Anda di halaman 1dari 14

DERMATITIS ATOPIK Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik yang berulang, sering terjadi pada awal

kehidupan (bayi) dan waktu anak-anak. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan fungsi sawar kulit yang abnormal dan sensitisasi alergen. Tidak ada kriteria atau diagnosa khusus yang mampu membedakan dermatitis atopik dengan penyakit lain. Dengan itu, diagnosa dermatitis atopik berdasarkan gejala klinis di dalam jadwal berikut:
Kriteria mayor (harus memenuhi 3 atau lebih kriteria) Pruritus Morfologi dan distribusi yang tipikal Likenifikasi fleksura pada orang dewasa Keterlibatan wajah dan ekstensor pada bayi dan anak-anak Dermatitis- kronik atau kronik yang berulang Riwayat keluarga atau personal asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik Kriteria minor (harus memenuhi 3 atau lebih kriteria) Katarak (anterior-subkapsular) Cheilitis Konjungtivitis - rekuren Eksim asentuasi perifolikuler Fasial palor/fasial eritema Intoleren terhadap makanan Dermatitis tangan non-alergi, iritan Iktiosis Peningkatan IgE Tipe 1 (immediate) tes reaktivitas kulit Infeksi (kulit) S.aureus, herpes simpleks Infraorbital fold (Dennie-Morgan lines) Gatal sewaktu berkeringat Keratokonus Keratosis pilaris Dermatitis payudara Warna hitam pada orbital Palmar hyperlinearity Pityriasis alba Dermografisme putih Intoleren pada wool

EPIDEMIOLOGI Sejak tahun 1960, telah terjadi peningkatan kasus dermatitis atopik sebanyak 3 kali lipat. Studi terbaru menunjukkan prevalensi anak-anak yang terkena dermatitis atopik adalah kira-kira 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Africa, Jepang, Australi, dan negara industrial yang lain. Prevalensi orang dewasa sekitar 1- 3%. Namun begitu, prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di negara-negara agrikultur seperti China dan Eropa timur, pedalaman Afrika, dan Asia tengah. Rasio antara penderita perempuan/lelaki adalah 1.3:1. Peningkatan prevalensi ini tidak diketahui penyebabnya. Namun, terdapat faktor resiko yang berpotensi meningkatkan kadar penderita penyakit dermatitis atopik ini seperti jumlah keluarga yang sedikit, pendapatan bertambah,

tingkat edukasi yang tinggi pada orang kulit hitam/putih, migrasi dari desa ke kota, serta meningkatnya kadar penggunaan antibiotik (dikenali juga dengan Western lifestyle). Ini diakibatkan oleh hygiene hypothesis yang mengatakan bahwa penyakit alergi ini bisa dicegah dengan infeksi pada awal masa anak-anak yang ditransmisi oleh kontak non-higenis dengan saudara-saudaranya yang lain. ETIOLOGI Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamatori yang sangat gatal, diakibatkan oleh interaksi kompleks antara kecenderungan genetik yang menyebabkan gangguan fungsi sawar kulit, gangguan sistem imun humoral, dan peningkatan respon imunologik terhadap alergen dan antigen mikroba. GEJALA KLINIS Diagnosa dermatitis atopik adalah berdasarkan tabel yang telah dinyatakan sebelumnya. Dermatitis atopik biasanya muncul pada awal kehidupan (bayi). Kira-kira 50% penderita mendapat penyakit ini pada tahun pertama kehidupan dan 30% penderita lainnya mendapat penyakit ini pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Kurang lebih 50% hingga 80% penderita dermatitis atopik akan terkena alergi rhinitis atau asma pada kehidupaan anak-anak ke depannya. Namun, penderita yang terkena alergi respiratori akan mendapat gejala dermatitis atopik yang lebih signifikan. Sensasi yang sangat gatal dan reaktivitas kulit merupakan gejala kardinal pada dermatitis atopik. Rasa gatal bisa hilang timbul sepanjang hari tetapi bertambah berat pada awal sore dan malam. Konsekuensi yang bisa terjadi adalah menggaruk, papul prurigo, likenifikasi, dan lesi pada kulit yang eksim. Lesi kulit yang akut pula ditandai dengan gejala seperti sensasi yang sangat gatal, papul eritema dengan ekskoriasi, vesikel pada kulit yang eritem, dan eksudat serosa. Dermatitis subakut pula ditandai dengan gejala seperti papul eritematous berskuama yang disertai dengan ekskoriasi. Dermatitis kronik ditandai dengan gejala seperti plak yang menebal pada kulit, likenifikasi, dan papul fibrotik (prurigo nodularis). Pada dermatitis kronik, lesi pada ketiga-tiga stadium ini muncul pada penderita yang sama. Pada semua stadium dermatitis atopik, kulit penderita menjadi kering. Distribusi dan reaksi lesi dermatitis atopik ini berbeda mengikut umur penderita dan aktivitas penyakit tersebut. Pada bayi, lesi yang muncul adalah dalam stadium akut dan predileksinya adalah wajah, kulit kepala, dan bagian ekstensor pada tubuh. Namun begitu, bagian yang dipakaikan popok tidak terjejas. Pada anak-anak yang lebih meningkat umurnya dan mempunyai kelainan atau penyakit kulit lain yang kronik, penderita lebih cenderung untuk terkena dermatitis atopik kronik yang ditandai dengan gejala seperti likenifikasi dan lokasinya pada ekstensor fleksura. Dermatitis atopik biasanya hilang dengan sendiri seiring dengan pertambahan usia penderita. Namun, penderita lebih cenderung kepada terjadinya pruritus dan inflamasi apabila terpapar

pada iritan eksogen. Eksim pada tangan menjadi manifestatsi primer pada kebanyakan pasien dewasa dermatitis atopik.

Gambar 1. Gambar kiri menunjukkan bayi dengan lesi dermatitis atopik . Gambar kanan menunjukkan lesi dermatitis atopik yang berkrusta pada anak ini.

Gambar 2. Gambar di atas menunjukkan likenifikasi pada bagian leher dan bahu pasien dermatitis atopik.

Tes laboratorium. Test laboratorium biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi uncomplicated atopic dermatitis. Kira-kira 70 % hingga 80% pasien mempunyai serum IgE yang meningkat. Kondisi ini beruhubung dengan makanan atau alergen hirup dan/atau yang disebabkan oleh rhinitis rutin dan terapi dermatitis atopik sensitisasi alergen alergi dan asma.

Sebanyak 20% hingga 30% penderita mempunyai kadar IgE serum yang normal. Pada dermatitis atopik subtipe ini, penderita memiliki hanya sedikit sensitisasi IgE terhadap allergen makanan dan alergen hirup. Tetapi penderita juga memiliki sensitisasi terhadap antigen mikroba seperti toksin S.aureus dan Candida albicans atau Malassezia sympodialis. Namun, sesetengah penderita menunjukkan reaksi positif dengan tes tempel atopik (atopy patch test). Majoritas penderita dermatitis atopik memiliki eosinofilia darah perifer. Penderita dermatitis atopik meningkatkan pelepasan histamin secara spontan dari basofil. Temuan klinis ini memberikan gambaran respon imun Th2 dalam penyakit ini terutamanya penderita dengan elevasi kadar serum IgE.

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING Kriteria major dari dermatitis atopik adalah pruritus dan dermatitis ekzematous dengan morfologi dan distribusi yang tipikal, berlangsung kronik atau remiten. Banyak penyakit seperti penyakit inflamatori, imunodefisiensi, maligna kulit, kelainan genetik, penyakit infeksi dan infestasi memiliki gejala yang sama seperti dermatitis atopik. Oleh itu, penting untuk memperhatikan gejala-gejala yang ada sebelum diagnosa dermatitis atopik ditegakkan. Bayi yang lahir dengan masalah pertumbuhan, diare, ruam yang eritem dan berskuama di seluruh tubuh, dan infeksi kulit atau sistemik berulang harus dievaluasi dengan sindrom imunodefisiensi. Sindrom Wiskott-Aldrich adalah penyakit X-linked recessive disorder yang ditandai dengan kelainan kulit merupakan suatu penyakit yang sukar dibedakan dengan dermatitis atopik. Gejala yang bisa diperhatikan pada penyakit WaskottAldrich ini adalah thrombositopenia, berbagai abnormalitas pada imunitas seluler dan humoral, serta infeksi bakteri yang berulang. Pada sindrom hiper IgE pula ditandai dengan gejala seperti peningkatan kadar serum IgE, gangguan fungsi sel T, infeksi bakteri yang berulang seperti abses kutan yang disebabkan oleh S.aureus dan/atau penyakit kulit yang pruritik disebabkan oleh S.aureus pustulosis atau dermatofitosis yang menetap. Erupsi papulopustular pada wajah dapat dilihat pada awal kehidupan bayi. Walaupun bakteri S.aureus merupakan patogen yang memainkan peran penting dalam penyakit ini, namun infeksi oleh bakteri lain, virus, dan jamur turut bisa berlaku, terutamanya apabila penderita mengkonsumsi obat profilaksis antistafilokokal. Fitur lain dari sindrom hiper IgE adalah pneumonia dengan formasi pneumatosele, anomaly gigi pada gigi primer, fraktur tulang, dan osteopenia. Adalah sangat penting untuk memerhatikan pasien dewasa yang datang dengan gejala dermatitis ekzematous tanpa adanya riwayat eksim pada waktu anak-anak, alergi respiratorik, atau riwayat keluarga dengan kontak dermatitis alergi. Kontak alergen harus dipertimbangkan pada pasien suspek dermatitis atopik yang tidak berespon baik dengan obat-obatan bagi penyakit tersebut. Telah banyak dilaporkan bahwa pasien dengan dermatitis kronik mempunyai kontak alergi terhadap glukokortikoid topikal dan penghambat calcineurin topikal. Selain itu, limfoma kutaneus sel T harus dipertimbangkan pada pasien dewasa yang menunjukkan gejala dermatitis kronik yang tidak berespon baik dengan terapi glukokortikoid topikal. Secara idealnya, prosedur biopsi dilakukan pada 3 tempat yang berbeda karena secara histologinya akan ditemukan

spongiosis dan infiltrat seluler yang mirip dengan dermatitis atopik. Dermatitis eksematous juga sering dilaporkan pada pasien HIV serta pada pasien dengan penyakit infestasi seperti skabies. Kelainan lain yang bisa menyerupai dermatitis atopik termasuklah psoriasis, iktiosis, dan dermatitis seboroik.
Diagnosa banding Dermatitis Atopik Paling sering Jarang ditemukan pada bayi dan anak-anak Dermatitis kontak (alergi dan iritan) Metabolik/nutrisional Fenylketonuria Dermatitis seboroik Defisiensi Prolidase Skabies Deficiency karboksilase multipel Psoriasis Defisiensi zat besi (acrodermatitis Iktiosis vulgaris enleropathica; prematur; defisiensi zat Keratosis pilaris besi dalam ASI; kista fibrotik) Dermatofitosis Lain-lain: biotin, asam lemak Pertimbangkan esensial, Ekzema asteatotik Asiduria organik Liken simpleks chronicus Dermatitis numular Penyakit imunodefisiensi primer Dermatosis palmoplantar Penyakit imunodefisiensi campuran Impetigo berat Erupsi obat Sindrom DiGeorge Dermatitis perioral Hypogammaglobulinemia Pityriasis alba Agammaglobulinemia Penyakit fotsensitivitas (hydroa Sindrom Wiskolt-Aldrich vacciniforme; erupsi cahaya Ataxia-telangiectasia polimorfik; porphyrias) Sindrom Hiperimmunoglobulin E Dermatitis moluskum Chronic mukokutaneous kandidiasis Jarang ditemukan pada remaja dan dewasa Limfoma kutaneus sel T (mycosis fungoides atau Sindrom Sezary) HIV-dengan dermatosis Lupus erytematosus Dermatomiositis Graft-versus-host disease Pemfigus foliaceus Dermatitis herpetiformis Penyakit fotosensitivitas {hydroa vacclniforme, erupsi cahaya polimorfik; porphyrias) Sindrom Omenn

Sindrom genetik Sindrom Netherton Sindrom Hurler Inflammatory, autoimmune disorders Eosinophilic gastroenteritis Gluten-sensitive enteropati Neonatal lupus erythematosus Proliferative disorders histiositosis sel Langerhans

KOMPLIKASI Okuler Komplikasi pada mata yang berhubungan dengan dermatitis atopik berat menyumbang untuk terjadinya morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan blefaritis kronik sering dikaitkan dengan dermatitis atopik serta sering mengakibatkan gangguan visus yang terjadi akibat skar pada kornea. Keratokonjungtivits atopik biasanya terjadi bilateral dan bisa disertai dengan gejala lain seperti gatal, sensasi terbakar, mata yang berair, serta keluar cairan mucoid yang banyak. Konjungtivitis vernal adalah proses inflamatori kronik berat yang terjadi secara bilateral dan disertai dengan hipertrofi papilaris atau cobblestone pada konjungtiva kelopak mata atas. Sensasi prutitus diperberat dengan paparan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus pula adalah deformitas konikal pada kornea yang disebabkan oleh gosokan kronik pada mata pasien dengan dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Sekitar 21% pasien dengan dermatitis atopik berat menderita katarak. Walaubagaimanapun, tidak diketahui secara jelas manifestasi primer yang berlaku ini adalah disebabkan oleh dermatitis atopik sendiri atau daripada penggunaan glukokortikoid topikal pada sekitar daerah mata. Infeksi Dermatitis atopik biasanya dipersulit dengan infeksi viral pada kulit yang rekuren disebabkan oleh defek pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling berat adalah herpes simpleks yang mana penyakit ini bisa terjadi pada pasien di segenap peringkat umur, menyebabkan terjadinya erupsi Kaposi variseliform atau ekzema herpetikum. Setelah waktu inkubasi selama 5 hingga 12 hari, lesi yang multipel, gatal, erupsi lesi vesikulopapuler yang menyebar dan berkelompok akan menjadi hemoragik serta berkrusta. Erosi yang sangat nyeri serta punched out lesion turut terjadi. Lesi ini bisa bergabung membentuk lesi yang sangat besar, menjadi gundul, dan bagian yang berdarah bisa menyebar ke seluruh tubuh. Pada dermatitis atopik, vaksin bagi cacar bisa menyebabkan terjadinya erupsi berat yang menyeluruh (dikenali juga dengan vaksinatum ekzema) memberikan gambaran seperti ekzema herpetikum. Dengan itu, vaksinasi merupakan kontraindikasi pada pasien dermatitis atopik kecuali ada bukti yang jelas menunjukkan pasien beresiko tinggi untuk terkena penyakit cacar. Infeksi jamur superfisial juga sering didapatkan pada pasien dermatitis atopik dan menyumbang kepada severitas penyakit ini. Pasien dermatitis atopik juga mempunyai tingkat prevalensi yang tinggi untuk terjadinya infeksi Tricophyton rubrum berbanding dengan pasien non-atopik. M.furfur turut mempunyai peran dalam penyakit DA ini. Jamur yang mempunyai yis lipofilik ini sering terdapat pada area yang terkena seboroik pada kulit. Antibodi IgE bagi M.furfur dapat ditemukan pada pasien DA dan sering terdapat pada dermatitis di kepala dan leher. Sensitisasi IgE terhadap M.furfur sangat jarang ditemukan pada pasien lain atau pasien dengan asma. Tes tempel alergen terhadap yis ini menunjukkan hasil positif. S.aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit dengan lesi DA. Krusta yang berwarna kuning seperti madu, folikulitits, dan pioderma merupakan indikator terjadinya infeksi sekunder akibat S.aureus dan memerlukan rawatan antibiotik. Limfadenopati regional

turut sering ditemukan. Pada pasien dengan DA berat dan disertai dengan infeksi S.aureus, bisa diberikan kombinasi terapi antistafilokokal dan topikal glukokortikoid. Walaupun pustulosis stafilokokal yang rekuren menjadi masalah yang signifikan pada DA, namun infeksi aureus yang lebih dalam jarang ditemukan dan perlu mempertimbangkan kemungkinan yang mengarah ke sindrom imunodefisiensi seperti sindrom hiper IgE. Dermatitis pada tangan Pasien DA sering menunjukkan gejala non-spesifik dermatitis iritan pada tangan. Ianya sering diperberat apabila kondisi tangan sentiasa dalam keadaan basah dan lembap serta mencuci tangan menggunakan sabun, deterjen dan disinfektan yang mengiritasi. Pasien DA dengan pekerjaan yang melibatkan kerja basah lebih rentan untuk terjadinya dermatitis tangan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini sering menjadi kausa bagi disabilitas dalam melakukan pekerjaan. Dermatitis eksfoliatif Pasien dengan keterlibatan bagian kulit yang ekstensif bisa terkena dermatitis eksfoliatif. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti lesi yang kemerahan, berskuama, kadang-kadang lesi tersebut luruh/gugur, berkrusta, terjadi toksisitas sistemik, limfedenopati dan demam. Walaupun komplikasi ini jarang terjadi, namun ianya bisa mengakibatkan kematian. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi akibat produksi toksin oleh S.aureus atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit yang menetap atau terapi yang tidak benar. Dalam kasus tertentu, terminasi penggunaan glukokortikoid harus dilakukan untuk mengawal severitas dermatitis atopik. PROGNOSIS Keseluruhan proses dermatitis atopik tidak diketahui secara pasti. Prediksi dermatitis atopik ini tidak bisa dilakukan dengan pasti pada setiap pasien, namun, penyakit ini lebih berat dan persisten pada anak-anak. Waktu remisi muncul lebih sering dengan pertambahan usia anak tersebut. Sekitar 40% hingga 60% anak-anak yang mendapat dermatitis atopik dengan severitas ringan pada waktu bayi sembuh secara spontan selepas mencecah umur 5 tahun. Walaupun studi awal menunjukkan bahwa sekitar 84% anakanak dengan dermatitis atopik akan lebih cenderung untuk memiliki tingkat severitas yang lebih berat pada usia remaja, namun, studi terbaru menunjukkan bahwa gejala dermatitis atopik hilang pada 20% anak-anak dengan dermatitis atopik yang didapat sejak bayi hingga usia remaja., dan 65% pasien mempunyai gejala dermatitis atopik yang sedang. Selain itu, lebih satu per dua dari remaja yang dirawat dengan dermatitis ringan akan mengalami relaps pada usia dewasa. Pasien dewasa yang mempunyai riwayat terjadinya remisi dermatitis atopik untuk beberapa tahun pada waktu anak-anak menunjukkan gejala dermatitis tangan, terutamanya jika mereka terlibat dengan pekerjaan yang sering menyebabkan tangan dalam kondisi yang basah dan lembap. Faktor yang diduga menyebabkan prognosa buruk

pada pasien dermatitis atopik adalah penyakit lesi yang meluas pada waktu anak-anak, mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit asma atau rhinitis alergi (orang tua atau saudara), onset dermatitis atopik yang terjadi sangat awal, anak tunggal, dan kadar serum IgE yang sangat tinggi. PENATALAKSANAAN Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopik seperti bahan iritan, deterjen, alergen, agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor menyumbang kepada simptom dermatitis atopik yang kompleks. Oleh sebab itu, rencana terapi berbeda-beda dan unik pada bagi setiap pasien karena reaksi kulit pada setiap individu dan faktor pencetusnya adalah berbeda. Terapi topikal Hidrasi kutaneus Pasien dermatitis atopik mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar kulit yang terganggu. Kondisi ini bisa menyumbang kepada morbiditas dengan cara membentuk mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry bagi patogen kulit, bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi sekunder. Kondisi ini bisa menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan mandi dengan air hangat selama 20 menit diikuti dengan aplikasi emolien yang oklusif untuk mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan emolien yang efektif dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan mempertahankan sawar stratum korneum serta mengurangkan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal. Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem, losion, atau ointment. Namun begitu, sesetengah losion dan krem bersifat mengiritasi akibat penambahan substansi lain seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang mengandungi air bisa mengering disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment hidrofilik tersedia dalam berbagai viskositas tergantung dari kebutuhan pasien. Ointment yang oklusif kadangkala tidak bisa ditoleransi dengan baik karena mengganggu fungsi duktus ekrin dan bisa menginduksi terjadinya folikulitis. Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal yang abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien dermatitis atopik ini. Hidrasi dengan mandi dan kompres basah (wet dressing) merangsang penetrasi glukokortikoid topikal. Kompresi basah tersebut juga bisa melindungi lesi dari garukan yang persisten, seterusnya menggalakkan proses penyembuhan lesi ekskoriasi. Kompresi basah direkomendasikan pada bagian yang terkena dermatitis atopik berat atau bagian yang melibatkan terapi dalam jangka waktu yang lama. Namun, penggunaan kompresi basah yang berlebihan bisa mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi sekunder. Kompresi basah dan mandi berpotensi untuk membuat kulit menjadi kering dan membentuk fisura sekiranya tidak diikuti dengan aplikasi emolien topikal. Oleh sebab itu,

kompres basah sebaiknya hanya untuk dermatitis atopik yang sukar dikawal dan harus diobservasi oleh dokter.

Terapi glukokortikoid topikal Terapi glukokortikoid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamatorik lesi kulit yang ekzematous. Disebabkan oleh efek sampingnya, kebanyakan dokter menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk mengawal eksaserbasi akut dermatitis atopik. Walaubagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa kontrol dermatitis atopik bisa dilaksanakan dengan regimen terapi setiap hari dengan glukokortikoid topikal. Kontrol untuk jangka waktu yang lama bisa dikekalkan pada sesetengah pasien dengan mengaplikasikan fluticasone pada bagian kulit yang telah sembuh tetapi beresiko untuk terjadinya ekzema sebanyak 2 kali dalam seminggu. Penjelasan dan instruksi menggunakan glukokortikoid topikal harus diberikan secara jelas dan lengkap untuk mencegah terjadinya efek samping. Glukokortikoid fluorinated yang poten tidak boleh diaplikasikan ke wajah, genitalia dan bagian lipatan kulit, tetapi preparasi glukokortikoid yang berpotensi rendah bisa diaplikasikan ke bagian ini. Pasien juga harus diberikan instruksi supaya mengaplikasikan glukokortikoid pada bagian lesi sahaja dan aplikasi emolien pada bagian kulit yang sehat. Kadangkala penyebab kegagalan terapi dengan glukokortikoid topikal adalah disebabkan oleh aplikasi atau penggunaan obat yang tidak mencukupi. Jumlah topikal glukokortikoid yang diperlukan untuk diaplikasi ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30 gram krem atau ointment. Jadi, untuk merawat seluruh tubuh sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu memerlukan kirakira 840 gram (2 lb) glukokortikoid topikal. Terdapat 7 golongan bagi glukokortikoid topikal dan diatur mengikut potensi berdasarkan vasoconstrictor assay. Disebabkan oleh efek sampingnya, glukokortikoid yang sangat poten hanya digunakan untuk jangka waktu pendek dan pada bagian yang mengalami likenifikasi tetapi bukan pada daerah wajah atau lipatan kulit. Tujuan utama penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kuli dan glukokortikoid potensi rendah adalah untuk terapi maintenance. Glukokortikoid potensi sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang bagi merawat dermatitis atopik kronik yang melibatkan bagian badan dan ekstrimitas. Glukokortikoid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene sering mengiritasi serta menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh diaplikasikan pada daerah kulit kepala atau jenggot. Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping glukokortikoid termasuk struktur molekuler kompaun, vehikulum, jumlah obat yang diaplikasi, durasi aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti umur, luas permukaan badan dan berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan perbedaan metabolisme kutaneus dan sistemik pada setiap individu. Efek samping glukokortikoid topikal berkait langsung dengan susunan potensi kompaun dan durasi penggunaannya. Selain itu, ointment mempunyai resiko tinggi untuk mengoklusi epidermis, seterusnya meningkatkan absorbsi

sistemik jika dibandingkan dengan krem. Efek samping dari glukokortikoid dapat dibagi menjadi dua yaitu efek samping lokal dan efek samping sistemik yang disebabkan oleh supresi hypothalamus pituitary-adrenal. Efek sampingnya termasuklah striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan akne rosasea. Glukokortikoid poten bisa mengakibatkan supresi adrenal (terutamanya pada bayi dan anak kecil). Glukokortikoid sedang (fluticasone propionate) 0.05% krem pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan adalah aman untuk digunakan pada anakanak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada penggunaan fluticason 0.05% krem juga bisa diaplikasikan pada anak-anak seawal umur 3 bulan selama maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula bisa digunakan pada anak-anak 12 bulan dan ke atas. Krem dan ointment mometason bisa digunakan pada anak-anak berumur 2 tahun dan ke atas. Inhibitor calcineurin topikal Takrolimus dan pimekrolimus topikal adalah imunomodulator non-steroid. Ointment takrolimus 0.03% bisa digunakan untuk terapi intermiten pada penderita dermatitis atopik anak-anak ( 2 tahun) dengan tingkat severitas sedang hingga berat. Ointment takrolim us 0.1% pula bisa digunakan pada orang dewasa, manakala dalam sedian krem (1%) digunakan untuk terapi bagi pasien 2 tahun dengan tingkat severitas dermatitis atopik dari ringan sampai sedang. Kedua-dua obat ini efektif dan aman digunakan selama 4 tahun (ointment takrolimus) dan 22 tahun (krem pimekrolimus). Efek samping bagi penggunaan obat ini adalah rasa sensasi terbakar pada kulit. Obat ini tidak mengakibatkan atrofi kulit. Oleh itu, obat ini bisa dipakai pada wajah dan lipatan kulit. Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus Pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap bahan iritan berbanding dengan orang normal. Oleh itu, adalah penting bagi pasien untuk mengidentifikasi dan mencegah faktor yang bisa mencetuskan itch-scratch cycle (siklus gatal-garuk). Faktor pencetus ini antaranya adalah sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, asap, memakai pakaian baru, dan paparan pada suhu dan kelembapan yang ekstrim. Apabila menggunakan sabun, pasien harus mengurangkan durasi kontak dengan bahan tersebut dan menggunakan sabun yang mempunyai pH yang menghampiri pH neutral.pakaian baru harus dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk mengurangkan kadar formaldehid dan bahan kimia yang lain. Deterjen yang tertinggal pada pakaian turut bisa menyebabkan iritasi kulit. Sebaiknya, penggunaan deterjen serbuk diganti dengan deterjen cecair sahaja. Kondisi persekitaran seperti suhu panas dan lembap serta berkeringat harus disesuaikan mengikut kondisi pasien agar tidak memperberat penyakit. Walaupun sinaran cahaya matahari memberi manfaat kepada penderita dermatitis atopik, namun paparan yang berlebihan harus dicegah.

Alergen spesifik

Alergen yang berpotensi untuk mengeksaserbasi dermatitis atopik adalah seperti berikut: makanan, inhalasi (debu/habuk, bulu haiwan, pollen bunga). Alergen ini harus diidentifikasi secara teliti dalam anamnesis dengan pasien serta dilakukan tes tusuk (skin prick test) dan test serum IgE pada pasien. Stres emosional Stres bukanlah penyebab terjadinya dermatitis atopik, tetapi ianya bisa mengeksaserbasi gejala dari penyakit ini. Dermatitis atopik biasanya berespon dengan pasien yang sedang dalam kondisi stres, malu frustasi dan berbagai stres emosional yang lain. Respon ini disertai dengan rasa gatal dan diikuti degan tindakan menggaruk. Kadangkala, perilaku menggaruk ini menjadi kebiasaan pada sesetengah pasien. Relaksasi dan modifikasi perilaku dapat membantu pasien mengatasi kebiasaan ini. Agen infeksi Bagi pasien yang telah terkena infeksi atau kolonisasi S.aureus berat, terapi dengan antibiotik anti-stafilokokal sangat membantu. Pasien yang tidak terkolonisasi dengan tipe aureus yang resisten bisa dirawat dengan sefalosporin atau penicillinase resistantpenicillin (dicloxacilin, oxacilin, cloxacilin). Akibat dari peningkatan satfilokokus yang resisten-eritromisin, maka telah diperkenalkan obat-obatan baru seperti makrolida yang baru untuk merawat dermatitis atopik. Herpes simpleks bisa memprovokasi dermatitis yang rekuren dan sering tersalah diagnosa dengan infeksi S.aureus. Jika terdapat punched-out lesion, vesikel, dan/atau lesi pada kulit yang terinfeksi tetapi tidak berepon dengan antibiotik oral, maka pemeriksaan penunjang yang mengarah ke H.simpleks harus dilakukan. Antara pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pewarnaan Giemsa dengan smear Tzanck (sampel diambil dari dasar vesikel), test direct immunofluorescence assay, identifikasi material genetik herpes dengan PCR, atau dengan kultur virus. Untuk infeksi yang dicurigai disebabkan oleh herpes simpleks, obat anti-inflamatorik harus dihentikan seketika. Pada orang dewasa dengan lesi herpes simpleks pada kulit, terapi yang bisa diberikan kepada pasien adalah acyclovir 400 mg peroral 3 kali sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral 4 kali sehari selama 10 hari. Terapi intravena juga bisa diberikan pada pasien dengan ekzema herpeticum berat yang menyebar. Infeksi dermatofita bisa mempersulit dermatitis atopik dan menyumbang kepada eksaserbasi aktivitas penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofita bisa di rawat dengan anti-jamur sistemik atau topikal. Pruritus

Terapi pruritus harus mengarah langsung ke penyebab utamanya. Reduksi inflamasi kulit dan kulit kering dapat diatasi dengan cara mengaplikasikan glukokortikoid topikal dan hidrasi kulit. Tindakan ini dipercayai dapat mengurangkan efek pruritus. Beberapa anti-histamin mempunyai efek ansiolitik ringan dan bisa mengurangkan gejala simptomatik melalui efek penenang dan sedatif. Disebabkan pruritus bertambah berat pada malam hari, antihistamin yang mempunyai efek sedatif (eg: hydroxyzine atau

diphenhydramine) mampu memberi banyak kelebihan pada pasien. Sekiranya pruritus nokturnal bertambah berat, maka penggunaan jangka pendek obat sedatif dapat diberikan. Rawatan antibiotik dengan antihistamin topikal tidak direkomendasikan karena berpotensi mencetuskan sensitisasi pada kulit. Namun begitu, aplikasi krem topikal doxepin 5% selama 1 minggu dapat mereduksi severitas pruritus tanpa mengakibatkan sensitisasi. Preparat ter Preparat ter mengandungi antipruritik dan anti inflamasi yang meberi efek pada kulit walaupun efek yang dihasilkan tidak seperti glukokortikoid topikal. Preparat ter bermanfaat dalam mengurangkan potensi glukokortikoid topikal pada terapi maintenance dermatitis atopik kronik. Shampo ter juga bisa diberikan pada pasien dengan dermatitis kulit kepala dan sering membantu mengurangkan konsentrasi dan frekwensi aplikasi glukokortikoid topikal. Preparat ter ini tidak bnoleh digunakan pada inflamasi kulit yang akut karena bisa menyebabkan iritasi pada kulit. Efek samping dari preparat ter adalah folikulitis dan fotosensitivitas. Ter juga dikatakan mengandung efek karsinogenik. Fototerapi Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopik. Walaubagaimanapun, sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang memperberat kondisi pasien. Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband UVB (311 nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan UVA-B menjadi terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien dermatitis atopik. Investigasi dari mekanisma fotoimunologi yang bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi menunjukkan bahwa sel Langerhans epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran dari UVA fototerapi dengan dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan menghasilkan efek imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting Langerhans cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi bagi fotokemoterapi dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah dan menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema, nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang pula adalah proses penuaan yang prematur dan juga maligna kulit. Rawat inap Pasien dermatitis atopik dengan kondisi eritodermik atau menderita penyakit ini dengan tingkat severitas yang berat tidak memungkinkan untuk di rawat jalan. Pasien seperti ini harus di rawat inap sebelum mempertimbangkan terapi sistemik alternatif yang lain. Pada kebanyakan kasus, tindakan mengisolasi pasien daripada alergen yang ada di sekitarnya atau mengatasi stres emosional dan mengedukasi pasien dengan benar biasanya bisa memperbaiki kondisi penyakit mereka.

Terapi sistemik

Glukokortikoid sistemik Penggunaan glukokortikoid sistemik seperti prednison jarang diberikan pada pasien dengan dermatitis atopik yang kronik. Sesetengah pasien dan dokter lebih gemar menggunakan sistemik glukokortikoid tersebut untuk mencegah perawatan kulit (hidrasi dan terapi topikal) yang mengambil waktu sangat lama. Walaubagaimanapun, peningkatan perbaikan pada pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid sistemik biasanya berkait rapat dengan rebound yang parah selepas terapi glukokortikoid sistemik dihentikan. Terapi jangka pendek glukokortikoid oral sesuai untuk eksaserbasi akut dermatitis atopik. Sekiranya terapi dengan glukokortikoid oral dimulakan, dosis yang diberikan harus dikurangi (tappering) dan perawatan kulit juga harus dilakukan dengan cara aplikasi glukokortikoid topikal dan sering mandi serta aplikasi emolien untuk mencegah terjadinya rebound. Siklosporin Siklosporin merupakan imunosupresif poten yang bekerja pada sel T dengan mensupresi transkripsi sitokin. Banyak studi menyatakan bahwa terapi siklosporin jangka pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopik dewasa dan anak-anak. Dosis 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu pendek dan jangka waktu panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa siklosporin dalam bentuk mikroemulsi bisa diberikan setiap hari pada pasien dewasa dengan dosis 150 mg (dosis rendah) dan 300 mg (dosis tinggi). Terapi dengan siklosporin menunjukkan perbaikan pada kondisi pasien dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Efek dari diskontinuitas obat ini adalah relaps penyakit kulit yang cepat, peningkatan serum kreatinin atau gangguan fungsi renal yang signifikan, dan hipertensi. Antimetabolit Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam jangka pendek sebanyak 2 g setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien dewasa dermatitis atopik yang resisten terhadap terapi lain termasuk glikokortikoid topikal dan sistemik, dan fototerapi psoralen dan UVA. Namun begitu, tidak semua pasien yang berespon baik dengan obat ini. Terapi dengan obat ini harus dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon setelah 4 hingga 8 minggu perawatan. Methotrexate merupakan anti-metabolit yang mempunyai efek poten terhadap sintesis inflamatorik sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate diberikan kepada pasien dermatitis atopik dengan penyakit yang menetap. Azathioprine sering digunakan pada pasien dengan dermatitis atopik berat. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah supresi sumsum tulang.
Referensi dari Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In : Wolff KG,LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ. Fitzpatricks Deramatology In General Medicine. 7thed: McGraw Hill; 2008. Pg. 185-194

Anda mungkin juga menyukai