah anakan produktif, panjang malai (cm), jumlah sipkelet, jumlah floret hampa, bobot biji malai-1 (g), jumlah biji malai-1, bobot 1000 biji (g), bobot biji petak-1 (g) dan bobot biji ha-1 (t ha-1). Sedangkan karakter fisiologis adalah kehijauan daun, luas daun, ketebalan daun, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b dan klorofil total. Data yang dikumpulkan di analisis dengan menggunakan analisis ragam, ragam gabungan, nilai heratabilitas. Analisis dilakukan mengikuti metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1985) dan Falconer (1989).

232

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Tabel 1. Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter gandum introduksi pada masing-masing lokasi Kuadrat tengah Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah harapan Ulangan r-1 Galur g-1 M1 2 + r2g M2 Galat (g-1)(r-1) 2
Keterangan : r = ulangan, g = galur, 2g = ragam galur, 2 = ragam galat

Tabel 2. Analisis Ragam Gabungan Menggunakan Model Acak Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah Kuadrat tengah harapan l-1 M5 2 e +r2gl+g2r(l) +rg 2l Lokasi (L) l (r-1) Ulangan/Lokasi M4 2 e +g2r(l) (g-1) M3 2 e +r2gl+rl2g Galur (G) (g-1)(l-1) M2 2 e + r2gl Galur x Lokasi Galat l (g-1)(r-1) 2e M1
Keterangan : r = ulangan, l = lokasi, g = galur, 2g = ragam galur, 2gl = ragam interaksi, 2 = ragam galat

Menurut Hallauer dan Miranda (1995), ragam fenotipik (2P), ragam genotipik (2G), ragam interaksi (2 GxE) dihitung sebagai berikut: 2 P = 2G+ (2GxE / l) + (2E / rl); = (M3 M2)/rl 2 G 2 GxE = (M2 M1) /r; = M1/rl 2 E Menurut Stansfield (1983) nilai duga heritabilitas dan kriterianya dihitung dengan menggunakan rumus : 2G h2 (bs) =------ x 100% 2 P Kriteria nilai heritabilitas : h2 > 0,5: heritabilitas tinggi h2 terletak antara 0,2 0,5: heritabilitas sedang h2 < 0,2 : heritabilitas rendah

Koefisien keragaman genetik diduga berdasarkan ragam genotipik (2G) dan luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan standar deviasi ragam genetik yang diduga menurut rumus berikut: (2G) =

2 ( rl ) 2

M 32 M 22 + db + 2 db + 2 g gl

Untuk beberapa lokasi dan satu musim (Hallauer dan Miranda 1995). Apabila 2G > 2 (2G) : keragaman genetiknya luas, sedangkan 2G < 2 (2G) : keragaman genetiknya sempit. Di mana : : kuadrat tengah galur M3 : kuadrat tengah galur x lokasi M2 r : banyaknya ulangan; l : banyaknya lokasi : derajat bebas galur dbg : derajat bebas galur x lokasi dbgl

233

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbedaan lingkungan merupakan komponen utama yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Variasi lingkungan selama penelitian di lokasi penelitian memiliki variasi suhu rata-rata 20OC, kelembaban 83%, curah hujan 12 mm dengan lama penyinaran 42% di Cipanas dengan ketinggian > 1000 m dpl sedangkan di Bogor variasi suhu rata-rata 25,8OC, kelembaban 83.7%, curah hujan 15,1 mm

dengan lama penyinaran 64.2% (BMG 2011). Hal ini dapat dilihat bahwa semakin rendah elevasi suatu tempat variasi suhu semakin meningkat dan hal ini berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Kombinasi antara suhu dengan kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran serta intensitas penyinaran yang tinggi menambah tingkat cekaman terhadap pertumbuhan hingga produksi tanaman gandum.

Tabel 3. Analisis ragam gabungan karakter agronomi dan fisiologi galur gandum introduksi di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) Kuadrat Tengah RataKarakter Kisaran Lokasi x rata Lokasi Galur Galur Tinggi Tanaman 230.67 tn 170.04 ** 91.26 * 56 - 74 64.68 ** tn tn Anakan Produktif 180.85 1.09 0.45 3.73 - 4.90 4.12 tn ** ** 120.46 95.93 52,50 - 68.83 64.00 Umur Berbunga 29.33 tn ** ** 205.38 54.23 86.17 - 103.75 97.00 Umur Panen 195.17 * tn tn 2.84 1.15 7.36 - 9.33 8.28 Panjang Malai 25.5 ** ** * 13.97 1.78 9.14 - 14.68 17.14 Jumlah Spikelet 375.59 ** ** ** 5.49 9.61 6.29 - 9.37 7.89 Floret Hampa 168.45 * ** ** 182.35 277.26 34.85 - 56.15 45.27 (%) Floret Hampa 535.33 ** ** ** Jumlah Biji/Malai 181.58 98.92 72.90 17.51 - 32.24 26.65 0.09 ** 0.07 ** 0.61 - 0.89 0.75 Bobot Biji/Malai 2.56 ** 33.72 ** 28.74 * 22.05 - 28.68 26.22 Bobot 1000 Biji 4.66 tn 0.35 * 0.47 ** 1.13 - 1.87 1.49 Hasil 52.56 ** Luas Daun 365.09 ** 23.04 ** 2.96 tn 21.87 - 37.18 30.40 84.99 tn 49.26 - 65.39 57.80 Kerapatan stomata 454.77 * 219.58** tn tn tn 0.06 0.04 1.43 - 1.76 1.50 Klorofil a 0.15 ** tn tn 0.01 0.01 0.58 - 0.72 0.60 Klorofil b 0.08 tn tn tn 0.004 0.004 0.40 - 0.48 0.40 Klorofil b/a 0.01 tn tn tn Klorofil a/b 0.24 0.07 0.10 2.17 - 2.54 2.40 tn tn tn 0.12 0.09 2.01 - 2.48 2.20 Klorofil Total 0.45 tn tn tn 868.41 568.62 195.01 - 225.88 207.5 Ketebalan Daun 13099.4 tn ** ** 10.01 13.29 40.58 - 45.2 43.59 Kehijauan Daun 3.64
Keterangan: Nyata pada taraf uji P 0,05, ** : Sangat nyata pada taraf uji P 0,01, tn : tidak nyata pada taraf uji P 0,05 dan P 0,01

234

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Analisis ragam gabungan Tabel 3 menunjukkan adanya pengaruh interaksi galur x lingkungan yang nyata terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, floret hampa, persentase floret hampa, jumlah biji malai , bobot biji malai , bobot 1000 biji, hasil dan kehijauan daun. Pengaruh interaksi yang nyata mengindikasikan adanya perubahan tanggapan galur-galur yang tidak sama (berbeda) dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Sejauh pengaruh interaksi galur x lingkungan tidak merubah peringkat galur-galur di kedua lingkungan penelitian, maka interaksi tersebut tidak akan mempersulit dalam pemilihan galur. Hal ini menjadi sulit dalam pemilihan galur, karena karakter utama seperti, jumlah spikelet, floret hampa, persentase floret hampa, jumlah biji malai dan bobot biji malai , bobot 1000 biji serta hasil berpengaruh nyata. Sehingga peringkat galur di kedua lingkungan berubah berdasarkan karakter tersebut di atas. Perbedaan tanggapan karakter agronomi dan kehijaun daun setiap galur yang diuji pada dua lingkungan, mencerminkan besarnya perbedaan lingkungan makro dan mikro lingkungan pengujian. Hal ini diduga perbedaan elevasi sangat mempengaruhi penampilan karakter setiap galur yang diuji, khususnya pada karakter agronomi tanaman gandum. Menurut Soemartono dan Nasrullah (1992) bahwa terdapat dua tanggapan galur terhadap perbedaan lingkungan yaitu galur yang menunjukkan kemampuan adaptasi pada lingkungan luas berarti interaksi galur x lingkungan kecil, dan galur yang menunjukkan kemampuan adaptasinya 235
1 1 1 1

sempit atau beradaptasi secara khusus dan berpenampilan baik pada suatu lingkungan tetapi berpenampilan buruk pada lingkungan yang berbeda, berarti interaksi galur x lingkungan besar. Namun karakter fisiologis tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata pada interaksi galur x lingkungan hal ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan/elevasi mampu dikompensasi oleh karakter fisiologis. Galur yang diuji menunjukkan perbedaan nyata terhadap hampir semua karakter agronomi, kecuali pada karakter jumlah anakan produktif dan panjang malai, sedangkan karakter fisiologis hanya karakter kehijauan daun yang berpengaruh nyata.Hal ini mengindikasikan bahwa galur yang dievaluasi memiliki keragaman yang cukup luas dan dapat menghasilkan galur yang terbaik. Berdasarkan Penampilan dari 11 galur gandum yang diuji memiliki kisaran yang cukup luas terutama pada karakter umur panen, jumlah spikelet, floret hampa, persentase floret hampa, jumlah biji malai , hasil, luas daun, kerapatan stomata dan ketebalan daun. Karakter-karakter tersebut memiliki keragaan yang cukup, sehingga memungkinkan untuk dilakukan perbaikan karakter terhadap cekaman suhu tinggi pada di lingkungan dataran rendah. Pengaruh lokasi berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah spikelet, floret hampa, persentase floret hampa, jumlah biji malai , bobot biji malai , hasil, luas daun dan klorofil b. Faktor lingkungan dalam penelitian ini nampaknya berkaitan erat dengan suhu, kelembaban, lama penyinaran dan
1 1 1

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah intensitas penyinaran di masing-masing lingkungan, dimana tanaman gandum merupakan tanaman yang sangat responsive terhadap faktor lingkungan tersebut di atas. Menurut Handoko (2007) bahwa yang mempengaruhi selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum adalah suhu udara. Setiap penurunan elevasi terjadi kenaikan suhu udara hal ini menjadi cekaman utama selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respon tanaman terhadap perbedaan lingkungan tumbuh dapat ditandai oleh menurunnya atau meningkatnya aktivitas fisiologis tanaman. Pengaruh faktor lingkungan ini berpengaruh secara kumulatif terhadap fase pertumbuhan vegetatif, pembungaan, pembentukan biji dan pengisian biji (Ivory, 1989). Karakter seperti tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 biji, klorofil a, klorofil b/a, klorofil a/b, klorofil total, ketebalan daun, dan kehijauan daun tidak dipengaruhi oleh lokasi, hal ini memperlihatkan bahwa perbedaan lingkungan yang ada mampu dikompensasi oleh karakter tersebut. Berdasarkan uji BNT Tabel 4, menunjukkan bahwa karakter B1000B, hasil, dan kehijauan daun berbeda nyata antar setiap galur dalam galur maupun antar lingkungan.

Tabel 4. Rata-rata karakter agronomi galur gandum yang memperlihatkan pengaruh interaksi genetik x lingkungan B1000B Hasil Kehijauan Daun Galur Cipanas Bogor Cipanas Bogor Cipanas Bogor -1 ----g-------t.ha ---OASIS/SKAUZ //4*BCN 28.30 a-g 27.91 a-g 1.81 cd 0.86 f 42.63 b-f 44.87 a-e HP 1744 29.95 a-d 25.85 c-i 2.58 ab 0.46 f 41.57 g 42.07 d-g LAJ/MO88 31.43 ab 25.93 c-i 2.61 ab 0.44 f 42.30 b-f 43.70 b-f RABE/MO88 32.33 a 24.22 e-i 2.79 a 0.51 f 42.40 c-f 43.00 c-f H-21 24.99 d-i 29.00 a-f 2.69 ab 0.69 f 44.60 abc 44.43 b-f G-21 28.31 a-g 25.63 c-i 2.13 bc 0.43 f 44.87 ab 41.70 e-g 0.74 f 45.97 a-d 44.63 a-e G-18 26.54 b-h 29.44 a-e 1.52 de MENEMEN 21.02 i 23.08 g-i 2.59 ab 0.63 f 44.53 d-g 43.07 c-f BASRIBEY 23.91 f-i 21.91 h-i 2.23 abc 0.74 f 43.37 b-f 42.63 c-f ALIBEY 22.94 ghi 24.66 d-i 2.74 a 0.78 f 42.97 c-f 44.00 b-f SELAYAR 24.42 e-i 30.66 abc 2.77 a 0.98 ef 43.20 fg 47.93 a DEWATA 24.63 1.42 41.83 Rata-rata 26.46 26.21 2.32 0.66 43.35 43.82
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%

236

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Galur ASIS/SKAUZ//4*BCN, HP 17 44, LAJ/MO88, Rabe/MO88, dan G-18 memiliki B1000 B lebih tinggi dibandingkan varietas selayar (Cipanas), sedang di Bogor untuk karakter B1000 biji, hasil dan kehijauan daun belum terdapat galur yang lebih baik dibandingkan varietas selayar. Varietas dewata sebagai pembanding peka memperlihatkan penampilan tanaman cukup bagus, namun hingga akhir penelitian varietas ini tidak mengeluarkan malai. Karakter hasil mengalami penurunan seiring dengan peningkatan suhu dan memperlihatkan perbedaan sangat signifikan di kedua lokasi. Salah satu penyebab rendahnya hasil di lokasi dataran tinggi disebabkan karena pada saat tanaman menjelang panen terkena angin puting beliung yang menyebabkan perakaran tanaman se-muanya terangkat, sehingga harus dila-kukan panen lebih awal dan hal ini juga merupakan penyebab utama tingginya floret hampa. Hasil penelitian gandum di dataran tinggi pun bervariasi tergan-tung lingkungan tumbuh seperti curah hujan, kesuburan tanah, dan temperatur (Azwar et al., 1988). Hasil gandum di Lembang (Jabar, 1100 m dpl) mencapai 3,34 t ha-1, tetapi di Kerinci (Jambi, 1100 m dpl) hanya 1,62 t ha-1 (Jusuf 2001), varietas Nias di Malino dapat menghasilkan 5,37 t ha-1 pada 2001 tetapi hanya 2,05 t ha-1 pada 2002 hal ini diduga karena perbedaan tingkat kesuburan tanah, waktu tanam dan temperatur (Dahlan et al., 2003).

Tabel 5. Rata-rata karakter agronomi galur gandum yang memperlihatkan interaksi di dua lingkungan Tinggi tanaman Umur berbunga Umur panen Galur Cipanas Bogor Cipanas Bogor Cipanas Bogor ----cm-------Hari-------Hari---OASIS/SKAUZ// 4*BCN 63.07 d-h 63.44 c-h 62 d-g 62 e-g 99 d-h 93 h-j HP 1744 66.93 a-b 59.11 d-h 64 e-g 43 h 98 ij 80 l LAJ/MO88 64.83 d-h 57.45 e-h 64 c-g 68 a-d 97 c-g 101 b-d RABE/MO88 65.50 b-g 59.43 d-h 59 fg 70 ab 94 h-j 94 g-j H-21 65.70 a-e 73.77 a-c 62 e-g 69 a-c 99 ab 101 b-e 74.36 ab 66 b-f 72 a 100 a-c 100 c-f G-21 71.13 a G-18 69.80 a-f 72.6 a-c 61 b-f 69 ab 105 a 100 c-f 56.63 f-h 68 b-f 67 a-f 105 d-i 96 e-i MENEMEN 72.73 a-e BASRIBEY 65.83 a-d 55.89 gh 62 a-f 67 a-f 99 f-i 90 jk ALIBEY 63.67 a-d 58.35 d-h 64 c-f 57 g 96 d-i 86 k SELAYAR 63.50 h 58.46 d-h 66 e-g 68 a-e 100 c-f 108 a DEWATA 67.30 64 99 Rata-rata 66.67 62.68 63 65 95 97
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%

237

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah Rendahnya hasil dan penurunan karakter agronomi lain didataran rendah diduga oleh ting-ginya cekaman lingkungan yang men-dera tanaman selama pertumbuhan hingga panen. Tingginya suhu yang diselingi curah hujan yang tinggi menyebabkan masa anthesis polen menjadi memen-dek, jumlah polen yang viabel menjadi lebih rendah. Suhu tinggi menghambat perkecambahan polen, pertumbuhan tabung polen dan terdapat perbedaan sensitifitas di antara galur (Huan et al., 2000; Kakani et al., 2002). Suhu tinggi menyebabkan penurunan fruit set yang disebabkan oleh viabilitas polen rendah, penurunan produksi polen dan partum-buhan tabung polen lemah, sehingga penyerbukan bunga rendah (Thuzar et al., 2010). Suhu tinggi juga merupakan penyebab gugur bunga, sehingga menu-runkan biji per tanaman dan hasil biji pada tanaman Brassica napus (Angga et al., 2000) B. rapa (Morrison dan Stewart, 2002) dan B. juncea (Gan et al., 2004.). Pertumbuhan reproduksi terutama untuk menghasilkan biji sering tertekan oleh tingginya suhu sehingga meningkatkan perkembangan dan partumbuhan vegetatif. Inisiasi bunga ber-kurang pada suhu lebih dari 32 C dan pembentukan biji tertunda pada 30-40 C (Thomas et al., 2003.) Karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, floret hampa, % floret hampa, jumlah biji malai
1 1

bandingkan dengan galur yang lain dan varietas selayar yaitu HP 1744. Namun umur genjah ini tidak diikuti oleh penampilan karakter yang lain lebih baik seperti floret hampa, % floret hampa, jumlah biji malai dan bobot biji malai . Hal ini menunjukkan bahwa fase vegetatif yang pendek yang me-rupakan sumber source untuk perkem-bangan fase generatif tidak memcukupi. Hal ini di-duga karena penurunan elevasi menyebabkan suhu meningkat sehingga tanaman mengalami cekaman suhu. Dari sisi organ reproduksi betina, suhu tinggi mempercepat perkembangan stigma dan ovul sehingga mengurangi masa reseptifnya dan berpengaruh terhadap keberhasilan mating antara gamet betina dan jantan. Suhu tinggi juga berpengaruh terhadap sinkronisasi antara fase perkembangan bunga dengan aktivitas serangga penyerbuk (Hedhly et al., 2008). Pada fase setelah pembungaan, penurunan produksi terutama disebabkan oleh aborsi ovary atau biji atau oleh perubahan durasi atau laju pengisian biji. Pada umumnya durasi pengisian biji lebih plastis dibandingkan laju pengisian biji (Thuzar et al., 2010). Berdasarkan nilai hertabilitas dalam arti luas (Tabel 7), menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, luas daun, kerapatan stomata, klorofil a dan ketebalan daun memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keragaan karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan, sehingga karakter ini dalam pemuliaan dapat dijadikan sebagai karak-ter seleksi pada generasi awal dalam proses perakitan varietas. 238
1 1

dan

bobot biji malai (Tabel 5 dan 6) juga memperlihatkan respon yang berbeda setiap galur antar lingkungan dan di dalam lingkungan itu sendiri. Terdapat satu galur yang memiliki umur berbunga dan umur panen yang lebih genjah di-

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Karakter unggul dengan heritabilitas tinggi akan menjamin diperolehnya galur unggul pada generasi berikutnya dalam proses seleksi, sehingga seleksi akan berlangsung efektif dan efisien (Sleper dan Poehlman 2006). Karakter yang memiliki nilai heratabilitas rendah lebih dipengaruhi oleh lingkungan seperti karakter jumlah anakan, umur berbunga, floret hampa, persentase floret hampa, jumlah biji malai , bobot biji malai , bobot 1000 biji, hasil, klorofil b, klorofil b/a, klorofil a/b, klorofil total
1 1

dan kehijauan daun rendah. karakter dengan nilai hertabilitas sedang hingga rendah dapat dijadikan sebagai karakter seleksi pada generasi lanjut. Khusus karakter fisiologi tanaman walaupun memiliki nilai hertabilitas tinggi, namun jarang digunakan sebagai karakter seleksi pada generasi awal. Hal ini disebabkan karena pada generasi awal populasi yang ditangani dalam jumlah yang sangat besar, sehingga jika dimasukkan sebagai karakter seleksi membutuhkan biaya yang sangat besar.

Tabel 7. Parameter genetik karakter agronomi dan morfologis galur gandum introduksi di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) 2 G (2G) 2 E 2 P h2 (bs) Karakter 2 GxE Tinggi Tanaman 17.13 13.13 13.13 (S) 6.64 36.40 35.58 Jumlah Anakan 0.51 0.13 0.23 (S) 0.07 0.72 18.70 Anakan Produktif -0.03 0.11 0.08 (L) 0.09 0.16 64.69 Umur Berbunga 27.08 4.09 10.48 (S) 2.45 33.62 12.16 Umur Panen 14.67 25.19 14.45 (S) 1.71 41.56 60.61 Panjang Malai 0 0.28 0.21 (S) 0.23 0.43 64.91 Jumlah spikelet 0.29 2.03 0.96 (L) 0.15 2.48 82.03 Floret Hampa 2.74 0 0.75 (S) 0.23 0.28 0 Persen Floret Hampa 78.76 0 22.58 (S) 6.33 70.27 0 Jumlah Biji/Malai 19.29 4.34 8.36 (S) 2.50 26.13 16.59 Bobot Biji/Malai 0.01 0.003 0.007 (S) 0.003 0.02 15.86 Bobot 1000 Biji 5.99 0.83 3.01 (S) 1.79 8.62 9.62 Hasil 0.08 0 0.03 (S) 0.02 0.08 0 Luas Daun 11.44 334.75 158.08 (L) 43.60 389.79 85.88 Kerapatan stomata 2.29 22.43 16.02 (S) 13.02 37.74 59.43 Klorofil a 0 0.004 0.005 (S) 0.007 0.01 35.89 Klorofil b 0.002 0 0.0012 (S) 0.001 0.003 0 Klorofil b/a 0.0002 0 0.0004 (S) 0.0006 0.0007 0 Klorofil a/b 0.006 0 0.008 (S) 0.01 0.02 0 Klorofil Total 0.003 0.005 0.009 (S) 0.013 0.021 2.23 Ketebalan Daun 0 49.70 70.63 (S) 120.23 119.24 41.90 Kehijauan Daun 2.98 0 1.13 (S) 0.72 3.16 0
Keterangan : S = Sempit, L = Luas, 2P = Ragam fenotipe, 2G = Ragam genetik, dimana nilai (-) diasumsikan nol dalam perhitungan heritabilitas, (2G) = Standar deviasi ragam genetik, 2E = Ragam lokasi, 2 GxE = Ragam interaksi, h2 (bs) = Heritabilitas.

239

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah Beberapa alasan pemulia jarang mengadopsi karakter fisiologis sebagai kriteria seleksi adalah kontrol genetik toleransi terhadap lingkungan belum dipahami, toleransi terhadap cekaman sering dikendalikan oleh beberapa gen dan variasi untuk toleransi terhadap cekaman biasanya menampilkan komponen lingkungan atau interaksi galur-lingkungan yang besar, sehingga seleksi langsung untuk sifat fisiologis dalam satu lingkungan menjadi sulit. Hasil meningkat terkait dengan sifat tertentu yang kecil, dan pemulia belum yakin bahwa seleksi untuk sifat tersebut lebih efisien dibandingkan dengan seleksi hasil (Loss, Siddique 1994; Sanderson et al., 1997). Seleksi untuk satu sifat sering tidak berhasil, terutama pada lingkungan yang tak terduga di mana frekuensi, waktu, dan tingkat keparahan cekaman tidak diketahui (Ceccarelli et al., 1991). Berdasarkan nilai simpangan baku genetiknya, karakter yang memiliki nilai hertabilitas tinggi dan diikuti oleh keragaman genetik yang luas adalah karakter jumlah anakan produktif, jumlah malailet dan luas daun. Keragaman genetik yang luas ini mengindikasikan adanya peluang perbaikan karakter gandum terhadap suhu tinggi melalui keempat karakter tersebut. Perbaikan melalui karakter peningkatan pengisian floret dan karakter lainnya tidak dapat dilakukan karena sempitnya keragaman genetik.

Tabel 6. Rata-rata karakter agronomi galur gandum yang memperlihatkan interaksi di dua lingkungan Galur Floret Hampa Cipanas Bogor Floret hampa Cipanas ----%---47.53abc 52.31b-e 46.65cde 45.90e-h 47.36c-f 44.40cde 48.75bcd 49.44cde 43.71fgh 48.81ab 51.46cde 51.00 48.11 Bogor Jumlah biji malai-1 Cipanas Bobot biji malai-1 Bogor Bogor Cipanas ----g---28.90a-d 13.40g 19.50fg 20.10f 22.00ef 23.40def 32.50a 30.00abc 32.60a 29.80abc 27.20a-e 25.40 0.77cde 0.89ab 0.81a 1.09a 1.11a 1.07abc 1.09a 0.97bcd 1.05ab 0.92bcd 0.75de 0.63 0.93

OASIS/SKA UZ//4*BCN HP 1744 LAJ/MO88 RABE/MO88 H-21 G-21 G-18 MENEMEN BASRIBEY ALIBEY SELAYAR DEWATA Rata-rata

9.88abc 10.16c-f 8.46c-f 8.32f-i 8.82b-e 8.91ab 10.41ab 10.51abc 8.96f-i 9.49a 10.16b-e 10.62 9.56

4.77 j 7.83d-g 6.46g-j 6.34g-j 9.53bcd 7.57e-h 5.28ij 4.74j 5.71hij 4.56 j 5.69hij 6.22

33.06gh 61.58a 49.84cde 48.47cde 54.79abc 46.24cde 32.81gh 32.21gh 34.23gh 31.38h 42.01d-g 42.42

22.40cde 24.80a-e 24.10ef 29.60ab 29.30ab 31.70a 32.70ab 32.10ab 29.60ab 29.70c-f 28.80b-f 20.60 27.90

0.50efg 0.31g 0.63def 0.41fg 0.58def 0.56ef 0.82bcd 0.60def 0.67de 0.50efg 0.65df 0.56

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%

240

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Namun demikian hal ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan sempitnya keragaman genetik ini disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan.Diduga sempitnya keragaman genetik karakter lain disebabkan oleh tingginya cekaman lingkungan selama pertumbuhan tanaman, sehingga karakter tersebut tidak dapat memunculkan potensi genetiknya secara optimum. Cekaman lingkungan yang dialami tanaman selama partumbuhan bukan hanya cekaman suhu tinggi, namun cekaman curah hujan tinggi salah satu factor pembatas yang menghambat perkembangan tanaman, khususnya pada saat pengisian biji. Perakitan varietas yang toleran terhadap suhu tinggi (elevasi rendah) dengan mencari idiotype tanaman dengan karakter jumlah anakan produktif, jumlah spikelet dan luas daun seleksi dimulai generasi awal.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana MO, Subiksa M, Argosubekti N, Hakim L, Pabbage MS. 2006. Prospek dan arah pengembangan agribisnis gandum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Departemen Pertanian. Angga SV, Cutforth HW, Miller PR, Mc Conkey BG, ENTZ MH, Volkmar K, Brandt S. 2000. Response of three Brassica species to high temperature injury during reproductive growth. Can. J Plant Sci. 80:693-710. Aswar RT. Danakusuma, Daradjat AA . 1988. Prospek pengembangan terigu di Indonesia. Dalam M. Syam, M. Ismunadji, dan A. Wijono (ed.): Risalah Simposium Tanaman Pangan II, Puslitbangtan, Bogor Buku I: 225 239. Aptindo 2012. www.bataviase.co.id [10 Maret 2012] Bahar dan Zen. 1993. Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil jagung. Zuriat 4 (1) : 5 Badan Pusat Statistik 2012. www.bps.g o.id (Februari 2012) Ceccarelli S, Acevedo E, Grando S 1991. Analytical breeding for stress environments: single traits, architecture oftraits or architecture of galurs. Euphytica 56:169185,.

KESIMPULAN
Interaksi galur x lingkungan berpengaruh nyata terhadap seluruh karakter agronomi, kecuali pada anakan produktif dan panjang malai. Lingkungan mempengaruhi hampir semua karakter agronomi, kecuali terhadap tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen dan bobot 1000 biji, sedang karakter fisiologi hanya pada karakter luas daun, kerapatan stomata dan klorofil b. Karakter yang memiliki nilai hertabilitas tinggi adalah jumlah anakan produktif (64.69%), umur panen (60.61%), panjang malai (64.91%), jumlah spikelet (82.03%), luas daun (85.88%) dan kerapatan stomata (59.89%) Karakter yang nilai Hertabilitasnya tinggi dan diikuti keragaman genetik yang luas adalah karakter jumlah anakan produktif, jumlah spikelet dan luas daun.

241

Keragaman genetik 12 galur gandum introduksi di lingkungan tropika basah Dahlan M, Rudijanto J. Mardianto, Jusuf M. 2003. Usulan pelepasan varietas gandum: HAHN/2*WEAVER dan DWR162. Balitsereal, Maros. 21 p. Falconer DS. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. John Willey and Sons. Inc. New York. 438p. GanY, Angadi SV, Cutforth HW, Potts D, Angadi VV, Mc Donald CL. (2004). Canola and mustard response to short period of high temperature and water stress at different developmental stages. Can. J. Plant Sci. 84:697-704 Handoko 2007. Gandum 2000. Penelitian dan Pengembangan Gandum Di Indonesia. Seameo Biotrop, Bogor Indonesia. Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitave Genetics in Maize Breeding. 2nd ed. Iowa State Univ. Press, Ames. Hedhly A, Hormaza JI, Herrero M. 2008. Global warming and sexual plant reproduction. Trends in Plant Science 14 (1): 30-36 Huan F, Lizhe A, Ling Ling T, Zong Dong H, X unling W. 2000. Effect of enhanced Ultraviolet-B radiation on pollen germination ad tube growth of 19 Taxa in vitro. Environment and Experimental Bot. 43: 45-53. Ivory DA. 1989. Site Characterization in De lacy, I.H. (ed). Analysis of data from Agricultural Adaptation Experiments. Australian Cooperation with the Thai/World Bank National Agricultural Research Project (ACNARP) Training Course. Suphanburi and Chiang Mai Thailand: 15 17 January 1989. pp.17-24 Jusuf, M. 2001. Timor dan Nias dua varietas unggul terigu untuk iklim tropis dan potensi pengembangannya di Indonesia Balitkabi, Malang. 21p. Kakani VG, Prasad PVV, Craufurd PQ, Wheeler TR. 2002. Response of in vitro pollen germination and pollen tube growth of Groundnut (Arachis hypogaea L.) galur to Temperature. Plant Cell and Environment, 25, 1651-1661. Loss SP, Siddique KHM 1994. Morphological and physiological traits associated with wheat yield increases inmediterranean environments. Adv Agron 52:229276, Morrison MJ, Stewart DW. 2002. Heat Stress during Flowering in Summer Rape. Crop Sci., 42: 797803. Rao IM 2001. Role of Physiology in Improving Crop Adaptation to Abiotic Stresses in the Tropics: The Case of Common Bean and Tropical Forages, in Handbook of Plant and Crop Physiology Second Edition (ed.) Mohammad Pessarakli, University of Arizona, Tcson Arizona Sanderson MA, Stair DW, Hussey MA 1997. Physiological and morphological responses of perennial forages tostress. Adv Agron 59: 171224,. Singh RK, Chaudhary BD. 1985. Biometrical Methods in Quantitative Genetics Analysis. New Delhi : Kalyani Publisher.

242

Amin Nur, Trikoesoemaningtyas, Nurul Khumaida dan Sudirman Yahya Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetic. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill. Soemartono, Nasrullah, Hartiko H. 1992. Genetika Kuantitatif dan Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada. PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada : 37 h. Sleeper DA, Poehlman JM 2006. Breeding Field Crops. 5th eds. USA: Iowa State University Press. Thomas JMG, Boote KJ, Allen LH, Gallo-Meagher JrM, Davis JM. 2003. Elevated temperature and carbon dioxide effects on soybean seed germination and transcript abundance. Crop Sci. 43: 1548-1557. Thuzar M, Puteh SB, Abdullah NAP , Mohd Lassim MB , Jusoff K 2010. The effect temperature stress on the quality and yield of soya bean (Glycine max. L. Merril.). J. of Agricultural Science 2(1):172-179. Witternberg H. 2004. The inheritance and moleculer mapping of genes for post-anthesis drought tolerance (PADT) in wheat [Disertation]. Martin Luther Universitat.

243

Anda mungkin juga menyukai