Anda di halaman 1dari 15

1

MERINDU JABAR SEJAHTERA


Oleh: Muhamad Sofi Mubarok, S.SI, M.HI

Muqaddimah
Masyarakat Indonesia patut berbangga dan berbesar hati manakal rezim
Orde Baru (Orba) yang dipimpin Soeharto berhasil digulingkan mahasiswa para
era reformasi. Era kepemimpinan Soeharto yang berkuasa hingga tiga dekade
lebih nyaring tak bergeming melihat amuk massa seantero negeri menuntut
kesejahteraan ekonomi.
Namun alih-alih gerakan reformasi membawa harapan dan perubahan
lebih baik, ekonomi Indonesia memasuki 1998 dengan penuh ketidakpastian.
Krisis ekonomi yang mulai dari pertengahan 1997 tidak menunjukkan tanda-tanda
akan mereda. Bahkan kejadian-kejadian berikutnya menunjukkan semakin
parahnya krisis ini (dalam Geoff, 2002: 267).
Padahal, Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa dengan kekayaan
alamnya. Di mulai dari tambang emas di Papua, minyak bumi dan gas alam di
sepanjang Pulau Jawa, hingga tambang intan di Kalimantan. Segudang kekayaan
alam itu justru berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang mayoritas
masih terperosok ke dalam jurang kemiskinan.
Sebagai salah satu propinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah, Jawa
Barat menjadi etalase persoalan kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data yang
dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, tercatat masih terdapat sebanyak
2

4,3 juta penduduk miskin di Jawa Barat. Angka itu sekitar 10,09 persen dari total
penduduk Jawa Barat yang mencapai 45 juta jiwa (www.klik-galamedia.com).
Data yang disuguhkan BPS tersebut mencerminkan realitas kemiskinan
masyarakat Jawa Barat jauh sebelum kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM). Setelah kenaikan terjadi dan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok
melonjak, secara otomatis angka kemiskinan di Jawa Barat makin mengorbit.
Ada kemungkinan sensus kemiskinan versi BPS tersebut terlalu kecil,
apalagi bila kalkulasi kemiskinan itu menggunakan patokan pengeluaran rumah
tangga ekuivalen nilai tukar beras (dalam kg/orang/tahun). Bila mengacu pada
kutipan Sajogyo, Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan (Aditya
Media, 1996), yang digolongkan miskin adalah orang yang pengeluaran rumah
tangganya sama dengan atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk pedesaan, dan
480 kg/orang/tahun untuk perkotaan (Pikiran Rakyat, 27/8/1998).
Dengan penghitungan itu, bukan tidak mungkin kenyataan fenomena
kemiskinan Jawa Barat begitu menakutkan dalam fakta riilnya. Kini banyak kita
jumpai kaum lapar mengais sisa-sisa makanan di pinggir jalan hanya untuk
mengganjal rasa lapar sesaat, kemudian di esok harinya kegiatan rutinan itu
kembali dilakukan.
Ibu Pertiwi dan kekayaan alam yang dikandungnya seakan tidak berdaya
menyusui dan memberi kesejahteraan bagi anak kandungnya. Di saat ada
sebagian anaknya yang dilanda kesusahan, sebagian anak lainnya terutama yang
berkuasa dan berada sedang dirasuki angkara murka keserakahan. Mereka seperti
didera lapar tak karuan. Lapar kekuasaan, lapar uang dan keuntungan serta lapar
3

kepemilikan. Semua mau diuntal: hutan, sawah, gunung, lautan. Hutan dirusak
dengan penebangan ilegal. Tak cukup itu, lingkungan hidup dirusak dengan
mengubah hutan jadi perkebunan sawit untuk keruk keuntungan (Sindhunata,
dalam Kompas, 24/9/2013).
Itulah mengapa kekayaan alam tidak menyuguhkan kekayaan materi bagi
warga Jawa Barat. Seperti ada benang kusut yang mengitari Sumber Daya Alam
(SDA), kemiskinan, masyarakat serta kaum penguasa. Kemiskinan menjadi harga
mati justru bagi para pemilik kekayaan alam itu.
Berdasarkan fakta dan realita demikian, penulis tertarik mengangkat judul
Merindu Jabar Sejahtera dalam kesempatan ini untuk menganalisis apa saja
faktor penyebab tingginya angka kemiskinan di Jawa Barat, apa saja dampak yang
ditimbulkan serta diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
program pengentasan kemiskinan dalam persfektif Qurani.

Efek Domino Kemiskinan
Risnawan Budianti mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu standar
tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah
atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan (dalam
http://mrisnawanbudianto.wordpress.com, 11/11/2013).
Mengacu pada definisi tersebut, tampak bahwa kemiskinan merupakan
gejala masyarakat akibat pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak sejalan
dengan kebutuhan dan mengabaikan tujuan pemberdayaan masyarakat. Para
4

pengamat menyatakan, munculnya gejala kemiskinan di masyarakat justru
diakibatkan terpasungnya etos bangsa dalam mesin bernama pembangunan serta
isme-isme yang menyertainya: kapitalisme dan industrialisme. Bangsa ini
akhirnya bergerak menjadi mesin yang knop on dan off-nya digerakkan oleh
kuasa kapital (Indra Tranggono, dalam Kompas, 7/12/2013).
Kapitalisme patut dipersalahkan karena berdampak pada efek domino
sebagai bias kemiskinan. Efek domino yang dimaksud adalah bahwasanya
kemiskinan berdampak pada rapuhnya nilai-nilai humanisme semisal kesenjangan
sosial, perilaku konsumtif serta globalisasi ketidakpedulian (meminjam istilah
Sindhunata); si kaya tak peduli si miskin. Selain itu, acapkalil ideologi semua
maunya diuntal dengan jargon kemiskinan dan demi memenuhi kebutuhan perut
ditunjukkan dengan melabrak batasan norma, bahkan agama. Dengan begitu,
benar jika Marx Weber melihat persoalan kapitalisme bukan sekadar persoalan
ekonomi belaka, akan tetapi juga bisa dilihat sebagai persoalan moralitas (dalam
Rizal Mallarangeng, 2008: 312).
Padahal sejatinya moralitas menjadi salah satu bagian penting dalam
kemajuan suatu bangsa. Jika menghalalkan segala cara mendarah daging dan
mengakar kuat, sudah barang tentu kaum marjinal menjadi korban keganasan
kapitalisme yang kini telah menggurita dalam segala penjuru negeri.
Wong cilik dalam pusaran kebiadaban penguasa dan hilangnya rasa asih
orang berada. Akan sangat sulit masyarakat Jawa Barat keluar dari jerat
kemiskinan jika terus berada dalam situasi dilematis tersebut, karena jalan
5

keluarnya berada dalam genggaman pemerintah serta para pemodal sebagai basis
tumbuh kembang kapitalisme.
Efek dominonya juga bisa merambat ke persoalan akidah. Kemiskinan
dekat dengan kekufuran sebagaimana ungkapan nabi:

Kefakiran hampir saja (menjerumuskan seseorang) ke dalam kawah kekufuran
(Al-Baihaqi, 2003: vol. 9, 12)
Akibat kemiskinan mendera, seseorang rela menjual agama dan
memuaskan kemaruk hawa nafsu. Jika demikian, secara tidak sadar mereka
menjelma menjadi budak kemiskinan, padahal sesungguhnya mereka sudah
menjadi budak dalam genggaman kuasa orang lain.
Hal itu terjadi di Jawa Barat ketika kaum buruh harus bekerja delapan jam
sehari namun dengan upah rendah. Tuntutan kenaikan gaji sering dimentahkan
para penguasa dengan dalih perusahaan akan merugi jika tuntutan kaum buruh
dipenuhi. Padahal biasanya tuntutan itu jauh dari kecukupan memenuhi kebutuhan
sehari-hari, terlebih memberi kesejahteraan anak istri.
Itu semua merupakan buah simalakama hasil perkawinan kapitalisme
dengan para pengusaha yang melahirkan simbiosis saling menguntungkan antara
penguasa dan pengusaha, namun menjadi parasit bagi masyarakat Jawa Barat.
Institusi-institusi bisnis modern tidak melihat potensi dari empati dan saraf sosial
itu. Kehidupan dan bisnis modern justru memblokir dan mematikan potensi
tersebut. Semboyannya aku harus mempunyai lebih. Dan utamanya membangun
6

motivasi untuk meraih prestasi, persaingan, dan keuntungan. Saraf ekonomi
macam itulah yang sekarang sedang menguasai dan bekerja dalam otak segelintir
masyarakat Jawa Barat yang sudah dikuasai kemaruk dunia. mereka jadi
terpenjara dalam ketakutan neurotis, seakan tidak bakal sukses jika tidak
memaksimalkan prestasi, persaingan dan keuntungan (Kompas, 24/9/2013).

Mutiara yang Telupakan
Masyarakat religius meyakini bahwa agama sudah mengatur prinsip-
prinsip perekonomian untuk kesejahteraan umat. Agama diturunkan untuk
manusia. Dengan demikian, cakupan pembahasan segala sesuatu tentunya
dicatatkan secara apik di dalam Alquran sebagaimana ayat berikut:
, -,. _ _ . .,: ,l. _. .. !.:> , .,: _ls ,.>
!.l. ,ls ..>l !..,,. _>l ,`_: _.> .> _:, _,.l`..ll __
(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab
(Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Nahl/16: 89).

Tak gamang disebutkan di sini bahwa semangat menyejahterakan umat
yang pertama kali diperkenalkan nabi ialah membebaskan budak. Mamduh al-
Arabi (1988: 137) menyibak kegalauan kafir Quraisy disebabkan perdagangan
7

budak yang sudah dijalankan bertahun-tahun lamanya dirontokkan nabi dalam
semangat memerdekakan budak.
budak atau hamba sahaya yang dalam bahasa Arabnya raqiq ialah orang
yang kemerdekaannya dimiliki orang lain akibat terjadinya peperangan maupun
proses jual beli. Di lain tempat, Alquran menyebut budak dengan term lainnya,
yaitu raqabah sebagaimana keterangan dalam ayat:
, , _
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (QS. Al-Balad/90: 13)

Dalam tinjauan hermeneutik, proses perbudakan versi klasik nyatanya juga
terjadi pada masa kini di mana budak dalam konteks metaforis merujuk pada
orang atau kelompok lemah yang berada di bawah hegemoni kelompok tertentu
dengan tujuan menindas atau eksploitasi. Itu dikarenakan pada mulanya kata
raqabah bermakna orang yang terbelenggu lehernya, namun yang dimaksud
adalah terbelenggu secara keseluruhan (Al-Dimyathi, t.th: vo. 2, 240). Sementara
itu, pergeseran klausul raqabah yang mulanya bermakna karakteristik kemudian
terpersonifikasi menjadi bermakna budak.
Ini berarti, ada mutiara terlupakan dalam Alquran guna mengatasi problem
ekonomi umat yang akar masalahnya ialah hadirnya budak-budak modern;
kaum buruh yang dipaksa bekerja siang malam namun kesejahteraannya
diabaikan. Mereka tunduk pada hukum kapitalisme dan kekuasaan borjuis serta
8

konglomerat nakal. Kaum buruh harus pasrah pada keadaan dan bersedia menjadi
budak di negerinya sendiri.
Untuk itu, jerat raqabah berupa kapitalisme dan tirani saudagar kaya di
Jawa Barat harus dilepaskan sebagai upaya awal menciptakan kesejahteraan
masyarakat Jawa Barat. Konsep ideal yang ditawarkan Islam tersebut perlu
pasarkan untuk melawan tirani prinsip ekonomi sekular yang mendewakan
kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang menyerahkan roda perekonomian sesuai
permintaan pasar.

Tawaran Mengentaskan Kemiskinan
Michael Porter menyebutkan, kemakmuran suatu bangsa tidak diwarisi,
akan tetapi dibuat dengan pilihan (Dong-Sung Cho, 2003: 75). Celoteh Porter
yang didukung riset selama puluhan tahun itu terbukti benar karena kekayaan
alam Jawa Barat tak secara otomatis memciptakan kesejahteraan masyarakatnya.
Faktanya, kemiskinan tetap eksis di Tanah Pasundan.
Patut disadari bahwa kemiskinan disebabkan beberapa faktor selain
bergesernya sistem ekonomi Pancasila menuju kapitalisme sekular, minimnya
upah yang didapatkan kaum buruh, kenaikan harga dan sebagainya. Namun upaya
mengentaskan problem kemiskinan di Jawa Barat dilakukan Islam melalui dialog
bersama tiga unsur yang terlibat dalam pembangunan nasional, yaitu pemerintah,
para konglomerat pemilik modal serta rakyat.
Pertama, Islam dan pemerintah. Sebagai tumpuan awal perjuangan
melawan kemiskinan, pemerintah Jawa Barat harus melakukan campur tangan
9

terkait semua aktivitas perekonomian yang menyangkut hajat hidup masyarakat
luas. Islam mengarahkan agar semua proses produksi dan kebijakan-kebijakan
pemerintah diarahkan pada lima tujuan primer, meliputi agama (din), jiwa (nafs),
akal (aql), harta (mal) serta keturunan (nasl) (Kementerian Agama RI, 2012: Seri
1, 247-248). Mengentaskan kemiskinan harus diprioritaskan pemerintah karena
tidak hanya menyangkut persoalan harta (mal), akan tetapi juga menyangkut soal
agama dan kehidupan wong cilik tersebut bersama keluarganya.
Pemerintah Jawa Barat juga perlu membuka ruang dan sarana yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti menambah lapangan kerja baru
dan melakukan pemerataan tidak hanya dipusatkan di kota-kota besar, akan tetapi
menjangkau pelosok daerah yang menjadi lumbung kemiskinan agar tidak terjadi
urbanisasi yang kian gigantis serta tidak melahirkan persoalan baru bagi
perkotaan. Selain itu, kebijakan pemerintah Jawa barat juga harus berpihak
kepada rakyat jelata berdasarkan kaidah:

Kedudukan imam (pemerintah) atas rakyatnya ibarat kedudukan seorang wali
atas anak yatim (Al-Suyuthi, 1403 H: 121)
Jika pemerintah dalam hal ini galau memutuskan dua kebijakan yang
mengalami kontradiksi, maka arah kebijakan yang menyentuh masyarakat akar
rumput harus diprioritaskan.
10

Kedua, Islam dan konglomerat pemilik modal. Dalam konteks ini, Islam
melarang para pemilik modal menentukan upah yang mengabaikan prinsip nyaah
ka rakyat dan semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan kesejahteraan kaum
buruh, terlebih jika terjadi unsur eksploitasi. Konsep ini merupakan kontribusi
pemikiran tasawuf terhadap perekonomian, yaitu mendorong kemitraan yang
saling menguntungkan, tidak rakus serta menolak penempatan tuntutan kekayaan
yang terlalu tinggi (Syarifuddin Daud, dalam Jurnal Bimas Islam, 2011: 653).
Ketiga, Islam dan kelompok miskin. Dalam konteks ini, Islam mengajak
masyarakat Jawa Barat untuk bekerja keras mengubah nasib mereka agar keluar
dari jerat kemiskinan berdasarkan ayat:
.l .,1-`. _. _,, ,., _. .l> ..L> _. . < _| < ,-`, !.
,1, _.> ,-`, !. ..!, :| : < ,1, ,. :. .l !. l _.
..: _. _
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767].
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Al-
Rad/13: 11).
11

Dalam gramatikal Arab, Klausul yang terdapat pada kata dan
merupakan lafal umum (amm). Maksudnya, apapun yang menimpa
manusia berupa kemiskinan, tirani kekuasaan dan keterpurukan ekonomi hanya
bisa diubah selama ada upaya mengubah keadaan tersebut.
Celah-celah penyebab kemiskinan yang berasal dari faktor internal
kelompok miskin harus diantisipasi dengan cara meningkatkan daya saing serta
kemampuan kerja memadai. Selain itu, mengubah paradigma berpikir juga
penting untuk membentuk karakter yang kuat sekaligus pantang menyerah keluar
dari keadaan yang sedang membelenggu.
Dengan demikian, masyarakat Jawa Barat mampu naik kelas melalui
Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh dan siap bertarng dalam kompetisi
perekonomian yang kian ketat. Karena dunia sudah dikuasai hukum rimba biadab
sebagaimana prinsip Darwinisme, Siapa kuat, dia menang.

Khatimah
Jawa Barat sebagai etalase perekonomian nasional merupakan satu dari
sekian wilayah yang masuk dalam zona mengkhawatirkan berdasarkan angka
statistik kemiskinan di Tanah Pasundan ini tergolong cukup tinggi di Indonesia.
Meski persoalan ekonomi kian menggunung, bukan berarti kemiskinan tidak bisa
ditanggulangi.
12

Pada prinsipnya, kemiskinan bukan hanya faktor alamiah. Akan tetapi juga
berangkat dari program-program pemerintah Jawa Barat yang selama ini kurang
mendukung upaya-upaya menyejahterakan masyarakatnya. Di samping itu,
kapitalisme global yang melanda Indonesia secara umum juga turut andil
melahirkan birokrat genit dan para konglomerat nakal yang kerap mengeruk
Sumber Daya Alam (SDA) yang begiru melimpah serta menggondol anggaran
negara yang mestinya diperuntukkan masyarakat, termasuk di Jawa Barat. Alih-
alih pembangunan nasional dirancang guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,
kaum cilik justru didepak dari fokus pembangunan. Ramai-ramai masyarakat
beralih status menjadi budak di tanah kelahirannya sendiri.
Solusi mengentaskan kemiskinan di Jawa Barat, dengan demikian harus
mengacu pada visi membebaskan budak sebagai prinsip ekonomi Islam murni.
Perbudakan, hegemoni serta tirani adalah kebiadaban tak terampuni. Karenanya,
membebaskan budak dilakukan dengan upaya melepaskan masyarakat Jawa Barat
dari hegemoni parasit serta memberikan upah yang layak bagi sebagian besar
masyarakat Tanah Pasundan yang mayoritas adalah kaum buruh.
Posisi Islam di antara ketiga unsur pembangunan sudah memasuki masa
darurat segera dilaksanakan dalam program nyata, yaitu pemerintah yang harus
segera menciptakan lapangan kerja, melakukan intervensi kebijakan
perekonomian sesuai amanat UUD 1945 dan memberikan pelatihan dan
keterampilan bagi warga Jawa Barat. Sementara itu, para konglomerat tidak boleh
menentuka upah secara sepihak serta mendorong mereka membuka lahan
pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar.
13

Terakhir ialah fokus pengentasan kemiskinan dari warga Jawa Barat
adalah dengan mengembangkan potensi agar mampu bersaing di tengah karut-
marut ekonomi dan pemerintaha. Mereka harus menjadi Sumber Daya Manusia
(SDM) yang mumpuni agar tidak lagi menjadi budak yang dicaci di negeri sendiri.
Wallahu alam. []

14

DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemah
Daud, Syarifuddin, Sejarah dan Penerapan Ajaran Ekonomi Islam, dalam Jurnal
Bimas Islam (Jakarta: Ditjen Bimas Islam Kemeag RI, vol. 4, No. 4,
2011)
Cho, Dong-Sun dan Hwy-Chang Moon, From Adam Smith to Michael Porter:
Evolusi Teori Daya Saing, terj. Erly Suandy (Jakarta: Salemba Empat,
2003)
Al-Arabi, Mamduh, Daulah al-Rasl f al-Madinah (Mesir: al-Haiah al-Miriyah
al-Ammah li al-Kitab, 1988)
Mallarangeng, Rizal, Dari Langit (Jakarta: Gramedia, 2008)
Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir Alquran Tematik
(Jakarta: Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, seri 1, 2012)
Sindhunata, Kulihat Ibu Pertiwi, dalam Kompas, 24/9/2013
Tranggono, Indra, Ideologi Kudu Sugih, dalam Kompas, 7/12/2013
Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Ashbah wa al-Naair (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1403H)
Forrester, Geoff, Indonesia Pasca Soeharto (Yogyakarta: Tajidu Press, 2002)
Budianto, M. Risnawan, Permasalahan Kemiskinan Penduduk di Daerah Jawa
Barat, dalam www.mrisnawanbudianto, 11/11/2013
Ridlo, Muhammad, Kemiskinan dan Kelaparan di Indonesia, dalam Pikiran
Rakyat, 27/8/1998
www.klik-galamedia.com/kemiskinan-di-jabar-tinggi
Al-Dimyathi, Abu Bakar, Inah al-alibn (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Al-Baihaq, Abu Bakar, Shuab al-mn (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2003)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Departemen Kebudayaan Indonesia, 1970)

15


( :(
).. 2 240 ).
( ( 2003 ) 9
12 . )
( :(
1403 ) 121 (

Anda mungkin juga menyukai