DISUSUN OLEH:
Kelompok XIX:
Theresa Sugiarti Oetji (0810024)
Christian Kurniawan (0810054)
Shiela Stefani (0810056)
Febby Felita Harsono (0810098)
Dea Tantiara (0810130)
I Kadek Ariarta (0810140)
Chandra Dewantara (0810195)
Lucia Fuji (0810200)
Nina Ratu Nur Kharima (0810209)
TUTOR:
drg. Lindawati Susanti
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG - 2008
Langkah II
Identifikasi Masalah
Warga kampung
LA
Ekonomi lemah
Musim paceklik
Mengonsumsi
nasi aking
Diare
Hepatitis A
Pneumonia
Diare
Langkah III
Analisis Masalah
1. Kendala mengubah rice oriented
a. Paradigma yang ada di masyarakat bila belum makan nasi dianggap
belum makan.
b. Kurangnya pengetahuan gizi bahan pokok lain lain nasi aking.
c. Ketidaktahuan dalam cara pengolahan.
d. Keadaaan SDA yang homogen.
2. Hubungan antara konsumsi nasi aking dengan diare
a. Nasi telah basi sehingga banyak mengandung bakteri
3. Musim paceklik menyebabkan penyebaran wabah penyakit :
a. Diare
b. Hepatitis A
c. Pneumonia
Langkah IV
Pemecahan Masalah
1. Sosialisasi terhadap makanan pokok lain yang disesuaikan dengan kondisi
SDA dan iklim
Aspek gizi
Cara pengolahan
Cara penanaman
Langkah V
Tujuan pembelajaran
1. Mengetahui apa arti dari diversifikasi pangan
2. Mengetahui apa itu nasi aking
3. Mengetahui perbandingan komposisi zat gizi beras dan beberapa jenis
pangan non beras (jagung, kasava, sagu, terigu, kentang, tapioka/gaplek)
4. Mengetahui kandungan zat gizi lain yang menguntungkan dari jagung dan
kasava
5. Memahami permasalahan berasnisasi / Rice-Oriented
6. Mengetahui permasalahan dan kendala-kendala mengubah kultur/pola
makan dari beras ke non beras
7. Mengetahui prospek tepung kasava sebagai bahan pangan alternatif dari
segi kemungkinan menjadi bahan pangan olahan dan subtitusi bahan
pangan lain
8. Memahami persepsi masyarakat dimana realitasnya tepung kasava masih
inferior di mata masyarakat
9. Mengetahui hubungan antara konsumsi nasi aking dengan diare
10. Kriteria GaKin (keluarga miskin) dari berbagai sumber
11. Mampu
menerangkan
mengenai
Angka
Kecuckupan
Gizi
(RDA=Recommended Dietary Allowance) yang dianjurkan untuk orang
Indonesia
12. Memiliki solusi agar pengalihan kultur makanan dari beras ke non beras
mencapai hasil yang memuaskan,sehingga rakyat tak perlu lagi makan nasi
Aking
13. Mengetahui masalah pangan yang tidak terlepas dari masalah kemiskinan
dan bisa memaparkan jumlah penduduk miskin di Indonesia, dari beberapa
(kriteria)
14. Mengetahui peta pohon-kondisi rawan pangan (food insecurity) yang
bersifat kronis di indonesia
NBMP
Barley
321
6,0
1,0
35
8,0
1,2
40
0,02
22 0,5
Beras
Ketan
362
6,7
0,7
12,0 -
0,16
0,30 0
12
148 0,8
Beras
Ketan
Hitam
356
7,0
0,7
13,0 3,1
3,85 0
0,2
10
148 0,8
Beras
Merah
359
7,5
0,9
13,0 2,9
0,21
16
163 0,3
Beras
Paboilet
364
6,8
0,6
12,0 1,9
0,3
2,1
0,22
142 0,8
Bihun
360
4,7
0,1
12,9 1,4
0,5
35 1,8
Biscuit
458
6,9
14,4 -
0,09
62
87 2,7
Cantel
332
11
3,3
11
1,7
28
4,6
Gadung
101
2,1
0,2
73,5 1,3
Gandum
356
3,1
2,3 -
0.9
Ganyong
95
1.0
0,1
75,0 -
Gaplek
338
1,5
0,7
43
0,6
80
60 1,9
Garut
355
0,7
0,2
13,60 -
170,5 0,96 -
0,8
57
Gembili
95
1,5
0,1
75,0 -
0,6
53
405 4,5
Havermout 390
14,2 7,4
8,3
Jagung
362
10
13,5 -
1,5
0,12 -
12
0,8
Jagung
Bubur
72
2,0
0,8
80
2,1
0,03 -
0,5
Jagung
giling
Kuning
361
8,7
4,5
13,1 2,8
1,9
350 0,27
380 4,6
Jagung
Giling
Putih
361
8,7
4,5
13,1 2,6
1,9
0,27
380 4,6
Jali
289
11,1 4,0
23,0 -
2,0
0,14
Jawawut
334
9,7
3,5
12
1,6
0,51
0,07 0
28
Kacang
Gede
336
20,9 1,4
12
2,8
0,21 5
125 -
Kacang
Hijau
345
22,2 1,2
10
3,0
157 0,64
0,20 6
Kacang
Kedelai
331
3,2
0,30 -
227 -
8,0
Kacang
Tanah
559
26,9 44,0 3
1,9
1,3
0,15 -
74
1,9
Kacang
Tunggak
342
22,9 1,4
2,0
0,15 2
77
6,5
Katul
Beras
275
0,31 0
0,82
32
200 14,0
0
Katul
Jagung
356
9,0
0,29 0
1,2
200 500 10
8,5
11
1,3
2,9
12,0 1,3
311 4,0
4,0
Beras dengan kadar amilosa rendah bila dimasak menghasilkan nasi yang basah
dan lengket, sedangkan beras dengan kadar amilosa menengah menghasilkan nasi
yang agak basah dan tidak menjadi keras bila didinginkan.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur, pera atau
tidaknya nasi, cepat atau tidaknya mengeras dan lengket atau tidaknya nasi. Beras
berkadar amilosa sedang disukai oleh bangsa Filipina dan Indonesia. Beras
dengan kadar amilosa rendah (amilopektin tinggi) sangat disukai masyarakat
Jepang.
Makin tinggi kadar amilosa dalam beras, bertambah keras dan pera nasi yang
dihasilkan. Sebaliknya, makin tinggi kadar amilopektin beras maka makin pulen
dan lengket nasi yang dihasilkan. Itulah sebabnya orang Jepang bisa makan nasi
menggunakan sumpit, sedang kita harus makan dengan sendok atau tangan. @
Prof. DR. Ir. Made Astawan, Dosen Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB.
Komposisi Gizi jagung
Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang
penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan gizi utama jagung adalah
pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, namun
pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93-100%. Kadar gula sederhana jagung
(glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%)
terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen
nonprotein.
Perbedaan quality protein maize (QPM) dengan jagung biasa terletak pada
proporsi fraksi proteinnya. Fraksi globulin (merupakan zein II) pada jagung biasa
(31%) jauh lebih tinggi dibanding QPM (6%). Zein miskin akan lisin dan
triptofan, yang merupakan asam amino pembatas pada jagung. Oleh karena itu,
mutu protein QPM (82%) jauh lebih tinggi dibanding dengan jagung biasa (32%),
bahkan lebih tinggi dari mutu protein beras (79%) dan gandum (39%). Varietas
Srikandi Putih dan Srikandi Kuning adalah jagung QPM unggul, baik untuk
pangan maupun pakan. Asam lemak pada jagung meliputi asam lemak jenuh
(palmitat dan stearat) serta asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat (omega 9) dan
linoleat (omega-6). Pada QPM terkandung linolenat (omega-3). Linoleat dan
linolenat merupakan asam lemak esensial. Lemak jagung terkonsentrasi pada
lembaga, sehingga dari sudut pandang gizi dan sifat fungsionalnya, jagung utuh
lebih baik daripada jagung yang lembaganya telah dihilangkan. Vitamin A atau
karotenoid dan vitamin E terdapat dalam komoditas ini, terutama pada jagung
kuning. Selain fungsinya sebagai zat gizi mikro, vitamin tersebut berperan
sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dan
menghambat kerusakan degeneratif sel.
Jagung juga mengandung berbagai mineral esensial, seperti K, Na, P, Ca, dan Fe.
Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional.
Data karakteristik terinci gizi varietas jagung Indonesia masih sangat terbatas. Hal
ini perlu diperhatikan oleh para peneliti jagung, praktisi industri pangan, dan
pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengangkat jagung tidak hanya dari
segi produksi tetapi juga mutu gizi dan pemanfaatannya
Ini tidak terlepas dari konstruksi budaya warisan kolonial yang sudah
berlangsung ratusan tahun yang membentuk persepsi salah dengan menyudutkan
singkong sebagai pangan inferior. Oleh Belanda, singkong yang menjadi bahan
dasar gaplek (singkong yang telah dikupas dan dijemur) atau tapioka
diperkenalkan sebagai makanan kuli kontrak. Karena itu, singkong dan pangan
jenis pangan umbi-umbian lain dianggap sebagai pangan berkelas rendah.
Bagi orang Jawa, terutama di pedesaan, tiwul (makanan yang dibuat dari
tepung gaplek diberi gula sedikit kemudian dikukus, dapat dimakan bersama
kelapa parut yang telah diberi sedikit garam) itu merupakan warisan budaya, dan
sejak dahulu merupakan makanan pokok. Ketika gaya hidup masyarakat berubah
dan budaya makan nasi lebih dominan, budaya makan tiwul pun terpinggirkan.
Gaplek, tiwul, dan masakan olahan yang menggunakan bahan singkong menjadi
makanan "kelas dua", kehilangan gengsi. Tiwul lalu identik dengan makanan
orang miskin, inferior, bahkan sebagian untuk pakan ternak.
Nyatanya, realita bahwa singkong menjadi makanan inferior pun
merupakan salah satu masalah pangan di Indonesia dewasa ini, hal ini tampak saat
diadakannya pameran Agro and Food Expo yang merupakan agenda rutin promosi
yang diselenggarakan Direktorat P2HP Departemen Pertanian. Acara tersebut
diselenggarakan pada tanggal 10-13 Mei 2007, dan bertempat di Semanggi Expo,
Jakarta.
Pada saat mengunjungi stand Departemen Pertanian, Menteri Pertanian
menekankan pentingnya diversifikasi pangan serta mengharapkan bahwa
singkong bukanlah komoditas inferior, tetapi juga mampu bersaing dengan beras
sebagai bahan pangan pokok.
Publikasi BB Pascapanen mengenai teknologi pengolahan singkong
menarik banyak minat pengunjung pameran. Selama empat hari pameran tercatat
jumlah pengunjung stand Badan Litbang termasuk stand BB Pascapanen
mencapai 200 orang per hari. Pengunjung umumnya berasal dari perwakilan
pemda, beberapa perusahaan serta peminat teknologi pangan.
Berbagai produk olahan dan komposisi zat gizi dari singkong
menunjukkan, inferioritas singkong bisa didongkrak menjadi makanan bergengsi
dan bermanfaat bagi kesehatan. Bukan hal yang mustahil bahwa kelak singkong
akan menjadi makanan yang tidak "memalukan" dikonsumsi kelas atas, sekaligus
"terjangkau" oleh kelas bawah.
Ada sebuah tajuk rencana di Suara Pembaruan yang justru malah
memberikan persepsi yang salah pada masyarakat pertama, tiwul bukan makanan
yang layak dikonsumsi, kedua, tiwul makanan orang miskin, ketiga, tiwul
makanan yang dikonsumsi karena terpaksa akibat persediaan beras habis.
Pandangan seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan
menghambat diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat
akan malu kalau tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan
banyak lagi sumber karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi.
PERMASALAHAN
DAN
KENDALA-KENDALA
KULTUR/POLA MAKAN DARI BERAS KE NON BERAS
Permasalahan
Tabel: Perkembangan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/kap)
MENGUBAH
Ubi
jalar
2,8
3,3
5,4
4,0
3,2
Sagu Umbi
lainnya
0,3
0,5
0,3
0,6
0,4
0,7
0,5
0,6
0,5
0,6
kg/kap/th dan Thailand 90 kg/kap/th. Konsumsi rata-rata dunia saat ini adalah
56,9 kg/kap/th.
Jika tingkat konsumsi beras ini tidak menurun, dipastikan akan
mengancam ketahanan pangan kita karena keterbatasan lahan, laju kenaikan
penduduk, dan terobosan teknologi menaikkan produktivitas.
Kendala
1. Kendala Internal
paradigma yang telah mendarah daging di masyarakat umum
bahwa bila belum makan nasi maka belum dianggap makan.
Minimnya pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi
makanan pokok lain selain beras sehingga menciptakan rasa
enggan.
Minimnya pengetahuan dalam cara pengolahan makanan pokok
lain non beras.
Minimnya pengetahuan akan cara penanaman yang baik dan
benar guna mendapatkan hasil yang optimal.
Anggapan bahwa makan nasi = modern sehingga masyarakat
berlomba-lomba untuk menjadi seperti itu.
Keinginan masyarakat untuk sejajar dengan masyarakat lain
sehingga menimbulkan usaha untuk setara.
2. Kendala Eksternal
Ketersediaan makanan pokok lain yang masih minim.
Walau harga relatif lebih murah, tetapi masyarakat masih awam
akan kualitas.
Kesesuaian iklim tanam makanan pokok lain dengan daerah
setempat.
Kurangnya dukungan dari sektor industri.
Adanya kebijakan berasnisasi pada masa yang lalu.
Keuntungan usaha tani makanan pokok ini kecil, sehingga
menghambat motivasi petani untuk meningkatkan produksinya.
Daya tahan / keawetan makanan.
Pemerintah kurang memberikan antusiasme pada usaha
pengalihan kultur ini.
Semakin meningkatnya impor beras menandakan bahwa
kebutuhan masyarakat akan beras semakin meningkat.
Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan,
kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk
merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,
kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural.
Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di
perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat
banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya
mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3
juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin
bertambah.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari
berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik.
Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan
informasi.
Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi,
upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi
peluang.
Aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan
rasa terisolir.
Aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas
dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil
keputusan.
Penyebab kemiskinan
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan
alamiah dan karena buatan.
Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di
masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu
menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia,
hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi
sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada
pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan
keluarga;
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang
lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
mengeluarkan toksin
2. Escherichia coli
Dibagi tiga:
o Enteropathogenic (EPEC) tipe klasik
o Enterotoksigeuic (ETEC) seperti kolera
o Enteroinvasive (EIEC) seperti disentri
3. Shigella
4. Salmonella
Macam-macam diare:
1. Diare sekresi
Defisiensi imun terutama SIgA (secretory immunoglobulinA) yang mengakibatkan terjadinya berlipatgandanya bakteri
atau flora usus, dan jamur.
2. Diare osmotic
Malabsorpsi makanan
dengan akses air bersih, persentase orang yang bertempat tinggal lebih dari lima
kilometer dari puskesmas, dan rasio jumlah orang per dokter terhadap kepadatan
jumlah penduduk.
Tiga indikator terakhir merupakan turunan dari faktor kerentanan pangan,
yaitu persentase areal hutan per kabupaten, areal lahan degradasi, dan areal
penanaman padi yang mengalami puso. Persentase area yang mengalami
pengurangan vegetasi alamiah berkepanjangan dan penanaman padi yang
mengalami kerusakan total akan semakin menambah tingkat kerawanan pangan.
Tinggi rendahnya tingkat persentase dan skala penilaian keempat faktor itu
di setiap daerah akan menentukan apakah daerah tersebut termasuk dalam
kategori rawan pangan atau tahan pangan. Masing-masing kategori dibedakan lagi
menjadi kerawanan/ ketahanan pangan sangat tinggi, tinggi, atau cukup.
Dari dua provinsi yang dipetakan tingkat kerawanan pangannya, terdapat
enam kabupaten yang dinyatakan mempunyai tingkat kerawanan pangan paling
tinggi. Keenam kabupaten tersebut adalah Bangkalan, Sampang, Sumenep,
Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Dompu.
Penilaian terhadap keenam kabupaten tersebut antara lain menunjukkan
tingginya tingkat penduduk miskin, sebagian besar penduduk tidak tamat sekolah
dasar (SD) dan buta huruf, banyak kasus balita kurang gizi, serta areal hutan dan
lahan yang terdegradasi sangat luas dibandingkan dengan luas kabupaten.
Kabupaten Sampang, misalnya, dari total penduduk sekitar 750.000 jiwa,
40 persennya adalah penduduk miskin, sama seperti Kabupaten Lombok Barat,
Lombok Tengah, dan Dompu yang masing-masing berpenduduk sekitar 670.000
jiwa, 750.000 jiwa, dan 181.000 jiwa. Kabupaten Bangkalan yang berpenduduk
sekitar 800.000 jiwa, hampir 30 persen penduduk miskin.
Peta kerawanan pangan ini juga menunjukkan 50 persen penduduk
Kabupaten Sampang tidak tamat SD, lebih kurang 50 persennya tidak mampu
mengakses air bersih dan listrik. Selain itu, hampir 25 persen anak berusia di
bawah lima tahun kurang gizi. Hal yang kurang lebih sama terjadi di lima
kabupaten lain yang paling rawan pangan di Jawa Timur dan NTB.
Selain itu, Kabupaten Sampang, Bangkalan, dan Sumenep hampir tidak
lagi memiliki areal hutan. Sedangkan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah,
dan Dompu memiliki tingkat kerusakan lahan hingga 25 persen dari total luas
daerahnya.
Alternatif kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis adalah
dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan dan mendorong tumbuhnya
aktifitas perekonomian di tingkat wilayah dan rumah tangga.
Secara terinci, kebijakan tersebut untuk jangka pendek:
a) Pemberian bantuan pangan kepada rumah tangga rawan pangan
beresiko tinggi
b) Pengembangan paket bantuan sarana produksi pertanian, ternak
dan pembiayaan
c) Pengembangan usaha industri yang dapat memanfaatkan potensi
sumberdaya lokal khususnya hasil-hasil pertanian
d) Pemberdayaan kelembagaan pangan dan gizi yang sudah ada di
lingkungan masyarakat
Kebijakan untuk jangka menengah:
No
Kelompok Umur
Berat Badan
(kg)
Tinggi
Badan (cm)
Energi
(Kkal)
Protein
(g)
Vit.A
(RE)
Vit.D
(ug)
Vit.E
(mg)
Vit.K
(ug)
Vit.B12
(ug)
Vit.C
(mg)
1
2
3
4
5
Anak
0-6 bln
7-12 bln
1-3 thn
4-6 thn
7-9 thn
6
8,5
12
17
25
60
71
90
110
120
550
650
1000
1550
1800
10
16
25
39
45
375
400
400
450
500
5
5
5
5
5
4
5
6
7
7
5
10
15
20
25
0.4
0,5
0,9
5
1,5
40
40
40
45
45
6
7
8
9
10
11
12
Laki-Laki
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
35
46
55
56
62
62
62
138
150
160
165
165
165
165
2050
2400
2600
2550
2350
2250
2050
50
60
65
60
60
60
60
600
600
600
600
600
600
600
5
5
5
5
5
10
15
11
15
15
15
15
15
15
35
55
55
65
65
65
65
1,8
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
50
75
90
90
90
90
90
13
14
15
16
17
18
19
Wanita
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
37
48
50
52
55
55
55
145
153
154
156
156
156
156
2050
2350
2200
1900
1800
1750
1600
50
57
50
50
50
50
50
600
600
600
500
500
500
500
5
5
5
5
5
10
15
11
15
15
15
15
15
15
35
55
55
55
55
55
55
1,8
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
50
65
75
75
75
75
75
20
21
22
Hamil (+an)
Timester 1
Timester2
Timester 3
+180
+300
+300
+17
+17
+17
+300
+300
+300
+0
+0
+0
+0
+0
+0
+0
+0
+0
+0,2
+0,2
+0,2
+10
+10
+10
23
24
Menyusui(+an)
6 bln pertama
6 bln kedua
+500
+550
+17
+17
+350
+350
+0
+0
+4
+4
+0
+0
+0,4
+0,4
+45
+45
No
Kelompok Umur
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Berat Badan
(kg)
Tinggi
Badan (cm)
Energi
(Kkal)
Protein
(g)
Vit.A
(RE)
Vit.D
(ug)
Vit.E
(mg)
Vit.K
(ug)
Vit.B12
(ug)
Vit.C
(mg)
Anak
0-6 bln
7-12 bln
1-3 thn
4-6 thn
7-9 thn
6
8,5
12
17
25
60
71
90
110
120
550
650
1000
1550
1800
10
16
25
39
45
375
400
400
450
500
5
5
5
5
5
4
5
6
7
7
5
10
15
20
25
0.4
0,5
0,9
5
1,5
40
40
40
45
45
Laki-Laki
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
35
46
55
56
62
62
6
138
150
160
165
165
165
165
2050
2400
2600
2550
2350
2250
2050
50
60
65
60
60
60
60
600
600
600
600
600
600
600
5
5
5
5
5
10
15
11
15
15
15
15
15
15
35
55
55
65
65
65
65
1,8
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
50
75
90
90
90
90
90
No
Kelompok
Umur
Berat Badan
(kg)
Tinggi
Badan (cm)
Tiamin (mg)
Riboflavin
(mg)
Niasin (mg)
Asam Folat
(ug)
Piridoksin
(mg)
1
2
3
4
5
Anak
0-6 bln
7-12 bln
1-3 thn
4-6 thn
7-9 thn
6
8,5
12
17
25
60
71
90
110
120
0,3
0,4
0,5
0,6
0,9
0,3
0,4
0,5
0,6
0,9
2
4
6
8
10
65
80
150
200
200
0,1
0,3
0,5
0,6
1
6
7
8
9
10
11
12
Laki-Laki
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
35
46
55
56
62
62
62
138
150
160
165
165
165
165
1
1,2
1,3
1,2
1,2
1,2
1
1
1,2
1,3
1,3
1,3
1,3
1,3
12
14
16
16
16
16
16
300
400
400
400
400
400
400
1,3
1,3
1,3
1,3
1,3
1,7
1,7
13
14
15
16
17
18
19
Wanita
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
37
48
50
52
55
55
55
145
153
154
156
156
156
156
1
1,1
1,1
1
1
1
1
1
1
1
1,1
1,1
1,1
1,1
12
13
14
14
14
14
14
300
400
400
400
400
400
400
1,2
1,2
1,2
1,3
1,3
1,5
1,5
20
21
22
Hamil (+an)
Timester 1
Timester2
Timester 3
+0,3
+0,3
+0,3
+0,3
+0,3
+0,3
+4
+4
+4
+200
+200
+200
+0,4
+0,4
+0,4
23
24
Menyusui(+an)
6 bln pertama
6 bln kedua
+0,3
+0,3
+0,4
+0,4
+3
+3
+100
+100
+0,5
+0,5
No
Kelompok
Umur
Berat
Badan
(kg)
Tinggi
Badan
(cm)
Kalsium
(mg)
Fosfor
(mg)
Magnesium
(mg)
Besi
(mg)
Yodium
(ug)
Seng
(mg)
Selenium
(ug)
Mangan
(mg)
Flou
r
(mg)
1
2
3
4
5
Anak
0-6 bln
7-12 bln
1-3 thn
4-6 thn
7-9 thn
6
8,5
12
17
25
60
71
90
110
120
200
400
500
500
600
100
225
400
400
400
25
55
60
80
120
0,5
7
8
9
10
90
90
90
120
120
1,3
7,5
82
9,7
11,2
5
10
17
20
20
0,03
0,6
1,2
1,5
1,7
0,01
0,4
0,6
0,8
1,2
6
7
8
9
10
11
12
Laki-Laki
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
35
46
55
56
62
62
62
138
150
160
165
165
165
165
1000
1000
1000
800
800
800
800
1000
1000
1000
600
600
600
600
170
220
270
270
300
300
300
13
19
15
13
13
13
13
120
150
150
150
150
150
150
14
17,4
17
12,1
13,4
13,4
13,4
20
30
30
30
30
30
30
1,9
2,2
2,3
2,3
2,3
2,3
2,3
1,7
2,3
2,7
3
3
3
3
13
14
15
16
17
18
19
Wanita
10-12 thn
13-15 thn
16-18 thn
19-29 thn
30-49 thn
50-64 thn
60+ thn
37
48
50
52
55
55
55
145
153
154
156
156
156
156
1000
1000
1000
800
800
800
800
1000
1000
1000
600
600
600
600
180
230
240
240
270
270
270
20
26
26
26
26
12
12
120
150
150
150
150
150
150
12,6
15,4
14
9,3
9,8
9,8
9,8
20
30
30
30
30
30
30
1,6
1,6
1,6
1,8
1,8
1,8
1,8
1,8
2,4
2,5
2,5
2,7
2,7
2,7
20
21
22
Hamil (+an)
Timester 1
Timester2
Timester 3
+150
+150
+150
+0
+0
+0
+30
+30
+30
+0
+0
+0
+50
+50
+50
+1,7
+1,7
+1,7
+5
+5
+5
+0,2
+0,2
+0,2
+0,2
+0,2
+0,2
23
24
Menyusui(+an
6 bln pertama
6 bln kedua
+150
+150
+0
+0
+30
+30
+6
+6
+50
+50
+4,6
+4,6
+10
+10
+0,8
+0,8
+0,2
+0,2