2 - Juni 2011
ISSN: 0216-1338
DAFTAR ISI Dari Redaksi ............................................................................ Abstrak Artikel: Mekanisme Penindakan terhadap Anggota DPR yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Oleh: T. Gayus Lumbuun .............................................................. Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia Oleh: Ramelan .............................................................................. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Criminal Policy Oleh: Mahmud Mulyadi ................................................................ Pengembalian Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh: Eka Martiana Wulansari ...................................................... Pembebanan Pembuktian Terbalik dan Tantangannya Oleh: Supriyadi Widodo Eddyono .................................................. Telaahan Progresif: Implementasi Asas Pembuktian Terbalik (Reversed Onus) terhadap Tindak Pidana Korupsi Oleh: Muhamad Zamroni ............................................................... Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa Oleh: Mudzakkir ........................................................................... Memotong Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptakan Demarkasi Bebas Korupsi Oleh: Wahyudi Djafar .................................................................... (Bukan) Menggantang Asap Pemberantasan Korupsi di Indonesia Oleh: A. Ahsin Thohari .................................................................. Bijaksana Menyikapi RUU Tipikor Oleh: Reza Fikri Febriansyah ........................................................ Laporan Kinerja Biodata Penulis iii
173 - 186
187 - 216
217 - 238
281 - 296
297 - 320
321 - 336
D ARI REDAKSI
DARI REDAKSI Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, upaya penegakan hukum terus dilakukan terutama dalam penanganan perkara korupsi, hal tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Lembaga kepolisian dan kejaksaan telah menempatkan prioritas utama dalam melakukan penanganan perkara korupsi dengan optimal. Di samping itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menangani perkara tindak pidana korupsi baik yang melibatkan pejabat negara yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun masyarakat luas. Upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada upaya untuk memasukkan pelaku tindak pidana korupsi ke dalam penjara, tetapi juga untuk mendapatkan kembali harta dan aset negara yang dikorupsi. Upaya penegakan hukum tersebut juga dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Dengan demikian, diharapkan penegakan hukum khususnya dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan lebih optimal. Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 8 Nomor 2 menyajikan tema tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang di dalamnya memuat artikel-artikel yang terkait dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Mekanisme Penindakan terhadap Anggota DPR yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi, Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia, Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Criminal Policy , Pengembalian Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pembebanan Pembuktian Terbalik dan Tantangannya, Telaahan Progresif: Implementasi Asas Pembuktian Terbalik (Reversed Onus) terhadap Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa, Memotong Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptakan Demarkasi Bebas Korupsi, (Bukan) Menggantang Asap Pemberantasan Korupsi di Indonesia, dan Bijaksana Menyikapi RUU Tipikor. Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia masih diharapkan. Sumbangan tulisan dari pembaca juga kami tunggu. Salam Redaksi.
iii
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Lumbuun, T. Gayus Mekanisme Penindakan terhadap Anggota DPR yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Pengkajian mengenai mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi dipandang perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu pertama bahwa lembaga DPR RI saat ini berada pada posisi tertinggi dalam daftar kasus korupsi. Kedua, upaya pemberantasan korupsi merupakan komitmen bersama yang harus menjadi prioritas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa keterlibatan Anggota DPR RI dalam tindak pidana korupsi karena secara normatif terjadi perluasan subyek pelaku tindak pidana korupsi termasuk Anggota DPR sebagai penyelenggara negara, serta penekanan pada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil dan tidak perlu adanya kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang nyata. Mekanisme perijinan sebagai bagian dari penindakan terhadap Anggota DPR RI untuk kasus tindak pidana korupsi tidaklah mutlak. Mekanisme perijinan ini penting untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Anggota DPR. Kajian ini sampai pada saran agar rumusan mengenai tindakan terhadap Anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan Tata Tertib perlu lebih lengkap dan rinci. Kata kunci: penindakan, tindak pidana korupsi, anggota DPR RI Lumbuun, T. Gayus Represson Mechanism Against Parliament Members who Engage in Corruption Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. Studies on the mechanism of repression against members of Parliament who committed the crime of corruption is deemed necessary based on several considerations: first that the House of Representatives of the Republic of Indonesia is now in the highest rank in list of corruption. Second, efforts to combat corruption is a shared commitment that should be a priority. The results of this study indicate that the committed of the Member of the House of Representatives in corruption occurs because the expansion of the subject the perpetrators of corruption, including Members of Parliament as an organizer of the state, the emphasis on corruption as a criminal act and no need any factual financial losses of state and national economy. Procedure of permit as part of the prosecution against the Member of Parliament for corruption cases is not absolute, especially hamper law enforcement. This mechanism is still important to protect the rights and interest of the Member of the Indonesian House of Parliament. This study reached the suggestions for the formulation of action against members of Parliament in Act Number 27 Year 2009 about MOR, DPR, DPD and DPRD (MD3 Act) and the Rules of Procedure need to be more complete and detailed. Keywords: repression, corruption, member of parliament.
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Ramelan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Korupsi sebagai suatu fenomena masalah transnasional terkait dengan teori sosial tentang konsep kemajuan. Masalah korupsi bersifat sistemik, melibatkan pemegang kekuasaan dan kekuatan dengan intelektual yang tinggi. Korupsi dilakukan dengan modus operandi yang rapi, tertutup dan sulit diungkapkan. Hal ini menimbulkan masalah bagaimana strategi penuntutan yang relevan dengan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan normatif dengan menguasai secara teoritis dasar-dasar pelimpahan perkara, surat dakwaan, hukum pembuktian dan hukum pidana materiil tentang unsur-unsur tindak pidana diperlukan sebagai analisis penguatan melakukan tindak penuntutan. Paradigma pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi serta penyusunan pedoman atau standar penuntutan, pemidanaan yang menghapus lembaga, rencana tuntutan akan mendorong jaksa lebih mandiri, bertanggungjawab dan profesional. Kata kunci: penuntutan, perkara tindak pidana korupsi, sistem hukum Indonesia Ramelan Corruption Lawsuit in Indonesian Legal System Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. Corruption as a phenomenon of transnational problems associated with social theory about the concept of progress. The problem of corruption is systemic, involving the holders of power and strength with a high intellectual. Modus operandi of corruption carried out with a neat, closed and difficult to express. This raises the problem of how the relevant prosecution strategy with the successful of the eradication of corruption. Normative approach with mastering the theoretical basics of the delegation case, the indictment, the law of evidence and substantive criminal law concerning the elements of the crime analysis that needed as reinforcement to follow the prosecution. Return wealth paradigm of corruption result and preparation of guidelines or standards of prosecution, punishment in removing the institution, the plan of prosecution will encourage prosecutors to be more independent, responsible and professional. Keywords: prosecution, case of corruption, Indonesias legal system
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Mulyadi, Mahmud Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Criminal Policy Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penanggulangan tindak pidana korupsi ini membutuhkan suatu kebijakan penanggulangan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini harus memadukan pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana. Kebijakan non-penal (pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana) dimaksudkan untuk mendorong dan menciptakan prakondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang kondusif. Implementasi kebijakan penal (penerapan hukum pidana) terus berjalan melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Secara keseluruhan, pendekatan integratif ini tetap terpadu di bawah payung visi criminal policy. Kata kunci: kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi
Mulyadi, Mahmud Corruption Reduction in Criminal Policy Perspective Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. Corruption is the extra ordinary crime. The criminal policy of the corruption is need the comprehensive policy. This policy can develop with combine penal policy and non penal policy. The non penal policy approach (crime prevention without punishment) is intended to encourage and create a condusive pre-condition of life of Indonesian people. The implementation of penal policy (criminal law application) is still going on through the mechanism of criminal justice system. In general, this integrative approach remain integrated under vision of criminal policy. Keywords: criminal policy of corruption
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Wulansari, Eka Martiana Pengembalian Beban Pembuktian Korupsi dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi teorinya yaitu dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003. Penggunaan mekanisme pengembalian beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud. Untuk itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya. Kata kunci: peranan pengembalian beban pembuktian dalam meminimalisasi korupsi di Indonesia Wulansari, Eka Martiana Return Burden of Proof in Corruption Eradication Efforts Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. The legal policy of legislation against corruption offenses Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 on Eradication of Corruption in directed against the offense and against the perpetrators of the alleged property derived from corruption. The simultancover use of penal law and civil lines on the ownership of wealth by the perpetrators of corruption through the mechanism of reversal of burden of proof is allowed in essence and has no justification for his theory that is in Article 31 paragraph (8) and Article (35) letter b of the Convention against Corruption UNCAC 2003. Use the return mechanism burden of proof in cases of property ownership a person who allegedly came from the criminal acts of corruption or money laundering intended to put someone in its original state before the party concerned has meant wealth, for it is concerned must be able to prove the origin of that property obtained. Keywords: role of returns burden of proof in minimizing corruption in Indonesia
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Eddyono, Supriyadi Widodo Pembebanan Pembuktian Terbalik dan Tantangannya Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena di samping para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi mereka juga pintar untuk menyembunyikan bukti-bukti kejahatannya. Untuk memecahkan masalah tersebut, salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui pengaturan pembuktian terbalik (Reversal burden of proof) terhadap perkaraperkara korupsi. Dalam praktik, penerapan pembuktian terbalik ini secara murni banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis. Salah satunya adalah bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tak bersalah yang telah diakui secara internasional dan diatur pula dalam KUHAP dan ketidaksesuaian dengan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan bagi masyarakat banyak, maka hal tersebut diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi secara proporsional dengan menerapkan beban pembuktian secara seimbang (Balanced probability of principles). Kata kunci: sistem pembuktian, beban pembuktian terbalik, beban pembuktian seimbang, aset kejahatan, gratifikasi, suap, korupsi
Eddyono, Supriyadi Widodo Verification Reversed Imposition and its Challenges Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. One of the reasons behind the difficulty of corruption eradication in Indonesia is the problematical Proofing. It is not only because the perpetrator conducts the criminal act fastidiously, but also because they are very clever in covering the evidence. The Reversal Burden of Proof Crime can be used as one of the options to solve the difficulty on proofing the corruption cases. Factually, the practice of reversal burden of proof crime was facing many challenges, either theoretically or practically. Exemplified, this method will against the presumption of innocent which has been agreed by international and acknowledged at the Criminal procedure in Indonesia (KUHAP). The reverse method is also contrary with the proofing system that is used by Indonesia. However, for the legal enforcement in Indonesia and to achieve the purpose of Law, that is the delight of many people, the reversal burden of proof crime should be implemented on corruption cases. Certainly, the implementation of the method should be in line with the Balanced Probability of Principle. Keywords: system evidence, reversed burden of proof, burden of proof balanced, property crime, gratuities, bribes, corruption
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Zamroni, Muhamad Telaahan Progresif: Implementasi Asas Pembuktian Terbalik (Reversed Onus) terhadap Tindak Pidana Korupsi Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalan korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangi pemberantasan korupsi. Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta menghukum pelaku dengan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang sistem pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem atau beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof). Persoalannya kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan secara tepat dan utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga implementasinya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Kata kunci: tindak pidana korupsi, pembuktian terbalik Zamroni, Muhamad Progrissive Review: Verification Reverse Principle Implementation (Reversed Onus) Against Corruption Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. The problem of corruption is a complexas legal, because it contains political, economic, and socio-cultural aspects. Various eradication efforts have failed to scrape out the crime of corruption. This is partly due to 3 (three) main factors: the complexity of the corruption issue, difficulties of finding evidence, and the forces that impede the eradication of corruption. Construction of the criminal justice systemy in Indonesia is still aiming to uncover the crime that happens, find the perpetrators and punish the perpetrators with criminal sanctions, both imprisonment and confinement. Meanwhile, the issue of international law development regarding the concept of reversed of burden of proof in crimina luser and criminal law instruments have not been an important part in the criminal justice system in Indonesia. Furthermore, the system or the burden of proof in corruption cases, turns out in practice to encounter many obstacles because corruption crime is commited a very neatly, systemically one way overcome these circumtances is through the Law Number 31 of 1999 as amended by Law Number 20 of 2001, Act. Number 8 of 2010, and Act Number 35 of 2009 that have included provisions regarding reversal of burden of proof). The question then is whether these provisions have been applied correctly and integrally in the handling of corruption cases so that implementation can be carried out effectively in accordance with the corridor of applicable law. Keywords: corruption, reversed of burden
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Mudzakkir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sebagai bagian dari reformasi yang hendak memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), namun demikian, pilihan kebijakan legislasi yang ditempuh dilihat secara yuridis formal telah menunjukkan sikap greget anti korupsi, tetapi secara yuridis materiil justru sebaliknya memuat ketentuan yang dapat memperlemah upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian kebijakan legislasi yang kemudian berujung pada terbitnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/ 2006 tanggal 19 Desember 2006, telah membawa perubahan terhadap beberapa hal terhadap tindak pidana korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana biasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsi dilakukan melalui prsedur biasa/normal. Tidak lagi ada Pengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK sekarang mengajukan perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan ditempat mana tindak pidana terjadi ( locus delicti). Penanganan tindak pidana biasa melalui prosedur luar biasa dan diadili melalui pengadilan yang khusus berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka. Politik hukum pidana dan politik pemidanaan tindak pidana korupsi perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi (eksekutif) dan penegakan hukum terhadap tindak pidana (yudikatif), karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda. Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK) sebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luar biasa saja, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa dengan tetap harus menghormati hak-hak hukum tersangka, karena hal ini menjadi kewajiban Konstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semua tingkatan. Kata kunci: tindak pidana korupsi, komisi pemberantasan korupsi, pengadilan khusus tindak pidana korupsi, hukum pidana khusus, kejahatan luar biasa, pengadilan khusus, dan hak hukum tersangka/terdakwa. Mudzakkir Corruption Court: Common Crime with Extraordinary Reduction Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. Legislation policy in the framework of the eradication of corruption have been conducted as part of reformation that would eradicate corruption, collusion and nepotism (KKN), however, the choices of legislative policy that adopted in formal juridical views has shown enthusiastic anti-corruption, but otherwise in material juridical contains a provision that could weaken the efforts to combat corruption. This weaken can be seen from a series of legislation policies which culminate to the publication of Law Number 46 Year 2009 on the Special Court Corruption, the replacement of previous corruption court law, as a follow-up from the Constitutional Court Verdict Number 019/PUU-IV/2006
December 19, 2006 has brought changes to some things against corruption and corruption court, that is corruption as a common crime (general) and, therefore the handling of corruption cases are done through the regular/normal procedure. There is no longer a Corruption Court specifically examine, hear and decide the corruption case which prosecution proposed by Corruption Eradication Commission (KPK) and based on relative competence of courts, Corruption Eradication Commission (KPK) filed corruption cases to the court where the crime occurred (locus delicti). Common Crime Reduction through Extraordinary procedure and trial through special court has a potential to violate the rights of the suspected. Criminal law politics and prosecution political of corruption needs to be revisited in order to distinguish the eradication of corruption policies (executive) and law enforcement against criminal acts (judicial), because both are in the different settings. Corruption Eradication Commission should only give an authorization to conduct the inquiry, investigation, and prosecution of the extraordinary corruption, submitted to the special court for investigating, judging and deciding extraordinary corruption cases and respect the legal rights of the suspect, because this is the constitutional obligation for the law enforcement officers into all level. Keywords: corruption, corruption eradication commission, special corruption court, special criminal law, extraordinary crime, special court, legal rights of a suspect/ defendant.
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Djafar, Wahyudi Memotong Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptakan Demarkasi Bebas Korupsi Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Meskipun penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi terus digencarkan, bahkan melalui upaya luar biasa sekalipunpembentukan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, namun sepertinya kerja pemberantasan korupsi masih harus melalui jalan panjang, mengingat begitu sistemik dan meluasnya praktik korupsi di negeri ini. Satu hal yang ditengarai menjadi sumber betapa sistemik dan berjejaringnya praktik korupsi di Indonesia, ialah warisan birokrasi masa lalu, yang lebih mengedepankan pada pendekatan relasi patrimonialistik. Melalui relasi ini, para birokratpejabat negara, pegawai pemerintah, kaum pengusaha, dan aparat penegak hukum, bertemu membentuk jejaring korupsi, yang memberi untung bagi mereka, dalam sebuah hubungan patron dan klien. Untuk itu, selain pembentukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberikan legitimasi hukum bagi gerak pemberantasan korupsi, dan tentunya disertai dengan langkah nyata penegakan hukum, juga harus dibarengi dengan perubahan paradigma para penyelenggara dan aparat negara. Selain di level teknis reformasi birokrasi, model sistem birokrasi patrimonialistik yang selama ini mengakar, mesti diubah menjadi suatu konsep birokrasi rasional, yang memberikan dukungan sepenuhnya bagi penyelenggaraan sebuah pemerintahan modern. Harus diciptakan demarkasi, yang memberikan batasan tegas antara birokrasi patrimonialistik masa lalu yang korup, dengan birokrasi rasional yang bebas korupsi. Kata kunci: korupsi, birokrasi, patrimonial, paradigma, rasional Djafar, Wahyudi Deducting Bureaucracy Legacy of the Past, Creating a Free Corruption Demarcation Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. Although law enforcement in efforts to eradicate corruption continues to run, even through an extraordinary effortsEstablishment of Corruption Eradication Commission (KPK) and Court of Corruption, but it seems that the work to eradicate corruption still have a long way to reach the goal, considering that so systemic and widespread of corruption in this country. One thing that suspected to be a source of systemic and networking corruption practices in Indonesia is the bureaucratic legacy of the past, putting forward in patrimonialistic relation approach. Through this relation, bureaucrats state officials, government employees, the employers, and law enforcement officers meet to form a network of corruption, which gives a profit for them, in a patron and client relationship. For that, besides the formation of a number of laws and regulations that give legal legitimacy to the movement against corruption, and of course accompanied by concrete steps of law enforcement, also it must be accompanied by changes in the paradigm of the organizers and state officials. In addition to the technical level of bureaucratic reform, patrimonialistic bureaucracy system model that has been rooted, must be changed with a concept of rational bureaucracy, which provides full support for implementing a modern government. Must be created demarcation, which provides strict boundaries between the past corrupt patrimonialistic bureaucracy, with a rational bureaucracy that is free of corruption. Keywords: corruption, bureaucracy, patrimonial, paradigm, rational
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Thohari, A. Ahsin (Bukan) Menggantang Asap Pemberantasan Korupsi Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Sesungguhnya pranata hukum untuk melawan korupsi di Indonesia terbilang sudah mencukupi, meskipun dalam batas tertentu perlu ada penyempurnaan. Akan tetapi, derajat Indonesia sebagai negara yang benar-benar serius menjadikan korupsi sebagai musuh besar peradaban Indonesia masih belum menampakkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Salah satu tudingan diarahkan pada aktoraktor penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang tidak menyediakan diri sebagai bagian yang dapat berkontribusi secara nyata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kutipan dari Taverne telah menjadi mantra sakti bertuah bagi kalangan yang meyakini bahwa peraturan perundang-undangan memang penting namun bukan segalagalanya dalam aras penegakan hukum: Give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code. Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti tidak mengalami kemajuan berarti setelah 13 tahun transisi dan konsolidasi demokrasi dibangun sejak era reformasi datang pada tahun 1998. Nyatanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index, CPI) Indonesia pada tahun 2010 berada pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Aktor-aktor penegak hukum seperti disebut di atas membuat pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sebuah tugas mustahil (mission impossible) dan seperti membangun benteng di atas udara (build castles in the air). Menjadi tugas semua komponen bangsa untuk menjadikan pemberantasan korupsi bukan lagi seperti menggantang asap, mengukir langit, bukan tugas mustahil, dan bukan seperti membangun benteng di atas udara, melainkan menjadi tindakan konkret agar dapat menyelamatkan kebangkrutan bangsa yang diakibatkan oleh perilaku koruptif. Kata kunci: pemberantasan korupsi Thohari, A. Ahsin [(Not) Build Castles in the Air at Corruption Eradication in Indonesia] Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. The legal institutions to combat corruption in Indonesia has been adequate, although inprovement is necessary in certain areas. However, the degree of Indonesia as a country that is really serious to make corruption a major enemy of civilization still has not appeared as a desired outcome. One reason is the law enforcers such as police, prosecutors, judges and correctional officers who do not contribute significantly towards efforts to eradicate corruption. There is no significant progress in combating corruption in Indonesia, after 13 years of transition and consolidation of democracy built since the reformation era in 1998. In fact, the Indonesian Corruption Perception Index in 2010 is at 2.8 score, just like the score in the year 2009. Such law enforcers make the eradication of corruption in Indonesia has become a mission impossible, and like building castle in the air. It is the duty of all components of the nation to make the eradication of corruption no longer like building castle in the air and not a mission impossible, but a concrete action to save the nation. The struggle to combat corruption is to go through a steep road. Therefore, the availability of extra energy is absolutely necessary to be able to win the war against corruption. Eradication of corruption should not only be an empty political jargon and meaningless. Keywords: corruption eradication
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Febriansyah, Reza Fikri Bijaksana Menyikapi RUU Tipikor Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Tulisan yang dibuat berdasarkan pendapat pribadi ini mendasarkan pada pengalaman Penulis sebagai anggota Tim Penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 2006. Namun, tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mempertahankan konsep yang sudah tercantum dalam RUU, melainkan membuka kesempatan bagi kita semua khususnya para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang berimbang, khususnya terhadap isu-isu krusial dalam RUU ini, antara lain mengenai pidana mati, diskresi penuntutan kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 25.000.000,-, kriminalisasi laporan palsu, tidak diperlukannya unsur kerugian negara dalam rumusan delik, dan kewenangan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kata kunci: korupsi, RUU, kritik. Febriansyah, Reza Fikri Addressing Corruption Bill Wisely Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2. This essay is written based on my personal experience as a member of national team for anti-corruption law reform since 2006. Because of my personal opinion, this essay is not aim to defend a concept, but only to discuss some crucial issues such as: death penalty (capital punishment), the discretion of Attorney to prosecute or not prosecute a small amount corruption, criminalization of black whistle blower, damage or harm to state property as an element of crime, and an authority of KPK in field of prosecution. Keywords: corruption, the bill, critics.
MEKANISME PENINDAKAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (REPRESSON MECHANISM AGAINST PARLIAMENT MEMBERS WHO ENGAGE IN CORRUPTION) T. Gayus Lumbuun* (Naskah diterima 9/5/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Pengkajian mengenai mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi dipandang perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu pertama bahwa lembaga DPR RI saat ini berada pada posisi tertinggi dalam daftar kasus korupsi. Kedua, upaya pemberantasan korupsi merupakan komitmen bersama yang harus menjadi prioritas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa keterlibatan Anggota DPR RI dalam tindak pidana korupsi karena secara normatif terjadi perluasan subyek pelaku tindak pidana korupsi termasuk Anggota DPR sebagai penyelenggara negara, serta penekanan pada tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil dan tidak perlu adanya kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang nyata. Mekanisme perijinan sebagai bagian dari penindakan terhadap Anggota DPR RI untuk kasus tindak pidana korupsi tidaklah mutlak. Mekanisme perijinan ini penting untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Anggota DPR. Kajian ini sampai pada saran agar rumusan mengenai tindakan terhadap Anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan Tata Tertib perlu lebih lengkap dan rinci. Kata kunci: penindakan, tindak pidana korupsi, anggota DPR RI
Abstract
Studies on the mechanism of repression against members of Parliament who committed the crime of corruption is deemed necessary based on several considerations: first that the House of Representatives of the Republic of Indonesia is now in the highest rank in list of corruption. Second, efforts to combat corruption is a shared commitment that should be a priority. The results of this study indicate that the committed of the Member of the House of Representatives in corruption occurs because the expansion of the subject the perpetrators of corruption, including Members of Parliament as an organizer of the state, the emphasis on corruption as a criminal act and no need any factual financial losses of state and national economy. Procedure of permit as part of the prosecution against the Member of Parliament for corruption cases is not absolute, especially hamper law enforcement. This mechanism is still important to protect the rights and interest of the Member of the Indonesian House of Parliament. This study reached the suggestions for the formulation of action against members of Parliament in Act Number 27 Year 2009 about MOR, DPR, DPD and DPRD (MD3 Act) and the
173
Rules of Procedure need to be more complete and detailed. Keywords: repression, corruption, member of parliament.
A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) yang tinggi. Untuk tahun 2010 misalnya, IPK Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2010 pada level 2,8 sedangkan tahun sebelumnya pada level 2,8 juga. Pada pihak lain, M. Jasin (Wakil Ketua KPK) mengungkapkan bahwa mayoritas korupsi di pusat dan daerah adalah pada pengadaan barang dan jasa. Penyimpangannya mencapai 30-40%. Artinya, kalau anggaran pengadaan barang dan jasa Rp 400 triliun, berarti uang yang dikorupsi mencapai sekitar 100 triliun.1 Praktek korupsi tersebut menyebar di beberapa lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, baik di pusat maupun di daerah. Bahkan terjadi kecenderungan yang kuat bergesernya dominasi pelaku korupsi dari eksekutif ke lembaga legislatif, dan dari pusat ke daerah. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2010 mengungkapkan bahwa Anggota DPR merupakan pelaku terbanyak dalam kasus-kasus korupsi yang disidik KPK pada tahun lalu sebanyak 27 orang.2 Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi sekarang, pemberantasan korupsi sudah berulangkali diupayakan. Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi ditandai dengan dibentuknya berbagai Tim dan Komisi untuk menanggulangi korupsi.3 Selain itu pada sisi peraturan perundang-undangan telah dibentuk, direvisi, dicabut dan diganti dengan yang baru, antara lain: TAP MPR Nomor X/MPR/1998
T. Gayus Lumbuun, 2010. Pemberantasan Korupsi Dari Aspek Kebijakan, Kelembagaan, Perundangundangan dan Integritas Penegak Hukum, Makalah Diskusi Diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Kamis, 16 Desember 2010, bertempat di Aula Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Jln. Sunter Permai Raya-Sunter Podomoro, Jakarta Utara. 2 Dari 27 tersangka itu, 26 diantaranya tersangkut dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom di Komisi IX DPR pada 2004. Penetapan tersangka bagi 26 anggota DPR 1999-2004 itu, baru dilakukan KPK pada 1 September 2010. Satu orang lagi menjadi tersangka kasus yang lain, yakni dugaan suap dari Otorita Batam terkait usulan anggaran Otorita Batam tahun 2004 dan 2005. 3 Beberapa Tim yang pernah dibentuk yaitu: Pertama, Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967. Tim ini diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto dengan anggota kalangan pejabat dan ahli. Tidak ada catatan mengenai keberhasilan dari tim ini karena hanya membantu Pemerintah. Kedua adalah Komisi Empat (Berdasar Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970) beranggotakan Wilopo, IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Johannes. Kabakin Sutopo Juwono sebagai sekretaris. Tim ini bertugas selama lima bulan. Hasilnya, menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, dan penebangan hutan. Ketiga, Komite Antikorupsi, beranggotakan Angkatan 66, seperti Akbar Tandjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dan Sjahrir. Hanya bekerja dua bulan, dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970. Keempat, Operasi Penertiban berdasar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977) (Opstib, MenPan, Pangkopkamtib dan Jaksa Agung, dibantu pejabat di daerah dan Kapolri.
1
174
dan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa Bebas KKN; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, terdapat pula undang-undang yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, terakhir Pemerintah dan DPR telah menyetujui perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan menjadi Undang-Undang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Di samping itu Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dan penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi, serta terakhir adalah pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Mafia Hukum). Di kalangan pengusaha, muncul Gerakan Aksi Suap dan Gerakan Bersih, Transparan dan Profesional (BTP). Di lingkungan Media, semakin gencar berita tentang kasus-kasus korupsi dan memperbanyak ruang untuk berita-berita seputar hukum. Di tengah masyarakat, terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus korupsi dan tumbuhnya kelompok-kelompok anti korupsi di tingkat nasional maupun daerah. Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan, namun praktek korupsi di lembaga-lembaga negara masih berjalan terus. Oleh karena
Selama Juli 1977 sampai dengan Maret 1981 menangani 1.127 kasus yang melibatkan 8.026 orang. Perkara yang menarik, seperti korupsi Mabes Polri, kasus Pluit, dan kasus Arthaloka. Kelima, Tim Pemberantasan Korupsi (1982), MenPAN, Pangkopkamtib, Ketua MA, Menkeh, dan Kapolri, Keppresnya tak pernah keluar. Keenam, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Berdasar UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000) Diketuai Adi Andojo Soetjipto, anggota 24 orang dari jaksa, polisi, dan masyarakat. Mengungkapkan kasus sulit yang ditangani kejaksaan. Belum ada hasil. Terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002) yang pada waktu pertama kali diketuai Taufiqurrahman Ruki. Keanggotaan: 5 orang anggota KPK, 4 anggota Tim Penasehat dan pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.
175
itu, masalah korupsi tetap menjadi penting untuk dikaji dan analisis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas, pada dasarnya mengandung aspek materil dan formil. Salah satu aspek formil yang penting dalam penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi adalah mengenai mekanisme pemeriksaan terhadap Anggota DPR RI yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Mekanisme pemeriksaan terhadap Anggota DPR RI perlu dan penting untuk dikaji didasarkan pada beberapa persoalan yang selama ini muncul di masyarakat yaitu pertama, apakah mekanisme yang ada berbelit-belit sehingga Anggota DPR RI sulit diperiksa? Apakah masih perlu ada pengaturan khusus mengenai pemeriksaan terhadap Anggota DPR RI? Apakah ketentuan-ketentuan tentang mekanisme khusus tidak diperlukan lagi? Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR RI serta mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana tersebut. Tulisan ini merupakan hasil kajian yuridis terhadap bahan hukum primer seperti Undang-Undang dan Peraturan Tata Tertib DPR RI serta bahan hukum sekunder menyangkut pandangan dan pendapat para ahli mengenai korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR RI serta mekanisme pemeriksaannya. B. Tindak Pidana Korupsi DPR RI Fockema Andreae menulis bahwa kata korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio atau corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.4 Istilah korupsi telah diterima dalam perbendaharaan kata Indonesia oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.5 Dalam perspektif yuridis normatif, rumusan korupsi dituangkan dalam Pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Pasal 2 UU PTPK merumuskannya sebagai berikut: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
4
Fockema Andreae (1983). Kamus Hukum dalam Andi, Hamzah, 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4. Ibid., hlm. 5
176
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1. 000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dimaksudkan dengan pencantuman kata dapat? Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa: Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Penegasan bahwa ketentuan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil juga ditemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan: Dalam Undang-Undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-Undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana. Dengan rumusan sebagai delik formil, maka adanya kerugian negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang. Dengan demikian, tidak diperlukannya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.6 Rumusan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan terhadap perkara Nomor PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006. Dalam putusannya MK berpendapat bahwa kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut menyebabkan perbuatan yang dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata, akan tetapi hanya dapat menimbulkan kerugian saja pun sebagai
6 R. Wiyono, 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 28.
177
kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Sehingga putusan MK ini menegaskan bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), keuangan negara atau perekonomian negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian. Dalam sejarah pengaturan mengenai tindak pidana korupsi, keterlibatan Anggota DPR RI dalam tindak pidana korupsi merupakan perluasan dari pengertian pegawai negeri. Siapa yang menjadi pelaku dalam tindak pidana korupsi sejak awal sudah diatur dalam Pasal 92 KUHP. Kemudian, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menambah luas lagi pengertian pegawai negeri. Pasal 1 butir 2 UU PTPK 1999 merumuskannya sebagai berikut: 1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud Undang-Undang Kepegawaian; 2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah; atau 5. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Politik hukum yang memperluas pihak-pihak yang melakukan tindak pidana korupsi sudah diperlihatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-undang ini menegaskan beberapa hal, yaitu pertama, bahwa praktek korupsi tidak hanya melibatkan antara penyelenggara negara, tetapi antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.7 Kedua, penetapan pejabat-pejabat yang tergolong dalam penyelenggara negara yang meliputi pejabat negara pada Lembaga Tertinggi Negara, pejabat negara pada Lembaga Tinggi Negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai Peraturan Perundangundangan yang berlaku, pejabat lain yang memiliki fungsi strategis
Ketentuan Menimbang Huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
178
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.8 Kemudian lebih tegas lagi dalam UU PTPK Tahun 2001 yang menambah lagi pengertian orang yang menerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang dalam pengertian pegawai negeri yang diperluas pasti termasuk penyelenggara negara seperti DPR, DPA, BPK, Presiden, dan Menteri karena mereka termasuk dalam rumusan Pasal 1 butir 2 khususnya huruf c, yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah9. Pada tataran empiris keterlibatan DPR RI dalam praktek tindak pidana korupsi sangat memprihatinkan, sebab hasil survei Kemitraan pada tahun 2010 menempatkan DPR periode 2009-2014 menduduki rangking pertama sebagai tempat terjadinya praktek korupsi.10 Banyak faktor yang mendorong DPR RI melakukan tindak pidana korupsi tersebut, antara lain karena tidak adanya program antikorupsi yang holistik di tiga lembaga tersebut. Tidak ada target yang nyata dan terukur untuk memberantas korupsi hingga 2014. Sementara hingga kini para pengambil keputusan di legislatif, eksekutif, yudikatif banyak yang melakukan korupsi.11 Faktor lain juga terjadinya korupsi di lembagalembaga negara, karena belum satu pun lembaga tersebut yang bersifat independen. Kompromi politik masih menjadi model dalam memutuskan hal-hal tertentu misalnya pemilihan pimpinan oleh legislatif atau soal perumusan RUU12. Sejalan dengan pemikiran bahwa korupsi merupakan bentuk penyelewengan terhadap kewenangan, maka praktek yang sering terjadi adalah lembaga eksekutif sering melakukan penyelewengan saat melakukan layanan publik, fungsi-fungsi administratif dan pengadaan barang dan jasa. Anggota legislatif menyeleweng saat membuat aturan (UU dan Perda), saat mengesahkan anggaran (APBN dan APBD) serta
8 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 9 Andi Hamzah, 2007. hlm. 117-118. 10 Survei yang dilakukan terhadap tiga lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, menemukan, lembaga legislatif menduduki peringkat pertama dalam urusan korupsi yakni sebesar 78%, yudikatif 70%, dan disusul eksekutif sebesar 32%. Berdasarkan hasil survei tersebut sebanyak 56% anggora parlemen menilai korupsi DPR RI tinggi sebanyak 59% responden menilai sedang dan 15% responden menilai rendah. Sedangkan responden dari pemerintah menilai korupsi DPR RI tinggi sebanyak 79% responden, dan 5% rendah. Masyarakat menilai, 80% korupsi DPR RI masih tinggi, 5% rendah.Sebanyak 90% responden akademisi menilai korupsi DPR RI tinggi dan 3% rendah. Sedangkan, media massa yang menilai korupsi DPR RI masih tinggi sebesar 84%, 3% sedang dan 4% rendah. http:www.koruptorindonesia.com/2011/02/ DPR RI-peringkat-pertama-korupsi, Sabtu, 26 Februari 2011. (Diakses tanggal 4 Mei 2011). 11 Laode Syarif.http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/284/1/-hasil-surveykemitraan-sebutkan-DPR-lembaga-terkorup. (Diakses tanggal 4 Mei 2011). 12 Danang Widoyoko.http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/284/1/-hasil-surveykemitraan-sebutkan-DPR-lembaga-terkorup. (Diakses tanggal 4 Mei 2011).
179
pada saat proses pemilihan pemimpin lembaga negara (BI, KPK, dan lainlain). Sementara lembaga yudikatif, sering melakukan korupsi saat melakukan administrasi perkara, proses persidangan dan saat memutuskan perkara. Hampir seluruh lembaga belum independen dan masing-masing lembaga sering menyelewengkan kewenangan yang dimilikinya. 13 C. Pengaturan Penindakan terhadap Anggota DPR RI Prosedur pemeriksaan/penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif.14 Secara umum prosedur umum penyidikan diatur dalam beberapa ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: 1. Prosedur umum berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 2. Prosedur khusus berdasarkan Undang-Undang yang mengaturnya yang ditujukan kepada: a. Anggota MPR, DPR dan DPD; b. Kepala Daerah/Wakil; c. Anggota MPR, DPR dan DPD; d. Anggota DPRD; e. Dewan Gubernur BI; f. Hakim; g. Jaksa; h. Notaris; i. Kepala Desa. Pengaturan mengenai penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi merupakan bagian dari UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi memiliki implikasi yang luas, karena memiliki kaitannya dengan status keanggotaan DPR RI. Tindakan kepolisian merupakan awal dari kemungkinan terjadinya pemberhentian antar waktu atau
M. Jasin, 2011. http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/284/1/-hasil-surveykemitraan-sebutkan-DPR-lembaga-terkorup. (Diakses tanggal 4 Mei 2011). Mengenai praktek korupsi di lembaga-lembaga negara tersebut lihat pula, Syaefudin Simon, Ed., 2009. Susilo Bambang Yudhoyono Bapak Pemberantasan Korupsi, Pena Kreasi Media, Jakarta, hlm. 151. 14 Baharudin KS. Prosedur Pemeriksaan/Penyidikan Tindak Pidana Terhadap Pejabat Negara. http:www.pusdikreskrim.polri.go.id.indeks.php. (Diakses 4 Mei 2011).
13
180
pemberhentian sementara. Anggota DPR RI diberhentikan antar waktu karena diberhentikan apabila antara lain dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.15 Di samping itu terdapat ketentuan mengenai pemberhentian sementara, karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.16 Konsekuensi hukum yang terkait dengan penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi ini mengakibatkan proses penindakan terhadap Anggota DPR RI bukan merupakan suatu hal yang mudah atau teknis belaka. Selanjutnya, secara teknis penyidikan terhadap Anggota DPR RI diatur dalam Pasal 220 UU MD3, yaitu: (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR RI : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana. b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; dan c. Disangka melakukan tindak pidana khusus. Rumusan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 287 Peraturan Tata Tertib DPR RI, yaitu: 1. Setelah tindakan pemanggilan tanpa surat dari Presiden, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberi izin paling lambat dalam 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
15 Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ( UU MD3). 16 Pasal 219 UU MD3.
181
2. Selama anggota menjalani proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan pengadilan, yang bersangkutan tetap menerima hak-hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.17 Rumusan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 berbeda dengan rumusan dalam Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan MPR. DPR,DPD dan DPRD, bahwa: 1. Ayat (1) dalam hal anggota MPR,DPR dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. 2. Ayat (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota MPR, DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota melakukan tindak pidana Korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan. Perbedaannya adalah tidak disebutkannya secara khusus mengenai tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Undang-Undang tersebut menyebutnya secara umum saja, yaitu tindak pidana khusus. Selanjutnya, ketentuan teknis pelaksanaan penindakan terhadap Anggota DPR didasarkan pula pada ketentuan internal Polri, yaitu berdasarkan Surat Telegram Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor Polisi ST/96/XI/2006 tanggal 1 Nopember 2006 tentang Tata Cara Pemanggilan/Penyidikan terhadap anggota MPR, DPR, DPD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, bahwa ijin Presiden tidak diperlukan jika Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah apabila berstatus saksi pelapor atau sebagai saksi korban dalam suatu tindak pidana.18 Selanjutnya, berdasarkan Surat Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor Polisi: B/588/DIT-I/I/IX/2005/Bareskrim tanggal 27 September 2005, setiap mengajukan permohonan ijin kepada Presiden RI, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, kelengkapan berkas sebagai lampiran adalah: 1. Laporan Polisi. 2. Surat Perintah Penyidikan. 3. Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan.
17 18
Pasal 287 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan DPR RI Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 tentang Tata Tertib. Baharuddin KS. http:www.pusdikreskrim.polri.go.id.indeks php. (Diakses 4 Mei 2011).
182
4. Hasil Gelar Perkara. 5. Resume/laporan Kemajuan berisi: (1) Kasus Posisi/duduk perkara. (2) Peran pejabat yang dipanggil/disidik. (3) Analisa yuridis serta penerapan pasal yang dilanggar. (4) Kerugian yang ditumbulkan apabila ada. Penyusunan UU MD3 khususnya Pasal 220 penuh dengan perdebatan politik hukum hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu hal yang menarik adalah perumusan mengenai penindakan terhadap anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi. Fraksi Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) menghendaki perlunya terobosan baru dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan, PKS mengusulkan untuk tidak perlu adanya mekanisme perijinan untuk tindak pidana koprusi. Fraksi PKS berpandangan: Prospek penegakan hukum khususnya dalam konteks penindakan kasus korupsi bisa makin mengkhawatirkan seandainya tidak ada terobosan untuk menghilangkan mekanisme izin Presiden dalam proses pemeriksaan pejabat negara. Di sisi lain, pendapat yang menyatakan bahwa izin yang diberikan Presiden adalah sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan, praktiknya dua hal tersebut tidak mudah dibedakan.Selain prinsip persamaan hukum, UU Susduk sendiri sebenarnya bisa dikatakan diskriminatif/tidak fair dalam memposisikan anggota parlemen. Pasal 106 memberikan semacam privilege buat anggota parlemen, tapi coba lihat Pasal 30 yang mengatur tentang hak DPR untuk melakukan hal yang sebaliknya. DPR berhak memaksa siapapun untuk memberikan keterangan. Kalau menolak, bisa dilakukan secara paksa bahkan sandera. Tetapi pemeriksaan terhadap mereka harus dengan seizin Presiden. Hambatan dalam bentuk izin pemeriksaan dari Presiden sangat potensial mempersulit pemeriksaan, bahkan rentang waktu pengeluaran izin yang cukup panjang memberi peluang bagi pejabat yang bersangkutan menghilangkan bukti-bukti yang penting atau tindakan-tindakan lain yang memungkinkannya lolos dari jerat hukum. Sebagai contoh, izin pemeriksaan terhadap Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar. Hampir setahun lamanya Kejaksaan Tinggi Sumetera Barat meminta izin pemeriksaan kepada Presiden Megawati, namun sampai berakhirnya jabatan Presiden Megawati izin dimaksud belum juga dikeluarkan. Izin tersebut nyatanya baru keluar pada masa Presiden SBY. Belum lagi seandainya permohonan izin pemeriksaan
183
dimaksud belum lengkap persyaratannya, sebagaimana yang terjadi pada kasus Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, tersangka korupsi HGB Hotel Hilton. Timtas Tipikor tidak bisa dengan segera mendapatkan izin pemeriksaan dari Presiden karena ada klausa-klausa yang belum lengkap.19 Pandangan Fraksi PKS tersebut di atas menggambarkan adanya keinginan kuat untuk mempercepat dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di kalangan lembaga parlemen. Namun, karena usulan tersebut tidak didukung oleh semua fraksi yang ada di DPR RI, maka ijin terhadap penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi pada dasarnya tetap ada walaupun dapat dilakukan kemudian sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 220 UU MD3 dan Pasal 287 Peraturan Tata Tertib DPR RI. Kami berpendapat, bahwa proses administrasi perijinan terhadap Anggota DPR RI tetap diperlukan dengan berbagai pertimbangan berikut ini, yaitu, pertama, Anggota DPR RI merupakan pejabat negara yang memiliki kedudukan yang setara dengan pejabat negara lainnya. Dengan demikian, ketika untuk pejabat negara lainnya masih diperlukan ijin dari Presiden, maka Anggota DPR RI harus diperlakukan sama dengan pejabat negara lainnya tersebut. Kedua, sebagai politisi Anggota DPR RI perlu mendapat perlindungan dari aspek hukum, untuk menghindari atau membatasi risiko-risiko motivasi politik dalam penindakan terhadap Anggota DPR RI. Hal ini penting, karena implikasi dari penindakan terhadap Anggota DPR RI akan berujung pada status keanggotaannya. Ketiga, rumusan dengan berbagai pembatasan, seperti pemeriksaan dapat dilakukan apabila Presiden belum memberikan izin dalam waktu 30 hari menggambarkan bahwa persyaratan adanya izin dari Presiden bukan merupakan suatu hak yang mutlak dan menghambat proses pemeriksaan atau pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, perijinan hanya bersifat filter atau pembatasan saja, akan Anggota DPR RI tidak diperlakukan semena-mena oleh aparatur penegak hukum, serta tetap memberikan perlakukan khusus kepada Anggoa DPR RI. D. Penutup Kajian terhadap mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
19
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2008. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tanpa nomor (DIK Cluster DPR). RUU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, Jakarta.
184
1. Rumusan tindak pidana korupsi semakin diperluas, baik dari subyek pelaku maupun ketentuan mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri yang bersifat delik formil serta tidak perlu adanya kerugian nyata bagi keuangan dan perekonomian negara menyebabkan praktek korupsi yang melibatkan Anggota DPR semakin meningkat. Hal ini terbukti dari posisi DPR menempati rangking paling tinggi dalam hal tindak pidana korupsi pada tahun 2010. 2. Undang-Undang mengatur mengenai mekanisme penindakan terhadap Anggota DPR RI yang melakukan tindak pidana korupsi. Pengaturan tersebut termasuk dalam kategori melakukan tindak pidana khusus. Namun, mekanisme khusus ini tidak dimaksudkan untuk menghambat proses penegakan hukum di bidang korupsi, apabila tertangkap tangan dan dalam hal Presiden tidak memberikan izin dalam waktu 30 hari, proses pemeriksaan atau penindakan dapat dilakukan oleh aparatur penegakan hukum. Selanjutnya, kajian ini juga mengajukan suatu saran atau rekomendasi, yaitu rumusan mengenai penindakan atau penyelidikan yang tertuang dalam Pasal 220 UU MD3 dan Pasal 287 Peraturan Tata Tertib DPR RI perlu lebih dirinci dengan memuat beberapa ketentuan yang terdapat dalam Surat Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor Polisi: B/588/DIT-I/I/IX/2005/Bareskrim tanggal 27 September 2005, yaitu mengenai berkas lampiran dalam pengajuan permohonan ijin kepada Presiden. Hal ini dimaksudkan agar sejak awal Anggota DPR RI sudah mengetahui dan menyadari berbagai hal yang terkait dengan penindakan terhadap dirinya dalam pemberantasan tindak korupsi. Pengetahuan yang lebih rinci mengenai mekanisme ini dapat memberikan efek ketakutan bagi Anggota DPR RI untuk melakukan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA Hamzah, Andi, (2007). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
185
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/ I/2009-2010 tentang Tata Tertib. Sekretariat Jenderal, 2008. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tanpa nomor (DIM Cluster DPR). RUU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Jakarta. Lumbuun, T Gayus, 2011. Pemberantasan Korupsi Dari Aspek Kebijakan, Kelembagaan, Perundang-Undangan Dan Integritas Penegak Hukum, Makalah Diskusi Diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Kamis, 16 Desember 2010. Wiyono, R. 2008. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Internet/Online: Baharudin KS. Prosedur Pemeriksaan/Penyidikan Tindak Pidana Terhadap Pejabat Negara. http:www.pusdikreskrim.polri. go.id.indeks.php. (Diakses 4 Mei 2011). Jasin M. 2011. Hasil Survei Kemitraan, Peringkat Korupsi DPR RI http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/284/1/ -hasil-survey-kemitraan-sebutkanDPR-lembaga-terkorup atau http:www.koruptorindonesia.com/2011/02/DPR-peringkat-pertamakorupsi, Sabtu, 26 Februari 2011. (Diakses tanggal 4 Mei 20110). Syarif Laode, 2011. Hasil Survei Kemitraan, Peringkat Korupsi DPR RI. http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/284/1/ -hasil-survey-kemitraan-sebutkan-DPR-lembaga-terkorup atau http:www.koruptorindonesia.com/2011/02/DPR-peringkat-pertamakorupsi, Sabtu, 26 Februari 2011. (Diakses tanggal 4 Mei 2011). Widoyoko Danang, 2011. Hasil Survei Kemitraan, Peringkat Korupsi DPR RI. http:www.mediaindonesia.com/read/2011/04/21/219717/ 284/1/-hasil-survey-kemitraan-sebutkan-DPR-lembaga-terkorup atau http:www.koruptorindonesia.com/2011/02/DPR-peringkat-pertamakorupsi, Sabtu, 26 Februari 2011. (Diakses tanggal 4 Mei 2011).
186
PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (CORRUPTION LAWSUIT IN INDONESIAN LEGAL SYSTEM) Ramelan * (Naskah diterima 18/5/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Korupsi sebagai suatu fenomena masalah transnasional terkait dengan teori sosial tentang konsep kemajuan. Masalah korupsi bersifat sistemik, melibatkan pemegang kekuasaan dan kekuatan dengan intelektual yang tinggi. Korupsi dilakukan dengan modus operandi yang rapi, tertutup dan sulit diungkapkan. Hal ini menimbulkan masalah bagaimana strategi penuntutan yang relevan dengan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan normatif dengan menguasai secara teoritis dasar-dasar pelimpahan perkara, surat dakwaan, hukum pembuktian dan hukum pidana materiil tentang unsurunsur tindak pidana diperlukan sebagai analisis penguatan melakukan tindak penuntutan. Paradigma pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi serta penyusunan pedoman atau standar penuntutan, pemidanaan yang menghapus lembaga, rencana tuntutan akan mendorong jaksa lebih mandiri, bertanggungjawab dan profesional. Kata kunci: penuntutan, perkara tindak pidana korupsi, sistem hukum Indonesia
Abstract
Corruption as a phenomenon of transnational problems associated with social theory about the concept of progress. The problem of corruption is systemic, involving the holders of power and strength with a high intellectual. Modus operandi of corruption carried out with a neat, closed and difficult to express. This raises the problem of how the relevant prosecution strategy with the successful of the eradication of corruption. Normative approach with mastering the theoretical basics of the delegation case, the indictment, the law of evidence and substantive criminal law concerning the elements of the crime analysis that needed as reinforcement to follow the prosecution. Return wealth paradigm of corruption result and preparation of guidelines or standards of prosecution, punishment in removing the institution, the plan of prosecution will encourage prosecutors to be more independent, responsible and professional. Keywords: prosecution, case of corruption, Indonesias legal system
A. Pendahuluan Perkembangan kejahatan korupsi sebagai suatu fenomena masalah transnasional tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori
*
187
sosial tentang konsep kemajuan. Sebagaimana dikemukakan oleh Piotr Stzompka bahwa riwayat peran konsep kemajuan itu terlihat dalam ciriciri fundamental kondisi kehidupan manusia: adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan, antara kehidupan nyata dan mimpi-mimpi. Ketegangan abadi antara apa yang dimiliki dan apa yang ingin dimiliki, antara apa yang ada dan apa yang diinginkan manusia, tampaknya merupakan motif utama dari upaya dan perjuangan yang tak pernah selesai. Konsep kemajuan meredakan ketegangan abadi ini dengan memproyeksikan harapan kehidupan yang lebih baik ke masa depan dan menegaskan bahwa kehidupan yang lebih baik itu pasti akan tiba atau sekurangnya ada kemungkinan akan tiba 1 . Dalam rangka mewujudkan mimpi dan harapan itu, konsep kemajuan dapat diartikan secara salah yaitu sebagai peningkatan dalam kehidupan materialistis secara cepat, instant dengan cara apapun sehingga mengabaikan aspek moralitas. Dalam hubungan inilah, Syed Hussain Alatas yang menyelidiki masalah korupsi sebagai gejala sosial mengemukakan bahwa di antara kondisi dan sebab musabab korupsi yang penting adalah tingkat moralitas di dalam masyarakat tertentu. Inilah kenyataan yang tidak dapat diukur kuantitasnya, tetapi moralitas yang diturunkan dan relativisme nilai, nihilisme dan individualisme materialistis, niscaya akan menyuburkan protes pengeroposan yang sudah menggerogoti landasan moralitas umum dalam masyarakat yang terlanda korupsi2. Masalah korupsi bersifat lintas sistemik, ia melekat pada semua sistem sosial, feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Ia mempengaruhi semua kelas masyarakat, semua organisasi negara, kerajaan atau republik, semua keadaan, perang atau damai, semua kelompok usia, muda dan tua, semua jenis kelamin, pria dan wanita, segala waktu, zaman kuno, zaman pertengahan,dan modern3. Masalah korupsi telah melibatkan para pemegang kekuasaan atau kekuatan, baik pemegang kekuasaan politik, pemegang kekuasaan atau kekuatan ekonomi, pemegang kekuasaan administrasi pemerintahan. Ditinjau dari kualitas pribadi para pemegang kekuasaan atau kekuatan tersebut menunjukkan bahwa para pelaku korupsi adalah mereka yang mempunyai intelektual tinggi. Sebagai pribadi yang memiliki intelektual, pada umumnya mereka juga mengetahui bagaimana caracara menghindar dari jerat hukum, mereka semua mencari celah-celah
Piotr Stzompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change) diterjemahkan oleh Alinandan, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 23. 2 Syed Hussain Alatas, op.cit, hlm. XXIV. 3 Ibid.
1
188
hukum untuk melepas diri dari tuntutan hukum. Oleh karena itulah pada umumnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan modus operasi yang rapi, tertutup dan sangat kompleks sehingga sulit diungkap4. Mengungkap dan membuktikan terjadinya korupsi oleh karenanya tidaklah mudah, kecerdikan pelaku merupakan salah satu sebab mengapa tindak korupsi baru dapat terungkap setelah berlangsung dalam tenggang waktu yang lama. Tindak pidana korupsi pada umumnya melibatkan sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana itu. Kekhawatiran akan keterlibatannya sebagai tersangka, maka di antara mereka sekelompok orang tersebut akan saling menutupi. Demikian juga dengan rasa solidaritas kelompok, kebanggaan korps yang menimbulkan rasa malu bila kelompok atau institusinya dilanda korupsi, membuat mereka anggota kelompok, sekalipun tidak terlibat, senantiasa akan berupaya menutupi atau membela temannya yang dituduh korupsi, secara sadar atau tidak sadar, tindak pidana korupsi dilakukan secara terdramatisir dalam lingkungan kerjanya5. Mencermati latar belakang permasalahan tersebut di atas maka perlu dikaji upaya-upaya yang dilakukan dalam penuntutan perkara tindak pidana yang dilakukan demi keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan secara normatif baik dari aspek hukum pidana formil khususnya dalam penerapan hukum pembuktian atas fakta perbuatan yang didakwakan serta aspek hukum pidana materiil dalam penerapan undang-undang atau hukum atas tindak pidana yang didakwakan, dipandang relevan dalam menentukan keberhasilan penuntutan perkara tindak pidana korupsi secara tepat dan memenuhi rasa keadilan. B. Pengertian Penuntutan Dalam KUHAP, pengertian penuntutan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7, yaitu: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pengertian ini penting, berhubung dengan ketentuan Pasal 80 KUHP yang berbunyi:
Ramelan, Penerapan Konsep dan Pengertian Turut Serta (Medeplegen) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2002, hlm. 3. 5 Ramelan, loc.cit.
4
189
1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum. 2) Sesudah dihentikan dimulai tenggang daluwarsa baru. Dengan adanya Pasal 80 KUHP ini, sangat besar konsekwensinya untuk memastikan secara konkrit apakah suatu tindakan penuntut umum sudah dapat dipandang sebagai tindakan penuntutan ataukah masih termasuk dalam ruang lingkup pra penuntutan atau bahkan masih dalam tahap penyidikan. Apabila suatu tindakan penuntut umum sudah dipandang sebagai tindakan penuntutan perkara; maka berlakulah ketentuan Pasal 80 KUHP, yaitu menghentikan daluwarsa penuntutan perkara pidana. Sebaliknya, apabila dianggap masih dalam tahap pra penuntutan atau penyidikan, maka atas peristiwa dimaksud akan tetap berlaku ketentuan daluwarsa penuntutan. Berdasarkan pengertian Pasal 1 butir 7 KUHAP tersebut, maka untuk dinyatakan telah dimulai tindakan penuntutan adalah: 1) Apabila secara konkrit penuntut umum telah melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). 2) Apabila secara konkrit penuntut umum telah menyampaikan turunan surat pelimpahan perkara serta surat dakwaan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Dengan demikian, setiap tindakan penuntut umum yang telah membawa berkas perkara disertai dengan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan ke pengadilan negeri, serta terdakwa telah menerima turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan, akan menghentikan daluwarsa (verjaaring) perkara dimaksud. Persiapan yang dilakukan oleh penuntut umum yang akan melakukan tindakan penuntutan meliputi: 1) Mempersiapkan surat pelimpahan perkara. 2) Menyusun surat dakwaan. Definisi penuntutan yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP tersebut sesungguhnya terlalu sempit, karena dalam praktek peradilan, tindakan penuntutan itu dilakukan semenjak dari mempersiapkan surat pelimpahan perkara, mempersiapkan surat dakwaan, mengirim berkas perkara, mengikuti proses interogasi di pemeriksaan sidang pengadilan sampai dengan membacakan atau menyampaikan surat tuntutan pidana
190
(requisitoir). Pendek kata tindakan penuntutan itu dilakukan sebagai suatu kegiatan untuk meyakinkan hakim tentang pembuktian tindak pidana yang telah didakwakan terhadap terdakwa. C. Menyusun Surat Pelimpahan Perkara Pelimpahan perkara pidana ke pengadilan negeri adalah merupakan bentuk kegiatan penuntutan. Surat pelimpahan perkara pidana memuat hal-hal: 1. Pernyataan telah membaca berkas perkara nomor register dan tanggal yang dibuat oleh penyidik dalam perkara terdakwa (dengan identitas lengkap), penjelasan tentang tanggal penahanan oleh penyidik dan penuntut umum, jenis penahanan (Rutan, Rumah atau Kota). 2. Pertimbangan penuntut umum bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan dan diancam dengan pidana dalam Pasal yang disebut dalam surat dakwaan. Pertimbangan bahwa pemeriksaan perkara tersebut temasuk dalam wewenang pengadilan negeri yang disebutkan nama pengadilan negerinya. 3. Dengan mengingat dasar hukum Pasal 137 jo. 84 (Pasal 85 bilamana keadaaan daerah tidak mengijinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara atau Pasal 86 KUHAP apabila tindak pidana dilakukan di luar negeri sehingga merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili) jo. 152 KUHAP jo. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 4. Penetapan untuk pelimpahan perkara terdakwa (disebut namanya) ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (sebut nama pengadilan) dengan acara pemeriksaan biasa dan meminta untuk segera mengadili perkara tersebut atas dakwaan sebagaimana dimaksud dalam surat dakwaan yang dilampirkan. 5. Permintaan agar Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan untuk mengadili perkara tersebut dan menetapkan pemanggilan terdakwa dan saksi-saksi, serta permintaan untuk mengeluarkan penetapan untuk menahan terdakwa. 6. Surat pelimpahan perkara diberi tanggal dan ditandatangani penuntut umum. 7. Turunan surat pelimpahan perkara disampaikan kepada penyidik, terdakwa atau penasehat hukum, kepala Rutan (kalau ditahan) dan Arsip.
191
D. Menyusun Surat Dakwaan D.1. Kajian Teoritis D.1.1. Pengertian, Prinsip dan Fungsi Surat Dakwaan Undang-undang tidak memberikan definisi atau pengertian tentang surat dakwaan. Menurut A. Karim Nasution, surat dakwaan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.6 Sementara itu MR. I.A NEDERBURGH menyatakan tentang surat dakwaan sebagai berikut: surat ini adalah sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, karena ialah merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim7. Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syaratsyarat dakwaan maupun pengalaman praktek, maka dapat dikatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat atau akte (dalam bahasa Belanda disebut acte van verwijzing) yang memuat uraian perbuatan atau faktafakta yang terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau menjelaskan unsur-unsur yuridis dari Pasal-Pasal tindak pidana (delik) yang dilanggar8. Prinsip yang dianut dalam membuat surat dakwaan adalah harus jelas dan dapat dimengerti oleh terdakwa. Prinsip ini sejalan dengan hak-hak asasi mausia yang dirumuskan dalam Pasal 14 ayat (3) Konvensi Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik ( The International Covenant on Civil and Political Rights) yang menegaskan antara lain bahwa dalam penentuan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang dalam persamaan sepenuhnya, berhak atas paling sedikit jaminan untuk secepatnya dan secara terperinci dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang sifat dan alasan mengapa diajukan tindakan terhadapnya, serta diberi cukup waktu guna untuk mempersiapkan pembelaannya dan menghubungi pembela yang dipilihnya sendiri. D.1.2. Syarat-syarat Surat Dakwaan Surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang yang tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, yang memuat syarat formil dan syarat materiil:
6 A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, PN. Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1972, hlm. 75. 7 Ibid. 8 Ramelan, Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 162.
192
1. syarat formil (Pasal 143 ayat (2) sub a KUHAP). - surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum; - surat dakwaan harus berisi identitas terdakwa: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. 2. Syarat materiil (Pasal 143 ayat (2) sub b KUHAP). - surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan. - uraian tersebut harus menyebutkan waktu (tempus delictie) dan tempat tindak pidana (locus delictie) itu dilakukan. Yang dimaksud dengan surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat adalah ketelitian Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, antara lain: Apa ada pengaduan, dalam hal delik aduan Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat. Apakah terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah kadaluarsa. Apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak ne bis in idem.
Pada pokoknya kepada Penuntut Umum dituntut untuk bersikap teliti dan waspada dalam semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan penuntutan perkara dimuka sidang pengadilan. Sedangkan yang dimaksud uraian surat dakwaan harus jelas adalah Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan sekaligus memadukan uraian perbuatan material (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan, jangan sekali-kali memadukan dalam uraian dakwaan antara tindak pidana yang satu dengan yang lain yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada uraian dakwaan sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada dakwaan pertama) padahal unsur-unsur tindak pidananya berbeda. Yang dimaksud uraian surat dakwaan harus lengkap adalah uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan undang-undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan
193
materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) sub b KUHAP (syarat materiil) tersebut di atas mempunyai akibat batal demi hukum. Yang dimaksud dengan batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak ada dakwaan atau dengan sendirinya surat dakwaan tidah sah. Yang berhak menyatakan surat dakwaan batal demi hukum adalah hakim yang memimpin persidangan, bukan ditentukan sendiri oleh terdakwa atau penasihat hukumnya. D.1.3. Bentuk Surat Dakwaan Bentuk surat dakwaan disusun berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam penyidikan. Perbuatan terdakwa berdasarkan faktafakta tersebut mungkin hanya merupakan satu tindak pidana saja, atau dapat juga merupakan beberapa tindak pidana yang dilanggar, atau mungkin juga hanya satu perbuatan tetapi kemungkinan perbuatan tersebut merupakan pelanggaran beberapa ketentuan tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut maka bentuk surat dakwaan dalam teori terdiri dari 5 (lima) bentuk, yaitu: 1. Surat Dakwaan Tunggal Surat dakwaan tunggal disusun apabila penuntut umum berpendapat dan yakin bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah: a. Hanya merupakan satu tindak pidana saja, misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP); b. Merupakan satu tindak pidana tetapi perbuatan termasuk dalam perbarengan peraturan pidana (eendaadse samenloop) atau concursus idealis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. c. Beberapa perbuatan yang merupakan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2. Surat Dakwaan Kumulatif Surat Dakwaan kumulatif yaitu surat dakwaan yang disusun sebagai rangkaian dari beberapa dakwaan, oleh karena terjadi beberapa tindak pidana yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain, dimana perbuatan itu dilakukan oleh subyek hukum atau terdakwa yang sama. Dalam dakwaan kumulatif, seluruh dakwaan harus dibuktikan oleh penuntut umum maupun hakim. Apabila semua dakwaan terbukti maka dalam penjatuhan pidana harus memperhatikan ketentuan Pasal 65 ayat (2) KUHP (meerdaadse samenloop atau concursus realis) yaitu
194
maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu tetapi tidak boleh lebih dari maksimum yang terberat ditambah sepertiga. 3. Surat Dakwaan Subsidair Bentuk surat dakwaan subsidair adalah bentuk dakwaan yang terdiri dua atau lebih dakwaan yang disusun secara berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampai kepada dakwaan tindak pidana yang paling ringan. Dakwaan subsidair disusun oleh karena penuntut umum sesungguhnya tidak ragu-ragu tentang jenisnya tindak pidana atau delik, misalnya sudah jelas bahwa tindak pidana atau delik yang paling tepat diterapkan adalah penganiayaan. Akan tetapi penuntut umum raguragu apakah penganiayaan yang dilakukan itu penganiayaan berat atau penganiayaan biasa. Perbuatannya tetap hanya satu, akan tetapi apakah pasal-pasal tindak pidana yang dilanggar itu yang paling berat atau yang lebih ringan, penuntut umum masih ragu-ragu. Dalam menghadapi bentuk dakwaan subsidair, baik penuntut umum maupun hakim dalam membuktikan dakwaan harus terlebih dahulu membuktikan dakwaan primair. Apabila dakwaan primair sudah dapat dibuktikan maka dakwaan subsidair dan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Namun bilamana dakwaan primair tidak terbukti, pemeriksaan dialihkan untuk membuktikan dakwaan subsidair. Apabila dakwaan subsidair sudah terbukti maka dakwaan lebih subsidair tidak perlu lagi dibuktikan. 4. Surat Dakwaan Alternatif Bentuk surat dakwaan alternatif terjadi bilamana penuntut umum masih ragu-ragu tentang perbuatan mana yang tepat untuk didakwakan dan dibuktikan, misalnya masih ada keragu-raguan apakah perbuatan terdakwa sebaiknya dikualifisir sebagai pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP) atau sebagai pemerasan (Pasal 368 KUHP). Jadi keragu-raguan mengenai deliknya atau perbuatan pidananya. Perbedaannya dengan dakwaan subsidair yaitu apabila dalam dakwaan alternatif penuntut umum ragu-ragu tentang jenis deliknya, sedangkan dalam subsidair penuntut umum tidak ragu akan jenis deliknya akan tetapi ragu-ragu tentang delik mana yang lebih berat dari diantara delik yang sejenis tadi. Dalam membuktikan dakwaan alternatif, penuntut umum atau hakim memilih salah satu di antara dua dakwaan yang dianggap cukup terbukti.
195
Perbedaan antara bentuk dakwaan subsidair dengan dakwaan alternatif hanya jelas dalam teori. Dalam praktek sering penuntut umum mengalami kesulitan untuk membedakan. Oleh karena itu biasanya penuntut umum lebih senang menyusunnya dalam bentuk dakwaan subsidair, karena lebih mudah dilakukan. 5. Surat Dakwaan Kombinasi atau Gabungan Bentuk surat dakwaan ini sesungguhnya merupakan bentuk dakwaan kumulatif, hanya saja di dalamnya mengandung dakwaan subsidair atau dakwaan alternatif. Jadi yang utama disusun adalah bentuk dakwaan kumulatif, kemudian dalam salah satu dakwaan atau setiap dakwaan tersebut disusun lagi dalam bentuk dakwaan subsidair atau dakwaan alternatif. D.2. Teknik Penyusunan Surat Dakwaan Dalam menyusun surat dakwaan, penuntut umum harus menjelaskan susunan kalimat yang mana dari uraian surat dakwaan dimaksud menerangkan masing-masing unsur dari pasal yang didakwakan. Praktek yang kini sering terjadi dan merupakan kesalahan adalah pada waktu penuntut umum menyusun surat dakwaan setelah menyalin rumusan pasal perbuatan pidana yang didakwakan, lalu menguraikan peristiwanya dengan menyalin begitu saja uraian yang dimuat dalam Berita Acara Pendapat Penyidik. Kalimat-kalimat dari uraian surat dakwaan yang menggambarkan unsur perbuatan pidana tidak dapat dijelaskan secara tepat. Secara teknis yang perlu diuraikan dalam surat dakwaan adalah: 1. Peranan serta jumlah terdakwa Surat dakwaan dimulai dengan kalimat: Bahwa si terdakwa............dan seterusnya, yang perlu diperhatikan dalam menyusun kalimat di awal surat dakwaan tersebut adalah : a. Apakah hanya seorang pelaku (terdakwa) melakukan satu perbuatan atau beberapa perbuatan, ataukah - ada beberapa orang pelaku secara bersama-sama melakukan satu perbuatan, atau - ada beberapa orang pelaku secara bersama-sama melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri. b. Apabila terdapat beberapa orang pelaku (terdakwa) melakukan satu perbuatan, maka dalam surat dakwaan harus secara tegas diuraikan: - apakah terdakwa sebagai pelaku berperanan sebagai orang yang
196
melakukan (pleger), atau apakah terdakwa berperanan sebagai orang yang menyuruh lakukan (doen pleger), atau apakah terdakwa berperanan sebagai orang yang turut serta melakukan atau bersama-sama, dengan pelaku lainnya (medepleger), atau apakah terdakwa berperanan sebagai orang yang membujuk atau menganjurkan melakukan perbuatan (uitlokker), atau apakah terdakwa sebagai orang yang membantu melakukan (medeplichtige).
2. Waktu terjadinya perbuatan Uraian tentang waktu terjadinya perbuatan atau tempus delictie ini adalah penting untuk mengetahui: Apakah perbuatan yang didakwakan itu sudah merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini berkaitan dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan tersebut mampu bertang-gung jawab. Hal ini berkaitan dengan Pasal 44 KUHP. Apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut sudah berumur 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan Pasal 45 KUHP. Apakah perbuatan terdakwa tersebut belum kadaluwarsa (verjaard). Hal ini berkaitan dengan Pasal 79 KUHP.
3. Tempat terjadinya perbuatan Uraian tentang tempat terjadinya perbuatan atau locus delictie adalah penting untuk: Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana yang didakwakan tersebut atau tidak. Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 - 8 KUHP. Menentukan kompetensi relatif, yaitu menentukan Kejaksaan dan pengadilan mana yang berwenang menuntut, memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
4. Uraian unsur tindak pidana (delik) yang dirangkaikan dengan uraian fakta perbuatan Yang dimaksud dengan uraian tindak pidana adalah uraian dari setiap unsur pasal yang disusun sedemikian rupa sesuai dengan fakta kejadian, bukan hanya menyebutkan atau mengulangi kalimat yang dirumuskan dalam pasal tindak pidana yang bersangkutan, atau hanya menyebut kualifikasi tindak pidana.
197
D.3. Perubahan Surat Dakwaan Pasal 144 KUHAP .memberikan kemungkinan bagi penuntut umum untuk mengubah surat dakwaan. Akan tetapi yang diatur dalam pasal 144 KUHAP terlalu sederhana, yaitu hanya mengatur tentang jangka waktu yang diperbolehkan untuk mengubah surat dakwaan dan mengatur tentang tujuan perubahan surat dakwaan dengan rumusan yang terlalu umum. Adapun bunyi Pasal 144 KUHAP tersebut sebagai berikut: 1. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetap-kan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. 2. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. 3. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunan-nya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Tujuan perubahan untuk menyempurnakan surat dakwaan adalah meliputi: 1. Hal-hal yang memberatkan, misalnya : - perbuatan yang direncanakan lebih dahulu. Dalam surat dakwaan semula didakwakan Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) padahal cukup alasan untuk menuntut dengan dakwaan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP); - mengenai sikap terdakwa, misalnya: sebagai pegawai negeri; sebagai residivis (Pasal 486 KUHP); - mengenai concursus realis (perbarengan perbuatan) yang dapat memberatkan hukuman terdakwa; - hal-hal yang memberatkan secara khusus yang diatur dalam pasal-pasal tertentu, misalnya Pasal 365 KUHP. 2. Hal-hal untuk memperbaiki kesalahan menyusun surat dakwaan, baik kesalahan menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang semestinya maupun kesalahan-kesalahan lain menyangkut syarat formil dan syarat materiil. 3. Hal-hal untuk tidak melanjutkan penuntutan. Batas waktu perubahan surat dakwaan dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai. Perubahan surat dakwaan hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali saja.
198
E. Membuktikan Tindak Pidana Korupsi E.1. Mencari dan Menemukan Kebenaran Membuktikan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah sama dengan pembuktian kejahatan pada umumnya yaitu mencari dan menemukan kebenaran yang sesungguhnya, mencari kebenaran materiil yaitu tidak hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan secara formil oleh penuntut umum maupun terdakwa tetapi dikejar sampai ditemukan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu dalam perkara pidana hakim wajib menggali dan mengerjakan buktibukti yang diajukan dalam rangka membuktikan bahwa apa yang didakwa-kan kepada terdakwa adalah benar telah terjadi dan sipelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan. Pembuktian dalam perkara pidana diawali dengan membuktikan fakta-fakta perbuatan terdakwa untuk selanjutnya diikuti dengan penerapan hukum pidana materiil yaitu pembuktian bahwa fakta-fakta perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Dengan demikian dapat dikatakan upaya pembuktian perkara pidana dilakukan melalui 2 tahap yaitu: 1. Mengungkapkan fakta-fakta perbuatan dengan cara menerapkan hukum acara pidana dalam hal ini hukum pembuktian. 2. Menganalisis fakta-fakta yang telah terbukti tersebut dengan cara menerapkan fakta-fakta ke dalam unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan berdasarkan teori hukum pidana (hukum pidana materiil). E.2. Analisis Pembuktian Fakta Perbuatan dengan Menerapkan Hukum Pembuktian Mengungkapkan kebenaran fakta perbuatan artinya menggali dan mengerjakan bukti-bukti yang ditentukan dalam rangka membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka adalah benar dan sungguh terjadi. Yang dimaksud dengan membuktikan dalam perkara pidana adalah memberi kepastian yang layak menurut akal mengenai apakah hal-hal tertentu itu benar dan sungguh-sungguh terjadi, dan mengapa pula sampai terjadi yang demikian itu 9. Hakim dalam mengadili perkara pidana harus dapat berfikir secara logis mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, menganalisa dengan cermat apakah ada hubungan klausal antara fakta yang terjadi dengan perbuatan terdakwa, sehingga dicapai kesimpulan
199
bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan, perbuat-an yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Aturan-aturan yang mengatur pembuktian tersebut, disebut sebagai hukum pembuktian. Alat bukti dan kekuatan bukti dalam perkara tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 26 dan 26 A Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang menentukan sebagai berikut: Pasal 26: Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Pasal 26 A : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: 1. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat atau yang serupa dengan itu, dan; 2. Dokumen yakni setiap rekaman, data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, foto, huruf, angka, tanda atau perforasi yang memiliki makna. E.3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Menurut KUHAP dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sistem hukum pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief weetelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut menunjukkan bahwa KUHAP menganut prinsip minimum pembuktian. Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 183 KUHAP dengan kalimat: dengan sekurang-kurangnya
200
dua alat bukti yang sah. Hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah: 1. Keterangan Saksi Yang dimaksud dengan alat bukti keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini. 2. Keterangan Ahli Yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seseorang yang memiliki kwalitas sebagai ahli adalah: - memiliki pengetahuan dan pengalaman khusus, mengenai sesuatu hal, atau - memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas tentang masalah tertentu. 3. Alat Bukti Surat Jenis alat bukti surat. Alat bukti surat yang memenuhi syarat sebagai alat bukti menurut Pasal 187 KUHAP: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, yang memuat: - keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri; - disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya. d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
201
dengan isi dari alat pembuktian lain. 4. Alat Bukti Petunjuk Pengertian Alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (pasal 188 ayat (1) KUHAP). Cara memperoleh alat bukti petunjuk Alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari: - Keterangan saksi - Surat - Keterangan terdakwa - (Pasal 188 ayat (2) KUHAP) Kekuatan pembuktian Sifat kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk adalah bebas, dalam arti hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan yang satu dengan yang lainnya ataupun persesuaiannya dengan tindak pidana itu sendiri. Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan hakim setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). 5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatannya ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Pencabutan pengakuan terdakwa Keterangan terdakwa yang berisi pengakuan dan telah dicatat dalam berita acara pemeriksaan penyidikan, bilamana kemudian dicabut kembali dalam pemeriksaan di persidangan tanpa alasan yang berdasar, dapat merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa. Putusan Mahkamah Agung Nomor 299k/KR/1959 tanggal 23 Februari 1960, suatu pengakuan tidak dapat ditiadakan oleh karena alasan tidak mengerti (putusan Mahkamah Agung Nomor: 8z5K/KR/1961 tanggal 27 September 1961). Merupakan kebijaksanaan dari judex factie, apakah pencabutan pengakuan yang dibuatnya di muka Polisi, diterima atau tidak oleh hakim (putusan Mahkamah Agung Nomor 6K/KR/1961 tanggal 20 Juni 1961).
202
6. Alat Bukti Elektronika Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan bersifat global tidak terlepas dari sumbangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi, sementara itu teknologi lebih dekat pada konsumsi karena menyangkut penerapan, pembuatan dan pemanfaatannya. Kemajuan teknologi selain menghasilkan dampak positif bagi kesejahteraan umat manusia, pada sisi lain juga mengandung dampak negatif dalam perilaku manusia yang memanfaatkan teknologi guna melakukan kejahatan. Kecanggihan teknologi telah menimbulkan problema tersendiri dalam hukum pembuktian, yaitu semakin sulit dan kompleks upaya menghimpun alat bukti yang konkrit. Kesulitan pembuktian ini terutama karena pihak yang berinteraksi tidak bertemu secara fisik. Sebagai akibat perkembangan kejahatan dengan modus operandi memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut, hukum pembuktian yang digunakan dalam sistem peradilan pidana Indonesia telah menerima catatan, rekaman data atau infomasi yang dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik. Awal mula diterimanya alat bukti elektronik dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah dicantumkannya alat bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan suatu terobosan dalam hukum acara pidana Indonesia, sekalipun fungsinya dalam hukum pembuktian sebatas alat bukti petunjuk, belum menjadi alat bukti yang berdiri sendiri yang sejajar dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Jenis alat bukti elektronik dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 A UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di dalam praktik adalah meliputi informasi dan dokumen yang diucapkan, dikirim atau disimpan secara elektronik melalui atau dengan menggunakan sarana-sarana: - Audiotape; - Pembuktian visual video; - Pembuktian visual photo digital; - facsimile dan telex; - e-mail; - dokumen elektronik dalam kepingan CD; - dokumen elektronik yang disimpan dalam notebook (laptop) dan
203
file server yang telah dihapus; dan SMS (short message service) pada telepon genggam (handphone).
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti elektronika, perlu dipedomani hal-hal sebagai berikut: (a) Menilai kekuatan alat bukti elektronika beserta sarana peralatan keras (hardware) adalah merupakan alat bukti sah. (b) Penilaiannya didasarkan pada tingkat kepercayaan (integritas) dan kebenaran bahwa alat bukti elektronika telah dipergunakan melakukan tindak pidana. (c) Tingkat kepercayaan atau kebenaran tersebut didasarkan pada bagaimana cara-cara memperoleh alat bukti elektronika tersebut. (d) Keterangan ahli memiliki peranan yang penting dalam pembuktian tindak pidana dengan menggunakan alat bukti elektronika. Praktek peradilan perkara pidana di Indonesia untuk pertama kalinya telah menerapkan alat bukti elektronika ini dalam perkara tindak pidana terorisme atas nama terdakwa Gun Gun Rusman Gunawan alias Abdul Hadi alias Abdul Karim alias Bukhori. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan Nomor: 1001/Pid.B/ 2004/PNJKT.PST tanggal 26 Oktober 2004 telah menerima alat bukti elektronika berupa dokumen hard copy e-mail Yahoo dan Hotmail sebagai alat bukti yang sah menurut hukum, karena komunikasi melalui e-mail antara Majid Khan dengan Amar Al Baluchi menggunakan Yahoo dan Hotmail sebagai Internet Service Provider (penyedia jasa internet) yang berkedudukan di Amerika Serikat, maka yang berwenang untuk mendapatkan alat bukti hard copy e-mail tersebut adalah Federal Bureau of Investigation (FBI) sebagai penyidik yang berwenang di Amerika Serikat. Dalam perkara tindak pidana korupsi penerapan alat bukti elektronika digunakan antara lain dalam perkara tindak pidana penyuapan atas nama terdakwa Artalyta Suryani alias Ayin yang diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Pid.B/TPK/2008/PN.Jkt.Pst yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 10/Pid/TPK/2008/PT.DKI dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Nomor: 147 K/Pid.Sus/2009. Sekalipun saksi menolak rekaman suara yang disadap dari percakapan melalui handphone (telepon genggam) akan tetapi rekaman suara tersebut diakui oleh terdakwa dan dikuatkan oleh keterangan ahli, telah memperkuat keyakinan hakim sebagai
204
alat bukti petunjuk telah terjadi penyuapan. Dari kedua putusan pengadilan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan alat bukti elektronika dalam praktik peradilan, tetap dibutuhkan kekuatan pembuktiannya melalui keterangan ahli. E.4. Aturan Khusus Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Instrumen hukum internasional tentang hak-hak asasi manusia sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 14 ayat (3) huruf (b) dan huruf (g) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melarang penggunaan sistem pembuktian terbalik, karena melanggar hak asasi manusia. Dalam perkembangan hukum pidana nasional, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur dalam Pasal 17 bahwa hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut sekilas memberi kesan bahwa UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut asas pembuktian terbalik, akan tetapi pemerintah dalam jawaban atas pemandangan umum babak II para anggota DPR menyatakan bahwa aturan itu tidak mengandung sepenuhnya asas pembalikan pembuktian, akan tetapi juga tidak mengikuti sepenuhnya aturan-aturan biasa mengenai pembuktian dengan mengadakan penyimpangan-penyimpangan yang masih diperkenankan oleh hukum. Ia tidak mengandung asas pembalikan pembuktian dalam bentuk asli dan murninya10. Oemar Seno Adji menegaskan bahwa secara sadar, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengikuti asas reversal of the burden of proof, seperti dimungkinkan oleh Prevention of Corruption Act tahun 1961 di Malaysia dan Prevention of Corruption Act dari Inggris tahun 1916. Kedua- duanya mengikuti asas Presumption of Corruption yang antara lain menyatakan bahwa apabila ternyata suatu gratification, uang atau pemberian itu diterima oleh seorang sahabat, maka uang tersebut dipandang (deemed) diterima corruptly, kecuali kebalikannya itu dapat dibuktikan (unless the contrary is proved)11.
10 Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,, hlm. 284-287. 11 Oemar Seno Adji, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penerapannya, dalam Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm. 229.
205
Dengan demikian jelas politik hukum pemberantasan korupsi yang dianut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 bukan menerapkan pembalikan beban pembuktian yang murni, tetapi menganut sistem pembalikan beban pembuktian berimbang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sistem pembuktian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi justru menganut 2 (dua) macam sistem pembalikan beban pembuktian yaitu sistem pembalikan beban pembuktian berimbang dan sistem pembalikan beban pembuktian murni. Sistem pembalikan beban pembuktian berimbang mengajarkan bahwa seorang tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana, namun penuntut umum tetap diberi kewenangan dan kewajiban untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. a. Sistem pembalikan beban pembuktian berimbang yang diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 37 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi menentukan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Walaupun terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Tentang hal ini agar diperhatikan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi: Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan dari Pasal 37 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa: Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non selfincrimination).
206
Ketentuan Pasal 37 ayat (1) ini adalah mengenai hak terdakwa, bukan kewajiban terdakwa. Jadi, tidak ada kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tetap menjadi kewajiban Penuntut Umum untuk membuktikan surat dakwaannya bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 37 A ayat (1) dinyatakan bahwa terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Selanjutnya Pasal 37 A ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian dalam Pasal 37 A ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal 37 A tersebut jelas menegaskan bahwa sekalipun terdakwa mempunyai kewajiban untuk menerangkan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda orang atau korporasi yang diduga berkaitan dengan perkara yang didakwakan, akan tetapi Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Karena itu pembuktian terbalik yang dianut adalah pembuktian terbalik seimbang. Sekiranya terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, tidak serta merta terdakwa dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktiannya masih harus didukung dengan alat bukti yang lain. b. Sistem pembalikan beban pembuktian murni mengajarkan bahwa seorang tersangka/terdakwa dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana,
207
sedangkan penuntut umum tidak perlu membuktikan kesalahan terdakwa. Beban pembuktian ia tidak bersalah sepenuhnya diserahkan kepada terdakwa. Sistem pembalikan beban pembuktian murni diterapkan (menurut Pasal 12 B ayat (1) huruf a) terhadap tindak pidana gratifikasi dan (menurut Pasal 38 B) terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12. (Perhatikan pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan bunyi Penjelasan Pasal 38 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Sistem pembalikan beban pembuktian murni dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan pada waktu penyidikan. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 38 A dan Pasal 38 B ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi: 1) Pasal 38 A: Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (I) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. 2) Pasal 38 B ayat (4): Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 3) Pasal 38 B ayat (5): Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Sesuai dengan bunyi Pasal 38 B ayat (1) bahwa terdakwa wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dan tindak pidana korupsi. Perbedaan Pasal 38 B dengan Pasal 37 A sebagai berikut: 1) Harta benda yang wajib diterangkan menurut Pasal 37 A adalah harta benda yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sudah disita oleh penyidik atau yang sudah dimasukkan dalam dakwaan. Sedangkan menurut Pasal 38 B, harta benda yang wajib dibuktikan oleh terdakwa sebagai bukan berasal dari tindak pidana korupsi adalah harta benda yang belum disita oleh penyidik atau belum dimasukkan dalam dakwaan. 2) Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
208
tersebut bukan karena tindak pidana korupsi, maka menurut Pasal 37 A hal tersebut tidak serta merta dan tidak dapat langsung memutus perampasan harta bendanya, akan tetapi masih harus didukung dengan alat bukti yang lain, sedangkan menurut Pasal 38 A, hakim dapat langsung memutuskan perampasan harta benda dimaksud. 3) Dalam Pasal 37 A Penuntut Umum tetap diberikan beban kewajiban membuktikan dakwaannya, sedangkan dalam Pasal 38 B, Penuntut Umum dapat langsung mengajukan tuntutan perampasan harta bendanya. Sistem pembalikan beban pembuktian murni dalam tindak pidana gratifikasi ditentukan dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 sebagai berikut: a. Apabila gratifikasi nilainya Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian sebagai bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b. Apabila gratifikasi nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum dari UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, terhadap tindak pidana gratifikasi diberlakukan pembuktian terbalik. Sedangkan dalam Pasal 12 C, diatur tentang syarat-syarat penuntutannya, yaitu: a. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. b. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. E.5. Analisis Pembuktian Unsur-unsur Tindak Pidana Tindakan penuntutan bertujuan untuk meyakinkan hakim bahwa perbuatan terdakwa sebagaimana yang diuraikan dalam surat dakwaan adalah terbukti dan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
209
sebagaimana disebut dalam dakwaan. Untuk menentukan apakah perbuatan yang terbukti tersebut merupakan tindak pidana, diperlukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam hukum pidana materiil, yaitu apakah perbuatan-perbuatan yang dinyatakan telah terbukti itu juga sesuai dan memenuhi unsur-unsur dari rumusan tindak pidana yang didakwakan. Oleh karena itu penting bagi seorang penuntut umum memahami rumusan tindak pidana serta unsur-unsur rumusan tindak pidana. E.5.1. Pemahaman Tentang Unsur-unsur Tindak Pidana Dalam ilmu hukum pidana adalah penting untuk memahami rumusan tindak pidana yang disebut dalam suatu undang-undang, karena dengan demikian akan diketahui hal-hal apa yang dapat dipandang sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam penerapan selanjutnya masih perlu didalami lagi melalui berbagai penafsiran hukum tentang pengertian dan makna yang terkandung dalam setiap unsur rumusan pasal perundang-undangan. Pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah: 1. Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsurunsur tindak pidana yang didakwakan. 2. Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana. 3. Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah. E.5.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur ketentuan tindak pidana dalam 17 pasal yang dikelompokkan sebagai berikut: 1. Perumusan tindak pidana yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang bersumber dari undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Perumusan tindak pidana yang bersumber dari pasal Kitab Undang-
210
Undang Hukum Pidana yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi, dibagi: a. Kelompok tindak pidana penyuapan. b. Kelompok tindak pidana penggelapan. c. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan permintaan jaksa atau pemerasan jabatan. d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. 3. Perumusan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sekedar gambaran dalam memahami unsur-unsur tindak pidana korupsi, berikut ini dikemukakan salah satu pasal di antara tujuh belas pasal tindak pidana korupsi tersebut, yaitu pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang memuat unsur-unsur: 1. Secara melawan hukum. 2. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian unsur melawan hukum, semula ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor: 003/PUU-IV/2006 tertanggal 24 Juli 2006. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk ) yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal dengan istilah Bestimunheitsgebot. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka dapat disimpulkan unsur melawan hukum dari pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
211
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan sebagai sifat melawan hukum formil. Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ternyata sering praktik peradilan, baik putusan hakim maupun surat tuntutan pidana (requistoir) penuntut umum, telah menerapkan pengertian melawan hukum formil secara keliru. Pengertian melawan hukum pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ditafsirkan sebagai melawan hukum formil menurut hukum pidana12, tetapi sering dikacaukan dengan pengertian melawan hukum formil menurut hukum administrasi. Hal ini terlihat dari beberapa surat tuntutan pidana maupun putusan hakim yang membuktikan unsur melawan hukum pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas dasar pembuktian bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar suatu peraturan misalnya Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden atau Keputusan Menteri padahal peraturan yang dilanggar tersebut tidak memuat sanksi pidana atau dengan kata lain bukan merupakan tindak pidana. Jelasnya, telah terjadi kriminalisasi terhadap pelanggaran administrasi. Dalam hal yang demikian maka sesungguhnya praktik peradilan mengulang kembali kesalahan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menafsirkan unsur melawan hukum yang berakibat dibebaskannya perkara terdakwa R.S Natalegawa, yang putusannya kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983. Pada sisi lain masih dijumpai pula putusan pengadilan yang menerapkan ajaran melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rujukan yang dipergunakan adalah yurisprudensi, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 dalam kasus terdakwa R.S Natalegawa tersebut di atas. Mahkamah Agung dalam putusan tersebut menganut ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif sebagaimana dikemukakan dalam
12
Yang dimaksud dengan melawan hukum formil dalam hukum pidana adalah apabila perbuatan terdakwa telah mencocoki larangan undang-undang. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1993 hlm. 130).
212
pertimbangan yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap sebutan melawan hukum tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy yang menurut pengadilan negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia diakui sebagai salah satu sumber hukum. Di samping itu, hakim memang berwenang untuk menafsirkan undang-undang yang tidak jelas sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Secara teoritis, Moeljatno berpendapat bahwa ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif tidak mungkin diterapkan dalam hukum pidana berhubung dengan adanya asas legalitas yang dianut Pasal 1 ayat (1) KUHP13. Pengertian unsur melawan hukum dalam sejarah perundangundangan pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya selalu dicantumkan sebagai unsur tindak pidana. Kekacauan penafsiran unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi seperti yang terjadi sekarang, lebih tepat diluruskan kembali melalui yurisprudensi putusan Mahkamah Agung dengan memperhatikan sejarah perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pengertian unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi menurut sejarah pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971) telah dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adji, SH bahwa memperkaya diri itu pengertiannya dihubungkan dengan penambahan harta benda yang tidak seimbang dengan penghasilannya14. Pengertian secara harfiah memperkaya berarti menjadikan bertambah kekayaan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 mengatakan bahwa perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberi keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan
Moeljatno, Ibid., hlm. 133. Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, op.cit., hlm. 291.
13 14
213
yang tak seimbang dengan penghasilan atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dengan menerapkan penafsiran sejarah hukum, penjelasan tersebut di atas dapat dijadikan pedoman dalam menafsirkan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Pengertian keuangan negara diuraikan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asa kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Cara-cara pemahaman atas pengertian atau penafsiran unsurunsur tindak pidana korupsi seperti tersebut di atas akan sangat menentukan keberhasilan penuntutan perkara tindak pidana korupsi secara proposional dan profesional. Argumentasi yang berlandaskan teoritis akan membangun kepercayaan publik bahwa penegakan hukum bukan lagi tebang pilih atau salah pilih. F. Strategi Penuntutan Pemidanaan Tindak pidana korupsi disadari bukan semata-mata merupakan kejahatan yang berdiri sendiri tetapi terkait erat dengan bentuk- bentuk lain kejahatan seperti kejahatan terorganisir, kejahatan ekonomi maupun pencucian uang. Sebagaimana dikemukakan dalam Preamble United Nations Convention Against Corruption, 2003, kejahatan korupsi yang memiliki fenomena transnasional juga melibatkan aset-aset yang
214
demikian besar, yang dapat menghabiskan sebagian besar sumber-sumber daya negara serta mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan, maka pencegahan dan pemberantasannya memerlukan pendekatan komprehensif dan multidisipliner. Oleh karena itu, strategi penuntutan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional mengejar pelaku, tetapi perlu mengubah paradigma dengan lebih mengedepankan pengejaran harta kekayaan hasil korupsi. Pemenjaraan pelaku tetap diperlukan, tetapi memburu harta kekayaan, memiskinkan terdakwa lebih memiliki sifat preventif. Perburuan harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dimulai sejak penyidikan dengan melakukan penyitaan harta benda yang terkait langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana korupsi serta memperluas upaya penjatuhan pidana tambahan uang pengganti. Kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan dan pengembalian aset sebagaimana yang dirumuskan dalam United Nations Convention Against Corruption perlu direalisasikan dengan negara-negara terkait, sekalipun hal itu tidak mudah dilakukan berhubung kepentingan nasional masingmasing negara. Pelaksanaan putusan pidana tambahan uang pengganti bukan diutamakan pada pelaksanaan pidana penjara sebagai pengganti pidana tambahan uang pengganti, tetapi lebih diarahkan pada wewenang menyita, melelang harta benda milik terpidana untuk pembayaran uang pengganti. Pemidanaan penjara bagi terdakwa diharapkan memiliki dampak preventif bagi pelaku lainnya. Untuk mengurangi disparitas pemidanaan dirasa sudah mendesak disusun pedoman atau standar tuntutan pemidanaan. Hal ini penting untuk menggantikan Rentut (rencana tuntutan) di lingkungan Kejaksaan yang selama ini dirasa menghambat proses peradilan. Penghapusan lembaga rentut yang digantikan dengan standar tuntutan pemidanaan akan mendorong penuntut umum lebih mandiri dan bertanggung jawab. G. Penutup Penuntutan perkara tindak korupsi yang proposional dan profesional menuntut kebijakan-kebijakan tentang: a. Peningkatan profesionalisme jaksa melalui pendalaman ilmu pengetahuan hukum pidana, terutama penerapan hukum pembuktian dalam pengungkapan fakta-fakta perbuatan, dan
215
penerapan hukum pidana materiil, pemahaman penafsiran/ pengertian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. b. Strategi penuntutan perampasan harta kekayaan terdakwa serta penyusunan standar tuntutan pemidanaan untuk menggantikan lembaga rentut (rencana tuntutan).
DAFTAR PUSTAKA A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, PN. Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1972. Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan UndangUndang Nomor 3 tahun 1971,. Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Oemar Seno Adji, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiPenerapannya, dalam Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985. Piotr Stzompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change), Prenada Media, Jakarta, 2004. Ramelan, Penerapan Konsep dan Pengertian Turut Serta (Medeplegen) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2002. Ramelan, Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006.
216
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF CRIMINAL POLICY (CORRUPTION REDUCTION IN CRIMINAL POLICY PERSPECTIVE) Mahmud Mulyadi* (Naskah diterima 27/05/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penanggulangan tindak pidana korupsi ini membutuhkan suatu kebijakan penanggulangan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini harus memadukan pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana. Kebijakan non-penal (pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana) dimaksudkan untuk mendorong dan menciptakan prakondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang kondusif. Implementasi kebijakan penal (penerapan hukum pidana) terus berjalan melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Secara keseluruhan, pendekatan integratif ini tetap terpadu di bawah payung visi criminal policy. Kata kunci: kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi
Abstract
Corruption is the extra ordinary crime. The criminal policy of the corruption is need the comprehensive policy. This policy can develop with combine penal policy and non penal policy. The non penal policy approach (crime prevention without punishment) is intended to encourage and create a condusive pre-condition of life of Indonesian people. The implementation of penal policy (criminal law application) is still going on through the mechanism of criminal justice system. In general, this integrative approach remain integrated under vision of criminal policy. Keyword: criminal policy of corruption
A. Pendahuluan Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian undang-undang tersebut diubah melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan tanggal 21 November 2001 (selanjutnya ditulis UU PTPK), pemberantasan tindak pidana korupsi belum juga mencapai titik keberhasilan yang diharapkan di Indonesia. Korupsi bukanlah masalah yang baru karena sejak dari dahulu korupsi telah mewarnai berbagai kehidupan masyarakat Indonesia.
* Staf pengajar Fakultas Hukum USU, Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Program Doktor Ilmu Hukum USU.
217
Secara sinis sebuah jurnal asing menyatakan bahwa corruption is way of life in Indonesia. Komentar ini sangat pedas dan menyakitkan, walaupun jauh hari sebelumnya Bung Hatta di tahun 60-an pernah mengemukakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Pernyataan Bung Hatta ini mungkin telah menjadi suatu kenyataan yang sulit dibantah sekarang ini karena skala korupsi yang terjadi pada beberapa tahun terakhir semakin menggila.1 Tindak pidana korupsi tidak pernah habis bahkan tumbuh subur, semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian keuangan negara, maupun kualitasnya. Modus operandinya semakin terpola dan tersistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, sehingga korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan transnasional.2 Banyak negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, masalah korupsi sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius. 3 Beberapa negara menginginkan agar perampasan aset hasil korupsi diperlakukan sebagai hak yang tidak bisa dihapus atau dicabut.4 Aset hasil korupsi merupakan hak negara yang harus dikembalikan kepada negara dan negara lah yang berhak untuk mengelola aset atau kekayaan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indonesia dalam menangani kasus-kasus korupsi selama ini cenderung mengutamakan cara melalui jalur pidana yang lebih berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara, namun kenyataannya, jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam, mencegah, memberantas, dan mengurangi jumlah tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkan
1 Sudirman Said dan Nizar Suhendra (2002). Korupsi dan Masyarakat Indonesia dalam Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I Dari Puncak sampai Dasar. Hamid Basyaib et.al (Ed). Jakarta: Yayasan Aksara, hlm. 97-98. Meskipun banyak ditentang oleh ahli kebudayaan, fakta-fakta menunjukan bahwa perilaku korup telah menjadi keseharian kita. Perbuatan yang diulang-ulang dan menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita, tentu pantas menjadi bagian dari kebudayaan. 2 Marwan Effendy (2007), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, hlm. 1. 3 Purwaning M. Yanuar (2007), Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, hlm. 10. 4 Ibid., hlm. 10-11. Istilah yang tidak dapat dihapus dan dicabut diacu kepada konsep hak-hak yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pemilik hak tersebut. Dimana hak ini melekat pada diri manusia tanpa perlu adanya pengakuan. Beberapa Filsuf menyatakan bahwa siapa pun yang menyangkal hak-hak ini adalah salah. Teori hukum alam dari John Locke didasarkan pada gagasan bahwa setiap individu memiliki hak dasar tertentu yang tidak dapat dihapus atau dicabut sepanjang menyangkut kehidupan, kemerdekaan, dan kekayaan.
218
suatu kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi (criminal policy) yang mengintegrasikan pendekatan hukum pidana (penal policy) dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana (non-penal policy). B. Criminal Policy sebagai Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi dapat mendatangkan kerugian bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat berupa kebijakan di bidang politik, ekonomi, hukum, perpajakan, pertahanan keamanan, pengelolaan sumber daya alam, perumahan yang layak, kesehatan lingkungan kehidupan dan lain sebagainya, yang berpengaruh pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.5 Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum ( law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif ( legislative policy ). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan penegakan hukum harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (legal system). Menurut Friedman sistem hukum memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata hukum sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan, sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya.6 Oleh karena itu, bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure),7 substansi hukum (legal substance),8
Diana M. DiNitto (2000). Social Welfare, Politics and Public Policy. Boston: Allyn & Bacon, hlm. 2. Lawrence M. Friedman (1984). American Law an Introduction. (Selanjutnya disebut buku I). New York: W.W. Norton & Company, hlm. 4. 7 Lawrence Friedman (1975). The Legal System; A Social Science Perspective. (Selanjutnya di sebut buku II). New York: Russel Sage Foundation, hlm. 14. The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the process flawing within bound. 8 Lawrence M. Friedman (Buku I), op.cit., hlm. 6. Substansi hukum (legal substance) adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang-rang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat (the living law).
5 6
219
dan budaya hukum (legal culture).9 Ketiga unsur sistem hukum tersebut mempunyai hubungan dan peranan yang tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakkan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut, sedangkan budaya hukum adalah siapa yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi penggunaan mesin tersebut.10 Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu. Kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum sehingga masyarakat mau partisipasi aktif dalam penanggulangan kejahatan. Kerterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjunya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.11 Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).12 Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application) , pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media).13
Ibid., hlm. 7. Unsur yang terakhir, yaitu budaya hukum (legal culture) adalah; peoples attitudes toward law and the legal system-their beliefs, values, ideas and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system. 10 Ibid. 11 G. Pieter Hoefnagels (1972). The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. Holland: Kluwer Deventer, hlm. 57. 12 Ibid., hlm. 99-100 13 Ibid., hlm. 56.
9
220
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal yang biasa disebut dengan criminal law application. Kedua, kebijakan non-penal yang terdiri dari prevention without punishment dan influencing views of society on crime and punishment (mass media). Pendekatan integral antara kebijakan penal dan kebijakan nonpenal dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini.14 Pertama, dari sisi hakikat terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah yang berdimensi sosial dan kemanusian disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan tersebut jika tidak dibantu oleh disiplin lain. Untuk itulah, hukum pidana harus terpadu dengan pendekatan sosial. Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat dilihat dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana pada hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata (Kurieren am symtom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini, hukum pidana berfungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam di tengah kehidupan masyarakat. Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk memberantas sumber penyakit (kejahatan), tetapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari penyakit tersebut. Dengan kata lain, sanksi hukum pidana bukanlah suatu pengobatan yang kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan yang simptomatik.15 Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku itu sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang
14 Barda Nawawi Arief (1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. (Selanjutnya disebut buku I). Bandung:Citra Aditya Bakti, hlm. 44 - 45. 15 Ibid., (Buku I) hlm. 44 - 45. Pengobatan simptomatik melalui sanksi pidana ini mengandung banyak kelemahan sehingga masih dipersoalkan keefektifannya. Di samping itu juga, pengobatan melalui sanksi pidana itu sendiri mengandung juga sifat-sifat yang kontradiktif (paradoksal) dan unsur-unsur negatif yang dapat membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek-efek sampingan yang negatif.
221
mengalami kegagalan sehingga terkadang pelaku justru menjadi resedivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu, masalah tersebut butuh pendekatan sosial di samping penerapan sanksi pidana. Keterbatasan pendekatan penal dalam upaya penanggulangan kejahatan seperti dikemukakan di atas, harus diikuti dengan pendekatan non-penal , yang dapat berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.16 C. Pendekatan Integral antara Kebijakan Penal dan Kebijakan Non Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada hakikatnya kebijakan penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat
16 Ibid., (Buku I) hlm. 33. Baca juga Barda Nawawi Arief (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Selanjutnya disebut buku II). Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 4. Senada dengan persoalan di atas, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan harus dilakukan secara integral melalui kebijakan, dalam arti: 1. Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sosial (kebijakan pembangunan nasional); 2. Harus ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal dan non-penal.
222
akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kejahatan dengan pembangunan, namun semua ini tergantung pada proses pembangunan di suatu negara. Oleh karena itu, perencanaan perlindungan sosial harus terintegrasi dalam perencanaan pembangunan nasional. Lebih rinci dinyatakan: The view that social defence planning should be an integral and essential part of planning for national development was accepted without question. Planning should provider for the total well-being of the community17 Dalam kesimpulan pembahasan pada Kongres PBB Ke-4 ini, yang menyangkut Social Defence Policies in Relation to Development planning, ditegaskan: Social defence planning should be an integral part of national planning. No country can efford to exclude the social defence element in its over-all social and economic planning and its allocation of adequate resources to that end. The prevention of crime and the treatment of offenders effectively undertaken unless it is closely and intimately related to social and economic trends. Social and economic planning would be unrealistic if it did not seek to neutralize criminogenic potential by the appropriate investment in development programmes.18 Sedangkan Kongres Ke-5 PBB Tahun 1975 di Geneva, menekankan pentingnya pemikiran kembali dalam jangka panjang tentang kebijakan penanggulangan kejahatan secara komprehensif dalam semangat yang rasional, demokratis dan terencana (it was necessary, in long term, to rethinking the whole of criminal policy in a spirit of rationalization, planning and democratization).19 Selanjutnya dinyatakan dalam Kongres Ke-5 PBB ini; Criminal policy was an aspect of social policy and its planning therefore had to be integrated into that of general progress of community crime cprevention policy was one aspect of general social policy and hence should be integrated into a countrys development planning as a whole.20 Akhirnya Kongres PBB ke-5 ini menyimpulkan bahwa berbagai aspek dari kebijakan penanggulangan kejahatan harus dikoordinasikan dan secara keseluruhan harus terintegrasi dalam kebijakan sosial pada setiap negara (The many aspects of criminal policy should be coordinated
17 Fourth United Nations Congress (1971). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN, hlm. 9. 18 Ibid., hlm. 13. 19 Fifth United Nations Congress (1976). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN, hlm. 20. 20 Ibid., hlm. 21.
223
and the whole should be integrated into general social policy of each country).21 Pentingnya keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan rencana pembangunan, ditegaskan kembali pada Kongres PBB Ke-6 Tahun 1980 di Caracas. Kongres ini menghasilkan Deklarasi Caracas yang menekankan keterkaitan secara integral antara Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dan kebijakan penanggulangan kejahatan, yang harus terpadu dengan kebijakan pembangunan ekonomi, politik dan sosial budaya. Berkaitan dengan kebijakan penanggulangan kejahatan ini, maka Deklarasi Caracas menyatakan lebih rinci, sebagai berikut:22 Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order; It is matter of great importance and priority that programs for crime prevention and treatment of offenders should be based on the social cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and respect for human right, that member states should develop an effective capacity for the formulation and planning of criminal policy, and that all crime prevention policies should be co-coordinated with strategies for social, economic, politic and cultural development; Criminal policy and the administration of justice should be based on principles that will quarantee the equality of everyone before the law without any discrimination; Continuous effort should be made to seek new approaches and to develop better tehniques for crime prevention and the treatment of offenders, and to that end, criminal law should be developed in such a way as to play an effective and important role in creating stable social conditions free from oppression and manipulation. Kongres PBB Ke-7 Tahun 1985 di Milan tentang Guiding Principles for Crime Preven tion and Criminal Justice in the Context of Development and a New Internatio nal Economic Order, juga menyatakan harus adanya keterpaduan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan kebijakan di bidang ekonomi, politik dan budaya sebagai bagian dari kebijakan sosial. Secara rinci, hal ini dinyatakan sebagai berikut: Crime prevention and criminal justice should not be treated as isolated problem to be tackled by simplistic, fragmentary method, but rather as
21 22
Ibid., hlm. 25 Sixth United Nations Congress (1981). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN, hlm. 25.
224
complex and wideranging activities requiring systematic strategies and differentiated in relation to: (a) The socio-economic, political and cultural contect and circumstances of the society in which they are applied; (b) The development stage, which special emphasis on the changes taking place and likely to occur and related requirements; (c) The respective tradition and customs, making maximum and effective use of human indigeneus options.23 Keseluruhan kesepakatan dan himbauan Kongres-Kongres PBB di atas mengenai keterpaduan kebijakan penanggulanagn kejahatan dengan kebijakan sosial dan rencana pembangunan, ditegaskan kembali dalam Kongres PBB Ke-8 Tahun 1990 di Havana. Di dalam Kongres ini dinyatakan: Convinced that crime prevention and criminal justice in the context of development should be oriented towards the observance of the principles contained in the Caracas Declaration, The Milan Plan of Action, The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order and other relevan resolutions and recommendations of Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.24 Pendekatan integral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, juga ditegaskan dalam The International Seminar Course yang diselenggarakan oleh UNAFEI. W. Clifford menyatakan dalam Seminar Internasional ke-32 UNAFEI Tahun 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice, sebagai berikut:25 On the one hand there is the need for a wider view of criminal policy as an integral part of general political and social policy of a given country. It is a reflection of local mores and customs and a by product of development. From this wider view point, criminal policy cannot be something a part from the more general social situation but must be developed from it and throught it. Selanjutnya Karl O. Christiansen, dalam Seminar International UNAFEI Tahun 1974, menyatakan sebagai berikut: Criminal policy must
Seventh United Nations Congress (1986). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN, hlm. 9. Eigth United Nations Congress (1991). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN, hlm. 9. 25 W. Clifford (1973). Reform in Criminal Justice in Asia and the Far East . Tokyo: UNAFEI, Resource Material Series Nomor 6, hlm. 7.
23 24
225
combine the various preventive and adjust them so as to from a single comprehensif machine and finally coordinate the whole into an organized system of state activity.26 Dalam Report on Investigation and Crime Prevention, UNAFEI , ditegaskan bahwa pendekatan integral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan karena kejahatan mempunyai dimensi sosial dan dimensi kemanusian. Hal ini dinyatakan sebagai berikut; It is generally accepted that crime is a function of myriad of human and social conditions, that causation of crime is multi-factoral as it is multy-faceted and that prevention strategies are likewise multi- dimensional27 Seminar UNAFEI ini juga perlu menekankan kembali hasil-hasil yang telah dicapai dalam Deklarasi Caracas, tahun 1980 pada Kongres PBB Ke-7, yaitu mengenai pendekatan integral kebijakan penanggulangan kejahatan dengan kebijakan pembangunan nasional. Akhirnya, dalam kesimpulan Seminar UNAFEI ini dinyatakan bahwa efektifitas dan efisensi investigasi dan upaya penanggulangan kejahatan harus dicapai melalui dukungan keseluruhan masyarakat. Lebih jelas dinyatakan; It must always be remembered that efficient and effective investigation and crime prevention strategies depend, in a great measure, an the support and cooperation the community offers.28 Berdasarkan uraian-uraian di atas, keberhasilan penanggulangan kejahatan harus disyaratkan pada integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat kita bagi menjadi pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititiktekankan pada berbagai kebijakan sosial. C.1. Kebijakan Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris policy atau bahasa Belanda politiek . Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata politik, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah
Karl O. Christiansen (1974). Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy. Tokyo: UNAFEI, Resource Material Series Nomor 7, hlm. 74. 27 UNAFEI, Tokyo: Resource Material Series Nomor 22, hlm. 77. 28 Ibid., hlm. 81.
26
226
satu bagian dari ilmu hukum sehingga sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum. Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicitacitakan. 29 Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.30 A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan: (a) seberapa jauh ketentuanketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.31 Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan oleh A. Mulder di atas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melaui komponen sistem
Lihat Soedarto (1981). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, hlm. 159. Lihat juga Sudarto (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, hlm. 20. Lihat juga Solly Lubis (1989). Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung Mandar Maju, hlm. 49. Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 30 Sudarto, op.cit., hlm. 161. 31 Barda Nawawi Arief (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 28.
29
227
peradilan pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi. Substansi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK dapat dikelompokan dalam tindak pidana: 1. tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi (Pasal 2); 2. tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan (Pasal 3); 3. tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5); 4. tindak pidana korupsi suap pada hakim dan advokat (Pasal 6); 5. korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7); 6. korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8); 7. tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftardaftar (Pasal 9); 8. tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar (Pasal 10); 9. korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11); 10. korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan (Pasal 12); 11. tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima Gratifikasi (Pasal 12B); 12. korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13). Pengaturan tindak pidana korupsi dalam UU PTPK di atas sudah cukup memadai untuk menjerat pelaku-pelaku korupsi. Namun masih perlu dievaluasi dengan memperhatikan perkembangan internasional tentang pengaturan tindak pidana korupsi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2003 membentuk sebuah konvensi yang dinamakan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi
228
2003 United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Pada tanggal 18 April 2006 UNCAC 2003 ini diratifikasi oleh pemerintah.32 UNCAC sangat berarti bagi Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi, yaitu untuk:33 a. meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik; c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum; d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini. Keprihatinan PBB terhadap masalah korupsi tersebut karena korupsi merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilainilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi negara-negara yang menghadapi fenomena korupsi.34 Bahkan fenomena korupsi saat ini disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian uang atau money laundering.35 Materi UNCAC 2003 tercermin suatu perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain:36 1. masalah korupsi memiliki multi aspek, yakni: aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, dan keamanan; dan
32 Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia yang secara politis menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi lewat kerjasama internasional, diharap mampu memberikan dorongan terutama bagi negara-negara lain yang kurang kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, di samping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi secara global. 33 Penjelasan Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003. 34 Purwaning M. Yanuar, op.cit., hlm. 1. 35 Ibid., hlm. 47. 36 I. Gusti Ketut Ariawan, loc.cit.
229
2. sistem pembuktian secara konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan solusi alternatif yang potensial. Hal yang paling mendasar dalam UNCAC 2003 adalah kerja sama internasional di bidang perampasan aset (asset recovery).37 Disusul dengan diluncurkannya Stolen Asset Recovery (StAR) pada bulan Juni 2007 yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi. StAR merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan PBB khususnya United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC) bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan korupsi di negara-negara sedang berkembang.38 C.2. Kebijakan Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah atau kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.39 Pernyataan di atas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain:40
Chapter V Artikel 51 dan 57 UNCAC 2003. http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKR0, diakses tanggal 7 Februari 2011. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negara-negara berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama. 39 Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 33. 40 Sixth United Nations Congress, op.cit., hlm. 5.
37 38
230
1. masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people); 2. strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime); 3. penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara sebagain besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population). Berdasarkan Pertimbangan di atas, maka di dalam Resolusi Kongres ke-6 PBB ini, diimbau kepada semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk ketimpangan sosial. Di dalam Dokumen A/CONF.121/L/9 mengenai Crime Prevention in the Context Of Development Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia ditegaskan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan suatu kejahatan. Akhirnya di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, dimana kejahatan sering merupakan suatu gejala semata (symptom).41 Kongres PBB ke-8 tahun 1990 yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan
41
231
kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek sosial dalam kontek pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF.144/L.3, yaitu sebagai berikut:42 1. kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial; 3. mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; 7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 8. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ideide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran. Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan jika hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
42
232
Pendekatan non-penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat ( community planning mental health ), kesehatan mental masyarakat secara nasional ( national mental health ) , kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum sipil dan hukum administrasi (administrative and civil law).43 Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau tindakan yang tidak bermoral, tidak etis, dan/atau melanggar hukum untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan yang merugikan keuangan negara,44 maka untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, di samping mengoptimalkan hukum pidana,45 juga harus menggunakan sarana hukum perdata. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen civil forfeiture yang merupakan amanah dari UNCAC 2003. Civil forfeiture menjadi suatu alternatif yang sangat baik apabila jalur pidana tidak berhasil. Bahkan dalam praktiknya, ditemukan bahwa prosedur civil forfeiture dinilai lebih efektif dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri, meskipun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan seperti lambat dan biaya tinggi.46 Menurut Anthony Kennedey, implementasi civil forfeiture yang dilakukan di tiap-tiap negara berbeda-beda. Civil forfeiture pada awalnya diterapkan dalam skala domestik, yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau merampas atau mengambil alih aset-aset hasil kejahatan yang berada di dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan civil forfeiture secara domestik dengan mengaplikasikannya secara ekstra teritorialitas.47
43 G. Peter Hoefnagels, op.cit., hlm. 56 dan 67. Dalam konteks ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi, dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program-program untuk mengatasi tekanan (stress) dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. 44 Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya , (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 5. 45 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 135. Lihat juga: IGM Nurdjana., Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 12. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana. 46 Ibid., hlm. 7. 47 Anthony Kennedy, An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom, Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007, hlm. 144.
233
Model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian. Model ini merupakan model yang memfokuskan pada gugatan terhadap asset, bukan mengejar pelaku (tersangka). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana sehingga aset negara dapat diselamatkan meskipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Pada prinsipnya civil forfeture adalah hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat. Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju bisa dijadikan wacana bagi Indonesia karena civil forfeiture dapat memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu, seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan civil forfeiture karena objeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga koruptor yang sakit, hilang, atau meninggal bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.48 Instrumen civil forfeiture menggunakan guagatan in rem yakni suatu gugatan yang substansinya merupakan perampasan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi secara perdata dengan pemulihan kembali harta kekayaan negara yang telah dikorupsi. Berbeda dengan perampasan harta kekayaan secara pidana adalah bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana. Jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem terhadap harta kekayaan yang terkait dengan tidak pidana. Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem) sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Jadi, instrumen civil forfeiture cukup menjanjikan dalam merampas aset korupsi karena dapat melakukan penyitaan aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset hasil korupsi secara perdata.49
48 49
Ibid., hlm. 26. Oloan Harahap, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009), hlm. 2.
234
Upaya non-penal lainnya adalah melalui pendidikan keagaaman terhadap masyarakat. Pendidikan keagamaan merupakan upaya yang masif untuk mereduksi terjadi tindak pidana korupsi. Dalam konteks ini adalah bagaimana menciptakan komunitas masyarakat yang religius sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat untuk tidak melakukan korupsi. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggotanya dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan komunitas-komunitas keagamaan ini mendorong para anggota perkumpulannya yang tersebar di seluruh belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.50 Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat mengubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di (kediaman) masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerja sama secara sungguh-sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua dimensi, pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang-orang dan elompok dalam masyarakat. Kedua, melalui dimensi vertikal dari relasi sosial yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society.51 Terkait dengan pencegahan tindak pidana korupsi, maka programprogram dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 52 1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerja sama dalam penanggulangan kejahatan. Kerja sama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah local atau tempat-tempat ibadah. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik, dan perekonomian lingkungan tempat tinggal.
2.
Ibid., hlm. 201. Tim Hope (1998). Community Crime Prevention dalam Reducing Offending: An Assessment of Research Evidence on Ways of Dealing with Offending Behaviour dalam Peter Goldblatt dan Chris Lewis (Ed.). London: Home Office, hlm. 51dan 54. 52 Ibid., hlm. 56.
50 51
235
3.
Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan serta pelayanan sosial. Penutup
D.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) korupsi harus dilakukan secara integratif. Pendekatan yang integratif ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non-penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan korupsi tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan tersebut dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. Kebijakan penal dilakukan dengan mengevaluasi substansi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk menggali konsep-konsep yang bisa dijadikan bahan masukan untuk pembaharuan UU PTPK di masa depan, termasuk perampasan harta kekayaan kejahatan hasil tindak pidana korupsi dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara. Selain itu yang sangat penting dalam kebijakan penal terhadap tindak pidana korupsi ini adalah membangun visi bersama di antara komponen Criminal Justice System (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim, dan lembaga pemasyaratan). Visi bersama ini diarahkan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dengan melahirkan kerja sama koordinatif dan saling pengertian. Pendekatan kebijakan non-penal dilakukan dengan membangun komunitas-komunitas masyarakat yang sadar hukum dan mau membantu aparat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Kerja sama ini bisa diawali dengan melakukan mapping terhadap faktor yang dapat menumbuhsuburkan korupsi, serta menemukan upaya untuk mereduksi faktor ini sampai ke akar-akarnya.
236
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. , (1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. (Selanjutnya disebut buku I). Bandung: Citra Aditya Bakti. Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995). Clifford, W. (1973). Reform in Criminal Justice in Asia and the Far East. Tokyo: UNAFEI, Resource Material Series No.6. Christiansen, Karl O. (1974). Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy. Tokyo: UNAFEI, Resource Material Series No. 7. DiNitto, Diana M. (2000). Social Welfare, Politics and Public Policy. Boston: Allyn & Bacon. Effendy, Marwan (2007), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya. Friedman, Lawrence M. (1984). American Law an Introduction. (Selanjutnya disebut buku I). New York: W.W. Norton & Company. , (1975). The Legal System; A Social Science Perspective. (Selanjutnya di sebut buku II). New York: Russel Sage Foundation. Eigth United Nations Congress (1991). on on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN. Fourth United Nations Congress (1971) on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN. Fifth United Nations Congress (1976). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs. Hoefnagels, G. Pieter (1972). The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. Holland: Kluwer Deventer. Harahap, Oloan, Analisis Guigatan Bersifat In Rem Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi pada Sistem Common Law, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009).
237
Kennedy, Anthony, An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom, Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007. Lubis, Solly (1989). Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung Mandar Maju. Said, Sudirman, dan Nizar Suhendra (2002). Korupsi dan Masyarakat Indonesia dalam Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I Dari Puncak sampai Dasar. Hamid Basyaib et.al (Ed). Jakarta: Yayasan Aksara. Sixth United Nations Congress (1981). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN. Seventh United Nations Congress (1986). on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and Social Affairs, UN. Soedarto (1981). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. , (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. Soewartojo, Juniadi, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). Yanuar, Purwaning M. (2007), Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung : Alumni. UNAFEI, Tokyo: Resource Material Series No. 22. Tim Hope (1998). Community Crime Prevention dalam Reducing Offending: An Assessment of Research Evidence on Ways of Dealing with Offending Behaviour dalamPeter Goldblatt dan Chris Lewis (Ed.). London: Home Office.
238
PENGEMBALIAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (RETURN BURDEN OF PROOF IN CORRUPTION ERADICATION EFFORTS) Eka Martiana Wulansari* (Naskah diterima 25/05/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi teorinya yaitu dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003. Penggunaan mekanisme pengembalian beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud. Untuk itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya. Kata kunci: peranan pengembalian beban pembuktian dalam meminimalisasi korupsi di Indonesia
Abstract
The legal policy of legislation against corruption offenses Law No. 31 of 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 on Eradication of Corruption in directed against the offense and against the perpetrators of the alleged property derived from corruption. The simultancover use of penal law and civil lines on the ownership of wealth by the perpetrators of corruption through the mechanism of reversal of burden of proof in essence diperkenaankn and has no justification for his theory that is in Article 31 paragraph (8) and Article (35) letter b of the Convention against Corruption UNCAC 2003. Use the return mechanism burden of proof in cases of property ownership a person who allegedly came from the criminal acts of corruption or money laundering intended to put someone in its original state before the party concerned has meant wealth, for it is concerned must be able to prove the origin of that property obtained. Keywords: role of returns burden of proof in minimizing corruption in Indonesia
* Perancang Undang-Undang Bidang Politik, Hukum & HAM, Deputi Perundang-undangan, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). E-mail: wulwul_loly@yahoo.com
239
A. Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui berbagai jalur, ada yang melalui pinjaman dari negara asing, sehingga semakin besar pinjaman asing semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan dinas, melalui pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai dana untuk orang miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan perbuatan yang menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia. Jika dilihat dari sisi akibat dan dampak negatif yang ditimbulkan, korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa. Perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia, bahkan pelaku korupsi dapat dikatakan sebagai musuh bangsa dan sekaligus penghianat bangsa Indonesia sebagai satu nasion.1 Namun kasus-kasus korupsi yang benar-benar terlihat di depan mata sangat sulit dibongkar sehingga kasus-kasus korupsi hanya sebagian yang terungkap, bahkan ada istilah tebang pilih dalam arti kalau membahayakan kedudukan pejabat tertentu kasus tersebut akan dibekukan sedangkan bila tidak berbahaya kepada dirinya dan hanya kepada lawan politik kasus tersebut akan diusut sampai tuntas. Secara empirik penegakan hukum terhadap pelaku korupsi sering menghadapi banyak kendala, baik dari segi kendala teknis hukum maupun kendala non-teknis hukum, seperti adanya campurtangan terhadap para penyidik atau terhadap para anggota majelis hakim yang ditugasi menangani perkara korupsi yang merupakan bentuk intervensi dari tangan-tangan politisi dan pihak ekskutif. Dalam melaksanakan tuntutan dan tindakan hukum terhadap para pelaku korupsi di Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah perilaku kaum elit politik dan pemegang kekuasaan, yang notabene memiliki hak-hak istimewa dan imunitas terhadap jangkauan tangan hukum dan banyaknya penegak hukum yang korup, baik dari kalangan Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan sampai Makamah Agung.2 Kendala utama dalam pemberantasan korupsi adalah minimnya bukti-bukti yang dimiliki penyidik maupun penuntut umum untuk mendakwa seseorang menjadi tersangka. Salah satu upaya untuk mengungkap seseorang korupsi atau tidak, dapat dilakukan dengan melihat track record selama dia menjadi pejabat pemerintah yaitu dengan
1 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI Tahun 2002, hlm. 25. 2 Ibid., hlm. 26.
240
menyerahkan daftar kekayaan. Selain itu, dapat disiasati dengan menggunakan strategi sistem pembalikan beban pembuktian. Sistem pembalikan beban pembuktian terbukti sangat efektif membantu penegak hukum membongkar kasus-kasus korupsi. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian juga sangat berperan meminimalisasi tindak pidana korupsi di kalangan penyelenggara negara. Kegagalan Indonesia dalam membangun prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sebagian besar karena belum optimalnya penerapan pembalikan beban pembuktian. Padahal pembalikan beban pembuktian sangat relevan dengan pencegahan tindak pidana korupsi, melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa: setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaanya sebelum, selama dan setelah menjabat. Walaupun pengaturan itu sudah ada, namun jika penegak hukum tidak dapat meminta pertanggungjawaban penyelenggara negara tentang peningkatan kekayaan yang dianggap tidak wajar, maka pendaftaran kekayaan pejabat akan tidak bermanfaat dalam mencegah tindak pidana korupsi. Tidak mengherankan jika perilaku korupsi di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang, walaupun setiap tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Strategi pemberantasan korupsi dengan pembalikan beban pembuktian atau dikenal dengan shifting burden of the proof atau omkering van bewijslast, diyakini sebagai cara ampuh untuk menjerat pelaku korupsi.3 Namun, pelaksanaannya tidak pernah absolut karena sifatnya yang khusus (lex specialis) terhadap kasus-kasus tertentu misalkan pelanggaran delik pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery). Pengembalian beban pembuktian dapat memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor), tetapi penggunaannya harus diatur, karena jika hal tersebut tidak diatur akan menimbulkan permasalahan baru yaitu apabila pengembalian beban pembuktian diterapkan pada seluruh kekayaannya yang ada, hal tersebut dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).4
Oce Madril, Urgensi Pembuktian Terbalik, Seputar Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, www.google.com Andi Hamzah, Pembuktian Terbalik untuk Perkuat KPK, Suara Karya, Rabu, 6 April 2011 11:31:12, www.google.com
3 4
241
B. Pembalikan Beban Pembuktian dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 telah menetapkan tiga strategi utama pemberantasan korupsi yaitu pencegahan, penindakan termasuk kriminalisasi, dan pengembalian aset korupsi melalui kerja sama internasional. Ketiga strategi ini harus diterapkan secara seimbang, konsisten, sistematis, dan berkesinambungan. Pembalikan beban pembuktian merupakan sistem pembuktian pola baru yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. Teori ini telah berhasil dipraktekkan di beberapa negara, di antaranya Hong Kong, Inggris, Malaysia, dan Singapura. Disebut baru, karena pembalikan beban pembuktian mengandung arti bahwa beban pembuktian berada pada terdakwa. Terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak pidana. Pembalikan beban pembuktian berbeda dengan sistem pembuktian yang selama ini berlaku, berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Pasal 137 KUHAP, jaksa penuntut umumlah yang harus membuktikan apakah terdakwa melakukan tindak pidana, dan dalam Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Pembalikan beban pembuktian ditujukan terhadap pembekuan, perampasan, dan penyitaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, yang menyatakan bahwa:5 States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings. Berdasarkan ketentuan di atas, negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang tersangka menerangkan sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya.
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 139.
242
Dari ketentuan Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui jalur keperdataan yang juga dipergunakan oleh berbagai negara. Prosedur pembuktian seperti ini berbeda dengan penyitaan sebagai akibat dari putusan pengadilan dalam perkara pidana. Selain Pasal 31 ayat (8) Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, yang menyatakan bahwa:6 Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan memerintahkan orang yang telah melakukan kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar konpensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan tersebut Ketentuan konteks di atas merupakan pengembalian beban pembuktian terhadap pengembalian aset secara langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan negara setempat yang memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara lain yang dirugikan oleh tindak pidana tersebut. Dalam Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur kepidanaan maupun jalur keperdataan, khususnya terhadap asal usul sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dengan mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah dari tindak pidana, maka prosedur yang dipakai adalah jalur kepidanaan. Pada hakikatnya, jalur kepidanaan ini melalui proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Begitupun sebaliknya, dengan atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, maka prosedur yang digunakan dapat dilakukan melalui jalur keperdataan. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersamasama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian, pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi yang mendukungnya. Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui prosedur pembekuan, perampasan dan penyitaan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) menggunakan teori
6 Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya terhadap Sistem Hukum Indonesia, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 11.
243
probabilitas berimbang yang diturunkan (lowerbalanced probability) dalam hal kepemilikan harta kekayaan merupakan aset hasil korupsi, dengan tetap memperhatikan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka. Dalam praktiknya pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme keperdataan telah dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat, sedangkan pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme kepidanaan telah dilaksanakan oleh Negara Singapura berdasarkan section 4 Singapore confiscation of Benefits Act serta Negara Hongkong berdasarkan section 12 A Hong kong prevention Bribery Ordinance . Selanjutnya, penggunaan kedua teori balanced Probability tersebut dalam Pasal 31 ayat 98 Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, khususnya dalam kalimat, may yang bersifat nonmandatory obligation serta kalimat, demonstrate maupun kalimat, Consistent with the principle of domestic law, yang menunjukkan bahwa ketentuan pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan international Covenan on Civil and Political Right (ICCPR) yang menegaskan hak-hak sipil seseorang yang harus dilindungi secara penuh.7 Pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003, menyatakan bahwa:8 Penggunaan kedua balancedprobability tersebut di atas dalam Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 mencerminkan bahwa Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 selain bertujuan mencegah dan memberantas korupsi, juga tetap melindungi hak-hak tersangka yang seharusnya dilindungi secara hukum sejalan dengan International Convenan on Civil and Political Rights, khususnya ketentuan mengenai perlindungan atas kepastian hukum, dan asas praduga tidak bersalah sepanjang mengenai hak dan kemerdekaan seseorang. Hal ini menegaskan bahwa, pembuktian seseorang atas kesalahannya dengan menggunakan pembalikan beban pembuktian (reversal of burden of proof) dilarang dilakukan. Meskipun demikian, larangan mekanisme pembalikan beban pembuktian tersebut hanya berlaku dan diterapkan dalam kasus penuntutan pidana antara lain korupsi, tetapi tidak berlaku dalam mekanisme pembuktian keperdataan atau mekanisme non-Criminal Proceedings.
7 8
Lilik Mulyadi, op.cit., hlm.141-142. Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korupsi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 8-9.
244
Dalam kaitan ini tidak ada larangan penggunaan mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi atau aset hasil korupsi. Penggunaan mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud, yang untuk hal itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya. Ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 merupakan justifikasi teoritis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan aset harta kekayaan dari pelaku dan pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung. C. Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia C.1. Sistem Pembuktian Dalam sistem pembuktian, yang digunakan sebagai alat bukti adalah alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam sistem ini yang dicari adalah kebenaran. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinan.9 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting hukum acara pidana. Dalam hal ini, Hak Asasi Manusia (HAM) dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup dengan kebenaran formal. Tujuan dan fungsi dari pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah:10
9 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar, Maju, Bandung. 2003. hlm. 11. 10 Ibid., hlm. 13.
245
a. bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan; b. bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan; dan c. bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum atau terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat atau negaranya. C.1.1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Positif Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang ada dalam undang-undang, disebut sebagai sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.11 Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alatalat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak digunakan dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana.12
11
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Buku 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 247. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Buku 1, PT. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 27.
246
Sistem ini mendasarkan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu ada, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim.13 Sistem ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. C.1.2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Hakim hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan.14 Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan keyakinan hakim sendiri.15 Sistem ini mengandung kelemahan besar. Sebagai manusia biasa, keyakinan hakim bisa salah, karena tidak adanya kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.16 Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.17 Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana alat bukti dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut.
13 14 15 16 17
Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 70. Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit, hlm. 14. Andi Hamzah, Buku 2, op.cit, hlm. 248. Adami Chazawi, Buku 1, op.cit, hlm. 25. Andi Hamzah, Buku 2, op.cit., hlm. 248.
247
C.1.3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis Sistem atau teori baru sebagai jalan tengah dari kedua teori diatas adalah pembuktian yang berdasarkan kepada keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, dimana keyakinan tersebut didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang disertai dengan satu kesimpulan berlandaskan peraturan pembuktian tertentu. Dalam hal ini, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.18 Walaupun sistem ini menyebutkan perlunya alat-alat bukti, tetapi sistem ini menggunakan dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut yang diserahkan pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. 19 Pembuktian ini masih menyandarkan kepada keyakinan hakim, dan hakim harus mendasarkan putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal serta nalar orang pada umumnya. C.1.4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti dengan caracara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai dengan keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan, dan tidak berdiri sendiri.20 Untuk menyatakan seseorang bersalah harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Hukum Acara Pidana kita menganut sistem ini, seperti dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:
Ibid., hlm. 249 Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam membentuk keyakinan hakim harus masuk akal, dan dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Adami Chazawi, Buku 1, op.cit., hlm. 26. 20 Ibid., hlm. 28.
19 19
248
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.21 Berdasarkan ketentuan di atas dapat dinyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPK) yaitu dalam Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.22 Sistem pembuktian ini berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. C.2. Kedudukan Pembalikan Beban Pembuktian dalam KUHAP Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.23 Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP24 dan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, berbunyi:25 1. Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk;dan e. keterangan terdakwa. 2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara, terutama dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 23 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Buku 2, Bayumedia Publishing, Malang 2005, hlm. 398. 24 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Titik Terang, hlm. 86. 25 Ibid., hlm. 87.
21 22
249
mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukum. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat-surat dan keterangan tersangka.26 Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil tindak pidana korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti dalam Pasal 188 ayat (2), melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu:27 a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP.28 C.3. Kedudukan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi C.3.1. Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1969 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1969 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan: Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda isteri atau suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa.
Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 28 Adami Chazawi, Buku 2, op.cit., hlm. 399.
26 27
250
Substansi Pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa adanya permintaan dari Jaksa, tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.29 Dalam Pasal ini, yang menentukan tersangka dapat memberikan keterangan terletak pada Jaksa. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tampaknya kurang berhasil. Berdasarkan kenyataan di lapangan, banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai, antara lain:30 1. Adanya perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, tidak dapat dipidana karena tidak adanya rumusan tindak pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan tersebut; 2. Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri, tetapi kenyataannya orang-orang yang bukan pegawai negeri yang menerima tugas atau bantuan dari suatu badan negara, dapat melakukan perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri; 3. Tidak adanya ketentuan yang mempermudah pembuktian dan mempercepat proses hukum acara yang berlaku tanpa mengurangi Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka atau terdakwa. Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. C.3.2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Kebijakan legislasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, menyatakan bahwa: (1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
29 30
251
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara; atau b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. (3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. (4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum diwajibkan memberikan pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidak-bersalahannya, tanpa menutup kemungkinan Jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, ketentuan Pasal 17 ini tidak menganut sistem pembuktian terbalik secara absolut karena terdakwa dan penuntut umum dapat saling membuktikan.31 Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan tentang kepemilikan harta benda pelaku, yaitu: (1) Setiap terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri, suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
31
252
(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan di sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Ketentuan kedua pasal tersebut di satu sisi menyatakan bahwa, dimensi pembalikan beban pembuktian untuk kesalahan pelaku dan kepemilikan harta terdakwa hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan dan konsekuensinya, di sisi lain, pembalikan beban pembuktian tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat mempergunakan pembalikan beban pembuktian sepanjang hakim memperkenankan untuk keperluan pemeriksaan.32 C.3.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pembalikan beban pembuktian sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyalahkan bahwa dakwaan tidak terbukti. Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jika terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.33 Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam Pasal 37 berlaku bagi tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, khususnya yang
32 33
253
nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,34 yakni kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Jika dipandang dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) terdapat hak yang merupakan hak dasar terdakwa yang demi hukum telah melekat sejak ia diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada ayat (1) merupakan penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang memang sudah ada. Pasal 37 ayat (2) memiliki arti penting dalam hukum pembuktian. Inilah yang menunjukkan inti dari asas pembalikan beban pembuktian, walaupun tidak tuntas, karena pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, yaitu hasil pembuktian terdakwa tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Namun, ketentuan tersebut tidak mencantumkan bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan standar pengukuran dari hasil pembalikan beban pembuktian terdakwa untuk dinyatakan sebagai berhasil membuktikan atau tidak berhasil membuktikan.35 Ketentuan Pasal 37 ayat (2) merupakan dasar hukum pembalikan beban pembuktian hukum acara tindak pidana korupsi. Penerapan dari ketentuan ini harus dihubungkan atau ada hubungannya dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 37 berlaku pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. 36 Sedangkan hubungannya dengan Pasal 37A ayat (3), bahwa sistem pembalikan beban pembuktian menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber atau asal harta benda terdakwa dan lain-lain di luar perkara pokok pasal yang disebutkan dalam Pasal 37A in casus hanyalah Tindak Pidana Korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37A ayat (3) tersebut.37 Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai konsekuensi berimbang atas
Pasal 12B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adami Chazawi, Buku 1, op.cit., hlm. 116. 36 Pasal 12B ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 37 Ibid.
34 35
254
penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimmination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang.38 Sistem pembalikan beban pembuktian menurut Pasal 37 ini diterapkan pada tindak pidana selain yang dirumuskan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena bagi tindak pidana menurut pasal yang disebutkan tadi untuk pembuktiannya berlaku sistem semi pembalikan beban pembuktian. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban pembuktian dengan sifat terbatas dan berimbang. Hal ini secara eksplisit diterangkan dalam Penjelasan Umum undang-undang tersebut yang berbunyi: undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Sedangkan ketentuan Pasal 37A dengan tegasnya menyebutkan bahwa: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
38
255
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I), ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini, sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian murni sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3739. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, maka hal tidak dapat membuktikan itu digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan, jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau perkara pokoknya sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Jaksa Penuntut Umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian demikian biasa disebut dengan semi pembalikan beban pembuktian, tetapi tidak tepat jika disebut pembalikan beban pembuktian murni. Hal ini oleh karena dalam hal tindak pidana korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan korupsi yang apabila tidak berhasil justru akan memberatkannya. Namun begitu, Jaksa Penuntut Umum juga tetap berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi.40 Untuk Tindak Pidana korupsi selain suap menerima gratifikasi, penerapan pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37A yang jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi pembalikan beban pembuktian atau berimbang pembalikan beban pembuktian. Karena dalam hal terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi yaitu
39 40
256
selain suap menerima gratifikasi yang sekaligus didakwa pula mengenai harta bendanya sebagai hasil korupsi atau ada hubungannya dengan korupsi yang didakwakan, maka beban pembuktian mengenai tindak pidana dan harta benda terdakwa yang didakwakan tersebut, diletakkan masing-masing pada Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara berlawanan dan berimbang. Karena beban pembuktian diletakkan secara berimbang dengan objek pembuktian yang berbeda secara terbalik, maka pembuktian yang demikian dapat pula disebut dengan pembalikan beban pembuktian berimbang.41 Jika dilihat dari hukum pembuktian, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, jika dilihat dari pembalikan beban pembuktian, undang-undang tersebut tetap mengacu adanya kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan dakwaannya di samping juga terdakwa mempunyai hak membuktikan pembalikan beban pembuktian.42 Dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan delik baru yaitu delik pemberian atau dikenal dalam undang-undang tersebut sebagai delik gratifikasi dalam Pembalikan Beban Pembuktian yang terdapat dalam Pasal 12B dan 12C. Menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; dan
Lilik Mulyadi, Buku I, op.cit., hlm. 198. Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
41 42
257
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktian gratifikasi tersebut siap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tindak pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, karena yang dijadikan delik adalah perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana menurut Pasal 12B ayat (2), bukan gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi itu.43 Pasal 12B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai: 1. Batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap. Gratifkasi yang dianggap sebagai pemberian suap yaitu apabila gratifikasi atau pemberian itu: a. diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan b. berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. 2. Jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap. Ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu: a. Gratifikasi yang bernilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima; b. Gratifikasi yang benilai kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada penuntut umum.44 Perlu diperhatikan bahwa untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sistem pembebanan pembuktian Pasal 37 tidak berlaku. Karena menurut Pasal 12B ayat (1) huruf b beban pembuktiannya ada pada Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifkasi, padahal Pasal 37
43 44
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. hlm. 109. Ibid.
258
membebankan pembuktian kepada terdakwa. Untuk korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), berlaku sistem pembuktian biasa dalam KUHAP dan tidak berlaku sistem yang ditentukan dalam Pasal 37A maupun Pasal 38B, karena Pasal 12B ayat (1) huruf b tidak disebutkan dalam Pasal 37A maupun Pasal 38B tersebut. Ketentuan pembebanan pembuktian menurut Pasal 37 yang dapat dihubungkan juga dengan Pasal 12B ayat (1) huruf a, maka pembuktiannya menganut pembebanan pembuktian terbalik murni. Akan tetapi, apabila pembebanan pembuktian semata-mata dilihat dari Pasal 12B ayat (1) huruf a dan huruf b tidak dipisahkan, maka pembuktian seperti itu dapat disebut pembalikan beban pembuktian berimbang bersyarat, bergantung pada syarat-syarat tertentu-siapa yang memenuhi syarat itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Sistem seperti itu hanya ada pada tindak pidana korupsi.45 Syarat ini berupa nilai penerimaan gratifikasi antara kurang dan atau di atas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Jika nilai penerimaan gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), untuk membuktikan kebenaran bahwa penerimaan itu sebagai suap yang dilarang oleh undang-undang, maka digunakan sistem pembuktian biasa sebagaimana adanya dalam KUHAP. Sedangkan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan menentukan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
45
259
Menurut Pasal 12C ayat (1), apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KP-TPK), maka gratifikasi itu tidak dianggap sebagai pemberian suap. Berarti juga, tidak dapat dipidana. Baru dapat dipidana apabila si penerima tidak melapor. Perumusan Pasal 12C ayat (1) ini terkesan sebagai alasan penghapusan pidana. Dilihat secara substansial, hal ini dirasa janggal, karena sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima seolah-olah digantungkan pada ada atau tidaknya laporan yang bersifat administratif procedural.46 Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Pasal 38 dibagi menjadi: Pasal 38 A Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 38 B (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya sebagaimana dimaksud ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat. (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan penjelasannya dalam perkara
46
260
pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Pasal 38 C Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan bila perkara yang didakwakan itu adalah tindak pidana sebagaimana dimuat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka terdakwa dibebani pembuktian bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak pidana korupsi yang diajukan pada saat membacakan pembelaannya. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh bukan dari hasil korupsi dan harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan bahwa seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara.47 Dalam hal yang demikian tidak ditentukan adanya kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan bahwa harta benda itu diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti dalam ketentuan Pasal 37A ayat (3).48 Tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang belum dimasukkan dalam dakwaan ini dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat membacakan surat tuntutan pada pokok perkara.49 Dalam hal terdakwa membuktikan bahwa harta bendanya bukan diperoleh dari korupsi, pemeriksaan dilakukan dalam sidang yang khusus
47 48 49
Pasal 38B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adami Chazawi, Buku 2, op.cit., hlm. 409-410. Pasal 38B ayat (3) op.cit.
261
memeriksa pembuktian terdakwa tersebut dan diucapkan dalam pembelaannya dalam pokok perkara, serta dapat diulang dalam memori banding maupun memori kasasinya.50 Pada hakikatnya, ketentuan Pasal 38B merupakan pembalikan beban pembuktian yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, malainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok. Hal yang berhubungan langsung dengan pembalikan beban pembuktian, terdapat pada ayat (1). Dari ketentuan ayat (1) ini, ada 2 (dua) hal penting, yakni51 1. Norma ayat (1) adalah dasar hukum sistem terbalik dalam hal pembuktian tentang harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga barasal dari tindak pidana korupsi (Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 38B ayat (1) menentukan tentang objek pembuktian pembalikan beban pembuktian. 2. Pembuktian mengenai harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi adalah berlaku dalam hal tindak pidana yang didakwakan pada perkara pokok adalah tindak pidana korupsi Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ternyata hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38B ayat (1). Artinya, dalam hal terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a, Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan untuk menuntut pula agar terdakwa dipidana perampasan barang in casu harta benda terdakwa yang belum didakwakan. Oleh karena itu, terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan tentang harta benda yang belum didakwakan sebagai
50 51
Ibid., Pasal 38B ayat (4) dan ayat (5). Adami Chaaawi, Buku 1, op.cit., hlm. 138-139.
262
bukan hasil korupsi, dalam hal terdakwa didakwa jaksa melakukan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembalikan beban pembuktian, tetapi khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan,52 tidaklah dapat menggunakan Pasal 37, karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, dan bukan dakwaan mengenai harta benda terdakwa. Untuk membuktikan harta benda terdakwa yang didakwakan dengan menggunakan sistem semi pembalikan beban pembuktian tercantum dalam Pasal 37A, sedangkan untuk membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah menggunakan sistem pembebanan pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 38B.53 Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dikenakan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. D. Penutup
Pembalikan beban pembuktian sudah lama diberlakukan di Indonesia yakni sejak tahun 1960, yang tertuang dalam dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa: Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa. Setelah itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga mengatur perihal yang sama tentang pembalikan beban pembuktian walaupun pengaturannya masih sangat terbatas. Dikatakan sangat terbatas karena Jaksa masih harus
52 53
Dalam hal ini termasuk juga harta benda yang didakwakan dalam surat dakwaan. Adami Chazawi. op.cit., hlm. 141.
263
membuktikan seseorang itu korupsi atau tidak padahal ia telah gagal membuktikan bahwa hartanya berasal dari cara yang legal. Pada saat ini, pembalikan beban pembuktian diatur secara lebih tegas, dalam dua rezim hukum pidana yakni pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor telah lebih dulu membuka jalan penerapan pembalikan beban pembuktian, namun tidak pernah digunakan oleh penegak hukum. Pembalikan beban pembuktian digunakan dalam tindak pidana pencucian uang TPPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Terkait pidana pencucian uang, dalam Pasal 77, menyatakan bahwa: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pembuktian tersebut dilakukan atas perintah hakim. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor membedakan pembalikan beban pembuktian menjadi 2 (dua) hal. Pertama, terhadap harta yang berhubungan langsung dengan perkara yang didakwakan. Pasal 37A menegaskan, bahwa terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Jika tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, hal itu memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan korupsi. Kedua, terhadap harta yang belum didakwa, tapi diduga hasil korupsi. Pasal 38B menyatakan, terhadap harta benda lainnya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari korupsi, maka terdakwa juga harus membuktikan bahwa harta tersebut bukan hasil korupsi. Jika tidak dapat membuktikannya, harta benda tersebut dianggap hasil korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Terlihat jelas bahwa kedua undang-undang di atas telah mengizinkan penegak hukum untuk menggunakan pembalikan beban pembuktian. Sistem pembuktian ini dapat digunakan di persidangan. Dengan demikian, jaksa dan hakim memiliki peran sentral dalam penerapan pembalikan beban pembuktian.
264
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Pembuktian Terbalik untuk Perkuat KPK, Suara Karya, Rabu, 6 April 2011 11:31:12, www.google.com ___________, Hukum Acara Pidana Indonesia, Buku 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Buku 1, P.T Alumni, Bandung, 2008. ___________, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Buku 2, Bayumedia Publishing, Malang 2005. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar, Maju, Bandung. 2003. Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Alumi, Bandung, 2007. Oce Madril, Urgensi Pembuktian Terbalik, Seputar Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, www.google.com Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korupsi, Paper, jakarta, 2006. ___________, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI Tahun 2002. __________, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan Implikasinya terterhadap Sistem Hukum Indonesia, Paper, Jakarta, 2006. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1969 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
265
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
266
PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK DAN TANTANGANNYA (VERIFICATION REVERSED IMPOSITION AND ITS CHALLENGES) Supriyadi Widodo Eddyono* (Naskah diterima 01/06/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena di samping para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi mereka juga pintar untuk menyembunyikan bukti-bukti kejahatannya. Untuk memecahkan masalah tersebut, salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui pengaturan pembuktian terbalik (Reversal burden of proof) terhadap perkara-perkara korupsi. Dalam praktik, penerapan pembuktian terbalik ini secara murni banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis. Salah satunya adalah bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tak bersalah yang telah diakui secara internasional dan diatur pula dalam KUHAP dan ketidaksesuaian dengan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan bagi masyarakat banyak, maka hal tersebut diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi secara proporsional dengan menerapkan beban pembuktian secara seimbang (Balanced probability of principles). Kata kunci: sistem pembuktian, beban pembuktian terbalik, beban pembuktian seimbang, aset kejahatan, gratifikasi, suap, korupsi
Abstract
One of the reasons behind the difficulty of corruption eradication in Indonesia is the problematical Proofing. It is not only because the perpetrator conducts the criminal act fastidiously, but also because they are very clever in covering the evidence. The Reversal Burden of Proof Crime can be used as one of the options to solve the difficulty on proofing the corruption cases. Factually, the practice of reversal burden of proof crime was facing many challenges, either theoretically or practically. Exemplified, this method will against the presumption of innocent which has been agreed by international and acknowledged at the Criminal procedure in Indonesia (KUHAP). The reverse method is also contrary with the proofing system that is used by Indonesia. However, for the legal enforcement in Indonesia and to achieve the purpose of Law, that is the delight of many people, the reversal burden of proof crime should be implemented on corruption cases. Certainly, the implementation of the method should be in line with the Balanced Probability of Principle. Keywords: system evidence, reversed burden of proof, burden of proof balanced, property crime, gratuities, bribes, corruption
267
A. Pendahuluan Secara teoritik, hukum acara pidana di Indonesia sebenarnya telah mengenal beberapa teori tentang sistem pembuktian, baik yang bersifat tradisonal maupun yang modern, yang meliputi teori sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce), sistem keyakinan dengan alasan logis (Laconviction in Rainsonne ), sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie), sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie), dan teori gabungan.1 Dari beberapa teori pembuktian di atas, ketentuan hukum acara pidana di Indonesia mengikuti prinsip teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.2 Berdasar ketentuan itulah, maka dalam pelaksanaannya akan terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yakni: 1) sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan 2) dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. Dengan demikian, antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim harus ada hubungan kausal (sebab-akibat). Hal tersebut sama dengan ketentuan yang menyatakan: Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.3 Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: Tiada seorang juga pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya4.
1 Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, CV Sapta Artha Jaya, 1996; Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Ghalia, 2002; Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1984; Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. 2 Lihat Pasal 183 KUHAP. Selain itu, asas negatief wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 3 Lihat Pasal 294 Ayat (1) HIR.
268
Secara konvensional, kewajiban melakukan pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, dibebankan kepada penuntut umum. Sesuai dengan prinsip umum pembuktian, yakni siapa yang mendakwakan sesuatu in casu jaksa penuntut umum yang dibebani kewajiban untuk membuktikan tentang kebenaran apa yang didakwakan. Pada dasarnya, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian,5 inilah yang disebut sebagai sistem pembebanan pembuktian biasa. Sistem pembebanan pembuktian biasa maksudnya bahwa beban pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum. Dengan demikian, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian karena sistem hukum Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence ) maka kewajiban pembuktian tersebut dibebankan kepada penuntut umum. Oleh karena itu, penuntut umum sangat berperan penting untuk meyakinkan hakim agar menjatuhkan putusan sesuai dengan alat-alat bukti yang telah diajukan penuntut umum di muka sidang pengadilan, Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara menggunakan alat-alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tanpa kecuali, ialah membuktikan semua unsur tindak pidana dengan menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian. Dalam perkembangannya, muncul sistem pembuktian baru yang digunakan dalam tindak pidana korupsi, yang disebut sebagai sistem pembebanan pembuktian terbalik dan beban pembuktian seimbang atau beban semi terbalik. Beban pembuktian terbalik biasa disebut sebagai asas pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik (Indonesia) yaitu shifting of burden of proof atau reversal burden of proof (Inggris), omkering van de bewijslast (Belanda), dan onus of proof (Latin) yang diartikan sebagai pembalikan beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana6. Sedangkan beban pembuktian seimbang atau beban semi terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang
4 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 5 Lihat Pasal 66 KUHAP. 6 Lihat Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap tindak Pidana Korupsi dalam sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003,hlm. 6.
269
berbeda secara berlawanan7. Pembalikan Beban Pembuktian seimbang, lebih mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu bersangkutan di sisi lainnya. Teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan juga tetap mempertahankan prinsip pembuktian beyond reasonable doubt yang diterapkan kepada terdakwa, akan tetapi secara bersamaan sekaligus menerapkan prinsip pembalikan beban pembuktian oleh terdakwa. Tabel 1. Pembebanan pembuktian
Sistem pembebanan Pembebanan Pembuktian Biasa Pembebanan Pembuktian semi terbalik (seimbang) Pembebanan Pembuktian terbalik keterangan
beban pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan Pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana
B. Munculnya Norma Beban Pembuktian Terbalik Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi. Karena korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan. Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sulit dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu upayanya adalah memformulasikan ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan system beban pembuktian terbalik yang seimbang. Diharapkan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik (omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof/onus of proof) yang berasumsi
Ibid.
270
dengan pembuktian terbalik maka diharapkan sebuah kasus dapat diberantas dengan maksimal. Sebenarnya jika dilihat runut ke belakang, kebijakan legislasi bergesernya beban pembuktian biasa ke arah pembuktian semi terbalik dan terbalik mulai terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum tahun 1960, tidak diatur pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perundang-undangan korupsi karena perspektif kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures). Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juga secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban pembuktian 8 . Dalam peraturan selanjutnya, pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 19999. Kemudian beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki kelemahan selanjutnya telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200110.
8 Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi (2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal: a. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau b. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. (3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. (4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah mela kukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. (2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 9 Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Kemudian penjelasan otentik ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan, bahwa: Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination) Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut sistim pembuktian secara negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk). 10 Perbaikan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001.
271
C. Pembuktian Terbalik di Beberapa Negara Pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya terbatas pada certain cases khususnya terhadap tindak pidana gratification atau pemberian yang berkorelasi dengan bribery (suap). Hal ini dimungkinkan karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut dibuktikan dengan menggunakan sistem pembuktian biasa. Dalam perkembangannya, beberapa negara juga telah menerapkan sistem pembalikan pembuktian ini seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura, Malaysia. Hongkong, Pakistan, India dan lain sebagainya. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar Prevention of Corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu (Presumption of corruption in certain cases). Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974: Pasal 11 ayat (1) Hong Kong Bill of Rights Ordinance 1991. Di India pembalikan beban pembuktian diatur berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) of the Prevention of Corruption Act (II of 1947)11. Di Malaysia diatur atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 (Anti Corruption Act 1997 (Act 575) yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998. Di Singapura keterangan tersebut digunakan berdasarkan Prevention of Corruption Act di Chapter 241.12 Namun dalam praktik di beberapa negara di atas, penggunaan pembuktian terbalik tersebut dilakukan secara seimbang. Hal ini terjadi karena pembuktian terbalik tidak boleh melanggar hak terdakwa sehingga dalam praktiknya beban pembuktian yang digunakan menjadi beban pembuktian yang seimbang.13 D. Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Gratifikasi sebagai Suap dan Harta Benda Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan Pasal 38B. Dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a diatur mengenai pembalikan beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini
11 12 13
272
berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih. Sedangkan Pasal 38B mengatur mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Secara eksplisit ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan Rumusan dalam Pasal 38B, ialah: 1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. 3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
273
4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). 6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Apabila dilihat dari rumusan Pasal 12B di atas maka pembalikan beban pembuktian tersebut hanya terbatas dengan hadiah yang wajar bagi pejabat (gratifikasi) yang hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut harus berada dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, yang berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban tersebut, harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).14 Dalam hal tersebut maka terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan tidak melakukan korupsi menerima gratifikasi. Sedangkan berdasarkan Pasal 38B di atas, maka beban pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta kekayaan pelaku korupsi yang titik beratnya adalah pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku dengan berbasis putusan. Jadi setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi wajib untuk membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang diperolehnya bukan karena tindak pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Jika diteliti maka norma dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, terlihat bahwa rumusan huruf a berelasi dengan dengan Pasal 3715. Oleh
Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12C (1) menyatakan Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 15 Lihat Pasal 37(1)Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakpidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
14
274
karena itu, dalam melaksanakan beban pembuktian menurut Pasal 12B ayat (1) huruf a setiap unsur-unsur tindak pidananya tetap harus disodorkan oleh Jksa kepada terdakwa dan di dalam sidang kewajiban terdakwalah untuk membuktikan ketidakbenaran dakwaan itu. Jadi dalam praktik, jaksa penuntut umum yang wajib menentukan lebih dahulu adanya penerimaan gratifikasi dan nilainya Rp. 10 juta atau lebih, yang diuraikan dalam surat dakwaan. Jaksa penuntut umum tidak wajib membuktikan penerimaan itu benar-benar berupa tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, akan tetapi terdakwalah yang wajib membuktikan sebaliknya bahwa penerimaan itu bukan berupa tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Sistem pembuktian ini seakan-akan menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik murni, akan tetapi sebenarnya sistem pembuktian seperti ini dalam praktik dapat disebut sebagai pembuktian berimbang bersyarat yang bergantung pada syarat- syarat tertentu. Siapa yang memenuhi syarat, itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Dengan demikian, kedudukan jaksa penuntut umum bukanlah sekedar bertugas mengusung perkara korupsi ke sidang saja, tetapi dalam sistem terbalik pun jaksa tetap harus mendapatkan fakta-fakta awal dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang telah dicatat dalam berita acara penyidikan. Dari fakta-fakta itu kemudian disusunlah surat dakwaan dan disodorkan kepada terdakwa dan dalam sidang terdakwa wajib untuk membuktikan ketidakbenaran dakwaan itu. Inilah dasar pijakan dari beban pembuktian terbalik. Oleh karena itu banyak pengamat menyatakan bahwa tidaklah mungkin dalam praktiknya beban pembuktian terbalik tidak dapat dilaksanakan secara murni. Dari dasar teoritis sekalipun hal ini juga tidak mungkin bisa diterapkan dalam sistem pembuktian yang telah dianut dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. E. Beban Pembuktian Terbalik dan Tantangannya Secara teoritis, pembalikan beban pembuktian oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination), asas hak untuk diam (right to remain silent), yang termaktub baik dalam hukum pidana materiil serta instrumen hukum internasional.
275
Di Indonesia, asas praduga tak bersalah telah diakui secara tegas bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.16 Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional17 karena setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum. Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan18. Selain itu dinyatakan juga bahwa dalam menentukan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. Ketentuan ini sering disebut juga dengan asas non-self incrimination19. Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas mengatur tentang bukti yang didapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama ditafsirkan bahwa bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Di samping itu, dengan diamnya tersangka atau terdakwa maka tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negatif dapat ditarik dari pelaksanaan hak untuk diam dari seorang tersangka20. Asas praduga tak bersalah secara tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga diakui di dunia internasional. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, penerapan asas pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip penting hak asasi manusia. Dalam pembuktian terbalik, hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum sehingga terdakwalah kemudian yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak
Lihat penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP. Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1996 18 Lawyer Commitee for Human Right, 1997: hlm. 23, Amnesti Internasional, Fair Trial s Manual, London, 1998. 19 Pasal 14 Ayat (3) huruf g Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1996. 20 op.cit., hlm. 16.
16 17
276
bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak penuntut umum. Dalam sistem pembuktian seperti di atas, tampaklah bahwa hakhak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam pembuktian terbalik, ketentuan tersebut secara terangterangan disimpangi karena hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata). Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa. Sedangkan dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) yang diratifikasi Indonesia dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006, pada hakikatnya beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar HAM, karena bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption)21. Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, beberapa pihak masih tetap berpendapat berlaku asas lex specialist derogat lex geneali sehingga hal ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia dan diharapkan akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara. Namun anggapan tersebut sebetulnya lemah karena sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia dalam
21
op.cit., hlm. 5.
277
praktek tidak bisa dilaksanakan. Beban pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku korupsi, karena Indonesia mempergunakan sistem pembuktian negatif atau asas beyond reasonable doubt sehingga penerapan beban pembuktian secara terbalik secara murni sulit untuk bisa dilakukan. F. Penutup Alternatif pembuktian korupsi yang relatif memadai dan secara regulasi telah tersedia adalah dengan dipergunakan teori beban pembuktian terbalik secara seimbang (balanced probability of principles). Teori ini lebih sesuai dengan sistem pembuktian yang diakui oleh hukum acara pidana di Indonesia dan mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu di sisi lainnya. Konkritnya, menempatkan pelaku korupsi terhadap perbuatan atau kesalahannya tidak boleh dipergunakan asas beban pembuktian terbalik secara murni melainkan tetap berdasarkan asas beyond reasonable doubt oleh karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan seseorang. Dengan demikian, terhadap kesalahan pelaku yang diduga telah melakukan korupsi tetap mempergunakan jalur hukum acara pidana (criminal procedure) dengan pembuktian negatif atau beyond reasonable doubt. Dalam praktiknya pun, penerapan teori ini dalam tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh banyak negara dalam mengadili pelaku korupsi dan efektif dengan memperhatikan hak hak para terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA Buku Amnesti Internasional, Fair Trial s Manual, London, 1998. Hamzah, Andi, Dr, S.H., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996. Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Ghalia, 2002.
278
Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, S.H., LL.M., Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997. Mulyadi, Lilik, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2008. Poernomo, Bambang, S.H., Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1984. Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Pustaka dari Internet Mulyadi, Lilik, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap tindak Pidana Korupsi dalam sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003. http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_asas%20beban% 20pembuktian%20terhadap%20tipikor%20dalam%20hukum%20 pidana%20indonesia.pdf (diakses tanggal 23 Mei 2011). Mulyadi, Lilik, Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi, http://www.pnpandeglang.go.id/attachments/125_pembuktian_terbalik_ kasus_korupsi.pd (diakses tanggal 23 Mei 2011) Mulyadi, Lilik Alternatif Pembalikan Beban Pembuktian terhadap tindak Pidana Korupsi dalam sistem Hukum Pidana Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003. http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_alternatif% 20pengaturan%20pembalikan%20beban%20pembuktian% 20dalam%20uu%20pemberantasan%20tipikor.pdf. (diakses tanggal 23 Mei 2011) Sumaryanto, A Djoko, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian keuangan Negara, Abstrak Desertasi, Perpustakaan Universitas Airlangga, tahun 2008 http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ 976831933_abs.pd (diakses tanggal 23 Mei 2011) Matondang, Pimpin, Pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
279
Tindak Pidana Pencucian Uang, Abstrak Skripsi, Departemen Hukum Pidana, FH USU Medan 2010. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20984/6/Cover.pdf (diakses tanggal 23 Mei 2011). Kuwat, Wijayanto, Penerapan Azas Pembuktian Terbalik Teradap Tindak Pidana Korupsi http://www.oocities.org/hukum97/2001.pdf (diakses tanggal 23 Mei 2011). Peraturan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa melawan korupsi (UNCAC tahun 2004). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC.
280
TELAAHAN PROGRESIF: IMPLEMENTASI ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSED ONUS) TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI (PROGRISSIVE REVIEW: VERIFICATION REVERSE PRINCIPLE IMPLEMENTATION (REVERSED ONUS) AGAINST CORRUPTION) Mohammad Zamroni* (Naskah diterima 23/05/2011, disetujui 15/05/2011) Abstrak
Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalan korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangi pemberantasan korupsi. Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta menghukum pelaku dengan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang sistem pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem atau beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof). Persoalannya kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan secara tepat dan utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga implementasinya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Kata kunci: tindak pidana korupsi, pembuktian terbalik
Abstract
The problem of corruption is a complexas legal, because it contains political, economic, and socio-cultural aspects. Various eradication efforts have failed to scrape out the crime of corruption. This is partly due to 3 (three) main factors: the complexity of the corruption issue, difficulties of finding evidence, and the forces that impede the eradication of corruption.Construction of the criminal justice systemy in Indonesia
* Tenaga Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
281
is still aiming to uncover the crime that happens, find the perpetrators and punish the perpetrators with criminal sanctions, both imprisonment and confinement. Meanwhile, the issue of international law development regarding the concept of reversed of burden of proof in crimina luser and criminal law instruments have not been an important part in the criminal justice system in Indonesia. Furthermore, the system or the burden of proof in corruption cases, turns out in practice to encounter many obstacles because corruption crime is commited a very neatly, systemically one way overcome these circumtances is through the Law Number 31 of 1999 as amended by Law Number 20 of 2001, Act. Number 8 of 2010, and Act Number 35 of 2009 that have included provisions regarding reversal of burden of proof). The question then is whether these provisions have been applied correctly and integrally in the handling of corruption cases so that implementation can be carried out effectively in accordance with the corridor of applicable law. Keywords: corruption, reversed of burden
A. Pendahuluan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kodifikasi Hukum Pidana positif di Indonesia mengatur berbagai jenis tindak pidana, baik kejahatan maupun pelanggaran. Di samping tindak pidana yang tercantum di dalam KUHP, ada beberapa tindak pidana yang pengaturannya dilakukan di luar KUHP atau yang biasa disebut sebagai tindak pidana khusus. Tindak pidana tersebut dimuat dalam peraturan perundang-undangan lain karena tindak pidana itu tidak diatur dalam KUHP. Sebagai suatu kodifikasi hukum pidana, seharusnya semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut, tetapi hal itu tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan jaman dapat menjadi tindak pidana. Tujuan itu, dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya memuat tindak pidana baru yang belum ada dalam KUHP. Peraturan Hukum Pidana Khusus biasanya bersifat temporer untuk mengatasi keadaan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, dan jika sudah tercapai equilibrium dalam masyarakat, peraturan tersebut dapat dihapuskan lagi. Salah satu tindak pidana yang diatur di luar KUHP atau tindak pidana khusus ini adalah tindak pidana korupsi yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut selain diatur mengenai hukum pidana materiil (seperti perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), juga diatur mengenai hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan). Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan
282
yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosialbudaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo disebabkan karena: 1. Persoalannya memang rumit; 2. Sulitnya menemukan bukti; 3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu. Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid menyatakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur tentang penerapan asas pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi. Kemudian, pada masa pemerintahan Megawati terjadi kasus BLBI. Ketika itu, pemerintah dihadapkan kepada keadaan dilematis dengan berbagai intervensi terutama dari IMF dan Bank Dunia untuk segera menyelesaikan masalah krisis ekonomi dan keuangan, yaitu melalui prosedur release and discharge, sedangkan pada saat yang sama, kepolisian dan kejaksaan agung tengah melakukan penyidikan terhadap para bankir yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1982 tentang Release and Discharge untuk penyelesaian kasus BLBI. Namun dalam pelaksanaan kebijakan tersebut oleh kurangnya pengawasan terjadi manipulasi bukti dokumen dan perilaku koruptif dari pelaku, oknum BPPN dan penegak hukum. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, sebagai instrument hukum ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu: Pertama, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tipikor yang mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan (baru) tertentu ke dalam lingkup tindak pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal (illicit enrichment); suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional (Bribery of Foreign Public Officials and Officials of Public International Organization), dan suap di kalangan sektor swasta (Bribery in the Private Sector); Penyalahgunaan wewenang (Abuse of Function). Langkah kriminalisasi dalam naskah
283
Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU TIPIKOR) dipersiapkan untuk mengganti dan mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kedua, pasca ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengganti undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Tahun 2002/ 2003). Di dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam dua pasal (Pasal 77 dan Pasal 78, dan Pasal 81).1 Ketiga, yang sangat penting dalam hal perampasan aset, terdapat pada RUU Tipikor (2009). Dalam RUU Tipikor telah dianut cara perampasan aset melalui keperdataan (in rem forfeiture) akan tetapi ketentuan yang diatur dalam Bab III di bawah judul, Perampasan Aset (Pasal 23 s/d Pasal 25) masih mengandung kelemahan-kelemahan yang berarti dilihat dari sudut perlindungan hak asasi terdakwa dan dari sudut penggunaan wewenang oleh jaksa.2 B. Latar Belakang B.1. Kondisi Dilematis Pembuktian Terbalik3 Doktrin hukum pidana dan konvensi internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia tidak mengakui pembuktian terbalik
Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 ayat (1): Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ayat (2): Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Pasal 81: Dalam hal diperoleh bukti cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut. 2 Pasal 23 ayat (1): Permohonan Perampasan aset untuk menyatakan suatu aset dirampas menjadi milik negara terhadap: a. Milik tersangka/terdakwa yang telah meninggal dunia yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; b.milik tersangka/terdakwa yang tidak dikenal yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi;c.milik tersangka/terdakwa yang melarikan diri ke luar negeri yang di duga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; atau, d. Kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (ketentuan ttg memperkaya diri secara tidak sah-Illicit enrichment). Pasal 23 ayat (2): Permohonan perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh jaksa. Pasal 24 ayat (4): Putusan yang menyatakan suatu aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c menjadi milik negara adalah putusan pertama dan terakhir. Pasal 24 ayat (5): Putusan Hakim terhadap perampasan aset yang berasal dari harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat(1) huruf d dapat dimintakan banding dan kasasi. Pasal 25 (1): Putusan Hakim untuk menyatakan suatu aset menjadi milik negara harus dijatuhi dalam jangka waktu paling lama 3(tiga) hari kerja setelah permohonan diajukan. 3 Prof. Romli Atmasasmita, tulisan tentang Dilema Pembuktian Terbalik, 4 Februari 2011.
1
284
untuk menentukan kesalahan tersangka. Namun, pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana, sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana di Amerika Serikat melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture / NCB ). Sebagaimana diketahui, sejak lama telah diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/ CB) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara CB, dan perlu menunggu waktu 400 hari untuk sampai pada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Perampasan aset tindak pidana melalui NCB tidak perlu menunggu waktu selama itu karena penuntut umum dapat segera membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana. Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotik dan pencucian uang. Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan pada premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asalusul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, namun sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pasca-perang dingin yang telah meningkatkan aset organisasi kejahatan tiga kali APBN negara berkembang, terutama aset diperoleh dari kejahatan narkotik dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya,
285
sementara ancaman hukuman mati dalam sistem hukum negara maju telah telanjur dihilangkan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat mematikan kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman DEA menggunakan cara perampasan melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan NCB, di Amerika Serikat didasarkan pada Undang-Undang Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/CAFRA) Tahun 2000 dan di Inggris dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Proceed of Crime Act) Tahun 2002. Di Indonesia, langkah hukum pembuktian dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. B.2. Urgensitas Penguatan Sistem Pelaporan Pembuktian terbalik melalui CB dan NCB di Indonesia akan lebih mudah dilaksanakan jika sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara telah dilaksanakan secara konsisten. Sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yang demikian akan memberikan dukungan signifikan terhadap aparat penegak hukum, termasuk KPK, dalam menyita dan merampas aset penyelenggara negara yang diduga berasal dari tindak pidana. Sistem pelaporan harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN perlu direvisi dan diperkuat dengan sistem pembuktian terbalik jika ditemukan bukti awal (prima facie evidence) aset penyelenggara negara diduga berasal dari tindak pidana. Jika sistem pelaporan harta kekayaan, sistem klarifikasi, dan sistem verifikasi aset penyelenggara negara telah dijalankan sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, kasus Gayus Tambunan sejak lama dapat dicegah. C. Permasalahan Mengacu pada uraian singkat dari pengantar tulisan ini, maka dapat diambil suatu permasalahan pokok yang coba diangkat, yaitu:
286
Bagaimanakah penerapan asas pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi? D. Analisis Pembahasan Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Pengertian tindak pidana sendiri sejak dulu telah banyak diberikan oleh para sarjana, antara lain yang dibuat oleh Prof. Muljatno dengan menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut ujudnya atau sifatnya perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Sedangkan pengertian korupsi, menurut arti katanya korupsi berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata korupsi dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat disuap. Menurut K Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang penggelapan. Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, seperti juga upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya dapat meliputi upaya penal dan upaya penal. Upaya penal atau melalui sarana Hukum Pidana dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Formulasi, atau perumusan hukum pidana yang merupakan kebijakan legislatif; 2. Aplikasi, atau penerapan hukum pidana yang merupakan kebijakan yudikatif; 3. Eksekusi, atau pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kebijakan eksekutif atau administratif. Penanggulangan tindak pidana korupsi melalui upaya penal di Indonesia sudah dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/ Peperpu/013/1958 beserta peraturan pelaksanannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Undang-
287
Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, atau yang dikenal dengan Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada masa kabinet Ampera, sarana Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 dilengkapi dengan Keputusan Presiden Nomor 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 yang memberikan tambahan kekuatan hukum yang represif dan efisien untuk pemberantasan korupsi agar mampu mempercepat prosedur penyelesaian perkara dan mempermudah penuntutan perkara korupsi yang dilakukan oleh orang sipil dan atau orang dari kalangan ABRI. Peraturan-peraturan tersebut kemudian dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (yang selanjutnya disingkat dengan UU tentang PTPK) Kekhususan atau keistimewaan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang tentang PTPK antara lain yaitu: 1. Unsur secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil, artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. (penjelasan Pasal 2 ayat(1); 2. Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana melakukan delik selesai/delik sui generis. (Pasal 15); 3. Perampasan barang bukti diperluas tidak hanya hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 39 KUHAP. (Pasal 18); 4. Jika Penyidik tidak menemukan cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan perdata. (Pasal 32); 5. Pembebasan dari kewajiban menjadi saksi dibatasi hanya terhadap mereka yang mempunyai hubungan keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara kandung dan istri atau suami. (Pasal 35); 6. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda keluarganya dan setiap orang atau korporasi
288
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. (Pasal 37 ayat (3); 7. Terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. (Pasal 37 ayat (1); 8. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya/in absentia. (Pasal 38). Di atas telah dijelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Membuktikan, menurut Martiman Prodjohamidjojo, mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan bahwa Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi dapat dipertaruhkan. Dalam menilai kekuatan pembuktian dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu: 1. Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori ini berusaha menyingkirkan pertimbangan subyektif hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat hakim secara tegas supaya ada atau tidak adanya kecukupan alat bukti yang formil tercantum dalam undang-undang untuk menjatuhkan putusan. Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
289
2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction intime ). Artinya jika dalam pertimbangan keputusannya telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nuraninya, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan dengan yuri. Menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 3. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis ( conviction raisonee ). Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat (berendeneerde overtuiging) dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakaan alat bukti yang lain. 4. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alatalat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu: a. wettelijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang; b. negatief , maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. (Martiman Prodjohamidjojo, 1983: hlm. 14) Dari keempat teori pembuktian di atas, ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua unsur, yaitu: 1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah; 2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa:
290
Dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim harus ada hubungan causalitas (sebab-akibat). Hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan: Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: Tiada seorang juga pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Selain itu, asas negatief wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP: Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP: Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas praduga tak bersalah telah diakui oleh dunia internasional, antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1996: Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum. Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. Selain itu dalam Pasal 14
291
ayat (3) huruf g Perjanjian Internasional tersebut dinyatakan bahwa: Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. Ketentuan ini sering disebut juga dengan asas non self incrimination. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa asas praduga tak bersalah secara tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga diakui di dunia internasional. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Penerapan asas pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Dalam asas pembuktian terbalik, hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt . Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam asas pembuktian terbalik ketentuan tersebut secara terangterangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata) yang telah dijelaskan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa. Menurut Luhut MP Pangaribuan, bila sistem pembuktian terbalik ini diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu: Pertama, secara umum kita akan kembali pada satu zaman yang disebut dengan ancient regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy
292
Inqusition yang kemudian dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkuisitoir. Tersangka dan Terdakwa menjadi obyek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak hukum dewasa ini maka sistem pembuktian terbalik bisa menjadi alat black-maili yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian terbalik diterima, sebab ia cukup mengandalkan perasaannya. Meskipun asas pembuktian terbalik mengandung kelemahan seperti di atas, hal ini bukan berarti bahwa asas pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974: or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai. Penerapan sistem pembuktian terbalik ini menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut melakukan korupsi, sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah (Kompas, 14 April 2001). Mengingat merajalelanya tindak pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika pemerintah kemudian juga mengusulkan untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara korupsi.
293
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memang telah diatur mengenai pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas, artinya terdakwa wajib untuk membuktikan, tetapi Penuntut Umum juga tetap wajib membuktikan dakwaannya. Dalam Rancangan Undang-Undang yang baru pembuktian terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, dan jika ia tidak berhasil membuktikan maka berarti ia terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya di atas Rp 10 juta, sedangkan yang nilainya di bawah Rp 10 juta masih menggunakan sistem pembuktian biasa. Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, namun dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis. Selain itu, ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu, karena menurut Topo Santoso, Direktur Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, terdapat beberapa masalah yaitu: Pertama, bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya. Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktian terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya. Ketiga, pembuktian terbalik ini jangan justru menjadi alat pemerasan baru, karena semua orang dapat saja disudutkan dengan tuduhan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam korupsi. Orang yang
294
dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan diperas karena dituduh melakukan korupsi. Menurut Todung Mulia Lubis, penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat belum dibuat secara detail dan komprehensif. Jadi, sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dan kekayaan-kekayaan haram yang diperolehnya. Seharusnya disyaratkan adanya laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga menjadi transparan dan si pejabat yang bersangkutan dapat diinvestigasi sesuai aturan hukum yang berlaku. E. Penutup Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya. Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk memecahkan masalah sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi tersebut maka salah satu upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah melalui sarana penal yaitu dengan menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara-perkara korupsi. Meskipun penerapan pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tak bersalah yang telah diakui secara internasional dan diatur pula dalam KUHAP, namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat banyak, maka hal tersebut dapat saja diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA Bassar, M. Sudradjat, S.H., Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung: CV Armico, 1983. Cansil, CST., Drs., S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
295
Hamzah, Andi, Dr, S.H., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996. Mariyanti, Ninik, S.H., Suatu Tinjauan tentang Usaha Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Editor Dr. Andi Hamzah, S.H., Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Pangaribuan, Luhut MP, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas, 2 April 2001 Poernomo, Bambang, S.H., Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1984. Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Saleh, K. Wantjik, S.H., Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Kompas, Pembuktian Terbalik, Kenapa Tidak ?, Kompas, 14 April 2001.
296
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI: TINDAK PIDANA BIASA PENANGANANNYA LUAR BIASA (CORRUPTION COURT: COMMON CRIME WITH EXTRAORDINARY REDUCTION) Mudzakkir* (Naskah masuk 08/06/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sebagai bagian dari reformasi yang hendak memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun demikian, pilihan kebijakan legislasi yang ditempuh dilihat secara yuridis formal telah menunjukkan sikap greget anti korupsi, tetapi secara yuridis materiil justru sebaliknya memuat ketentuan yang dapat memperlemah upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian kebijakan legislasi yang kemudian berujung pada terbitnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, telah membawa perubahan terhadap beberapa hal terhadap tindak pidana korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana biasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsi dilakukan melalui prosedur biasa/normal. Tidak lagi ada Pengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK sekarang mengajukan perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan di tempat mana tindak pidana terjadi (locus delicti). Penanganan tindak pidana biasa melalui prosedur luar biasa dan diadili melalui pengadilan yang khusus berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka. Politik hukum pidana dan politik pemidanaan tindak pidana korupsi perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi (eksekutif) dan penegakan hukum terhadap tindak pidana (yudikatif), karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luar biasa saja, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa dengan tetap harus menghormati hak-hak hukum tersangka, karena hal ini menjadi kewajiban konstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semua tingkatan. Kata kunci: tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, pengadilan khusus tindak pidana korupsi, hukum pidana khusus, kejahatan luar biasa, pengadilan khusus, dan hak hukum tersangka/terdakwa.
297
Abstract
Legislation policy in the framework of the eradication of corruption have been conducted as part of reformation that would eradicate corruption, collusion and nepotism (KKN), however, the choices of legislative policy that adopted in formal juridical views has shown enthusiastic anti-corruption, but otherwise in material juridical contains a provision that could weaken the efforts to combat corruption. This weaken can be seen from a series of legislation policies which culminate to the publication of Law Number 46 Year 2009 on the Special Court Corruption, the replacement of previous corruption court law, as a follow-up from the Constitutional Court Verdict Number 019/PUU-IV/2006 December 19, 2006 has brought changes to some things against corruption and corruption court, that is corruption as a common crime (general) and, therefore the handling of corruption cases are done through the regular/normal procedure. There is no longer a Corruption Court specifically examine, hear and decide the corruption case which prosecution proposed by Corruption Eradication Commission (KPK) and based on relative competence of courts, Corruption Eradication Commission (KPK) filed corruption cases to the court where the crime occurred (locus delicti). Common Crime Reduction through Extraordinary procedure and trial through special court has a potential to violate the rights of the suspected. Criminal law politics and prosecution political of corruption needs to be revisited in order to distinguish the eradication of corruption policies (executive) and law enforcement against criminal acts (judicial), because both are in the different settings. Corruption Eradication Commission should only give an authorization to conduct the inquiry, investigation, and prosecution of the extraordinary corruption, submitted to the special court for investigating, judging and deciding extraordinary corruption cases and respect the legal rights of the suspect, because this is the constitutional obligation for the law enforcement officers into all level. Keywords: corruption, Corruption Eradication Commission, special corruption court, special criminal law, extraordinary crime, special court, legal rights of a suspect/defendant
A. Pendahuluan Tindak pidana korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang menyedot perhatian masyarakat dan bahkan menjadi icon gerakan reformasi dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Gerakan reformasi telah berhasil menggugah perhatian masyarakat mengenai arti pentingnya pencegahan dan penindakan pelaku tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, gerakan nasional penghapusan KKN dilanjuti dengan kebijakan legislasi yaitu mengubah dan mengganti undangundang yang melakukan perubahan pada hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dan menambah lembaga baru yang bertugas untuk mencegah dan menangani perkara tindak pidana korupsi. Perubahan undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi tersebut terus berlanjut, di samping mengatur langsung mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, juga mengatur secara tidak
298
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
langsung tindak pidana korupsi, sebagian yang menekankan pada aspek pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dan sebagian di antaranya mengatur hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan penanganan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berfungsi untuk mendukung efektivitas pemberantsan tindak pidana korupsi. Bahkan, sebagian di antaranya adalah mengadopsi konvenan anti korupsi. Pada awalnya, masyarakat sangat antusias terhadap kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi karena hampir semua lini kekuasaan memiliki komitmen untuk mendukung dan melakukan pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Semangat pemberantasan korupsi mulai membawa hasil yang dibuktikan dengan semakin bertambahnya pejabat tinggi yang diajukan ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi yang sebelumnya sulit untuk dijerat dan diajukan ke pengadilan karena alasan-alasan tertentu. Dalam perkembangannya, citra efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut mulai menurun, ketika muncul dugaan terjadinya tindak pidana korupsi semakin meningkat dan telah merambah pada semua lini penyelenggaraan negara dan lebih lagi dugaan itu ditujukan kepada aparat penegak hukum yang diberi tugas untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil evaluasi terhadap praktik pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan perkembangan hukum nasional dan internasional telah mendorong perubahan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dalam penanganan tindak pidana korupsi dan yang terakhir adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang mengadili perkara tindak pidana korupsi dan perubahan tersebut telah membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang lain. Tulisan ini hendak membahas mengenai beberapa permasalahan yang berkaitan dengan undang-undang yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi ditujukan pada 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia? 2. Bagaimanakah implikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal tindak pidana suap dan tindak pidana jabatan dari KUHP? 3. Bagaimanakah pengaruh dibentuknya Pengadilan Khusus Tipikor terhadap hukum acara pidana untuk pengadilan tindak pidana korupsi dan kewenangan KPK?
299
B. Perkembangan Pengaturan Penanganan Tindak Pidana Korupsi Problem tindak pidana korupsi menjadi perhatian hampir semua regim yang berkuasa di Republik Indonesia. Masing-masing regim telah menempuh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara berbedabeda sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi pada masanya. Menelusuri sejarah hukum pemberantasan tindak pidana korupsi membuktikan bahwa semua rezim yang berkuasa di Indonesia sama-sama memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi kebijakan yang ditempuh berbeda-beda. Perbedaan kebijakan hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada masing-masing rezim tersebut dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, pada masa orde lama, pendekatan yang dilakukan pada awalnya menekankan pada kebijakan penegakan hukum dengan cara mengefektifkan penegakan hukum dengan menggunakan instrumen hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang ada pada saat itu, yaitu mengefektifkan penerapan pasal-pasal tindak pidana yang terkait dengan penyelenggaraan negara oleh pegawai negeri yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara. Pada masa ini, tema besarnya adalah penyelamatan keuangan negara. Kemudian setelah dievaluasi, problem efektivitas pemberatasan tindak pidana korupsi untuk menyelamatkan keuangan negara tersebut membutuhkan prosedur hukum acara pidana yang lebih efektif, maka pilihan kebijakan hukum yang ditempuh adalah mengatur hukum acara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kedua, masa Orde Baru. Pada masa ini telah dilakukan evaluasi produk hukum pada masa Pemerintahan Orde Lama. Kebijakan legislasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi muncul Tahun 1971 ketika Pemerintah Orde Baru hendak melaksanakan pembangunan yang dirancang secara periodik, jangka pendek (lima tahun) dan jangka panjang (25 tahun). Persoalan korupsi diantisipasi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai langkah penyempurnaan dan penguatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pada masa Orde Baru telah menempuh kebijakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan hukum pidana yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak
300
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
pidana korupsi dalam bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Kebijakan ini hendak menempatkan tindak pidana korupsi sebagai suatu tindak pidana yang khusus dan memerlukan perhatian dan penanganan secara khusus, kemudian dikenal dengan hukum pidana khusus. Kekhususan dari hukum pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana khusus sebagai tindak pidana yang dalam bahasa kebijakan hukum disebut kejahatan luar biasa ( extra ordinary/serious crimes ) yang penanganannya memerlukan dukungan hukum pidana yang khusus (extra ordinary criminal law) yang menyimpangi dari ketentuan umum hukum pidana, baik di bidang hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil. Substansi hukum pidana materiil tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibedakan menjadi tiga yaitu; pertama, ketentuan umum (genus) tindak pidana pidana korupsi dimuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3; kedua, ketentuan khusus tindak pidana korupsi dimuat dalam rumusan tindak pidananya merujuk kepada pasalpasal KUHP yang ancaman pidana diperberat; dan, ketiga, ketentuan tambahan, yaitu tindak pidana yang terkait dengan penegakan tindak pidana korupsi, perluasan tindak pidana korupsi dan subjek hukum tindak pidana korupsi. Model pengaturan tindak pidana korupsi dengan cara merujuk pasalpasal KUHP yang dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi kemudian memperberat ancaman pidana, sebagai model pengaturan yang lebih tepat, apabila pasal-pasal KUHP tersebut dikaitkan dengan tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP. Ada beberapa model pengaturan norma hukum pidana dalam KUHP yang dikaitkan dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP: 1. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP tanpa mengubahnya; 2. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dengan memperberat ancaman pidananya; 3. merujuk tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dengan menambah unsur-unsur baru baik secara eksplisit dalam rumusan delik atau secara diam-diam dan memperberat ancaman pidananya; 4. menggandakan rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasalpasal KUHP dengan menambah unsur baru dan memperberat ancaman pidana; dan 5. Menghapus tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal KUHP dan menempatkan dalam undang-undang di luar KUHP.
301
Yang terakhir ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan pemberlakuan pasal-pasal KUHP dengan tindak pidana dalam undangundang baru, tetapi penghapusan pasal-pasal KUHP yang kemudian materi hukumnya dipindahkan ke dalam undang-undang tersebut umumnya dilakukan untuk membentuk sistem hukum pidana tersendiri di luar KUHP. Kebijakan legislasi seperti ini tidak tepat dalam sistem hukum pidana nasional yang menganut kodifikasi. Ketiga, masa Reformasi. Pada masa reformasi ini perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak dilakukan dan dirancang melalui kajian ilmiah yang mendalam sehingga menghasilkan undangundang tindak pidana korupsi yang kurang sempurna. Hal ini ditandai dengan beberapa kelemahan mendasar dari undang-undang yang mengatur tindak pidana korupsi: 1. Tidak diaturnya ketentuan peralihan (hukum transisi) dalam UndangUndang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menghapus Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baru kemudian, setelah ada kritik, ketentuan peralihan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Dimasukkannya kata dapat sebelum kalimat merugikan keuangan negara dengan maksud untuk mengubah rumusan delik materiil menjadi delik formil, telah menimbulkan problem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, karena menurut doktrin masuknya kata dapat tersebut telah mengganggu dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan pengalaman sejarah diberlakukannya Undangundang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang juga menggunakan kata dapat yang diikuti dengan keadaan hukum dalam praktik penegakannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak-hak hukum tersangka/ terdakwa dan kemudian dicabut melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. 3. Memperberat ancaman pidana dan memasukkan ancaman minimum khusus yang relatif tinggi/berat, yaitu 4 tahun penjara dan ancaman minimum denda tanpa memberi rambu-rambu penerapannya menimbulkan problem dalam praktik penegakan hukum dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, karena masing-masing pelaku dalam tindak pidana penyertaan memiliki peran yang berbeda-beda yang dinilai terlalu berat jika dikenakan
302
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
ancaman pidana minimum khusus penjara atau nilai kerugian yang relatif kecil yang tidak seimbang dengan ancaman minimum denda. Permasalahan hukum tersebut telah membawa problem tersendiri dalam praktik penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi, di satu pihak dituntut untuk menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara tegas dan konsisten sesuai dengan tuntutan reformasi, tetapi di pihak lain, jika hukum ditegakkan secara tegas dan konsisten dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggar hukum pidana yang dijadikan tersangka/terdakwa/terpidana. Acapkali pilihan untuk tidak mengajukan pelanggar hukum pidana ke pengadilan dinilai oleh aparat penegak hukum lebih tepat dan bijaksana daripada memproses dan mengajukan ke pengadilan yang sudah jelas berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap prinsip penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. C. Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyisakan dua problem hukum yaitu memuat ketentuan peralihan yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan pencabutan pasal-pasal KUHP yang kemudian normanya dipindahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinilai masih banyak kekurangan yang memerlukan perubahan yang mendesak, terutama tidak adanya ketentuan peralihan yang menyebabkan terjadinya interpretasi bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak lagi berlaku dan tidak dapat diberlakukan lagi karena tidak ada ketentuan peralihan sebagai hukum peralihan. Tidak adanya ketentuan peralihan tersebut menurut hukum administrasi perundang-undangan adalah janggal, apalagi terbitnya undang-undang baru tersebut berisi perubahan terhadap undang-undang lama. Semestinya hal itu tidak terjadi, meksipun dengan dalih telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang isinya menyatakan bahwa: Pasal 1 (1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. (2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
303
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) memuat asas hukum yang menyatakan bahwa apabila perubahan undang-undang diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka/terdakwa adalah asas hukum yang murni berlaku untuk pemberlakuan hukum pidana. Penerapan asas hukum tersebut dimaknai dalam dua pembatasan; pertama, dalam arti sempit yakni berlaku untuk undang-undang hukum pidana saja; dan, kedua, dalam arti luas yakni berlaku untuk semua undang-undang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan, baik di bidang hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. Menurut doktrin hukum, Pasal 1 ayat (2) dimaknai secara luas, maka perubahan undang-undang tersebut mencakup perubahan undangundang dalam lapangan hukum lain yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Ketentuan peralihan diperlukan dalam setiap penerbitan suatu undang-undang, baik undang-undang di bidang hukum administrasi, hukum keperdataan, dan hukum pidana. Adanya ketentuan peralihan dalam suatu undang-undang yang baru diperlukan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan konflik hukum antara ketentuan lama dengan ketentuan baru, atau problem hukum yang terjadi sehubungan dengan pemberlakuan hukum baru, apalagi terbitnya suatu undang-undang tersebut berisi perubahan sampai dengan pencabutan terhadap materi hukum yang diatur dalam dalam undang-undang sebelumnya. Jadi, persoalan ketentuan peralihan adalah persoalan hukum administrasi pembetukan peraturan perundang-undangan, bukan persoalan hukum pidana. Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut telah menimbulkan akibat hukum, yaitu hukum yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi dan hukum yang baru dinyatakan berlaku. Permasalahan hukum yang terkait dengan hukum yang lama yang telah dicabut tidak dapat diteruskan lagi, karena tidak ada dasar hukum pemberlakuannya (tidak ada hukum peralihan), dan jika diselesaikan dengan mendasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, pencabutan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipandang sebagai pertimbangan yang menguntungkan bagi tersangka/terdakwa, yakni dikenakan hukum yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berarti semua yang melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak dapat diproses dan diajukan ke pengadilan. Kedua undang-undang tersebut tidak dapat disejejarkan sebagai undang-undang yang sama-sama berlaku sebagai hukum positif, melainkan antara hukum positif dan hukum yang sudah dicabut atau dinyatakan tidak berlaku.
304
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
Permasalahan hukum yang muncul, undang-undang yang mana diberlakukan ketentuan peralihan yang dimuat dalam Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001? Ketentuan Pasal 43A ayat (1) dikutip selengkapnya: Pasal 43 A (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-Undang ini dan Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut jelas merujuk kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang berarti peralihan dimaksud adalah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kepada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menurut doktrin hukum tidak lazim, karena undangundang tersebut telah dinyatakan dicabut (tidak berlaku lagi) berdasarkan ketentuan Pasal 44 Bab VII Ketentuan Penutup UndangUndang 31 Tahun 1999: Pasal 44 Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan Pasal 44 tersebut, sejak 16 Agustus 1999 tanggal diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, undang-undang tersebut tidak bisa dihidupkan lagi berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 melalui Pasal 43A ayat (1). Ketentuan peralihan tersebut hanya berlaku terhadap peralihan dari UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mengenai permasalahan hukum ini pembentuk hukum melalui Penjelasan Umumnya menyatakan:
305
Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Persoalan ketiadaan ketentuan peralihan tersebut jelas dilakukan secara sengaja oleh pembentuk hukum, dan baru kemudian setelah ada protes, dilakukan ralat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas dasar permasalahan hukum tersebut, pertanyaan hukum yang mendasar adalah mengapa pembentuk hukum pada masa reformasi yang semestinya mengambil kebijakan hukum yang ketat dan tegas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justru mengambil kebijakan hukum yang longgar yaitu tidak mencatumkan ketentuan peralihan ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberi peluang kepada terduga pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 yang melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 meloloskan diri atau tidak dapat diproses dan diajukan ke pengadilan? Akibat ketiadaaan ketentuan peralihan tersebut, banyak perkara tindak pidana korupsi tidak diproses dan yang sedang diproses diberhentikan dan sebagian diputus lepas dari tuntutan hukum. Bagian lain diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah dicabutnya beberapa pasal KUHP dan normanya dimuat dalam undang-undang ini. Pencabutan pasal-pasal KUHP tersebut didasari dengan maksud penegasan bahwa tindak pidana suap adalah tindak pidana korupsi, maka pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap dicabut dari KUHP dan dipindahkan ke dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pencabutan tersebut diatur dalam Pasal 43B: Pasal 43 B Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab
306
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan sebanyak 13 pasal KUHP dan dipindahkan ke dalam undang-undang di luar KUHP tersebut tidak lazim, karena di samping maknanya menjadi berubah dan kebijakan tersebut telah mengubah sistem hukum pidana nasional Indonesia yang berbasis kodifikasi menjadi hukum pidana yang parsial dan serba eksepsional. Pencabutan dan pemindahan tersebut telah membawa akibat hukum lain terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: 1. Semua tindak pidana suap dengan segala bentuknya adalah tindak pidana korupsi dan tidak ada lagi suap yang bukan tindak pidana korupsi. Sebelumnya, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana suap yang termasuk delik umum (KUHP) dan tindak pidana suap yang termasuk sebagai tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori tindak suap yang luar biasa; 2. Telah menghilangkan sifat keluarbiasaan hukum pidana ( extra ordinary criminal law) yang dimuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berfungsi untuk mengatasi tindak pidana (kejahatan) yang luar biasa (extra ordinary crimes), sekarang telah menjadi kejahatan yang biasa (ordinary crimes). Sifat ordinary tersebut terjadi ketika dicabutnya pasal-pasal KUHP yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang tindak pidana korupsi (Nomor 20 Tahun 2001), karena pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap yang nilainya yang paling kecil sampai dengan luar biasa besar (mega suap), sehingga tidak pada tempatnya mengkategorikan tindak pidana biasa dan ringan sebagai tindak pidana luar biasa yang ditangani dengan prosedur yang luar biasa
307
hanya disebabkan karena ditempatkan dalam undang-undang khusus di luar KUHP; 3. Nilai kerugian keuangan negara tidak dibatasi jumlah minimumnya, sedangkan nilai suap dibatasi hanya untuk kepentingan pembuktian dan dalam hal tertentu dijadikan dasar pemidanaan. Akan tetapi kebijakan umum perumusan ancaman pidananya dinaikkan disertai dengan ancaman pidana minimum khusus, menunjukkan arah perubahan politik hukum pidana dan politik pemidanaan yang tidak jelas dan tidak konsisten. Sebagai contoh, ketentuan gratifikasi yang diberi batasan sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang dijadikan dasar penentuan kewajiban pembuktian, tetapi tidak ada batasan minimum gratifikasi, menunjukkan bahwa pembentuk hukum hendak menempatkan sifat jahatnya tindak pidana gratifikasi terletak pada perbuatan dan, oleh karena itu, ditempatkan sebagai kejahatan yang luar biasa. Ancaman pidana terhadap tindak pidana gratifikasi adalah sama berapapun jumlah gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12 B (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
308
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
Pembentuk hukum mengabaikan ketentuan Pasal 12C yang menunjukkan corak hukum administrasi dari tindak pidana gratifikasi yaitu melapor atau tidak melapor kepada KPK (laporan hanya disampaikan kepada KPK). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara setelah menerima gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari tidak melapor kepada KPK,maka perbuatan menerima gratifikasi tersebut sebagai tindak pidana (melawan hukum). Sebaliknya, jika penerima gratifikasi melapor sebelum batas waktu 30 hari perbuatan tersebut adalah bukan sebagai tindak pidana (tidak melawan hukum). Jadi sifat melawan hukum perbuatan gratifikasi terletak pada tidak melapor penerimaan gratifikasi tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Sulit dimengerti, mengapa ancaman pidana terhadap tindak pidana gratifikasi termasuk kategori sangat berat dan tidak proporsional dibandingkan dengan sifat tercelanya atau melawan hukumnya tindak pidana gratifikasi yang bersumber dari hukum administrasi. Sementara pemberi gratifikasi tidak dikenakan sanksi pidana, sebagai salah satu bentuk pidana suap. Semestinya pemberi gratifikasi yang menjadi pasangan dalam tindak pidana suap gratifikasi juga dikenai sanksi pidana yang sama dengan penerima gratifikasi, mengingat niat untuk memberikan gratifikasi sepenuhnya bersumber dari pemberi gratifikasi. Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan disalahgunakannya gratifikasi untuk merusak kehormatan atau nama baik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima gratifikasi, pada hal yang bersangkutan tidak ada niat dan maksud untuk mendorong orang lain menyerahkan gratifikasi kepada dirinya. Terkait dengan nilai kerugian, dari beberapa ketentuan pidana yang berasal dari KUHP, dikelompokkan berdasarkan nilainya lebih dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang dijadikan dasar penentuan perbedaan ancaman pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A: Pasal 12 A (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
309
Tindak pidana korupsi yang nilainya lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, sedangkan tindak pidana yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana yang sama yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perlu diketahui bahwa ancaman pidana dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 ancaman pidananya dari paling lama pidana penjara 5 tahun sampai dengan pidana penjara seumur hidup. Jadi, Pasal 12A dalam merumuskan ancaman pidana dilakukan berdasarkan nilai uang yang dijadikan transaksi (diserahkanterimakan dalam suap) dengan ancaman pidana yaitu lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) lebih berat dan kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) diancam dengan pidana yang lebih ringan tetapi ancaman pidananya sama (paling lama 3 tahun penjara). Politik pemidanaan dalam pasal-pasal yang dikutip tersebut di atas, ternyata tidak sama dengan politik pemidanaan dalam ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang menyamaratakan ancaman pidana terhadap semua pelaku, tanpa membedakan nilai kerugian keuangan negara akibat tindak pidana. Politik pemidanaan tersebut menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk menyamaratakan ancaman tindak pidana korupsi sebagai bentuk konsekuensi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi di sisi lain mengakui bahwa adanya perbedaan yang signifikan nilai atau jumlah materi dalam tindak pidana suap yang termasuk kategori ringan. Berdasarkan argumen hukum tersebut, menunjukkan bahwa setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (juga diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009), tindak pidana korupsi tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana atau kejahatan yang luar biasa, melainkan tindak pidana biasa dan sebagian di antaranya adalah tindak pidana yang diperberat atau yang dikualifisir. Perubahan hukum pidana khusus untuk menangani kejahatan yang luar biasa menjadi hukum pidana biasa yang dipergunakan untuk menangani tindak pidana biasa tersebut merupakan konsekuensi logik dari politik hukum pidana dan politik pemidanaan yang dipilih oleh pembentuk hukum sebagaimana yang dimuat dalam undang-undang perubahan, meskipun hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk hukum.
310
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
Implikasi hukum dihapuskannya pasal-pasal suap dan tindak pidana jabatan dari KUHP menjadi tindak pidana korupsi melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 telah menimbulkan problem hukum tersendiri, yaitu menghilangkan sifat eksepsionalitas tindak pidana korupsi yang semula sebagai tindak pidana yang sangat berat dan memiliki kualitas sebagai tidak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) menjadi tindak pidana biasa (ordinary). Di samping itu, memperlemah penanganan tindak pidana suap yang semula sebagai tindak pidana umum dimuat dalam KUHP yang ancaman pidananya relatif ringan, menjadi tindak pidana yang ancaman pidana berat, sehingga aparat penegak hukum cenderung menempuh untuk tidak memproses dan mengajukan ke pengadilan yang disebabkan oleh beratnya ancaman pidana (minimum dan maksimum khusus) yang dinilai tidak proporsional dengan nilai materi suap. Dalam praktiknya, praktis hampir tidak ada pasal-pasal suap yang relatif kecil tersebut dilaporkan oleh masyarakat, apalagi diproses dan diajukan ke pengadilan. D. Terbentuknya Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak mengamanatkan dibentuknya pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tetapi mengamanatkan dibentuknya komisi independen pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 43 ayat 1). Kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar hukum pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat menjadi KPK. Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi muncul dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dimuat dalam Bab VII tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Pembentukan Pengadilan Korupsi dimuat dalam Pasal 53 dikutip selengkapnya: Pasal 53 Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk dan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK permasalahan hukum:
311
1. Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan Undang-udang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimuat dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 62. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur tentang kekuasaan eksekutif tetapi di dalamnya mengatur kekuasaan yudikatif. Dalam pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut, konsideran hukumnya tidak merujuk kepada Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang organik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur lebih lanjut penggunaan kekuasaan kehakiman. Akibat teknik pembentukan perundangundangan yang demikian ini, Pengadilan Tipikor tidak memperoleh mandat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjadi alasan ketidakabsahan Pengadilan Tipikor dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. 2. Pengadilan Tipikor dibentuk hanya untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Tipikor hanya melayani kebutuhan hukum KPK, pada hal pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Model pengaturan yang demikian ini, dapat mempengaruhi independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang harus dijalankan oleh para hakim di Pengadilan Tipikor dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan dan mengesankan bahwa Pengadilan Tipikor berada di bawah kekuasaan eksekutif KPK. 3. Ketentuan yang mengatur pembentukan Pengadilan Tipikor yang ditempatkan sebagai bagian dari lembaga pemberantas tindak pidana korupsi tersebut di atas telah mempengaruhi cara kerja Pengadilan Tipikor yang harus menghukum terdakwa tindak pidana korupsi demi pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran pengadilan Tipikor yang demikian ini tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan peradilan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiil tersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam Pasal 53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah inskonstitusional.
312
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk hukum baru yaitu Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan ketentuan Pasal 39 telah mencabut berlakunya Pasal 53-62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Pengadilan Tipikor ini berbeda dengan Pengadilan Tipikor sebelumnya yang hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Ada beberapa perubahan dalam pembentukan Pengadilan Tipikor, yaitu: 1. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus diatur dalam Pasal 2: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Berarti tidak ada lagi pengadilan umum atau khusus lain yang memiliki wewenang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi selain pengadilan khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 yang berada pada pengadilan umum. Berbeda dengan sebelumnya, Pengadilan Tipikor hanya berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2. Pengadilan Tipikor diberi wewenang untuk mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan Pengadilan Tipikor diperluas bukan hanya berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi tetapi juga diberi wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. 3. Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Perkara tindak pidana korupsi tidak lagi diproses melalui pengadilan ganda seperti sebelumnya yaitu Pengadilan Umum yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan penuntut umum dari kejaksaan dan Pengadilan Tipikor di Pengadilan Jakarta Pusat yang penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkan menjadi satu-satunya pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum, baik penuntut umum yang berada di bawah manajemen
313
Kejaksaan Agung maupun penuntut umum di bawah manajemen KPK. Penataan ulang penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tersebut telah membawa implikasi hukum: 1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi pengadilan khusus yang mengadili (semua) perkara tindak pidana korupsi. Sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum dan keadilan telah membawa perubahan ke arah yang positif, yaitu penegakan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan memberi peluang penyelenggaraan peradilan yang adil (fair trial) dan non-diskriminatif. 2. Karena Pengadilan Tipikor sudah menjadi pengadilan khusus yang mengadili semua perkara tindak pidana korupsi, maka semua perkara tindak pidana korupsi memiliki kedudukan yang sama, dan semestinya diproses dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana yang sama. Tidak lagi diperbolehkan adanya prosedur hukum acara pidana yang berbeda terhadap semua tersangka/terdakwa perkara tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa dan diajukan ke Pengadilan Tipikor, meskipun diproses oleh lembaga atau instansi yang berbeda. 3. Di hadapan Pengadilan Tipikor, penuntut umum baik di bawah manajemen kejaksaan maupun di bawah manajemen KPK memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang istimewa atau diistimewakan, tetapi semua perkara tindak pidana korupsi adalah perkara pidana yang menjadi prioritas untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan. Keberadaan Pengadilan Tipikor ini telah menggeser kedudukan penuntut umum pada KPK (karena telah menjadi sama dengan penuntut umum pada kejaksaan) mengenai beberapa hal: a. Mengajukan perkara pidana tindak pidana korupsi di seluruh wilayah Pengadilan Tipikor yang ada di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan dasar penetapan kompetensi relatif Pengadilan Tipikor. b. Tunduk kepada prosedur beracara pidana khusus pada Pengadilan Tipikor sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, di samping harus tindak kepada hukum acara pidana umum yang diatur dalam KUHAP. c. Perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum pada KPK menjadi sama kedudukannya dengan
314
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum pada kejaksaan dan berlaku pada semua tingkatan pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung. d. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK sebagai kompetensi penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK bukanlah kompetensi absolut, karena perkara tindak pidana korupsi tersebut dapat juga ditangani oleh penyidik polisi dan penyidik jaksa, dan penuntutannya dapat dilakukan oleh penuntut umum pada kejaksaan. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 11: Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). menjadi kehilangan jiwa hukumnya dan tidak lagi memiliki sifat eksepsionalitas prosedur penegakan hukumnya sebagai suatu tindak pidana korupsi yang memiliki kualifikasi khusus yang memerlukan proses peradilan yang khusus. E. Penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Berdasarkan analisis hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi yang semula dipersepsi sebagai tindak pidana yang luar biasa, dengan dihapuskannya pasal-pasal KUHP yang kemudian materinya dimasukkan sebagai materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka menghilangkan sifat keluarbiasaan dari tindak pidana korupsi. Permasalahan hukumnya adalah apakah masih diperlukan prosedur yang luar biasa dalam menangani tindak pidana korupsi? Sesuai dengan doktrin hukum, prosedur penanganan suatu kejahatan diukur dari sifat kejahatan itu sendiri, prosedur yang luar biasa hanya cocok untuk menangani kejahatan yang luar biasa dan tidak cocok untuk menangani kejahatan yang biasa. Penanganan
315
dengan menggunakan prosedur yang luar biasa dapat berpotensi melanggar hak-hak tersangka/terdakwa yaitu hak untuk diproses dan diadili secara adil (fair trial). Berdasarkan asumsi yang menjadi dasar pembentukan undangundang tindak pidana korupsi dan undang Pengadilan Tipikor bahwa semua perkara tindak pidana korupsi adalah sama, diproses melalui prosedur yang sama, diajukan oleh lembaga yang berbeda, dan diadili oleh pengadilan yang sama, maka ada beberapa alternatif pengaturan tindak pidana korupsi: 1. Semua tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana korupsi adalah tindak pidana biasa (umum), tempat pengaturannya dikembalikan ke dalam KUHP, tetapi penegakan hukumnya menjadi perhatian yang khusus dan kebijakan penegakan hukumnya diprioritaskan (kembali kepada kebijakan legislasi pada tahap awal yaitu mengefektifkan pasal-pasal KUHP untuk memberantas perkara tindak pidana korupsi). 2. Dari tindak pidana korupsi yang biasa tersebut dibuat kriteria sebagai tindak pidana korupsi yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yang luar biasa sehingga perlu ketentuan tersendiri sebagai hukum pidana khusus (extra ordinary criminal law) untuk menangani kejahatan korupsi yang luar biasa. Sifat eksepsionalitas penanganan tindak pidana korupsi hanya ditoleransi kepada tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori luar biasa. 3. Semua aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi diberi wewenang yang sama dan tunduk kepada hukum prosedur/acara yang sama, kecuali terhadap penanganan tindak pidana korupsi yang termasuk kategori luar biasa. 4. Oleh sebab itu, kewenangan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perlu diubah dengan menempatkan KPK diberi tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hanya terhadap perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kategori luar biasa dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana yang menyimpangi dari hukum acara pidana yang umum sebagai bentuk pengecualian (eksepsional). Eksepsionalitas prosedur penanganan perkara tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori yang luar bisa tersebut hanya dimiliki oleh KPK (sebagai satu-satunya lembaga), sedangkan polisi dan jaksa diberi wewenang untuk menangani perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kategori biasa/umum dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana umum.
316
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
Tidak bijaksana jika tetap mempertahankan bahwa semua tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa dan ditangani dengan menggunakan prosedur yang luar biasa. Sesungguhnya dalam menangani perkara tindak korupsi agar memiliki daya cegah yang efektif adalah terletak pada greget aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, bukan terletak pada sifat eksepsionalitas hukum pidana materiil atau hukum pidana formil. Ketersediaan sumber daya manusia aparat penegak hukum yang berkualitas, jujur, memiliki komitmen dan berani merupakan hal lebih penting dan utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di masa sekarang dan di masa datang, dibanding dengan melakukan kebijakan pembaruan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sebagaimana kebijakan yang ditempuh selama ini. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa hukum yang baik dan sempurna akan menjadi rusak karena aparat penegak hukumnya dan hukum yang rusak dan tidak sempurna akan menjadi baik dan sempurna karena aparat penegak hukumnya. Tetapi, aparat penegak hukum yang baik saja tidaklah cukup, dibutuhkan adanya keberanian dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Jika lembaga KPK tetap dipertahankan memiliki wewenang yang berbeda dengan aparat penegak hukum lain, perbedaan itu ditentukan berdasarkan kompetensi penanganan perkara pidana yang khusus atau disebut luar biasa (Pasal 11 yang perlu direvisi) dan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penyelidikan/penyidikan dan penuntutan adalah lembaga KPK. Jika kriteria tindak pidana korupsi yang luar biasa tersebut diterima, maka dapat ditoleransi adanya pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa yang hanya diberi wewenang untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa. Penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK melalui Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 menjadi tidak efektif dan efisen karena keterbatasan sumber daya manusia pada KPK jika harus mengajukan perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan kompetensi relatif Pengadilan Tipikor. Oleh sebab itu, KPK perlu segera melakukan reorientasi kebijakan penanganan perkara tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 agar lebih efektif dan efisien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat, KPK memiliki tugas yang lebih variatif
317
dibandingkan dengan polisi dan jaksa sebagaimana dimuat dalam Pasal 6, yaitu: Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Berdasarkan ketentuan di atas, KPK perlu segera melakukan langkah-langkah strategik dan melakukan peninjauan ulang kebijakan selama ini guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum yang terjadi baik langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya telah dibentuknya Pengadilan Tipikor. Berdasarkan pertimbangan perkembangan hukum yang terjadi, pilihan menempatkan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 11 huruf c sebagai alternatif pilihan yang terakhir (ultimum remedium) setelah melaksanakan tugas huruf a, b, d dan huruf e hasilnya tidak efektif dalam melakukan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Pilihan tersebut tidak mengurangi eksistensi lembaga KPK yang dibentuk sebagai lembaga khusus yang fokus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi justru dengan pilihan tersebut, KPK dapat menjalankan pelaksanaan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara total dengan menggerakkan lembaga lain yang diberi wewenang untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Jika KPK tetap mempertahankan kebijakan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 11 huruf c sebagai pilihan utama dan diutamakan (seperti sekarang), maka selama itu pula KPK telah menjadi kompetitor dengan lembaga lain yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Keadaan seperti ini justru
318
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa
menjadi faktor yang memperlemah kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional dan KPK kehilangan jiwanya sebagai lembaga independen yang fungsi dan tugasnya untuk menggerakkan semua lembaga yang diberi tugas untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Apabila semua lembaga tersebut telah berfungsi secara efektif, peran KPK dikurangi dan bahkan dipertimbangkan untuk dihapuskan. F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan legislatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka menjalankan amanat reformasi secara yuridis formal telah menghasilkan terbitnya beberapa undang-undang yang dimaksudkan untuk memperkuat dan mengefektifkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, secara yuridis materiil mengandung kelemahan dan dapat memperlemah pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Perlemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian kebijakan legislasi yang kemudian berujung pada terbitnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya, merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/ PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 telah membawa perubahan terhadap beberapa hal terhadap tindak pidana korupsi dan pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana biasa (umum) dan, oleh sebab itu, penanganan tindak pidana korupsi dilakukan melalui prosedur biasa/normal. Dengan demikian lagi ada Pengadilan Tipikor yang khusus memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntututannya diajukan oleh KPK dan berdasarkan asas kompetensi relatif pengadilan, KPK mengajukan perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan di tempat tindak pidana terjadi. Dalam kaitannya dengan hukum pidana materiil, politik hukum pidana dan politik pemidanaan pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perlu ditinjau kembali agar dibedakan kebijakan pemberantsan tindak pidana korupsi dan penegakan hukum terhadap tindak pidana, karena keduanya berada dalam wilayah pengaturan yang berbeda yang tidak boleh disatukan. Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi kompetensi kekuasaan eksekutif dan penegakan hukum menjadi kompetensi kekuasaan yudikatif yang terkait dengan penggunaan
319
kekuasaan kehakiman dalam rangkana penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi di masa datang perlu dipikirkan mengenai beberapa hal, yaitu: Pertama, kelemahan dan ketidakefektifan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang bersumber dari sumber daya aparat penegak hukum tidak tepat jika direspon dengan melakukan perubahan materi hukum pidana materii dan memberikan wewenang eksepsional dalam bidang hukum pidana formil. Perubahan dengan cara yang demikian ini dapat merusak tatanan sistem hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Memperkuat peran aparat penegak hukum dengan cara mengatur pemberian wewenang yang melebihi dari ketentuan hukum pidana formil atau pemberian wewenang khusus yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana formil (eksepsional) dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi keadaan tersebut berpotensi melanggar hak-hak hukum tersangka/terdakwa yang juga dilindungi oleh hukum dan konstitusi. Kedua, tidak semua tindak pidana korupsi yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 adalah tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana yang luar biasa, maka perlu dipikirkan secara mendalam mengenai tindak pidana korupsi yang mana yang termasuk kategori tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary criminal law dan extra ordinary crimes) yang memerlukan penanganan khusus yang menyimpangi dari prosedur hukum acara biasa (extra ordinary criminal law procedure). Ketiga, dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK sebaiknya hanya diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang termasuk luar biasa dan merupakan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang untuk itu, diajukan ke pengadilan yang dibentuk secara khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang luar biasa. Meskipun demikian, hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tetap harus dihormati dan ditegakkan, karena hal ini menjadi kewajiban konstitusional bagi aparat penegak hukum manapun pada semua tingkatan.
320
MEMOTONG WARISAN BIROKRASI MASA LALU, MENCIPTAKAN DEMARKASI BEBAS KORUPSI (DEDUCTING BUREAUCRACY LEGACY OF THE PAST, CREATING A FREE CORRUPTION DEMARCATION) Wahyudi Djafar* (Naskah diterima 09/06/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Meskipun penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi terus digencarkan, bahkan melalui upaya luar biasa sekalipunpembentukan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, namun sepertinya kerja pemberantasan korupsi masih harus melalui jalan panjang, mengingat begitu sistemik dan meluasnya praktik korupsi di negeri ini. Satu hal yang ditengarai menjadi sumber betapa sistemik dan berjejaringnya praktik korupsi di Indonesia, ialah warisan birokrasi masa lalu, yang lebih mengedepankan pada pendekatan relasi patrimonialistik. Melalui relasi ini, para birokratpejabat negara, pegawai pemerintah, kaum pengusaha, dan aparat penegak hukum, bertemu membentuk jejaring korupsi, yang memberi untung bagi mereka, dalam sebuah hubungan patron dan klien. Untuk itu, selain pembentukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberikan legitimasi hukum bagi gerak pemberantasan korupsi, dan tentunya disertai dengan langkah nyata penegakan hukum, juga harus dibarengi dengan perubahan paradigma para penyelenggara dan aparat negara. Selain di level teknis reformasi birokrasi, model sistem birokrasi patrimonialistik yang selama ini mengakar, mesti diubah menjadi suatu konsep birokrasi rasional, yang memberikan dukungan sepenuhnya bagi penyelenggaraan sebuah pemerintahan modern. Harus diciptakan demarkasi, yang memberikan batasan tegas antara birokrasi patrimonialistik masa lalu yang korup, dengan birokrasi rasional yang bebas korupsi. Kata kunci: korupsi, birokrasi, patrimonial, paradigma, rasional
Abstract
Although law enforcement in efforts to eradicate corruption continues to run, even through an extraordinary effortsEstablishment of Corruption Eradication Commission (KPK) and Court of Corruption, but it seems that the work to eradicate corruption still have a long way to reach the goal, considering that so systemic and widespread of corruption in this country. One thing that suspected to be a source of systemic and
* Peneliti Hukum dan HAM, sekaligus Prgogram Officer Monitoring Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di Jakarta. Gagasan awal tulisan ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, bersama dengan Zainal Arifin Mochtar dan Febri Diansyah, pada Lembaga Penelitian Fakultas Hukum UGM, dengan judul penelitian, Telaah Kritis Implikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nation Convention Againts Corruption, 2003 Terhadap Kerangka Sistemik Hukum Administrasi Negara dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, pada tahun 2006.
321
networking corruption practices in Indonesia is the bureaucratic legacy of the past, putting forward in patrimonialistic relation approach. Through this relation, bureaucrats state officials, government employees, the employers, and law enforcement officers meet to form a network of corruption, which gives a profit for them, in a patron and client relationship. For that, besides the formation of a number of laws and regulations that give legal legitimacy to the movement against corruption, and of course accompanied by concrete steps of law enforcement, also it must be accompanied by changes in the paradigm of the organizers and state officials. In addition to the technical level of bureaucratic reform, patrimonialistic bureaucracy system model that has been rooted, must be changed with a concept of rational bureaucracy, which provides full support for implementing a modern government. Must be created demarcation, which provides strict boundaries between the past corrupt patrimonialistic bureaucracy, with a rational bureaucracy that is free of corruption. Keywords: corruption, bureaucracy, patrimonial, paradigm, rational
A. Pendahuluan Sudah lebih dari satu dekade, Indonesia meninggalkan pemerintahan otoritarian birokratik, Orde Baru, yang korup dan menindas. Namun demikian, beragam peninggalan buruk Orde Baru, saat ini masih tampak sangat kasat mata, dan jamak mempertontonkan diri di depan mata kita. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terselesaikan, praktik korupsi dengan segala jenis variannya terus menggurita tanpa akhir. Begitu banyak sudah pejabat publik yang ditangkap karena kasus korupsi, baik politisi, birokrat, maupun aparat penegak hukum sendiri, namun rupanya belum cukup untuk menjerakan niat jahat penyalahgunan kedudukan dan jabatan. Korupsi sebagai warisan masa lalu dari pemerintahan otoriter, hampir menjadi sebuah jaringan yang luar biasa sistemik dan mengakar. Mesti diakui, praktik korup dan manipulatif telah mampu menghantarkan Soeharto untuk menduduki singgasana kepresidenan selama tiga puluh tahun lebih. Penciptaan oligarki yang terkonsolidasi telah mendukung setiap pilihan kebijakan yang dikeluarkan sang tiran, meski melenceng sekalipun.1 Dalam masa pemerintahan Soeharto, korupsi benar-benar telah menciderai demokrasi dan menjadi penghambat utama jalannya pembangunan, yang tegas-tegas adalah jargon tunggal pemerintah berkuasa. Akibat praktik korupsi, utang luar negeri yang dikucurkan oleh negara-negara donor dan lembaga-lembaga donor, yang sedianya
Lihat Jeffrey A. Winters, Not Democracy but Rule of Law is Indonesias Central Problem, Makalah dalam diskusi Perkumpulan Perhimpunan Demokrasi (P2D), Jakarta, 3 Juni 2011, tidak diterbitkan.
322
digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, justru mengalami pemangkasan hingga mencapai 30%, yang dilakukan oleh segelintir kroni-kroni Soeharto. 2 Ini berarti, bantuan-bantuan asing yang seharusnya digunakan untuk biaya pembangunan, malah dimakan oleh sebagian kecil orang dalam lingkaran kekuasaan. Implikasi dari langgengnya kekuasaan Soeharto, sebagai hasil dari permainan demokrasi para koruptor, adalah Soeharto banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Terutama dilakukan terhadap orangorang atau kelompok-kelompok yang berusaha untuk menyuarakan bahwa telah terjadi ketidakberesan dalam kekuasaan Soeharto. Selain itu, kesenjangan sosial luar biasa terjadi, segelintir orang yang posisinya dekat dengan kekuasaan menjadi sangat kaya raya, sedangkan di sisi lain massa rakyat dalam jumlah yang jamak, menjadi semakin terjerumus ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan yang memilukan. Usai keruntuhan rezim neofasis-militer Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Soeharto pada Mei 1998, Indonesia menderita kebangkrutan ekonomi, dekadensi moral, kebuntuan kebudayaan, gelombang konflik sosial, dan sekian persoalan lain yang hingga kini belum terjawab. Pada Era Reformasi, demikian banyak orang sepakat menyebut Indonesia masa kini, diharapkan sekian persoalan rumit dan ruwet itu dapat segera terselesaikan sehingga masyarakat Indonesia bisa menyongsong masa depan yang cerah, demokratis, adil, dan sejahtera. Pada Era Reformasi, pembaharuan tata politik nasional dalam suasana transisi menuju demokrasi dimulai dengan Pemilu Tahun 1999. Pemilu ini dinilai sukses merestrukturisasi kepemimpinan nasional dan lokal secara demokratis, menghasilkan sejumlah pembaruan konstitusi dan tata hukum turunannya, mendesentralisasi kekuasaan, dan lain-lain. Namun, meski harus tetap diakui ada beberapa capaian positifnya, perubahan-perubahan itu masih lebih bersifat prosedural, sedikit sekaliatau bahkan sama sekali tidakmembawa perubahan yang lebih substansial. Tatanan politik lama masih menjadi corak pekat
Geoge Junus Aditjondro, Tarik Tambang Wacana Korupsi: Bidan Neoliberalisme atau Ujung Tombak Demokratisasi? Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002 (Yogyakarta: INSIST Press), hlm. 8. Lihat juga Hamid Basyaib dkk. (ed.), Mencuri Uang Rakyat . Buku 3: Bantuan Asing, Swasta, BUMN (Jakarta: Aksara Fondation, 2002), hlm. 43. Data Lee Kuan Yew memaparkan, pada tahun 1997 untang luar negeri Indonesia mencapai $68-$69 miliar, yang didominasi oleh utang swasta, terdiri dari kurang lebih 800 debitur. Akibat besarnya utang luar negeri ini, rupiah anjlok dan cadangan devisa habis digunakan untuk pencicilan utang luar negeri.
323
kehidupan politik kini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai berbagai lembaga yang menjadi tulang punggung penataan format kenegaraan Indonesia. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif masih diwarnai oleh segunung penyakit kronis yang memberi efek buruk dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Meski secara formal dan simbolik rezim neofasis-militer Orde Baru sudah runtuh tiga belas tahun lalu, namun sekian banyak penyakit warisannya masih membekas. Aktor-aktor politik di panggung kekuasaan belum banyak mengalami perubahan, meski sebagian sudah diisi oleh wajah-wajah baru yang reformis. Namun demikian mayoritas masih dipenuhi muka-muka lama yang bergaya dan menampilkan diri sebagai sosok reformis. Situasi ini, jika dilihat dari sisi ekonomi politik, telah mengakibatkan suatu tindakan pembajakan terhadap proses konsolidasi kekuasaan yang berlangsung kala itu. Tingginya tarik ulur kepentingan dan proses politik yang dipenuhi dengan mekanisme transaksional dalam setiap momen transisi, telah menyeret proses reformasi ke dalam pusaran kepentingan kelompok elit tertentu. Pembajakanhijackingatas konsolidasi kekuasaan ini khususnya dilakukan oleh kelompok status quopredatoris yang menghendaki bertahannya kekuasaan Orde Baru, dan kelompok-kelompok yang membawa kepentingan kuasa modal, yang menginginkan keuntungan sebesar-besar bagi kelompoknya.3 Imbas dari situasi ini, berbagai persoalan warisan masa lalu, seperti halnya berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang segera membutuhkan penyelesaian, dan menjamurnya praktik korupsi, tidak kunjung mendapatkan penanganan serius dari pemerintah berkuasa. Lebih jauh, kurangnya itikad baik dan kemauan politik (political will) dari pemerintah berkuasa, untuk segera menyelesaikan beragam persoalan masa lalu, dapat dibaca sebagai dampak dari tetap terkontaminasinya pemerintahan reformasi, oleh kooptasi dan intervensi kekuatan-kekuatan Orde Baru, yang tetap memegang posisiposisi penting dan strategis di dalam pemerintahan ataupun panggung politik umumnya.
Vedi R. Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called Democratic Transitions, dalam The Pacific Review, Vol. 16 No. 4, 2003, (London: Routledge), hlm. 591-611. Lihat juga Richard Robison and Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London, Routledge, 2004).
324
B. Buruknya Sistem Birokrasi Masa Lalu Korupsi yang merajalela dalam sistem birokrasi Indonesia khususnya, salah satu sebabnya adalah model birokrasi patrimonial yang dianut oleh Indonesia,4 yang begitu mengakar kuat ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Model patrimonialistik memang telah memiliki akar antropologis yang cukup kuat di Indonesia, seperti yang dijelaskan oleh James C. Scott (1972), yang memaparkan suatu relasi patrimonialistik di Indonesia, dengan memperlihatkan bagaimana relasi antara petani subsisten dengan elit agraris. Diungkapkan Scott, model aksi patron-client atau solidaritas vertikal dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya adalah adanya hubungan antara klienhamba dengan patrontuan yang diibaratkan sebagai suatu hubungan pertukaran yang vertikal, dimana perubahan-perubahan selalu berada di bawah legitimasi kaum elit. Sementara mengenai relasi antara patron dengan klien, sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, dijelaskan oleh Scott sebagai berikut:5 ... ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron. Dalam relasi ini, Scott menekankan dua hal yang menjadi sifat dari relasi patrimonialistik, di mana suatu relasi lebih didasarkan pada ketidaksamaan dan fleksibilitas yang tersebar, sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. 6 Model aksi inilah yang dibangun dan ditumbuhkembangkan oleh rezim Orde Baru, antara penguasapara pejabat publik, dengan para bawahannya, ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, seperti halnya para pengusahakonglomerasi, yang sama-sama ingin mendapatkan untung. Akibatnya praktik korupsi merajalela, sebagai konsekuensi dari harapan untuk mendapatkan untung.
4 Birokrasi patrimonial telah menjadi sumber masalah, diantaranya adalah menjadikan tindakan korupsi sebagai suatu kebiasaan. Seperti diungkapkan KOMPAS, 21 November 2006. Dalam masyarakat barat, birokrasi patrimonial berkembang pada masa pra-kapitalis, di mana feodalisme masih mengakar kuat. 5 James. C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 7. 6 Ibid., hlm. 8.
325
Dalam konteks birokrasi, Weber memberikan penilaian bahwa sistem birokrasi patrimonial, ialah suatu sistem birokrasi di mana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi dan hubungan bapak-anak buah (patron client).7 Max weber berkeyakinan, struktur birokrasi patrimonial akan tidak melancarkan perkembangan ekonomi yang berciri kapitalis dan swasta, sebab terdapat banyak ketidakselarasan antara sistem patrimonial dan bentuk pertumbuhan industri ekonomi yang berwatak kapitalis.8 Dorojatun Kuntjoro Jakti menyebut birokrasi patrimonial serupa dengan lembaga perkawulaan, dimana patron gusti atau juragan, sedangkan klien adalah kawula. Hubungan anatara gusti-kawula bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan.9 Mansyur Semma dalam disertasinya Negara dan Korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis, menjelaskan:10 bahwa warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodalismenya di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan yang seperti itu, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai tindakan korup yang telah terjadi. Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred Riggs menjelaskan bahwa birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. 11 Senada dengan Riggs, Etzioni dan Halevy juga mendefinisikan birokrasi sebagai organisasi hirarkis pemerintah yang
Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Jurnal Prisma Nomor 10 Tahun IX Oktober 1980, hlm. 21. sebagaimana diambil dari Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. Lebih jauh Muhaimin menjelaskan, perilaku ini bisa mengakibatkan paham bapakisme, seperti marak pada zaman Orde baru dengan istilah Asal Bapak Senang. Dengan menggunakan analisa Weberian juga, Mochtar Lubis menjelaskan segenap akar tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, negara birokrasi patrimonial adalah lingkungan terbaik bagi tumbuh suburnya korupsi.korupsi banyak dilakukan dengan menggunakan kedok birokrasi, seperti badan pengawas keuangan, Irjen di tiap departemen, parlemen, dan kejaksaan. Sebagaimana dijelaskan Mansyur Semma, dalam Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan: Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah, Kompas, 21 November 2006, hlm. 13. 8 Yahya Muhaimin, Ibid., hlm. 27. 9 Dorojatun Kuntjoro Jakti, Birokrasi di Dunia Ketiga: Alat Rakyat, Alat Penguasa, atau Penguasa, Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980, hlm. 6. 10 Lihat Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 11 Yahya Muhaimin, op.cit., hlm. 21.
7
326
ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. 12 Lebih jauh Etzioni dan Halevy menjelaskan birokrasi diharapkan bersikap netral sekaligus patuh, hanya bertanggung jawab pada pekerjaan yang diurusi dan sekaligus tunduk pada tanggung jawab yang sudah digariskan oleh kementerian (departemen) masing-masing. Intinya birokrasi pada saat yang bersamaan, birokrasi dan para birokrat, harus bersikap politis dan non politis sekaligus.13 Mengenai historisitas model-model birokrasi di Indonesia, setidaknya bisa mulai dilacak semenjak model kepagawaian sipil pribumi diterapkan di Jawa, yang berkembang pada akhir masa kekuasaan kolonial. Para pegawai sipil pribumi ini disebut dengan sebutan Pangreh Praja atau penguasa kerajaan, sedangkan oleh Belanda mereka disebut dengan inlandsch bestuur atau pemerintahan pribumi.14 Pada masa tersebut sebenarnya telah diadakan upaya-upaya untuk mentransformasikan sistem birokrasi patrimonial menuju sistem birokrasi yang rasional. Proyek ini dikerjakan melalui serangkaian reformasi-reformasi yang masuk akal, mulai dari perekrutan pegawai, pelatihan, prosedur promosi dan spesialisasi fungsional.15 Akan tetapi dalam perjalanannya, proyek ini tidak sepenuhnya berhasil atau boleh dikatakan nihil. Hal ini terjadi akibat dari masih kuatnya hegemoni dan dominasi dari pemerintahan kolonial yang berkuasa, yang imbasnya pemerintahan pribumi sebagai bawahanklien, harus sepenuhnya mengikuti pada penjajah sebagai atasanpatron. Tradisi semacam inilah yang selanjutnya berkembang hingga mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dan terus berlanjut hingga sekarang, karena kurangnya upaya untuk melakukan pemutusan. Selain pengaruh dari sistem birokrasi patrimonial, kekuasaan absolut birokrasi juga semakin berkembang karena konsepsi negara modern yang mempunyai kapasitas untuk memonitor ekonomi rakyatnya dan kemampuannya untuk menyediakan pelayanan publik.16 Konsepsi negara modern selanjutnya meningkat kapasitasnya menjadi
Eva Etzioni and Halevy, Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma, 1983, hlm. 1. Secara umum, para pemikir tentang birokrasi banyak merumuskan batasan-batasan birokrasi yang dikemukakan oleh Weber, hal ini disebabkan karena Weber sendiri tidak memberikan pengertian yang tegas tentang birokrasi. 13 Eva Etzioni and Halevy, Ibid., hlm. 3. 14 Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 25). Para pejabat pribumi ini merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing. 15 Heather Sutherland, Ibid., hlm. 26. 16 Lihat R.M. Mac Iver, Negara Modern (terj), (Jakarta: Aksara Baru, 1977).
12
327
sistem negara kesejahteraan ( welfare state ), yang mengharuskan birokrasi untuk kuat dalam menjalankan peran-peran tersebut. Birokrasi dalam negara modern menjadi aktor yang memberikan alokasi bagi sumberdaya yang terus bertambah. Akibatnya, semakin banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada birokrasi, demi menjamin kelangsungan hidupnya.17 Pada titik inilah birokrasi menjadi sumber terjadinya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat atau orang yang menggantungkan hidupnya pada birokrasi. Tindakan semacam ini menjadi semakin menguat setelah rezim Orde Baru menerapkan berbagai pendekatan teori pembangunan di dalam rezim developmentalis yang mereka bangun. Banyak teori-teori diciptakan untuk memberi legitimasi atas model-model pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru, seperti halnya teori tinggal landas dan teori repelitarencana pembangunan lima tahunan.18 Modelmodel seperti itulah yang kemudian menjadi pemicu lahirnya jejaring korupsi yang sistemik, karena para koruptor dalam jalur-jalur birokrasi berusaha melindungi tindakannya dengan berbagai macam teori dan meligitimasinya dengan berbagai aturan hukum. Rezim despotis Soeharto sengaja menciptakan suatu bentuk masyarakat birokratis untuk mendukung terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh para kapitalis birokrat. Lans Castle memberikan ciri pada masyarakat birokratik ini sebagai berikut: Pertama, lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan interest group semuanya lemah dan tidak mampu melakukan balance, serta kontrol kepada birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, yang merupakan sebab terpenting melemahnya peranan partai politik, dan secara timbal balik menguatkan peranan birokrasi.19 Kondisi ini, jika menggunakan pendekatan yang digunakan Syed Hussein Alatas (1987), yang telah menciptakan tiga tipologi korupsi, yaitu: sogokan (bribery), pemerasan (extortion ), dan nepotisme.20
Eva Etzioni and Halevy, op.cit., hlm. 4. Pada dekade 1970-an hingga 1990-an Ilmuwan sosial dengan dukungan dari negara menyelenggarakan berbagai penelitian, seminar dan lokakarya, yang membicarakan bagaimanan supaya ilmu sosial bisa relevan bagi pembangunan (Vedi R. hadiz dan Daniel Dhakidae, ed, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), hlm.10. Terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, pada masa pemerintahan Suharto usaha ini tidak pernah berhasil, berbagai lembaga dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun hasilnya selalu nihil, karena pada masa Suharto, korupsi sudah menjadi bagian dari sistem. 19 Yahya Muhaimin, op.cit., hlm. 26-27. 20 Syed Hussein Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987). Lihat juga Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1982).
17 18
328
Sementara itu, dengan mengawinkan model tipologi korupsi yang digagas Alatas, dan model jejaring yang diajarkan oleh Chambalissmenurut Chambaliss, korupsi telah mempertemukan unsur birokrat, politisi, pengusaha, dan aparat penegak hukum, di mana kepentingan anggota jejaring dilindungi lewat sogokan maupun tekanan fisik. Aditjondro telah melontarkan ide tetang model korupsi tiga lapis, yang marak terjadi di Indonesia, yaitu:21 1. Korupsi lapis pertama, di mana permintaan untuk diberi balas jasa berasal dari para birokrat atau pejabat pelayanan publik, yang diajukan kepada masyarakat. 2. Korupsi lapis kedua, di mana lahir jejaring korupsi antara birokrat, politisi, aparat penegak hukum, dan perusahaan yang memperoleh perlakuan istimewa. 3. Korupsi lapis ketiga, yakni korupsi yang melibatkan organ-organ internasional, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga donor yang memberikan bantuan untuk program anti korupsi. C. Transformasi Birokrasi dan Penegakan Hukum Sebagai jawaban atas carut-marutnya berbagai persoalan yang ada dalam sistem birokrasi Indonesiakuatnya patrimonialisme, yang berimplikasi pada sistemiknya korupsi, tidak hanya memerlukan tindakan represif pemberantasan korupsi, tetapi juga perlu reformasi sistem birokrasi yang menyeluruh, tidak hanya di level teknis, melainkan juga paradigma. Reformasi ini dapat diwujudkan dengan perubahan dari sistem birokrasi patrimonial menuju sistem birokrasi yang rasional, sebab birokrasi rasional merupakan unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern.22 Seperti halnya pemerintahan kolonial pada masa yang lampau, reformasi birokrasi dapat dimulai dari perbaikan sistem perekrutan pegawai, yang pada tahap ini akan diketahui bagaimana kapabilitas dari masing-masing calon pegawai, untuk itu diperlukan suatu seleksi ketat. Model seleksi semacam ini sebenarnya sudah diterapkan sejak lama, tercatat semenjak tahun 1864, pemerintah kolonial Belanda sudah mengadakan Ujian Kleinambtenaars untuk mengangkat pegawai-pegawai kecil pemerintah. Seleksi ini dimaksudkan untuk memeriksa pekerjaan apa yang cocok bagi peserta
Ibid., hlm. 21-23. Martin Albrow, Birokrasi (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 42. Bagi Weber, proses rasionalisasi dunia modern adalah lebih penting, daripada seluruh proses sosial.
21 22
329
seleksi tersebut. Materi seleksi meliputi kecakapan berhitung dan kemampuan tulis-menulis dalam bahasa Belanda.23 Permintaan untuk melakukan reformasi birokrasi menjadi semakin bertambah kuat seiring dengan buruknya layanan publik pemerintah, yang terlalu berbelit-belit dan tidak memenuhi harapan masyarakat. Salah satu penyebab maraknya praktik korupsi di Indonesia, adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.24 Melihat fenomena yang berkembang di Indonesia, birokrasi dan korupsi bisa diibaratkan seperti sekeping uang logam, keduanya tidak terpisahkan, di mana ada birokrasi di situ ada korupsi. Ini tentu mengkhawatirkan, korupsi telah memiliki struktur dan menjadi kultur dalam proses birokrasi. Korupsi sudah membentuk jaringan sistemik yang sangat kuat dalam lingkaran birokrasi Indonesia. Sistem birokrasi yang seharusnya memberikan dukungan utama dalam suatu negara modern, justru pada praktiknya banyak menjadi sumber masalah, yang menjadi penghambat dalam penyelenggaraan sistem negara. Bagi Max Weber, birokrasi merupakan bentuk organisasi yang paling rasional dalam masyarakat modern.25 Ciri-ciri birokrasi menurut Weber adalah:26 1. Sistem kewenangan yang hirarki, artinya hirarki jabatan dibagi secara jelas dan tegas; 2. Pembagian kerja yang sistematis, artinya para pejabat hanya hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatannya; 3. Spesifikasi tugas yang jelas, adanya pembagian fungsi jabatan; 4. Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas dan sistematis; 5. Kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten; 6. Aplikasi kaidah-kaidah umum ke hal-hal spesifik dengan konsisten; 7. Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif; 8. Sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya;
Heather Sutherland, op.cit., hlm. 50. Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. V. 25 Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi, menurutnya apa yang dikerjakannya secar hati-hati adalah merinci segi-segi yang dipandangnya sebagi bentuk birokrasi (khusus) yang paling rasional. Sedangkan tipe birokrasi yang umum, sebagi lawan birokrasi khusus dibentuknya melalui kesimpulan dari sejumlah besar kiasan yang dimuatnya tentang hal itu. Akan tetapi, perkembangannya dalam masyarakat modern, birokrasi dapat menjadi kerangkeng besi/iron cage (Aditjondro, 2002). 26 Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002, Korupsi; Sengketa Antara Negara dan Modal, (Yogyakarta: Insist Press), hlm. 51. diambil dari Denny B.C. Hariandja, 1999. Lihat juga Martin Albrow, Birokrasi (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 44-45.
23 24
330
9. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut; dan 10. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam. Menurut Weber, tingkah laku manusia diarahkan kepada seperangkat aturan, sedangkan aturan tersebut merupakan usaha untuk mengatur tingkah laku yang berbeda, disinilah hakikat dari suatu organisasi, yaitu adanya aturan-aturan yang berbeda untuk mengarahkan pada suatu tingkah laku yang organisasional. Weber menyebut aturan-aturan tersebut sebagai tatanan administrasi. Di dalamnya kemudian ada staf administrasi (pejabat), pada satu sisi staf administrasi tersebut memiliki kewajiban untuk menaati aturan yang ada, namun di sisi lain dia juga harus melakukan pengawasan, apakah anggota yang lain juga menaatinya. Dari kondisi inilah selanjutnya muncul apa yang disebut dengan birokrasi. Birokrasi sangat identik dengan pejabat dan jabatan, dalam sudut pandang sosiologi, model weberian khususnya, pejabat merupakan tipe peranan sosial yang penting. Pejabat adalah seseorang yang memiliki tugas-tugas khusus dan fasilitas yang dimilikinya dalam melaksanakan jabatannya merupakan pemberian dari orang lain. Perbedaan antara pejabat dan kelas pekerja adalah terdapat pada otoritasnya dalam melaksanakan tugas. Seorang pejabat memiliki otoritas jabatan, sedangkan pekerja hanya melaksanakan perintah majikan.27 Perkembangannya, Weber menolak menggunakan sebutan birokrasi, apabila diperuntukkan bagi pejabat yang dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan orang. Dalam konteks sekarang, yang tidak termasuk dalam lingkaran birokrasi menurut Weber adalah mereka para anggota DPR dan komisi-komisi. Sebab, ciri utama dari pejabat birokrasi adalah mereka yang memperoleh jabatannya karena diangkat oleh orang lain. Weber mengatakan: tidak ada pelaksanaan otoritas yang benar-benar birokratis, yakni semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat secara kontraktual.28 Birokrasi yang rasional merupakan unsur pokok dalam proses rasionalisasi dunia modern dan kedudukannya adalah lebih penting dari pada proses sosial, sebab birokrasi rasional sangatlah berperan dalam memberikan arahan untuk memimpin suatu organiasi sosial
27 28
331
administrasi publik-.29 Teori inilah yang selanjutnya bisa menjadikan birokrasi sebagai kerangkeng besi dalam masyarakat modern, sebab ada kecenderungan yang melekat dalam birokrasi. Kecenderungan tersebut kemudian melahirkan adanya akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, yang mengakibatkan terciptanya jaringan korupsi sistemik dan terstruktur dalam jalur biorokrasi. Oleh karenanya kemudian Weber memberikan batasan-batasan dalam sistem birokrasi. Batasan-batasan tersebut adalah:30 (1) kolegalitas, dalam artian bahwa kolegalitas harus dikurangi; (2) Adanya pemisahan kekuasaan; (3) Administrasi amatir, bahwa para pegawai adminsitrasi harus digaji secara layak, agar tidak tergantung kepada orang-orang yang memiliki sumber keuangan yang kuat; (4) Adanya demokrasi langsung; dan (5) adanya representasi atau perwakilan dalam birokrasi. Berbeda dengan Weber yang memposisikan diri sebagai seorang idealis, dengan menekankan besarnya peranan ide dalam perubahan masyarakat. Marx menempatkan diri sebagai seorang yang materialis, yang berusaha melihat penyebab perubahan masyarakat dari hal-hal yang kasat mata, yang dapat diamati, khususnya dalam perubahan relasi-relasi produksi. Namun, Marx juga bukan seorang materialis murni, sebab ia juga mengakui pentingnya ide-ide. Akan tetapi, menurutnya ide hanya digunakan oleh sekelompok elit untuk menguasai alat-alat produksi. Marx memandang bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan (dalam hal ini pengaruhnya, bukan secara kuantitas) untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya (tertindas/proletariat), dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut (kelompok elit). Pandangan ini bisa kita temukan dalam Manifesto Partai Komunis 1848 yang ditulis Marx dan Engels, disebutkan bahwa kekuasaan politik (negara/birokrasi) hanyalah kekuasaan suatu kelas yang terorganisasi untuk menekan kelas yang lain. Terlepas dari pengaruh para ideolog tentang birokrasi, yang jelas birokrasi sekarang sudah menjadi sarang terjadinya tindak pidana korupsi. Amunisi macam apakah yang kemudian bisa digunakan untuk memberantasnya. Belajar dari teori yang diajarkan Weber tentang konsep idealitas, Alatas kemudian berkeyakinan bahwa suatu masyarakat
29 30
332
masih mempunyai peluang untuk keluar dari belenggu korupsi, apabila masih ada segelintir orang yang idealis dalam masyarakat. Akan tetapi keyakinan ini dibantah oleh Chambliss, dia melihat bahwa perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri, akan mengalami jalan buntu jika korupsi sudah membentuk suatu jejaring ( cabal) yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.31 Melihat rumit dan sistemiknya jejaring korupsi yang ada sekarang, maka diperlukan satu usaha bersama baik yang sifatnya lokal, nasional, maupun internasional. Termasuk juga bagaimana mengubah budaya para pejabat publik yang minta dilayani, bukan melayani masyarakat, seperti dikemukakan J.S. Mill, bahwa esensi dan arti birokrasi adalah pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional. 32 Dalam hal ini Machiavelli memberikan jawaban lewat pemikiran politiknya, yaitu agar ratu (penguasa) memilih para menteri (pejabat) yang kompeten, dan memberikan imbalan atas kesetiaan mereka, agar mereka tidak lagi perlu mencari imbalan dari sumber-sumber lainnya.33 Namun demikian Aditjondro mengingatkan, jangan sampai korupsi hanya dilihat sebagai permasalahan finansial belaka, yang diharapkan dapat dipecahkan lewat pambaruan undang-undang (legal reform) dan penerapan undang-undang yang sudah ada ( law enforcement ), sambil mengharapkan lembaga peradilan yang sudah begitu korup mampu menyeret sejumlah koruptor kelas kakap ke muka meja hijau.34 Kaitannya dengan pembaruan perundang-undangan dalam pemberantasan korupsi, pemerintah pada dasarnya telah memberikan komitmen yang cukup serius bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, ditandai dengan dikeluarkannya beberapa regulasi yang memberi legitimasi bagi langkah dan gerakan pemberantasan korupsi. Setidaknya tiga undang-undang telah dibentuk untuk mendukung gerakan ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor
George Junus Aditjondro, Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka Analisis yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti Korupsi di Indonesia, Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002 (Yogyakarta: Insisit Press), hlm. 20. 32 Martin Albrow, op.cit., hlm. 8. 33 Ibid., hal. 2. Diambil dari N. Machiavelli, The Prince, bab. 22. 34 Geoge Junus Aditjondro, Tarik Tambang Wacana Korupsi: Bidang Neoliberalisme atau Ujung Tombak Demokratisasi?, Jurnal Wacana Edisi 14 tahun III 2002 (Yogyakarta: INSIST Press), hlm. 8.
31
333
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, penegakan hukumnya juga mulai memperlihatkan hasil, terbukti dengan mulai dikuaknya beberapa kasus kakap korupsi, dan serangkaian kasus lainnya, yang berhasil mengungkap perilaku korup para pejabat publik, dari berbagai sektor, golongan dan tingkatan. Artinya, political will dari negara terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sedikit banyak telah memenuhi harapan masyarakat. Meskipun kekurangan dan kelemahan juga masih berkelindan di beragam sisi, seperti seringkalinya tebang pilih dalam penuntasan kasus korupsi, dan upaya memberikan perlindungan atau paling menunda pengusutan kasus-kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh orang-orang dekat penguasa. Kendati begitu, seperti telah dipaparkan di atas, sekedar upaya penciptaan regulasi dan penegakan hukum tentu tak cukup untuk membabat habis korupsi. Perlu perubahan paradigma para aparat negara, dalam penyelenggaran pemerintahan maupun birokrasi. Harus diciptakan demarkasi, yang memberikan batasan tegas antara birokrasi patrimonialistik masa lalu yang korup, dengan birokrasi rasional yang bebas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, G.J. 2002. Tarik Tambang Wacana Korupsi: Bidan Neoliberalisme atau Ujung Tombak Demokratisasi? Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002. Yogyakarta: INSIST Press. . 2002. Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka Analisis yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti Korupsi di Indonesia. Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002. Yogyakarta: Insisit Press. Alatas, Syed Hussein. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES. . 1982. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES. Albrow, Martin. 2005. Birokrasi (terj). Yogyakarta: Tiara Wacana.
334
Basyaib, Hamir Et. All. (ed.). 2002. Mencuri Uang Rakyat. Buku 2 : Pesta Tentara, Hakim, Bankir & Pegawai Negeri, Aksara Fondation, Jakarta. . 2002. Mencuri Uang Rakyat. Buku 3 : Bantuan Asing, Swasta, BUMN. Jakarta: Aksara Fondation. C. Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Djafar, Wahyudi, Menyelamatkan Pengadilan Tipikor: Beberapa Pilihan Skenario Pengaturan, Jurnal Pantharei, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN,) Volume 1, No. 4, Juni 2009. Hadiz, Vedi R dan Daniel Dhakidae. 2006. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Hadiz, Vedi R. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called Democratic Transitions, dalam The Pacific Review, Vol. 16 No. 4, 2003, (London: Routledge). Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan: Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah, Kompas, 21 November 2006 Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuntjoro Jakti, Dorojatun. Birokrasi di Dunia Ketiga: Alat Rakyat, Alat Penguasa, atau Penguasa. Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980. Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES. Lubis, Mochtar dan James C. Scott (Pen.), 1977. Etika Pegawai Negeri. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Mac Iver, R.M. 1977. Negara Modern (terj). Jakarta: Aksara Baru. Marx, Karl. 1999. Manifesto Komunis 1848. Jakarta: Yayasan Bintang Merah. Muhaimin, Yahya. Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980. Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
335
Sutherland, Heathert. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan. Winters, Jeffrey A. Not Democracy but Rule of Law is Indonesias Central Problem, Makalah dalam diskusi Perkumpulan Perhimpunan Demokrasi (P2D), Jakarta, 3 Juni 2011, tidak diterbitkan.
336
(BUKAN) MENGGANTANG ASAP PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA [(NOT) BUILD CASTLES IN THE AIR AT CORRUPTION ERADICATION IN INDONESIA] A. Ahsin Thohari* (Naskah diterima 10/5/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Sesungguhnya pranata hukum untuk melawan korupsi di Indonesia terbilang sudah mencukupi, meskipun dalam batas tertentu perlu ada penyempurnaan. Akan tetapi, derajat Indonesia sebagai negara yang benar-benar serius menjadikan korupsi sebagai musuh besar peradaban Indonesia masih belum menampakkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Salah satu tudingan diarahkan pada aktor-aktor penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang tidak menyediakan diri sebagai bagian yang dapat berkontribusi secara nyata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kutipan dari Taverne telah menjadi mantra sakti bertuah bagi kalangan yang meyakini bahwa peraturan perundang-undangan memang penting namun bukan segala-galanya dalam aras penegakan hukum: Give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code. Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti tidak mengalami kemajuan berarti setelah 13 tahun transisi dan konsolidasi demokrasi dibangun sejak era reformasi datang pada tahun 1998. Nyatanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index, CPI) Indonesia pada tahun 2010 berada pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Aktor-aktor penegak hukum seperti disebut di atas membuat pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sebuah tugas mustahil (mission impossible) dan seperti membangun benteng di atas udara (build castles in the air) . Menjadi tugas semua komponen bangsa untuk menjadikan pemberantasan korupsi bukan lagi seperti menggantang asap, mengukir langit, bukan tugas mustahil, dan bukan seperti membangun benteng di atas udara, melainkan menjadi tindakan konkret agar dapat menyelamatkan kebangkrutan bangsa yang diakibatkan oleh perilaku koruptif. Kata kunci: pemberantasan korupsi
Abstract
The legal institutions to combat corruption in Indonesia has been adequate, although inprovement is necessary in certain areas. However, the degree of Indonesia as a country that is really serious to make corruption a major enemy of civilization still has not appeared as a desired outcome. One reason is the law enforcers such as police,
* Pegawai pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; dan Penulis buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2004).
337
prosecutors, judges and correctional officers who do not contribute significantly towards efforts to eradicate corruption. There is no significant progress in combating corruption in Indonesia, after 13 years of transition and consolidation of democracy built since the reformation era in 1998. In fact, the Indonesian Corruption Perception Index in 2010 is at 2.8 score, just like the score in the year 2009. Such law enforcers make the eradication of corruption in Indonesia has become a mission impossible, and like building castle in the air. It is the duty of all components of the nation to make the eradication of corruption no longer like building castle in the air and not a mission impossible, but a concrete action to save the nation. The struggle to combat corruption is to go through a steep road. Therefore, the availability of extra energy is absolutely necessary to be able to win the war against corruption. Eradication of corruption should not only be an empty political jargon and meaningless. Keyword: corruption eradication
A. Pendahuluan Sesungguhnya pranata hukum untuk melawan korupsi di Indonesia terbilang sudah mencukupi, meskipun dalam batas tertentu perlu ada penyempurnaan. Akan tetapi, derajat Indonesia sebagai negara yang benar-benar serius menjadikan korupsi sebagai musuh besar peradaban Indonesia masih belum menampakkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Salah satu tudingan diarahkan pada aktor-aktor penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang tidak menyediakan diri sebagai bagian yang dapat berkontribusi secara nyata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Padahal, sebagaimana diyakini Taverne, hakim yang baik, mekanisme pengawasan hakim yang baik, jaksa yang baik, dan petugas kepolisian yang baik dapat menegakkan hukum dengan baik meski peraturan perundang-undangannya buruk. Kutipan dari Taverne telah menjadi mantra sakti bertuah bagi kalangan yang meyakini bahwa peraturan perundang-undangan memang penting namun bukan segalagalanya dalam aras penegakan hukum: Give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code. Tanpa bermaksud mengurangi arti penting keberadaan peraturan perundang-undangan dalam konsep negara hukum, penegak hukum dengan pola pikir progresif jauh lebih bermakna dalam rangka pemberantasan korupsi dari pada peraturan perundang-undangan yang paling canggih sekalipun. Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti tidak mengalami kemajuan berarti setelah 13 tahun transisi dan konsolidasi demokrasi dibangun sejak era reformasi datang pada tahun 1998. Nyatanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index, CPI) Indonesia pada tahun
338
2010 berada pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Dalam bahasa Todung Mulya Lubis, angka tersebut berarti menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak menampakkan kemajuan berarti, jalan di tempat, dan stagnan. Pemberantasan korupsi bisa membahana dengan segala kegemuruhannya, tetapi pada sisi lain korupsi jalan terus: corruption as usual. Dengan skor tersebut, Indonesia berada satu kelompok dengan negara-negara seperti Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands yang sama-sama punya skor 2,8 dan berada dalam urutan 110. Indonesia kalah dengan negara-negara tetangga yang skornya lebih baik seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Akan tetapi, Indonesia lebih baik dari Vietnam (2,7), Filipina (2,4), Kamboja (2.1), Laos (2,1), dan Myanmar (1,4).1 Meskipun demikian, wajah pemberantasan korupsi di Indonesia secara umum terselamatkan oleh hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi2 menjadi dasar pembentukan KPK. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tugas KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembagalembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Kewenangan ini sedikit memberikan asa di tengah dahaga publik atas realisasi pemberantasan korupsi yang lebih banyak menampakkan surplus wacana tetapi minus tindakan. Aktor-aktor penegak hukum lain di luar KPK yang tidak menyediakan diri sebagai bagian yang dapat berkontribusi secara nyata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi ini bisa menjadikan asa untuk memberantas korupsi sepertikata peribahasamenggantang asap, mengukir langit alias menghendaki pemberantasan korupsi di Indonesia adalah perbuatan sia-sia belaka. Aktor-aktor penegak hukum seperti disebut di atas membuat pemberantasan korupsi di Indonesia
1 Todung Mulya Lubis, Indeks Persepsi Korupsi 2010, Corruption as Usual, Sambutan Ketua Dewan Pengurus Transparency International-Indonesia, Jakarta, Selasa, 26 Oktober 2010. 2 Republik Indonesia, undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002, Lembaran Negara Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250.
339
menjadi sebuah tugas mustahil (mission impossible) dan seperti membangun benteng di atas udara (build castles in the air). Menjadi tugas semua komponen bangsa untuk menjadikan pemberantasan korupsi bukan lagi seperti menggantang asap, mengukir langit, bukan tugas mustahil, dan bukan seperti membangun benteng di atas udara, melainkan menjadi tindakan konkret agar dapat menyelamatkan kebangkrutan bangsa yang diakibatkan oleh perilaku koruptif. B. Korupsi dan Jabatan Publik Banyak studi mengenai korupsi mengonfirmasi satu kesimpulan bahwa korupsi adalah fenomena yang bersifat abadi (timeless phenomenon) dan memiliki sifat akan selalu ada (ever-present). Hanya magnitudo korupsi dan sikap zero tolerance masyarakat atas korupsi yang membedakan terjadinya korupsi di negara-negara yang memiliki indeks persepsi korupsi yang sangat menggembirakan dan negara yang indeks persepsi korupsinya sangat mengkhawatirkan. Magnitudo korupsi di sebuah negara itu pada gilirannya akan menentukan pula besaran daya destruksinya terhadap kehidupan demokrasi, kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan pembangunan ekonomi yang dapat tersendat karena iklim investasi mengalami kelesuan akibat merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara. Ujung dari semua itu adalah semakin tingginya angka kemiskinan suatu negara, sesuatu yang justru selalu menjadi agenda terpenting dalam sebuah negara yang mempunyai kewajiban konstitusional untuk memenuhi hak ekonomi rakyatnya. Begitu dahsyatnya daya destruksi dan keabadian korupsi dalam peradaban umat manusia, Mark Jorgensen Farrales dari University of California, San Diego, Amerika Serikat, dalam sebuah makalah berjudul What is Corruption? A History of Corruption Studies and the Great Definitions Debate, menyatakan bahwa korupsi itu bersifat lintas waktu (cross-temporal), lintas sistem politik mulai dari yang paling otoriter hingga yang paling demokratis (cross-systemic), dan lintas fenomena budaya (cross-cultural phenomenon).3 Dengan pengungkapan sedikit berbeda, John A. Gardiner menggarisbawahi bahwa korupsi adalah sesuatu yang selalu ada dan dipraktikkan di mana-mana (persistent and practically ubiquitous). 4 Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kita boleh memberi ruang toleransi untuk memaklumi keberadaan korupsi.
3
Mark Jorgensen Farrales, What is Corruption? A History of Corruption Studies and the Great Definitions Debate, University of California, San Diego, June 8, 2005, hlm. 3.
340
Dalam konteks internasional, World Bank dan Transparency International mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi (corruption is operationally defined as the misuse of entrusted power for private gain) . Karena menggunakan jabatan publik sebagai alat untuk meraih keuntungan pribadi inilah korupsi dipandang oleh masyarakat internasional seperti terlihat dalam kesepakatan negara-negara pihak yang menyetujui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 sebagai ancaman atas stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan aturan hukum. Di setiap modus operandi korupsi, jabatan publik menjadi sarana perilaku koruptif yang efektif. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa jabatan publik merupakan apa yang disebut dengan position of trust (posisi yang memungkinkan pemegang jabatan publik mendapatkan otoritas secara legal untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya melakukan suatu tindakan dan pihak lain menaruh kepercayaan kepada pemegang jabatan publik itu). Pemegang jabatan publik, misalnya, dapat memungut biaya tidak sah untuk sebuah tindakan yang mengatasnamakan aktivitas pelayanan publik atau menggunakan kewenangan jabatannya untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak sah.5 Terminologi jabatan publik di sini mancakup pula pihak-pihak tertentu yang merupakan bagian dari lingkaran dalam jabatan publik tersebut. Pepatah lama Cina mengajarkan, Whoever is near an official gets honor and whoever is near a kitchen gets food,6 yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah siapa pun yang dekat dengan seorang pejabat akan mendapatkan kehormatan dan siapa pun yang dekat dengan dapur akan mendapatkan makanan. Artinya, siapa pun yang dekat dengan jabatan publik dan dekat dengan subyek perumusan kebijakan akan mendapatkan kehormatan yang besarannya mendekati kewenangan pemegang jabatan publik, termasuk potensi penyalahgunaan kekuasaan bahkan korupsi. Oleh karena itu, Centre for International Crime Prevention pernah memperkenalkan 4 (empat) mandala dasar untuk melawan korupsi di sebuah negara dan semuanya terkait dengan korupsi dalam hubungannya dengan intitusi dasar tata pemerintahan. Pertama, negara
John A. Gardiner, The Politics of Corruption, (New York: Russell Sage Foundation, 1970), hlm. 93. Tentang hal ini, lihat misalnya Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1988), hlm. 30. 6 Pepatah ini dikutip oleh Farrales, op.cit.
4 5
341
harus memperkuat institusi dasar tata pemerintahan, utamanya adalah lembaga peradilan. Kedua, kapasitas dan integritas penegakan hukum perlu ditingkatkan, khususnya hakim yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Ketiga, menyempurnakan alat pencegahan yang solid, khususnya keberadaan kode etik perilaku dan pengawas yang independen mutlak bagi institusi dasar pemerintahan. Keempat, masyarakat perlu dididik tentang keuntungan dari pemerintahan yang baik dan dapat berpartisipasi dalam mempromosikan perlunya pemerintahan yang baik.7 Masih terkait dengan korupsi dan jabatan publik, jamak diketahui bahwa dalam rangka mengembangkan program perbaikan dan strategi pemberantasan korupsi, perlu dikenali adanya jenis-jenis korupsi.8 Pertama, korupsi kecil (petty corruption) yang berarti korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara dengan penghasilan rendah, sehingga ia membutuhkan korupsi untuk menghidupi kelangsungan keluarganya. Kedua, korupsi besar (grand corruption) yang berarti korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi dan politisi pembuat kebijakan. Korupsi seperti ini sering kali diberi nama korupsi yang motivasinya adalah keserakahan pribadi (corruption motivated by personal greed). Ketiga, korupsi berseri (periodic corruption) berarti korupsi yang dilakukan oleh orang yang beranggapan bahwa berperilaku jujur merupakan norma kecuali korupsi, dan aparatur negara akan bersikap disiplin manakala terdeteksi oleh sistem pengawasan. Keempat, korupsi sistemik (sistemic corruption) berarti korupsi yang dilakukan oleh orang yang berada dalam lembaga yang kelangsungannya sangat tergantung pada korupsi dan suap. Jadi, korupsi sudah menjadi roh bagi survivalitas lembaga. Tidak bisa dimungkiri bahwa kurangnya akuntabilitas publik bagi para politisi dan aparatur negara dapat menyuburkan praktik korupsi, sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi mimpi dan negara semakin jatuh ke dalam kubangan kemiskinan akut. Akan tetapi, aktoraktor penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang sebagian besar belum menyesuaikan diri dengan semangat antikorupsi yang salah satunya dibangun oleh gerakan reformasi terkesan belum siap mengakomodasi semangat baru itu. Pada titik ini, KPK sebagai salah satu state auxiliary agency dengan segenap kewenangan ekstra yang dimiliki masih sedikit menyisakan
Centre for International Crime Prevention, Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption, (Vienna: United Nation for Drugs Control and Crime Prevention, 1999), hlm. 2-3. 8 Ibid., hlm. 5.
7
342
harapan dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi. Artinya, harapan untuk memerangi korupsi di Indonesia belum mati. Sehingga, langkah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk undang-undang yang utama (primaire wetgever) dan Presiden sebagai pembentuk undangundang yang membantu (mede wetgever) yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) 9 tidak menjadi kemubaziran belaka. Tindakan pengesahan konvensi tersebut didasari pemikiran bahwa tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. C. Masa Depan Pemberantasan Korupsi Harapan pemberantasan korupsi memang masih ada, belum mati, dan masih mempunyai masa depan. Pertanyaannya dengan cara apa harapan itu bisa menjadi kenyataan di masa yang akan datang? Terkait hal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengeluarkan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi, 2010-2025.10 Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, sebelum diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Korupsi, keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah mendorong berbagai insiatif-inisiatif di lingkungan pemerintahan pusat sampai ke daerah. Melalui Inpres ini, Presiden mengamanatkan untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun
9 Republik Indonesia, undang-undang tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 32, TLN Nomor 4620. 10 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi, 2010-2025, (Jakarta: Sekretariat Tim Implementasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, 2009).
343
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK 2004-2009). Dokumen RAN-PK 2004-2009 menekankan pada upaya pencegahan dan penindakan korupsi, serta pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN PK. Dengan demikian, RAN-PK diharapkan menjadi acuan dalam upaya pemberantasan korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat pusat dan daerah.11 Perkembangan yang menarik berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi di Indonesia, terjadi baik pada tingkat kebijakan pemerintah, pembentukan dan konsolidasi kelembagaan hingga kian kritisnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi. Kebijakan pemerintah dimaksud tidak hanya telah dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi tetapi juga beberapa daerah telah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi, dan mempelopori usaha-usaha mengembangkan kebijakan inovatif yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan. Di sejumlah kota dan kabupaten, ada inovasi lokal untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dalam bentuk pelayanan satu atap (one stop service) seperti dilakukan di Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, maupun perbaikan pelayanan publik seperti di Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Musi Banyuasin dan lainnya.12 Dengan telah diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Korupsi, strategi pemberantasan korupsi harus mengalami reaktualisasi dan ditujukan untuk melanjutkan, mengonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar mempunyai dampak yang konkret bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan berkelanjutan dan konsolidasi demokrasi. Strategi dimaksud harus dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan. Berkenaan dengan itu, komitmen politik yang lebih kuat, strategi yang lebih sistematis dan komprehensif serta perumusan kebijakan yang lebih fokus dan konsolidatif untuk mendorong dan meningkatkan percepatan pemberantasan korupsi seyogianya harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.13 Sesuai dengan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi, 2010-2025, Visi Nasional Pemberantasan Korupsi adalah
11 12 13
344
terbangunnya tata pemerintahan yang bebas dari praktik-praktik korupsi dengan daya dukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta sistem integritas yang terkonsolidasi secara nasional. Tata pemerintahan yang bersih perlu diwujudkan di berbagai ranah, yaitu ranah pemerintahan dalam arti luas, ranah masyarakat sipil, dan ranah dunia usaha. Sementara itu, pemberantasan praktek korupsi yang terkonsolidasi dilaksanakan sebagai upaya bersama di antara berbagai pelaku dan pemangku kepentingan dari ketiga ranah tersebut. Untuk mewujudkan visi nasional tersebut, serangkaian Misi Nasional Pemberantasan Korupsi dirumuskan seperti (1) membangun dan memantapkan sistem, prosedur, mekanisme dan kapasitas pencegahan korupsi yang terpadu di tingkat pusat dan daerah; mengkonsolidasikan dan memantapkan sistem, prosedur, mekanisme dan kapasitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi; (2) melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional dan daerah yang mendukung pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten; (3) membangun dan mengkonsolidasikan sistem dan mekanisme nasional penyelamatan aset hasil korupsi; (4) mengembangkan dan melaksanakan strategi kerjasama daerah, nasional dan internasional dalam pencegahan dan penindakan korupsi secara efektif; dan (5) mengembangkan sistem pelaporan kinerja implementasi strategi nasional pemberantasan korupsi pk tingkat pusat dan daerah yang transparan dan terkonsolidasi.14 Dari penjabaran Visi dan Misi Nasional Pemberantasan Korupsi sebagaimana di atas, selanjutnya dirumuskan dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi 2010-2025 yang memperlihatkan komitmen Pemerintah dan stakeholders lainnya, antara lain (1) melaksanakan upaya-upaya pencegahan; (2) melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penindakan; (3) melaksanakan harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor lainnya yang terkait; (4) melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi; (5) meningkatkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi; dan (6) meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. Khusus mengenai pencegahan, komitmen tersebut selaras dengan rencana KPK tahun 2011 yang akan lebih memfokuskan pemberantasan
13 14
Ibid. Ibid.
345
korupsi secara lebih proaktif, yakni dengan mengawasi kegiatan yang sedang berlangsung sehingga tindak pidana korupsi tidak sampai terjadi. Langkah ini memang lebih memerlukan kesabaran bila dibandingkan mengawasi kegiatan yang sudah lewat. Diresmikannya Pengadilan Tipikor di Bandung, Semarang, dan Surabaya dapat diharapkan mempercepat proses penindakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Kehadiran tiga Pengadilan Tipikor ini diharapkan bisa menjadi semacam embrio yang bisa dikembangkan di masa mendatang.15 Adapun mengenai peningkatan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi, hal ini pun linear dengan program kpk yang berupa pengembangan dan pelaksanaan strategi kerja sama internasional dalam pencegahan dan penindakan korupsi secara efektif. Sepanjang 2010, misalnya, berbagai kegiatan internasional dilakukan KPK untuk memperkuat perannya di dunia. Kerja sama secara efektif dan intensif dengan mitra di luar negeri, baik yang dilaksanakan melalui kerja sama bilateral maupun multilateral berupa MoU, perjanjian internasional, konvensi multilateral, kehadiran dalam forum-forum internasional, capacity building , advokasi, koalisi, maupun upaya penggalangan donor, terus digiatkan untuk memperluas jaringan dalam mendukung bidang pencegahan.16 Sedangkan untuk mendukung kegiatan penindakan, KPK terus meningkatkan kerja sama bantuan hukum timbal balik antarnegara ( mutual legal assistance /MLA), ekstradisi (extradition) , dan upaya pencarian dan pengembalian aset hasil kejahatan korupsi di luar negeri (asset tracking and recovery) yang berguna untuk mengembalikan kerugian negara sebagaimana amanat Konvensi Perserikatan Bangsabangsa Menentang Korupsi.17 Kerja sama bilateral yang dilakukan oleh KPK sepanjang tahun 2010 antara lain penandatanganan MoU dengan Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan Government Inspection Authority, Laos. Sementara itu, pada kerja sama multilateral yang dikembangkan KPK pada 2010, terdapat peningkatan yang sangat berarti. Sampai dengan saat ini KPK aktif dalam 30 forum multilateral antikorupsi di tingkat global. KPK juga bertindak sebagai penyelenggara G20 Working Group on Anti-corruption yang kali pertamanya digelar di Indonesia pada 27-28 September 2010. KPK
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2010, Laporan Tahunan 2010, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), hlm. 36. 16 Ibid. 17 Ibid.
15
346
mewakili Indonesia mengambil inisiatif bersama Perancis untuk menjadi ketua bersama dalam G-20 Anti Corruption Working Group.18 Dalam catatan KPK, hingga akhir Desember 2010, kerja sama internasional telah memfasilitasi lebih dari 32 permintaan bantuan internasional, baik di dalam maupun ke luar melalui mekanisme MLA dan kerja sama informal lainnya. Bantuan internasional ini diperuntukkan untuk memperkuat fungsi penindakan yang dilakukan KPK. Bantuan internasional yang dilakukan dalam rangka mendukung pengungkapan kasus-kasus korupsi di Indonesia dan beberapa kasus korupsi di luar negeri.19 D. Penutup Korupsi menyebabkan kehidupan demokrasi terancam, kelangsungan masyarakat sipil terganggu, dan pembangunan ekonomi tersendat karena iklim investasi mengalami kelesuan akibat merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi-intitusi negara. Ujung dari semua itu adalah semakin tingginya angka kemiskinan suatu negara, sesuatu yang justru selalu menjadi agenda terpenting dalam sebuah negara yang mempunyai kewajiban konstitusional untuk memenuhi hak ekonomi rakyatnya. Korupsi bersifat lintas waktu, lintas sistem politik mulai dari yang paling otoriter hingga yang paling demokratis, dan lintas fenomena budaya. Jabatan publik menjadi sarana perilaku koruptif yang efektif. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa jabatan publik merupakan apa yang disebut dengan position of trust (posisi yang memungkinkan pemegang jabatan publik mendapatkan otoritas secara legal untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya melakukan suatu tindakan dan pihak lain menaruh kepercayaan kepada pemegang jabatan publik itu). Pemegang jabatan publik, misalnya, dapat memungut biaya tidak sah untuk sebuah tindakan yang mengatasnamakan aktivitas pelayanan publik atau menggunakan kewenangan jabatannya untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak sah. Di sisi lain, pemberantasan korupsi di Indonesia seperti tidak mengalami kemajuan berarti setelah 13 tahun transisi dan konsolidasi demokrasi dibangun sejak era reformasi datang pada tahun 1998. Nyatanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index, CPI) Indonesia pada tahun 2010 berada pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009.
18 19
Ibid. Ibid.
347
Perjuangan untuk memberantas korupsi memang harus melalui jalan terjal dan melelahkan. Oleh karena itu, ketersediaan energi ekstra mutlak diperlukan untuk dapat memenangkan perang mulawan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak boleh hanya menjadi jargon politik kosong tanpa makna. Yang jelas, asa untuk memberantas korupsi masih ada!
DAFTAR PUSTAKA Centre for International Crime Prevention. Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption. Vienna: United Nation for Drugs Control and Crime Prevention, 1999. Farrales, Mark Jorgensen. What is Corruption? A History of Corruption Studies and the Great Definitions Debate. University of California, San Diego, June 8, 2005. Gardiner, John A. The Politics of Corruption. New York: Russell Sage Foundation, 1970. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi, 2010-2025. Jakarta: Sekretariat Tim Implementasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, 2009. Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1988. Lubis, Todung Mulya. Indeks Persepsi Korupsi 2010, Corruption as Usual. Sambutan Ketua Dewan Pengurus Transparency InternationalIndonesia, Jakarta, Selasa, 26 Oktober 2010. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Lembaran Negara Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250. _______. undang-undang tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4620. Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2010. Laporan Tahunan 2010. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010.
348
BIJAKSANA MENYIKAPI RUU TIPIKOR (ADDRESSING CORRUPTION BILL WISELY) Reza Fikri Febriansyah* (Naskah diterima 30/05/2011, disetujui 15/06/2011) Abstrak
Tulisan yang dibuat berdasarkan pendapat pribadi ini mendasarkan pada pengalaman Penulis sebagai anggota Tim Penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 2006. Namun, tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mempertahankan konsep yang sudah tercantum dalam RUU, melainkan membuka kesempatan bagi kita semua khususnya para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang berimbang, khususnya terhadap isu-isu krusial dalam RUU ini, antara lain mengenai pidana mati, diskresi penuntutan kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 25.000.000,-, kriminalisasi laporan palsu, tidak diperlukannya unsur kerugian negara dalam rumusan delik, dan kewenangan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kata kunci : korupsi, RUU, kritik.
Abstract
This essay is written based on my personal experience as a member of national team for anti-corruption law reform since 2006. Because of my personal opinion, this essay is not aim to defend a concept, but only to discuss some crucial issues such as: death penalty (capital punishment), the discretion of Attorney to prosecute or not prosecute a small amount corruption, criminalization of black whistle blower, damage or harm to state property as an element of crime, and an authority of KPK in field of prosecution. Keywords : corruption, the bill, critics.
A. Pendahuluan Salah satu perkembangan aktual dalam regulasi anti korupsi di Indonesia saat ini adalah telah diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Dalam konsiderans Menimbang undang-undang tersebut, tergambar jelas sikap politik Indonesia yang menyadari sepenuhnya
* Tenaga Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum & HAM RI.
349
bahwa korupsi seringkali dilakukan secara terencana dan sistematis sehingga merusak sistem sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan endemik, serta merendahkan martabat bangsa di forum internasional. Dengan argumentasi tersebut maka tidaklah berlebihan jika korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, sehingga penindakan terhadap pelaku korupsi harus diatur secara khusus. Selain itu, korupsi juga merupakan fenomena internasional yang memiliki pengaruh negatif bagi masyarakat dan ekonomi dunia, sehingga kerja sama internasional menjadi sangat penting untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam pembukaan (preambule) UNCAC juga disebutkan beberapa latar belakang yang kurang lebih sama dengan keprihatinan Indonesia terhadap fenomena korupsi, yakni antara lain: the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law1. Setiap konvensi internasional, termasuk UNCAC , tentunya memiliki dampak yuridis bagi para negara pihak ( state parties ) berdasarkan prinsip pacta sunt servanda untuk mematuhi segala ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Namun, Prof. Romli Atmasasmita menekankan perlunya kehati-hatian dalam menindaklanjuti beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia agar tidak mengancam kedaulatan dan independensi bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang telah merdeka sejak 17 Agustus 19452. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) telah tercantum beberapa konsep definisi dan pengaturan yang berasal dari UNCAC. Transplantasi hukum semacam ini seringkali menimbulkan kontroversi yang pada akhirnya bermuara pada dilema antara mengutamakan citra baik Indonesia di dunia internasional atau kondisi riil penegakan hukum di Indonesia. B. Deskripsi Umum RUU Tipikor Materi pokok RUU Tipikor secara umum meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil serta pengaturan-pengaturan lainnya,
1 2
1st Paragraph of the preambule of United Nations Convention Against Corruption, 2003. Hal ini disampaikan oleh beliau dalam acara FGD RUU KUHP di Hotel Mercure Ancol, 4 April 2011. Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan materi mengenai Pengaruh Hukum Internasional terhadap Proses Legislasi di Bidang Perundang-undangan Pidana.
350
antara lain kerja sama internasional, kriminalisasi terhadap korporasi, dan peran serta masyarakat untuk mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara materiil, sebagian besar ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebaiknya tetap dicantumkan dengan perubahan dan penyesuaian untuk disesuaikan dengan UNCAC. Selain itu, Ketentuan tindak pidana suap yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dimasukkan menjadi materi muatan dalam RUU Tipikor sehingga nantinya diharapkan dapat terwujud sebuah pengaturan yang komprehensif guna mengantisipasi berbagai modus korupsi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Secara formil, pada prinsipnya proses penanganan perkara korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam RUU Tipikor. Hal-hal yang bersifat lex specialis dalam RUU Tipikor antara lain bahwa perkara tindak pidana korupsi perlu menjadi prioritas untuk diselesaikan, adanya perluasan alat bukti, kewajiban tersangka/ terdakwa untuk melakukan pembalikan beban pembuktian, pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, serta hak untuk mengajukan gugatan perdata yang dimiliki oleh pihak lain yang berkepentingan atau korban. Hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam RUU Tipikor antara lain pengaturan mengenai konsep pencegahan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat, serta kerja sama internasional yang dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian ekstradisi (extradition agreement), bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance on criminal matters), dan pengalihan terpidana (transfer of sentenced persons) yang dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, atas dasar hubungan baik, atau berdasarkan prinsip resiprositas. C. Isu-Isu Krusial dalam RUU Tipikor C.1. Tidak Adanya Ancaman Pidana Mati Tidak dicantumkannya ancaman pidana mati dalam RUU Tipikor merupakan salah satu sumber fitnah yang ditujukan kepada tim penyusun RUU Tipikor. Padahal alasan utama dari tim penyusun RUU Tipikor adalah untuk mempermudah proses penanganan perkara tindak pidana korupsi, sebab eksistensi pidana mati dalam undang-undang RI seringkali dijadikan alasan oleh negara lain untuk menolak permohonan
351
ekstradisi RI atas terdakwa/terpidana korupsi yang kabur ke luar negeri dengan alasan melindugi HAM (hak untuk hidup) dari si terdakwa/ terpidana. Hal ini dalam praktik nantinya dapat menyulitkan para aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi dalam hal terdakwa/terpidana kabur ke negara yang tidak memiliki ancaman pidana mati dalam sistem hukum pidananya. Argumentasi ini didukung pula oleh hasil studi banding Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah bersama dengan beberapa anggota tim penyusun RUU Tipikor ke Prancis pada tahun 2007, di mana salah seorang hakim agung Prancis menyarankan agar RUU Tipikor Indonesia tidak mencantumkan ancaman pidana mati untuk mempermudah kerja sama dengan negara lain, khususnya dalam hal ekstradisi. Hakim agung Prancis tersebut berpendapat bahwa sistem prevensi yang baik akan lebih efektif untuk mengurangi fenomena korupsi daripada memilih kebijakan memuat ancaman pidana yang berat seperti pidana mati. Secara empirik hingga saat ini, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara abolisionis de facto untuk pidana mati terhadap kasuskasus tindak pidana korupsi karena meskipun diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jarang sekali majelis hakim (bahkan mungkin tidak pernah) menjatuhkan pidana mati bagi para terdakwa kasus-kasus tindak pidana korupsi. Penggunaan ancaman pidana mati oleh aparat penegak hukum dalam kasus tindak pidana korupsi hingga saat ini paling maksimal hanya sampai tahap penuntutan, yakni tuntutan pidana mati oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Dicky Iskandar Dinata yang sebelumnya pernah dipidana dalam kasus tindak pidana korupsi (residiv). Namun, pada akhirnya majelis hakim PN Jakarta Selatan hanya menvonis 20 tahun penjara3. Dengan demikian, hingga saat ini ancamana pidana mati dalam undang-undang anti korupsi di Indonesia seringkali hanya menjadi macan kertas karena umumnya tidak dipilih oleh hakim sebagai jenis pidana bagi koruptor, sehingga tim penyusun RUU Tipikor tampaknya berpandangan bahwa perlu dicari alternatif jenis dan cara pemidanaan selain pidana mati bagi para koruptor. Argumentasi lainnya antara lain, UNCAC tidak mensyaratkan ancaman pidana mati sebagai instrumen untuk pencegahan dan pemberantasan tidak pidana korupsi. Selain itu, mungkin perlu
http://filemediakasus-lc-bni.blogspot.com/2008/07/dicky-iskandar-di-nata-divonis-20-tahun.html.
352
dipertimbangkan pula bahwa menurut syariat Islam (agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia), ancaman maksimal untuk seorang pencuri/koruptor bukanlah dengan pidana mati seperti ancaman terhadap seorang pembunuh atau pelaku zina. C.2. Diskresi Penuntutan Kasus Korupsi dengan Nilai di bawah Rp 25 juta Pengaturan mengenai hal ini tercantum dalam Pasal 51 RUU yang berbunyi: Penghentian penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang cukup bukti hanya dapat dilakukan pada perbuatan korupsi yang nilainya paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dengan ketentuan terdakwa mengakui kesalahannya dan mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara. Untuk memahami latar belakang pengaturan masalah ini perlu kiranya kita mengingat bahwa dalam teori hukum acara pidana terdapat konsep seponeren perkara oleh Jaksa Agung yang dapat dilakukan dengan syarat atau tanpa syarat. Diskresi untuk tidak melakukan penuntutan terhadap kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 25 juta merupakan contoh dari seponeren perkara dengan syarat. Hal ini pernah diterapkan di Indonesia pada masa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang ditangkap di Bandara Kemayoran sekitar tahun 1956, atas perintah Panglima Siliwangi Kolonel A.E. Kawilarang, karena membawa dollar dalam jumlah besar ke luar negeri tanpa izin Bank Indonesia. Perkara ini diselesaikan oleh Jaksa Agung Soeprapto, berdasarkan mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan, dengan syarat uang dollar itu diserahkan kepada negara. Konsep mekanisme semacam ini dikenal pula dan sering diterapkan dalam sistem hukum acara pidana Belanda sebagai afdoening buiten process dan juga dalam sistem hukum acara pidana Inggris sebagai transaction out of judiciary4. Orientasi utama dari mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process/transaction out of judiciary) adalah efisiensi proses penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan untung-rugi (cost and benefit analysis). Kita dapat membayangkan betapa penuhnya seluruh lembaga pemasyarakatan dan besarnya beban biaya yang harus ditanggung negara jika seluruh koruptor dijatuhi pidana penjara tanpa tebang pilih. Tebang pilih (dalam arti positif) perlu
4 Kewenangan Aparat Penegak Hukum dalam Menangani Tipikor Terkait dengan Intergrated Criminal Justuce System. Makalah disampaikan oleh Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah dalam FGD RUU Tipikor di Kemenkopolhukam, 25 April 2011.
353
dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, salah satunya dengan memilah besaran kerugian negara yang terjadi. Pengembalian kerugian negara sebesar maksimal Rp 25 juta secara matematis akan lebih efisien dan menguntungkan daripada negara harus menanggung biaya hidup koruptor selama yang bersangkutan menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan. Ketentuan Pasal 51 RUU Tipikor perlu dibaca secara utuh dan cermat, karena diskresi untuk tidak melakukan penuntutan kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 25 juta hanya dapat dilakukan pada perbuatan korupsi yang nilainya paling banyak Rp 25 juta, terdakwa mengakui kesalahannya, dan terdakwa mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara. Syarat-syarat ini harus bersifat kumulatif. Dalam hal nilai kerugian negara di bawah Rp 25 juta, namun terdakwa tidak bersedia mengakui kesalahannya dan tidak mengembalikan hasil korupsi tersebut kepada negara maka penuntut umum wajib melakukan penuntutan terhadap kasus tersebut. Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah mengingatkan pula bahwa terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung No. Reg. No. 106 K/ Kr/1960 yang pada intinya mendalilkan bahwa kasbon adalah salah satu modus penggelapan/korupsi. Beliau berpendapat yurisprudensi tersebut kurang bijaksana karena tidak mengandung semangat restorative justice. Dalam ilustrasi kasus sederhana: Seorang bendaharawan mengambil uang di kas sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) karena anaknya sakit demam berdarah, dia menyimpan kas bon di kas suatu instansi pemerintah, yang dengan itikad baik akan dia bayar pada tanggal 1 Mei 2011. Sebelum tanggal 1 Mei 2011 ada pemeriksaan kas oleh BPK dan ditemukan adanya kasbon tersebut. Pertanyaan: apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum?. Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah mengemukakan bahwa jika kasus tersebut terjadi di Belanda, penuntut umum akan mengatakan kepada bendaharawan tersebut: jika kamu membayar kembali Rp 10 juta ditambah denda ke negara sebesar Rp 5 juta dan kamu mengakui kesalahan yang baru pertama kali kamu lakukan tersebut maka perkara anda akan saya seponer. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dipastikan oleh penuntut umum jika ingin melakukan seponer terhadap kasus-kasus semacam ini adalah uang tersebut tidak digunakan untuk berfoya-foya, terdakwa terbukti baru melakukan perbuatan tersebut untuk pertama kalinya, dan terdakwa mengakui kesalahannya. Dengan demikian, Pasal 51 RUU
354
Tipikor perlu disempurnakan dengan menambah ketentuan-ketentuan yang menjabarkan bahwa alasan-alasan diskresi penunutan dan mekanisme pembayaran denda atas kesalahan tersebut perlu diatur dan dibatasi secara tegas. Pasal 51 RUU Tipikor perlu disempurnakan dengan menambah ketentuan mengenai denda selain kewajiban mengembalikan kerugian negara. Hasil studi Banding tim penyusun RUU Tipikor ke Belanda pada tahun 2010 menyebutkan bahwa 60 % perkara di Nederland diselesaikan di luar pengadilan berdasarkan mekanisme afdoening buiten process, sedangkan di Norwegia hanya 29 % perkara dilimpahkan ke pengadilan melalui transaksi yang mereka sebut patale unnlatese. C.3. Kriminalisasi Laporan Palsu Pengaturan mengenai hal ini tercantum dalam Pasal 18 RUU Tipikor yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja membuat laporan palsu tentang seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal ini akan ditujukan terhadap para black whistle blower, yakni para pelapor yang tidak memiliki itikad baik di mana tujuan utama mereka umumnya bukanlah membantu para aparat penegak hukum, melainkan hanya untuk merusak nama baik terlapor untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pelapor yang mempunyai itikad baik (white whistle blower) tetap diberikan jaminan perlindungan berupa kerahasiaan identitas pelapor berdasarkan RUU ini dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pengaturan mengenai hal ini sesungguhnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan terhadap pelapor dan jaminan prinsip presumption of innocence, sehingga diharapkan jika seseorang akan melaporkan adanya suatu tindak pidana korupsi hendaknya dilengkapi dengan alat-alat bukti yang kuat. Pengaturan mengenai hal ini juga sejalan dengan pembatasan yang tercantum dalam Pasal 13 huruf d UNCAC yang berbunyi: respecting, promoting and protecting the freedom to seek, receive, publish and disseminate information concerning corruption. That freedom may be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided for by law and are necessary, sehingga dalam konsep UNCAC mengenai pengaturan partisipasi masyarakat juga diatur secara jelas bahwa penghormatan dan perlindungan kebebasan memperoleh dan memberikan informasi tentang suatu tindak pidana korupsi perlu diberikan batasan yang tegas
355
dalam suatu undang-undang (law). Dengan demikian, UNCAC juga tidak menganut kebebasan yang mutlak bagi kebebasan memperoleh dan memberikan informasi tentang suatu tindak pidana korupsi. Resistensi terhadap pengaturan mengenai Pasal ini umumnya datang dari kalangan LSM dan para aktivis anti-korupsi karena mereka umumnya mengkhawatirkan bahwa Pasal ini akan digunakan sebagai serangan balik (counter attack) dari para terlapor, sehingga pihak pelapor akan takut atau ragu-ragu dalam melaporkan tindak pidana korupsi. Untuk menjawab persoalan tersebut maka unsur dengan sengaja dalam Pasal 18 RUU Tipikor menjadi sangat penting, sehingga apabila unsur dengan sengaja ini tidak dapat dibuktikan maka pelapor tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 18 RUU Tipikor. Ketentuan semacam ini juga tercantum dalam Pasal 220 KUHP dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga pengaturan ini sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru. Pasal 18 RUU Tipikor ini bersifat lebih moderat dibandingkan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena memuat ancaman pidana yang lebih rendah. C.4. Tidak Diperlukannya Unsur Kerugian Negara dalam Rumusan Delik Dalam konsep penjelasan RUU Tipikor disebutkan UNCAC tidak memuat kerugian negara sebagai unsur tindak pidana korupsi, sehingga unsur kerugian negara tidak perlu lagi dicantumkan dalam RUU Tipikor. Ketentuan ini dalam rangka harmonisasi dengan ketentuan yang tercantum dalam UNCAC. Hal ini dimaksudkan agar pengertian kerugian mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya bagi negara, melainkan juga kerugian pihak swasta dan kerugian masyarakat. Dalam kasus penyuapan pada umumnya akan sulit menemukan atau membuktikan adanya unsur kerugian negara, sehingga dengan tidak dicantumkannya kerugian negara sebagai unsur delik dalam tindak pidana korupsi maka diharapkan agar hal ini dapat mempermudah aparat penegak hukum untuk melakukan pembuktian. Untuk melengkapi pengaturan terkait dengan kemungkinan adanya kerugian tersebut, maka dalam undang-undang diatur mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, antara lain, dengan memperkenalkan tuntutan perampasan aset dengan acara cepat agar semua hasil tindak pidana korupsi dapat dirampas untuk negara,
356
perampasan aset terdakwa/tersangka yang meninggal dunia sebelum putusan, perampasan aset terdakwa/tersangka yang melarikan diri ke luar negeri, dan koruptor yang tidak dikenal diatur dalam UndangUndang ini. C.5. Kewenangan Penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Tugas dan wewenang penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sesungguhnya telah tercantum dalam Pasal 6 huruf c, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tampaknya lebih tepat dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah tercantum juga dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014 sebagai RUU inisiatif DPR RI. Hal yang perlu dijelaskan dalam revisi undang-undang tersebut adalah kepada siapa jaksa yang ada di KPK bertanggung jawab dalam penuntutan?, sebab dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan pula bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan, sehingga jika politik hukum Pemerintah ingin membuat ketentuan tentang penyimpangan asas een en ondeelbaar en procureur generaal an het hoofd (jaksa satu dan tidak terbagikan dan jaksa agung di puncaknya) maka harus dicantumkan dengan jelas dan rinci dalam revisi undang-undang KPK termasuk pula pola dan mekanisme pertanggungjawabannya. D. Penutup Demikianlah beberapa pemikiran dan diskusi terkait dengan perkembangan proses penyusunan RUU Tipikor. Penulis berharap agar masyarakat dapat memberikan usulan dan kritik yang konstruktif tanpa tendensi negatif berupa kecurigaan yang berlebihan kepada tim penyusun RUU Tipikor. Orientasi utama dari Tim Penyusun tetaplah penguatan regulasi secara proporsional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia.
357
DAFTAR PUSTAKA Adji, Indriyanto Seno. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Edisi Pertama, Cet. Ke-1. CV. Diadit Media, Jakarta: 2006. Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi 2007. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2007. . Kewenangan Aparat Penegak Hukum Dalam Menangani Tipikor Terkait Dengan Intergrated Criminal Justuce System. Makalah disampaikan dalam FGD RUU Tipikor di Kemenkopolhukam, 25 April 2011. Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2002.
358
1. 2. 3. 4. 5.
Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Direktorat Litigasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Pengundangan, Publikasi dan Kerja Sama Peraturan Perundang-undangan
NO
JUDUL
1.
Kementerian Sosial
2. 22 Juni 2011
Kementerian Keuangan
3.
RUU tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities RUU tentang Pengurusan Piutang Negara/Daerah RUU tentang Desa