Anda di halaman 1dari 3

Tanah Rakyat untuk Rakyat bukan untuk Pemerintah

(Basri Ribas Hasanuddin Latief)

Tadinya aku pingin bilang aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat SETIAP ORANG BUTUH TANAH ingat: Setiap orang
(Wiji Thukul Tentang Sebuah Gerakan)

Diatas merupakan sepenggal karya sastra dari Wiji Thukul. Wiji Thukul sendiri adalah seorang seniman yang mencoba memperlihatkan realitas social pada masa itu (Orde Baru), dan juga merupakan salah satu korban penculikan periode tahun 1996-1998. Pada masa itu kekejaman pemerintahan Orde Baru seenaknya merampas tanah rakyat demi pembangunan dan pembangunan. Fenomena tersebut juga digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagunya Ujung Aspal Pondok Gede, Sampai saat tanah moyangku Tersentuh sebuah rencana Dari serakahnya kota Peristiwa perampasan tanah merupakan hal yang sering sekali dilihat pada masa Orde Baru. Soerharto dengan Pelita dan Repelitanya terus membangun dan membangun. Masyarakatlah yang menjadi korbanya. Orde Baru telah tumbang 13 tahun yang lalu tetapi konflik tanah masih saja terus terjadi dan menghiasi lembaran-lembaran berita yang kita baca setiap hari. Sebut saja konflik Mesuji, konflik Bima. Dan yang terdekat dari kita (Sulawesi Selatan) yaitu kasus Pandang Raya dan Warga Buluoa di Makassar, Kasus di Takalar dan Kasus di Bulukumba serta kasus-kasus lain yang hampir ada disetiap kabupaten.

Sengketa tanah ini kebanyakan melibatkan antara masyarakat dan pemilik modal yang dibantu oleh pemerintah sendiri. Sebut saja kasus di Buloa. Buloa adalah daerah yang menjadi kawasan pengembangan kota Makassar, kawasan ini yang dulunya merupakan pesisir pantai kemudian ditimbun atas izin kelurahan yang dikeluarkan secara sepihak tanpa merundingkan terlebih dahulu dengan masyarakat. Reklamasi pesisir pantai ini kemudian menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat yang mengantungkan isi perutnya dari berburu kerang dan ikan di daerah pesisir yang kini telah tertimbun oleh tanah. Selain menghilangkan mata pencaharian proyek inipun menggusur pemukiman masyarakat dikawasan tersebut. Dan lebih parahnya lagi, pihak pemodal menggunakan preman untuk mengintimidasi masyarakat agar meninggalkan kawasan tersebut. Ini merupakan perbuatan semena-mena dari para pemilik modal tersebut, dan merupakan tanda bahwa pemerintah tidak lagi peduli dengan masyarakatnya sendiri. Padahal pemerintah ada untuk menjaga dan mensejahterahkan masyarakatnya. Kasus ini bukan hanya kasus sengketa lahan biasa. Bukan hanya kasus yang melibatkan antara masyarakat dengan swasta maupun pemerintah. Tapi kasus ini merupakan dampak dari agenda besar Indonesia. Dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia, Sulawesi masuk dalam koridor-koridor untuk pengembangan pembangunan. Ditambah lagi Makassar yang ingin menjadi kota dunia. Agenda ini kemudian memiliki dampak negative yang tidak sedikit. Karena tuntutan menjadi modern, kawasan-kawasan tradisionalpun digusur untuk dirubah menjadi sebuah kota industry. Para investor pun ramai-ramai merubah kota ini. Investor yang motif utamanya adalah profit melakukan berbagai cara untuk mendapatkan profit tersebut. Dan korbannya sudah jelas adalah masyarakat yang sangat sulit untuk mendapatkan keadilan. Untuk apa modern kalau korbannya adalah masyarakat sendiri, sebenarnya modern diperuntukkan untuk siapa? Untuk masyarakat banyak atau sekelompok orang yang meraup untung dari perubahan modernitas tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas dalam pasal 33 ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam UUD 1945 ini jelas bahwa seluruh hal yang berada dalam wilayah yurisdiksi suatu Negara merupakan milik Negara tetapi hal tersebut digunakan untuk kemakmuran rakyat. Pasal 28 I juga mengatur hak-hak masyarakat untuk mempertahankan apa yang dimilikinya. Tapi sayangnya Pemerintah seakan-akan lupa terhadap peraturan ini, aparat keamanan berpakaian pramuka diturunkan demi mengamankan proses penggusuran dan dibantu

pula dengan sejumlah kawasan berpakaian loreng-loreng yang seyogyanya bertugas untuk menjaga keamanan nasional bukan untuk ketertiban masyarakat. Fenomena ini jelas bahwa Pemerintah tidak berpihak lagi terhadap masyarakat, pemerintah hanya berpihak kepada swasta yang lebih memberikan keuntungan kepada mereka. Jangan takut wahai rakyat, berjuanglah sampai titik darah penghabisan demi mempertahankan tanah nenek moyang. Tanah untuk rakyat bukan untuk Pemerintah. HIDUP RAKYAT

Anda mungkin juga menyukai