Anda di halaman 1dari 60

Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.

Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi o Hadits Mutawatir o Hadits Ahad Hadits Shahih Hadits Hasan Hadits Dha'if Menurut Macam Periwayatannya o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul) o Hadits yang terputus sanadnya Hadits Mu'allaq Hadits Mursal Hadits Mudallas Hadits Munqathi Hadits Mu'dhol Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi o Hadits Maudhu' o Hadits Matruk o Hadits Mungkar o Hadits Mu'allal o Hadits Mudhthorib o Hadits Maqlub o Hadits Munqalib o Hadits Mudraj o Hadits Syadz Beberapa pengertian dalam ilmu hadits Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer

I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi

I.A. Hadits Mutawatir


Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir: 1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. 2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy. 3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.

I.B. Hadits Ahad


Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu: I.B.1. Hadits Shahih Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Harus bersambung sanadnya Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya) Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz. I.B.3. Hadits Dha'if Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

II. Menurut Macam Periwayatannya

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya


Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.

II.B. Hadits yang terputus sanadnya


II.B.1. Hadits Mu'allaq Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if. II.B.2. Hadits Mursal Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu. II.B.3. Hadits Mudallas Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. II.B.4. Hadits Munqathi Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in. II.B.5. Hadits Mu'dhol Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk haditshadits dha'if.

III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi


III.A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.

III.B. Hadits Matruk


Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

III.C. Hadits Mungkar


Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu'allal


Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib


Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub


Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib


Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj


Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

III.I. Hadits Syadz


Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits


IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.

IV.B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Imam Ahmad Imam Bukhari Imam Muslim Imam Abu Daud Imam Tirmidzi Imam Nasa'i Imam Ibnu Majah

IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.

IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.F. Ats tsalatsah


Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan)

hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer


1. Shahih Bukhari 2. Shahih Muslim 3. Riyadhus Shalihin Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/hadits KEUNGGULAN ISLAM

Pengertian Sunnah
Home
AL-QURAN PERBINCANGAN

| HADIS | BAHR AL-MAADZI | SEJARAH | TOKOH ISLAM | TAZKIRAH | PERSOALAN | ALBUM | | FAIL | NASYID | LINK

Sunnah menurut bahasa: ialah jalan yang dilalui sama ada terpuji atau tidak; juga suatu adat yang telah dibiasakan walaupun tidak baik. Rasul SAW bersabda: "Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki lubang dab (serupa binatang biawak) nescaya kamu memasukinya juga." (Hadith riwayat Muslim) "Barangsiapa menjalani suatu sunnah (perjalanan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat, dan barangsiapa mengadakan suatu sunnah (perjalanan) yang jahat (buruk) maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat." (Hadith riwayat Bukhari & Muslim) Jelaslah bahawa menurut hadith tersebut, perkataan sunnah itu diertikan dengan perjalanan, sama ada baik atau pun yang jahat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh bahasa. Sunnah menurut istilah ahli hadith: ialah segala yang dipindahkan dari

nabi sallallahu 'alayhi wa sallam baik yang merupakan perkataan, perbuatan, mahupun yang merupakan taqrir, sebelum nabi dibangkitkan menjadi rasul, mahupun sesudahnya. Kebanyakan ahli hadith menetapkan bahawa pengertian yang demikian sama dengan pengertian hadith. Sunnah menurut pengertian dan istilah ahli usul: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam sama ada perkataannya dan perbuatannya, mahupun taqrirnya yang bersangkutan dengan hukum. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh sabdanya ini: "Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara tidak akan kamu sesat selama kamu berpegang dengan keduanya: iaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya". (Hadith riwayat Malik) 1. Contoh sunnah (hadith) perkataan ialah:

"Segala 'amal itu dengan niat." [Riwayat Bukhari, Muslim dan sekelian ulama' hadith] 2. Contoh sunnah (hadith) perbuatan ialah:

"Bersembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku bersembahyang." [Riwayat Bukhari dan Muslim] 3. Contoh hadith (sunnah) taqrir. Taqrir ialah: (a) Nabi SAW membenarkan apa yang diperbuat oleh seorang sahabat dengan tidak mencegah atau menyalahkan serta menunjukkan keredaannya; (b) menerangkan kebagusan yang diperbuat itu serta dikuatkan pula. Contoh yang pertama ialah sebagaimana Nabi saw membenarkan ijtihad para sahabat mengenai urusan sembahyang 'Asar di Bani Quraizah dengan sabdanya: "Jangan bersembahyang seorang kamu melainkan di Bani Quraizah." [Riwayat Bukhari] Sebahagian sahabat memahamkan perkataan itu menurut hakikat larangannya lalu menta'khirkan sembahyang 'Asar itu sampai selepas Maghrib. Dan ada sebahagian yang lain tidak memahamkan demikian, mereka memahamkan bahawa yang dimaksudkan nabi bercepat-cepat pergi ke Bani Quraizah. Kerana itu mereka mengerjakan sembahyang 'Asar pada waktunya, sebelum tiba ke Bani Quraizah. Kedua-dua perbuatan sahabat yang berlainan oleh berlainan ijtihad sampai kepada Nabi saw beritanya, dan Nabi saw tinggal berdiam diri tidak membantah apa-apa.

Contoh yang kedua sebagaimana yang diriwayatkan bahawa Khalid bin Walid pernah memakan dab (serupa binatang biawak) kemudian dikemukakan orang kepada Nabi saw. Nabi saw sendiri enggan memakannya, maka bertanya sebahagian sahabat: "Adakah diharamkan makannya ya Rasulullah? Lalu ia bersabda: Tidak! cuma binatang itu tidak ada di negeri kaumku, kerana itu aku tidak gemar kepadanya." Selanjutnya pernah juga dinamakan sunnah itu suatu yang ditunjuki oleh dalil syara', baik berdasarkan dalil Qur'an atau pun berdasarkan hadith, mahu pun berdasarkan ijtihad para sahabat, seperti mengumpulkan mashaf (Qur'an) dan menyuruh manusia membaca menurut suhuf 'Uthman, dan seperti membukukan ilmu (menyusun dan mengarangnya). Lawan dari sunnah ini ialah bid'ah, inilah yang dimaksudkan oleh hadith: "Berpeganglah kamu sungguh-sungguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat pertunjuk sesudahku." [Abu Daud & Tarmizi] Sementara itu ulama' fiqh berpendapat, bahawa suatu yang diterima dari Nabi saw dengan tidak difardukan dan tidak diwajibkan dinamakan sunnah. Imbangannya ialah wajib, haram, makruh dan mubah. Lawannya ialah bid'ah; talak yang dijatuhkan dalam haid menurut mereka dinamakan: talak bid'ah. Ulama' Syafi'e mengatakan bahawa sunnah itu: ialah suatu yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksai orang yang meninggalkannya. Menurut ulama' mazhab Hanafi, sunnah itu: ialah suatu yang disunnahkan Nabi saw atau para khalifah serta dikekalkan mengerjakannya, seperti azan dan berjama'ah.

Definisi hadits & Sunnah


a_firmansyah95 Sun, 28 May 2006 19:51:47 -0700
Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu Silahkan lihat buku Lau Kaana Khoiron Lasabaquuna Ilaihi karya ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat untuk perbedaan hadits dengan sunnah secara detail. insya Allah sangat jelas

Memang kita harus berhati terhadap pemikiran syiah dan orang2nya. Mereka paling suka membuat talbis sehingga orang menyangka mereka berada di atas al-haq. Sebagai contoh: Dalam satu kitab terjemahan karangan tokoh syiah, penulisnya mengatakan imam Bukhari adalah pembohong. Namun dalam kesempatan lain dan dibuku yang lain, mereka menggunakan hadits di shahih Bukhari untuk mencela sahabat. Demikianlah mereka selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Berdusta atas nama manusia memang biasa dilakukkan Syiah. Bahkan berdusta atas nama Allah pun mereka berani melakukannya ketika mereka mengatakan Al-Qur'an isinya tdk lengkap.

--- In assunnah@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote: > > Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh > Saya saat samapi sekarang mendapatkan definisi sebagai perkataan, perbuatan, takrir dan sifat nabi Muhammad Sallahu alaihi wassalaam akan tetapi definisi tersebut sekarang sedang diuji karena teman ana seorang SUSI (Sunnah Syiah), menurut mereka hadits-hadits di bukhori dan mungkin di muslim adalah ada yang tidak benar dalam artian jika menilik definisi di atas kenapa ada kisra ?? padahal bukan nabi??? atau seperti riwayat berikut > > Dalam Shahih Bukhari no. 1660, 1662 dan 1663 disebutkan bahwa sahabat 'Abdullah bin Umar radhiyallaHu 'anHu pernah shalat dengan bermakmum kepada al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Padahal al Hajjaj adalah seorang yang fasik dan bengis, sementara Abdullah bin Umar radhiyallaHu 'anHu adalah seorang sahabat yang sangat hati - hati dalam menjaga dan mengikuti sunnah Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam. > > Al Hajjaj adalah seorang amir yang zhalim, dia menjadi amir di Irak selama 20 tahun dan dialah yang membunuh Abdullah bin Zubair bin 'Awam di Makkah. Hajjaj mati tahun 95 H (Taqribut Tahdzib no. 1144 dan Tahdzibut Tahdzib II/184-186 oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalany) > > dalam hadits di atas pelaku utama (atau yang dinisbatkan kepada Rasulullahnya tidak ada) berarti bukan hadits......... > > Mohon juga penjelasan perbedaan tentang sunnah > > Wassalamu alaikum warmatullahi wabaraktuh

------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Everything you need is one click away. Make Yahoo! your home page now. http://us.click.yahoo.com/AHchtC/4FxNAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~->

SALURKAN BANTUAN ANDA UNTUK KAUM MUSLIMIN YANG TERKENA MUSIBAH GEMPA DI DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA KEPADA LEMBAGA AMAL YANG TERPERCAYA -------------------------------------------Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id Website audio: http://assunnah.mine.nu Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED] -------------------------------------------Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/

Hadits (bahasa Arab: , ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Etimologi 2 Struktur Hadits o 2.1 Sanad o 2.2 Matan 3 Klasifikasi Hadits o 3.1 Berdasarkan ujung sanad o 3.2 Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad o 3.3 Berdasarkan jumlah penutur o 3.4 Berdasarkan tingkat keaslian hadits o 3.5 Jenis-jenis lain 4 Periwayat Hadits o 4.1 Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim o 4.2 Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi'ah 5 Pembentukan dan Sejarahnya o 5.1 Masa Pembentukan Al Hadist o 5.2 Masa Penggalian

5.3 Masa Penghimpunan 5.4 Masa Pendiwanan dan Penyusunan 6 Kitab-kitab Hadits o 6.1 Abad ke 2 H o 6.2 Abad ke 3 H o 6.3 Abad ke 4 H o 6.4 Abad ke 5 H dan selanjutnya 7 Beberapa istilah dalam ilmu hadits 8 Catatan kaki 9 Referensi 10 Pranala luar

o o

[sunting] Etimologi
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

[sunting] Struktur Hadits


Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

[sunting] Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syubah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :

Keutuhan sanadnya Jumlahnya Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

[sunting] Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:

Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

[sunting] Klasifikasi Hadits


Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

[sunting] Berdasarkan ujung sanad


Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)

Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'. Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

[sunting] Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad


Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi. Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya). Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3 Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut. Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

[sunting] Berdasarkan jumlah penutur


Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat) Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain : o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur) o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

[sunting] Berdasarkan tingkat keaslian hadits


Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'

Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Sanadnya bersambung; 2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya. 3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits . Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, muallaq, mudallas, munqati atau mudal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

[sunting] Jenis-jenis lain


Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta. Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.

Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat) Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi) Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain. Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya

[sunting] Periwayat Hadits

Sampul kitab hadits Sahih Bukhari

[sunting] Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H) Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H) Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H) Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H) Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H) Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273). Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal

8. Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik 9. Sunan Darimi, Ad-Darimi

[sunting] Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi'ah


Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:

Ushul al-Kafi Al-Istibshar Al-Tahdzib Man La Yahduruhu al-Faqih

[sunting] Pembentukan dan Sejarahnya


Bagian ini membutuhkan pengembangan. Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah hadits Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

[sunting] Masa Pembentukan Al Hadist


Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.

[sunting] Masa Penggalian


Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

[sunting] Masa Penghimpunan

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermatcermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

[sunting] Masa Pendiwanan dan Penyusunan


Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.

[sunting] Kitab-kitab Hadits


Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits

[sunting] Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas Al Musnad oleh [Ahmad bin Hambal]] (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M) Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M) Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M) Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M) As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M) As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)

Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

[sunting] Abad ke 3 H

Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya : Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M) Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M) As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M) As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M) As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M) As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M) As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Imam Malik imam Ahmad

[sunting] Abad ke 4 H
1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M) 2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M) 3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M) 4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) 5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M) 6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M) 7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M) 8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M) 9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M) 10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M) 11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)

[sunting] Abad ke 5 H dan selanjutnya

Hasil penghimpunan

Bersumber dari kutubus sittah saja

1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M) 2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)

Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M) Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)

Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)

Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya : Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M) As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M) Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M) Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M) Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M) 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M) Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M) Kitab Al Hadits Akhlaq

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M) 2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)

Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist) 1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M) 2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631676 H / 1233-1277 M) 3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M) 4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M) 5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)

Mukhtashar (ringkasan) 1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M) 2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)

Lain-lain 1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa. 2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.

[sunting] Beberapa istilah dalam ilmu hadits

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:

Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal(Imam Ibnu Majah) Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

[sunting] Catatan kaki


1. ^ "Hadith," Encyclopedia of Islam. 2. ^ Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition. 3. ^ al-Kuliyat by Abu al-Baqa al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar al-Nafais.

[sunting] Referensi

The Classification of Hadeeth by Shaikh Suhaib Hassan Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz Metodologi Kritik Matan Hadis oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6

Pengertian Hadist Dalam Islam


by moslemanswer Sun Mar 01, 2009 2:40 pm Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Quran, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.

Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi Hadits Mutawatir Hadits Ahad Hadits Shahih Hadits Hasan Hadits Dhaif Menurut Macam Periwayatannya Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu atau Maushul) Hadits yang terputus sanadnya Hadits Muallaq Hadits Mursal Hadits Mudallas Hadits Munqathi Hadits Mudhol Hadits-hadits dhaif disebabkan oleh cacat perawi Hadits Maudhu Hadits Matruk Hadits Mungkar Hadits Muallal Hadits Mudhthorib Hadits Maqlub Hadits Munqalib

Hadits Mudraj Hadits Syadz Beberapa pengertian dalam ilmu hadits Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi I.A. Hadits Mutawatir Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir: Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qathiy. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama. I.B. Hadits Ahad Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah zhonniy. Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dhaif. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu: I.B.1. Hadits Shahih Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak muallal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Quran. Harus bersambung sanadnya Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya) Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz. I.B.3. Hadits Dhaif Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. II. Menurut Macam Periwayatannya II.A. Hadits yang bersambung sanadnya Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu atau Maushul. II.B. Hadits yang terputus sanadnya II.B.1. Hadits Muallaq Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dhaif. II.B.2. Hadits Mursal Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabiin dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu. II.B.3. Hadits Mudallas Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. II.B.4. Hadits Munqathi Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabiin. II.B.5. Hadits Mudhol Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabiit dan tabiin dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabiin yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk haditshadits dhaif. III. Hadits-hadits dhaif disebabkan oleh cacat perawi III.A. Hadits Maudhu Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits. III.B. Hadits Matruk

Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta. III.C. Hadits Mungkar Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur. III.D. Hadits Muallal Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Muallal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Malul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mutal (hadits sakit atau cacat). III.E. Hadits Mudhthorib Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan. III.F. Hadits Maqlub Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi). III.G. Hadits Munqalib Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah. III.H. Hadits Mudraj Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya. III.I. Hadits Syadz Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz. IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits IV.A. Muttafaq Alaih Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim. IV.B. As Sabah As Sabah berarti tujuh perawi, yaitu: Imam Ahmad Imam Bukhari

Imam Muslim Imam Abu Daud Imam Tirmidzi Imam Nasai Imam Ibnu Majah IV.C. As Sittah Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sabah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal. IV.D. Al Khamsah Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sabah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim. IV.E. Al Arbaah Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sabah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim. IV.F. Ats tsalatsah Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sabah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah. IV.G. Perawi Yaitu orang yang meriwayatkan hadits. IV.H. Sanad Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga. IV.I. Matan Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya. On March 22, 2010, In Hadits, Keislaman, By sutisna senjaya Pengertian Sunnah Pendapat yang benar bahwa yang dimaksud dengan Sunnah secara bahasa adalah thariqah atau metode, kebiasaan, perjalanan hidup atau perilaku baik jalan yang baik atau buruk, diantara dalilnya yaitu sabda Nabi Shalallahualaihi wassalam : Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam sunnah yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Barangsiapa yang mencontohkan [...]

HADITS dan SUNNAH By; Chamdani

Berdasarkan analisis teoritis dan analisis data historis, Fazlur Rahman menyimpulkan sifat otoritas Sunnah Nabi lebih cernderung dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman dan mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat umum (a general umbrella concept), dari pada ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang dipegangi apa adanya. Hal ini secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung dari kenyataan bahwa Sunnah adalah sebuah terma perilaku (behaviral) yang bercorak situasional; karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya - secara moral, psikologis dan material maka Sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan dengan semangat interpretasi dan adaptasi. Semangat ini telah dipertunjukkan dan dilakukan oleh generasi awal Islam. sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan Sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, tidak bersikeras menyangkal tesa-tesa yang dikemukan oleh orientalis, tetapi menurut Fazlur Rahman, kesalahan para sarjana-sarjan orientalis disebabkan oleh pandangan mereka yang mencampuradukan antara pengertian sunnah sebagai sebuah praktik yang hidup dan sebagai praktek yang bersifat normatif. Kesalahan memahami pengertian ini mengantarkan para sarjana orientalis menyimpulkan konseptualisasi temuan historis, bahwa Nabi tidak meninggalkan sunnah (praktik normatif), karena data-data historis yang mereka kumpulkan menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan praktik aktual dari generasi awal setelah Nabi sampai dengan generasi akhir menjelang perumusan konsep hadits (sekitar abad ke-2H/8M.). Sedangkan kritiknya terhadap ulama klasik terutama Imam al-Syafii, bahwa Fazlur Rahman disatu pihak mengakui kegeniusan al-Syafii yang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan kepada struktur sosial-relegius kaum Muslim pada zaman pertengahan. Tetapi sekaligus juga Fazlur Rahman mengkritik pola pikir al-Syafii yang membalikan urutan Sunnah-ijma-ijtihad, dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan orginalitas pemikiran Muslim. Karena menurutnya ijma tidak lagi merupakan sebuah proses yang menghadap ke masa depan, sebagai produk dari ijtihad secara bebas, tetapi ijma menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Maka menurut Fazlur Rahman, keberhasilan perumusan alSyafii menyebabkan hubungan yang hidup dan organis di antara ijtihad dengan ijma menjadi rusak.

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM Untuk mengetahui kedudukan Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam dan Sunnah (hadits) nya dalam Islam, kita perlu melihat beberapa ayat Al-Qur'an terlebih dahulu.

Dalam Al-Qur'an dapat kita jumpai bahwa Rosulalloh mempunyai tugas dan peran yang penting sebagai berikut: 1. Menjelaskan Kitabulloh. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan", (QS. An Nahl [16]: 44). Diantara tugas Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam adalah menjelaskan baik dengan lisan ataupun perbuatan- hal-hal yang masih global dan umum dalam Al-Qur'an. Tugas ini berdasarkan perintah dari Alloh subhanahu wa ta'ala. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur'an itu bukanlah sekedar 'membaca Al-Qur'an'. Banyak ayat-ayat AlQur'an yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam. Karenanya Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rosululloh terhadap AlQur'an juga tidak mungkin, karena Al-Qur'an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rosululloh trehadap Al-Qur'an sama saja artinya dengan menolak Al-Qur'an. 2. Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam Merupakan Teladan Baik Yang Wajib Dicontoh Oleh Setiap Muslim. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh". (QS. Al Ahzab [33]: 21) 3. Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam Terjaga dari Kesalahan Penyampaian Syari'at.

Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". (QS. An Najm [53]: 3-4) 4. Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam Wajib Di Ta'ati. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari pada-Nya, sedang kalian mendengar (perintah-perintahNya)". (QS. Al Anfaal [8]: 20). Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka". (QS. An Nisaa' [4]: 80) Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu: Nabinabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya". (QS. An Nisaa' [4]: 69) Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya". Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang

mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thoghut itu. dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya". (QS. An Nisaa' [4]: 59-60) Ayat-ayat tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Rosulalloh sholallohu 'alaihi wasallam di utus hanyalah agar di patuhi perintah-perintahnya dengan izin Alloh subhanahu wa ta'ala, bukan sekedar tabligh (menyampaikan) atau memberikan kepuasan. Manusia belum dapat dikatakan beriman apabila belum mau menerima system hukum Alloh subhanahu wa ta'ala yang telah dicontohkan oleh Rosululloh sewaktu beliau masih hidup dan sesudah beliau wafat. Menerima sistem dan hokum Alloh itu dengan menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan. Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam tidak sekedar 'penasihat' yang saran-sarannya boleh diambil atau tidak. Sebab agama Islam merupakan pandangan hidup yang nyata dengan segala bentuk dan aturannya, baik yang berupa nilai-nilai, akhlak, adab, ibadah, dan lain-lain. Pemberlakuan hukum yang dilakukan Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam tidaklah semata-mata masalah pribadi, tetapi hal itu merupakan penerapan sistem dan hukum Alloh subhanahu wa ta'ala. Seandainya hal itu merupakan masalah pribadi, niscaya sepeninggal Rosul hukum Alloh subhanahu wa ta'ala dan Sunnah Rosul-Nya tidak mempunyai arti lagi. Abu Bakar rodhiallohu 'anhu juga pernah memerangi orang-orang hanya karena mereka tidak mematuhi Alloh subhanahu wa ta'ala dan Rosul-Nya sholallohu 'alaihi wasallam dalam masalah zakat. 5. Wajib di Jauhi Dan di Tinggalkan Hal Dilarang Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman: Artinya"Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang

dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumannya". (QS. Al Hasyr [59]: 7) Dari keterangan-keterangan dalam ayat-ayat diatas jelaslah bahwa memakai Al-Qur'an saja dan meninggalkan Sunnah adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Untuk itu Imam Syafi'i menegaskan dengan menyatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Alloh subhanahu wa ta'ala berarti ia (harus) menerima Sunnah-Sunnah Rosul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitu pula orang yang menerimaa Sunnah Rosul, ia berarti (harus) menerima perintahperintah Alloh subhanahu wa ta'ala. (lihat Asy-Syafi'i, Ar-Risalah: 33). Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa ta'at kepada Rosululloh adalah suatu kewajiban, sebab ta'at kepada Alloh subhanahu wa ta'ala disyaratkan ta'at kepada Rosul-Nya. Dan setelah Rosul sholallohu 'alaihi wasallam wafat keta'atan itu diwujudkan dala menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu ummat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai Sunnah-Sunnah Rosul. Sebagai perwujudannya, hukum-hukum yang mereka terapkan sejak zaman Nabi sholallohu 'alaihi wasallam tidak pernah menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu. Contohnya adalah sebagai berikut: Sunnah Nabi sholallohu 'alaihi wasallam pada Masa Abu Bakar rodhiallohu 'anhu. Qobisah bin Dzu'aib menuturkan bahwa ketika Abu Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab: "dalam kitabulloh tidak terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam Sunnah Rosul juga tidak ada. Silahkan kemari lagi esok lusa, saya akan menanyakan masalah itu dahulu kepada orang-orang". Lalu beliau pun menanyakan hal itu kepada orang-orang. Diantara yang menjawabnya adalah Al-Mughiro bin Syu'bah, ia berkata: "Saya pernah menghadap Rosulalloh saaw beliau menetukan bagian seperenam untuk neneknya". Abu Bakar lalu menanyainya:"Apakah ketika menghadap Rosululloh kamu bersama orang lain?". Maka Muhammad bin Maslamah Al-Anshori bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan Al-Mughiroh. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk

nenek tersebut. (lihat Al-Muwatto', Imam Malik). Kata-kata Abu Bakar: "... dan sepengetahuan saya dalam Sunnah Rosul juga tidak ada". Dan kemudian beliau menetapkan bagian seperenam untuk nenek setelah mengetahui hal itu dari Al-Mughiroh dan Muhammad, cukup menjadi bukti bahwa beliau telah memberlakukan sunnah sebagai dalil dan hujjah. Sunnah Nabi sholallohu 'alaihi wasallam Pada Masa Umar bin Khoththob Beberapa hari sebelum Umar wafat, ia berpidato mengatakan: "Wahai Alloh saya bersaksi kepada-Mu atas penguasa-penguasa di daerah, bahwa saya mengangkat mereka agar mereka mengajarkan agama Islam dan Sunnah Nabi kepada para penduduk, dan agar mereka membagi-bagikan rampasan perang dengan adil. Apabila ada yang mendapatkan problem hendaknya ia melaporkan kepada saya...?" (lihat Sunnah Ad-Darimi: 72). Umar juga dikenal sebagai kholifah yang aktif mengontrol bawahannnya. Salah satu suratnya yang dikirmkan kepada Qodhi (hakim) Syuroih juga sangat kesohor. Surat itu berisi keterangan tentang hujiyah Sunnah (sunnah dapat dijadikan sebagai dalil atau rujukan) untuk memutuskan perselisihan antar manusia. Surat Umar bin Khoththob kepada Qodhi Syauroih di Kuffah. An-Nasai menuturkan, bahwa Syuroih menulis surat kepada kepada Umar menanyakan suatu masalah. Maka Umar menjawab lewat surat sebagai berikut: "Putuskanlah masalah itu dengan Kitabulloh, bila hal itu tidak trdapak dalam Kitabulloh maka putuskanlah memakai Sunnah Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam, apabila hal itu juga tidak terdapat dalam Sunnah Rosul juga, maka putuskanlah dengan keputusan yang telah dipakai orang-orang sholeh dahulu. Apabila juga masih belum ditemukan masalah itu dalam tiga jenis rujukan tadi, maka terserahlah kepada kamu, apakah kamu ingin segera memutuskan hal itu dengan ijtihadmu atau kamu mau menangguhkan. Dan saya rasa lebih baik kamu menangguhkan. Wassalamu 'alaikum". (lihat Sunnah

An-Nasai: 8/ 204) Umar juga sering mengubah pendiriannya setelah mengetahui Sunnah Rosul. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dari Sa'id bin Musayyib, ia berkata: "Umar bin Khoththob pernah mengatakan Diyat (ganti rugi masalah kriminal) itu untuk ahli waris yang berhak bagian sisa, dan isteri tidak dapat menerima diyat suaminya". Setelah diberitahu oleh Ad-Dohak bin Sufyan bahwa Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam pernah mengirimkan surat kepadanya agar istri Asy'yama Ad-dahabi diberi bagian diyat suaminya. Uamr pun mencabut pendapatnya. (lihat Ar-Risalah: 426-427) Sufyan bin Amr juga menuturkan bahwa ia mendengar Bijalah mengatakan: "semula Umar tidak mau memungut jizyah (pungutan dari non muslim). Namun setelah diberitahu oleh Abdur Rohman bin Auf bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam memungut hal itu dari majusi hajar, ia pun melakukannya. (Ar-Risalah: 430-431) http://www.nurulilmi.com/maudhui/hadis/51-hadis/345-kedudukan-hadits-dalam-islam.html

6. Perkembangan Kitab-kitab Hadits


D. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 - 256 H ). 2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 - 261 H ). 3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 - 279 H ). 4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 - 275 H ). 5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai ( 215 - 303 H ). 6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 - 255 H ). 7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 - 273 H ). 8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H). 9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ). 10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ). 11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ). 12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ). 13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ). 14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ). 15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ). 16. Al-Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).

17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ). 18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ). 19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ). 20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ). 21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ). 22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ). 23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat 303 H ). 24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat 280 H ). 25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ). Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.

E. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.


1. Al-Mu'jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ). 2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ). 3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat 354 H ). 4. Ash-Shahih oleh Imam Abu Awanah Ya'qub bin Ishaq ( wafat 316 H ). 5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq ( wafat 311 H ). 6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin'Usman al-Baghdadi ( wafat 353 H ). 7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ). 8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ). 9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ). 10.Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ). 11.Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ). 12.Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ). 13.Al-Mustadrak ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ).

F. Tingkatan Kitab Hadits.


Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut : 1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja. 2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if ( yang tidak sampai kepada munkar ). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya. 3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab

hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja. Bersambung ke Hal-3 >>>

http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/perkembangan_hadits2.htm

DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA oleh Jalaluddin Rakhmat Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, Bawa kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku. Umar berkata. Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab Allah itu cukup buat kita. Orang-orang pun bertikai dan ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, Enyahlah kalian dari sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku. Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai tragedi hari Kamis. Alangkah tragisnya kejadian yang menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya, kata Ibnu Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa al-Quran saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk Rasulullah saw di luar itu? Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata alQurthubi, Memang yang diperintah harus segera menjalankan perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi ada firman Allah Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikit pun, dan al-Quran itu menjelaskan segala sesuatu. Karena itu Umar berkata, Cukuplah Kitab Allah bagi kita. Kata al-Khithabi, Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu, karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi. Kata Ibn al-Jawzi. Umar kuatir sekiranya

Nabi saw. menuliskan dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu. Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, Kitab Allah , telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di luar al-Quran. Betulkah al-Quran saja sudah cukup? Atau bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Quran sajalah karya ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran manusia; dan karena itu tidak mengikat? Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga. Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: Kamu sekalian meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya. Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras. Aisyah bercerita, Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, Bawa hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu. Ia lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati, meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu. Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata, Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar. Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat Ahli Kitab. Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk al-Khulafa al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar sahabat, juga sebagian besar tokoh tabiun seperti Said ibn Jubair, al-Nakhai, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Said bin Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah. Al-Awzai di Syria, Said bin Abu Urwah di Basrah, Muammar di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah. Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar merujuk selain al-Quran? Ketika mereka ingin mengetahui cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Quran atau menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab, mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada kedua konsep itu. DARI SUNNAH KE HADITS

Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut Sunnah Nabi. Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan menegaskan: Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga penafsiranpenafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6) Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besarbesaran, hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma menjadi rusak. TELADAN NABI SAW | PRAKTEK PARA SAHABAT | PENAFSIRAN INDIVIDUAL | OPINIO GENERALIS | OPINIO PUBLICA (SUNNAH) | FORMALISASI SUNNAH (HADITS) Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam

free market of ideas, pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku. Mungkin banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini: Berulang kali telah kami katakan mungkin sampai membosankan sebagian pembaca bahwa walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya dari generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi, oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat muslim di masa lampau. Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada Nabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proses kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku. Ketika gerakan hadits unggul, ijma (yang merupakan opinio publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan. DARI HADITS KE SUNNAH Sepakat dengan Fazlur Rahman, saya juga berpendapat bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacammacam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Dalam hal haji, ia berkata Ambillah dari aku manasik kalian. Sesekali Nabi saw. menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku. Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali, seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf di luar al-Quran, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi

Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam pengantar di atas, kita melihat Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah mengumpulkan catatan-catatan hadits yang berserakan dan membakarnya. Kita tidak akan mengupas mengapa dua khalifah pertama mengadakan gerakan penghilangan hadits. Yang jelas, pengaruh kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih dari satu abad. Keengganan mencatat hadits, menurut Rasm Jafarian, telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadits. Urwah bin Zubayr pernah berkata, Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berpikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali. Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu al-Abbas al-Hanbaly menulis, Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadits-hadits dan teksteks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para sahabat meminta izin untuk menulis hadits tapi Umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menuliskan apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah saw, sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu rantai saja (dalam penyampaian) antara Nabi saw dan umat sesudahnya. Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadits secara lisan, ketika menyampaian hadits itu mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadits berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya Keempat, terjadilah perbedaan pendapat. Bersamaan dengan perbedaan pendapat ini, lahirlah akibat yang kelima, yang mengandalkan rayu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang mencari petunjuk dari rayu-nya. Dalam pasar rayu yang bebas (dalam kenyataannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian rayu menjadi dominan. Rayu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah rayu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan penguasa. Tidak mungkin kita memberi contoh-contohnya secara terperinci disini. Dalam semua kejadian ini, dominasi rayu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan, tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau sosiologis. Abu Rayyah menulis, Ketika hadits-hadits Nabi saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun. Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah menimbulkan dominasi rayu, yang kemudian disebut sunnah. Panjangnya rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits. Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada kesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam: yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi, mula-mula muncul hadits. Kemudian,

orang berusaha menghambat periwayatan hadits, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk pada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada pada teks. Ketika hadits-hadits dihidupkan kembali, melalui kegiatan para pengumpul hadits, kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar. Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi kesulitan ini dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika kita mendefinisikan hadits dan sunnah. Bila saya mendaftar kesulitan yang disebut terakhir, saya hanya ingin mengajak pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan sunnah. MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah. Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk oleh Muawiyah. Ia berkata. Sesungguhuya Allah taala telah memperlihatkan kepada Amir-u l-Muminin yakni Muawiyah pandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk orang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnah Abubakar dan Umar. Abd-u l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, Ini sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya ingin memberikan kasihsayang dan kehormatan kepada anaknya. Marwan marah dan menyuruh agar Abd-u l-Rahman ditangkap. Abd-u l-Rahman lari ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu l-Mukminin. Marwan melanjutkan khotbahnya, Tentang orang inilah turun ayat yang berkata pada orang tuanya cis bagimu berdua. Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, Marwan berdusta. Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untuk dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini turun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu masih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesan dari laknat Allah. Hadits ini diriwayatkan al-Nasai, Ibn Mundzir, al-Hakim dan al-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481; Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; Tafsir Al-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dan kitab-kitab tafsir lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. kepada Marwan dan menyamarkan ucapan Abd-u l Rahman. Inilah riwayat Bukhari, Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Ia berkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat sesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Ia berkata, Tangkaplah dia. Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka tidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata, Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkan ayatayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya cis bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku dan seterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidak menurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan ayat untuk membersihkanku. Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi perang hadits antara dua orang sahabat Marwan ibn Hakam dan Aisyah. Yang pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu berkenaan dengan Abd-u l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun berkenaan dengan orang lain. Aisyah malah

menegaskan dengan hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. KERANCUAN PENGERTIAN HADITS Riwayat di atas disebut hadits padahal yang diceritakan adalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas tidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang perilaku para sahabatnya Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain. Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari. Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat. Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabiin yakni ulama yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari, misalnya, ada hadits yang berbunyi Iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Ini bukan sabda Nabi saw. Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai negeri (lihat Fath-u l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr. Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabiin. Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengan definisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kita selama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaan dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang paling menyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahih meriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amal yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada hadits yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).

Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk menolak tradisi slametan (tahlilan) pada kematian. Hadits itu berbunyi, Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya termasuk meratap. Hadits ini merupakan ucapan Abd-u l-Lah al-Bajali, bukan ucapan Bani saw. (lihat Nayl al-Awthar 4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada shalat Jumat di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman ibn Affan. Ucapan al-shalat-u khair-un min al-nawm dalam adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini: Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muthah tetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada hadits. Kami melakukan muthah pada zaman Rasulullah saw. Dan pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul ini, dan sesungguhnya al-Quran itu adalah al-Quran ini. Ada dua muthah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muthah perempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuan sampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu. Yang kedua muthah haji (haji tamattu). Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206; dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits ini menceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muthah yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai ke zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muthah atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua. Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga juga memasukkan perilaku para sahabat dan tabiin, kita mengamalkan juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits ini membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Quran berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikan dalil hukum syari (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin, h.16) Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandung sunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, Dalam hadits ini ada lima sunnah, fi hadza l-hadits khams-u sunnah. Tidak semua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah. Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah? Seandainya seorang sahabat berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u l-ihram, dapatkah kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagai sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Itu hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum. Batuk tidak bernilai syari.

Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, Aku melihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa? Tidakkah anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum. Bukankah Ibnu Zubair melihat Nabi saw. memberi isyarat dengan telunjuknya tapi tidak mengerakkannya? (Nayl al-Awthar 2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakan hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw. Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu di luar dan sebalik. Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan pada bahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada bahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafii dan Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai sunnah. Kata Syafi i, Nabi saw. Tidak pernah memindahkan serban kecuali kalau berat. Jadi pemindahan dalam khotbah istisqa itu tentu mempunyai implikasi syari. Imam Hanafi dan sebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan itu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untuk menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau berlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahan atau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbeda dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja. Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah. Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Quran. Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangat mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara mutlak adalah al Quran dan sunnah? Patut dicatat bahwa kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalam pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian tentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah para sahabat, bahkan sunnah para tabiin. Definisi sunnah seperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagi dipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat, kemusykilan tentang sunnah makin bertambah PENUTUP. Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Quran). Bahkan ketika merujuk pada al-Quran pun, kita harus melihat hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu. Bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya dari kritik terhadap hadits dan sunnah (Ingat bagaimana Muhammadiyah dan PERSIS men-dhaif-kan hadits-hadits yang

dipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak mau melanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di hadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untuk mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika ia bertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka berkata, Anda akan membersihkan hadits Nabi saw. dari kebohongan. Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits yang dianggap dhaif (lemah). Siapa yang ingin melanjutkan tradisi Imam Bukhari dewasa ini? Sumber: media.isnet.org http://kajianislam.wordpress.com/2007/06/26/dari-sunnah-ke-hadits-atau-sebaliknya/

Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran ada sunah atau hadits yang berupa ucapanucapan Rasulullah Saw. yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam. Hadits merupakan warisan Rasulullah yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya yang senantiasa mengharapkan syafaat setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits dikumpulkan oleh sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian ajaran Islam. Peran Hadits Kedudukan hadits dalam Islam yang utama adalah penjelas ayat Al-Quran yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril. Peran yang kedua adalah agar hadits menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat pada Al-Quran. Setelah Rasulullah Saw. Al-Quran dan hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainnya. Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga sudah ditafsirkan secara mendalam oleh para ulama. Ucapan dan kepribadian Rasulullah Saw. selalu berdasarkan Al-Quran. Umat Islam yang mengikuti hadits-hadits Rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada AlQuran.

Hadits diklasifikasikan berdasarkan ujung sanad, jumlah penutur, tingkat keaslian, dan jenis-jenis lain. Berdasarkan Ujung Sanad Dari klasifikasi ini, sebuah hadits terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, marfu. Maksudnya, hadits tersebut berujung pada Rasulullah Saw. Kedua, mauquf. Yaitu, sanad yang terhenti pada para sahabat. Ketiga, maqtu. Ini adalah hadits yang berujung pada para tabiin. Berdasarkan Keutuhan Rantai/Lapisan Sanad Pada kategori ini, hadits terbagi menjadi musnad (tidak terpotong sanadnya), munqati (sanad terputus pada penutur 4 atau 3), muallaq (sanad terputus dari 4 hingga 1 sahabat), mudal (sanad terputus pada 2 generasi berurut-turut), dan mursal (sanad terputus pada penutur 1). Berdasarkan Jumlah Penutur Dengan kategori ini, hadits dibagi menjadi dua, mutawatir dan ahad. Mutawatir berarti diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak mungkin berdusta. Hadits ini kemudian terbagi lagi dalam golongan lafzhy dan manawy. Untuk hadits ahad diriwayatkan sekelompok orang, tetapi tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ini juga terbagi tiga, yaitu gharib, aziz, dan mashur. Berdasarkan tingkat keaslian hadits Asli atau tidaknya hadits menjadi faktor yang sangat penting. Adapun pembagiannya ada empat, yaitu sahih, hasan, dhaif, dan maudu. Jenis-Jenis Lain Klasifikasi hadits lainnya, yaitu matruk, mungkar, muallal, mudhtharib, maqlub, ghalia, mudraj, syadz, dan mudallas. Perawi dan Kitab Hadits Kita mengenal sejumlah perawi hadits dan kitabnya, antara lain Bukhari (Sahih Bukhari), Muslim (Sahih Muslim), Abu Daud (Sunan Abu Dawud), at-Tirmidzi (Sunan atTirmidzi), an-Nasai (Sunan an-Nasa'i), Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah), Imam Ahmad bin Hambal (Musnad Ahmad), Imam Malik (Muwatta Malik), dan ad-Darimi (Sunan Darimi).

http://www.anneahira.com/kedudukan-hadits-dalam-islam.htm

FADHILAH MEMPELAJARI HADITS RASULULLAH Hadits adalah salah satu sumber hukum syariat Islam dan merupakan salah satu wahyu dari Allah I:

) 4-3 : ( ( )
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (An Najm : 3-4) Sabda Rasulullah r

: (( ))

Ketahuilah sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al Quran dan yang semisal dengannya (As Sunnah) (HSR. AbuDawud, Tirmidzy, Ahmad dan Hakim) Karena dia merupakan salah satu sumber hukum maka wajib atas kita untuk mempelajarinya dan berpegang teguh padanya. Beberapa fadhilah/ keutamaan mempelajari hadits : 1. Wajah para penuntut ilmu hadits cerah/ berseri-seri. Sabda Rasulullah r :

(( ))
Mudah-mudahan Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan perkataanku lalu memahaminya dan menghafalkannya kemudian dia menyampaikannya, karena sesungguhnya boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh namun dia tidak faqih (tidak memahaminya) dan boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh menyampaikan kepada yang lebih paham darinya (HSR. At Tirmidzy dan Ibnu Hibban dari shahabat Abdullah bin Masud t ). Berkata Sufyan bin Uyainah : Tidak seorang pun yang menuntut / mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah / berseri-seri disebabkan doa dari Nabi r (di hadits tersebut) 2. Para penuntut ilmu hadits adalah orang yang paling bershalawat kepada Nabi Sabda Rasulullah r :

)) ((
Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. Berkata Khatib Al Baghdadi : Berkata Abu Nuaim kepada kami : Keutamaan yang mulia ini terkhusus bagi para perawi dan penukil hadits, karena tidak diketahui satu kelompok di kalangan ulama yang lebih banyak bershalawat kepada Rasulullah r dari mereka, baik itu (shalawat) berupa tulisan ataupun ucapan.

Kata Sufyan Ats Tsaury : Seandainya tidak ada faidah bagi shohibul hadits kecuali bershalawat kepada Rasulullah r (maka itu sudah cukup baginya) karena sesungguhnya dia selalu bershalawat kepada Nabi r selama ada di dalam kitab.

Berkata Al Allamah Shiddiq Hasan Khan setelah beliau menyebutkan hadits yang menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi r : Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang paling banyak bershalawat adalah ahlul hadits dan para perawi As Sunnah yang suci, karena sesungguhnya termasuk tugas mereka dalam ilmu yang mulia ini (Al Hadits) adalah bershalawat di setiap hadits, dan senantiasa lidah mereka basah dengan menyebut (nama) Rasulullah r . maka kelompok yang selamat ini dan Jamaah Hadits ini adalah manusia yang paling pantas bersama Rasulullah r di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafaat Rasulullah r . maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan menjadi seorang Muhaddits (Ahli Hadits) atau yang berusaha untuk itu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu hadits tentang shalawat : 1. Tidak boleh seorang penuntut ilmu hadits bosan dan jemu dengan itulah letak keutamaan penuntut ilmu hadits. 2. Bershalawat hendaknya dipadukan antara tulisan dan ucapan. 3. Tidak boleh menyingkat ketika menuliskan shalawat kepada Nabi r. seringnya bershalawat kepada Nabi r, karena

Imam As Syuyuti dalam Tadribur Rasul mengkhabarkan bahwa orang yang pertama kali mengajarkan (mencontohkan) penyingkatan shalawat dijatuhi hukuman potong tangan. 4. Mempelajari hadits memberikan manfaat dunia dan akhirat. Kata Sufyan Ats Tsaury : Saya tidak mengetahui amalan yang afdhal di muka bumi ini dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah I . 5. Mempelajari dan meriwayatkan lebih afdhal dari berbagai macam ibadah-ibadah sunnat.

Berkata Waki bin Al Jarrah saya tidak meriwayatkannya.

: Seandainya (meriwayatkan) hadits tidak lebih afdhal dari bertasbih tentu


Berkata Sulaiman At Taymy : Kami pernah duduk di sisi Abu Mijlas dan beliau membacakan hadits kepada kami, lalu berkata salah seorang (dari kami) : Seandainya engkau membacakan surat dari Al Quran. Maka berkata Abu Mijlas : Apa yang kita lakukan sekarang ini bagiku tidaklah kurang fadhilahnya dari membaca ayat Al Quran. Berkata Abu Ats Tsalj : Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdillah, yang mana lebih kau sukai : seorang menulis hadits atau dia berpuasa sunnat dan shalat sunnat ?. Beliau menjawab : Menulis hadits.

Berkata Al Khatib Al Baghdady : Mempelajari hadits pada zaman ini lebih afdhal dari seluruh ibadahibadah yang sunnat, disebabkan telah hilang sunnah dan orang tidak bergairah lagi dari mengerjakannya serta munculnya bidah-bidah lalu mereka (para ahli bidah) yang berkuasa mendominasi sekarang ini.

I. Pendahuluan Istilah Hadits dan Sunnah telah digunakan secara luas dalam studi keislaman untuk merujuk kepada teladan dan otoritas Nabi saw atau sumber kedua hukum Islam setelah al-Quran. Meskipun begitu, pengertian kedua istilah tersebut tidaklah serta merta sudah jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Para ulama dari masing-masing disiplin ilmu menggunakan istilah tersebut didasarkan pada sudut pandang yang berbeda sehingga mengkonskuensikan munculnya rumusan pengertian keduanya secara berbeda pula.

Dalam makalah ini akan ditelusuri pengertian sunnah dan hadits serta penggunaannya dalam masingmasing disiplin, perkembangan penggunaan kedua istilah tersebut serta perbedaan keduanya. Di samping itu, makalah ini juga akan meninjau kedudukan Sunnah Nabi saw dalam syariat Islam. Penelusuran ini tentu dimaksudkan untuk memperjelas kekaburan pengertian sunnah dan hadits.

II. Pengertian Hadits dan Sunnah a. Hadits Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah ahadits, dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan. Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna pembicaraan, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan hari-hari mereka yang terkenal dengan sebutan ahadits. Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti baru dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang baru ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Quran adalah qodim. Di dalam al-Quran kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadits di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami, menguraikan pengertian hadits secara lebih rinci. Menurutnya, kata hadits yang terdapat dalam al-Quran maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut: 1. Komunikasi religius, pesan, atau al-Quran, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23


Artinya: Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Quran) 2. Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Quran QS. al-Anam: 68:


Artinya: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya 3. Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9


Artinya: Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa. Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa

4. Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3


Artinya: Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian hal ikhwal segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian. Jika kita membuka Kitab-kitab Hadits, maka akan segera kita dapatkan banyak riwayat yang tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan, taqrir Nabi, melainkan berkenaan dengan sahabat-sahabat Nabi. Bahkan ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan tabiin. Jalaluddin Rahmat dalam artikelnya memberikan contoh tentang hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasai yang berisi tentang khutbah yang disampaikan oleh Marwan bin Hakam, juga tentang tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya terlalu banyak meriwayatkan Hadits. Hal ini jelas menjadikan definisi hadits di atas tersebut rancu. Itulah sebabnya maka muncul istilah hadits mauquf, dan hadits maqtu, suatu istilah yang mengandung kontradiksi terma, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi. Kenyataan ini kemudian mendorong sebagian ulama memperluas definisi hadits. Nur al-Din Itr misalnya, menganggap definisi hadits yang paling tepat adalah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik dan apa saja yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabiin. Akan tetapi definisi ini kurang populer di kalangan Muhadditsin. Di samping itu, Hasbi As-Shiddieqy juga mengutip pendapat At-Thiby yang berpendapat bahwa: Hadits itu melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir Nabi saw; melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan, dan taqrir tabiin. Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian. b. Sunnah Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara. Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela. Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik. Di dalam al-Quran kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata sunnah. M.M. Azami menelusuri pengertian istilah sunnah di dalam al-Quran, menurutnya kata sunnah disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini: 1. Surat an-Nisa: 26


Artinya: Allah hendak menerangkan hukum syariah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orangorang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 2. Surat al-Anfal: 38


Artinya: Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku. 3. Surat al-Isra: 77


Artinya: (Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami. 4. Surat al-Fath: 23


Artinya: Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu. Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Quran kata-kata sunnah dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan. Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan sunnah adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Quran, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan sunnah sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan. Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti masalah ideal dalam suatu masyarakat. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti kebiasaan atau hal yang menjadi tradisi masyarakat, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada perbuatan Nabi saw. Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata sunnah itu.

III. Perkembangan Pengertian Hadits dan Sunnah a. Perkembangan Pengertian Hadits Istilah hadits pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah hadits mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. M. Syahudi Ismail mencatat, mula-mula hadits mengandung pengertian beritaberita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi. Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadits (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah. Pada tahap selanjutnya, istilah hadits digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Quran dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Masud yang menyatakan:

Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dalam Hadits tersebut, Ibnu Masud mensifatkan al-Quran dengan sebaik-baik hadits. Pada akhirnya, hadits digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadits-hadits Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna hadits, yakni khusus untuk menunjuk pada Hadits Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu di hari kiamat?Kemudian Rasul menjawab, Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah meny angka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai hadits ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap Hadits. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadits mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadit dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, hadits dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw. Mengapa pergeseran pengertian hadits ini terjadi? Mustafa Azami menjelaskan, bahwa pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada waktu itu. Kata hadits semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan hadits menjadi khusus dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw. b. Perkembangan Pengertian Sunnah Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal. Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai praktik yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw. Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam as-Syafii, kata sunnah dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi alif dan lam di depannya, yaitu tata cara dan syariat Rasulullah saw. Dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi tetap digunakan dalam arti luas. Adapun pengertian yang khusus as-Sunnah adalah tata cara dan syariat Rasulullah saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai kedudukan hukum dalam syariat Islam.

IV. Perbedaan Hadits dan Sunnah Ulama muhadditsin sebagaimana telah ditunjukkan di awal, berpandangan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi saw. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda. Ketika memberi penjelasan tentang reputasi dan daya intelektual tiga tokoh, yakti Sufyan at-Tsaury (w.161), al-Awzaiy (w.157), dan Malik Ibn Anas (w.179), seorang kritikus terkenal, Abd al -Rahman al-Mahdi (w.198) mengatakan : Sufyan at-Tsaury adalah pakar dalam hadits tapi bukan pakar dalam sunnah dan alAwzaiy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadits, sedangkan Malik Ibn Anas adalah pakar keduanya. Pernyataan al-Mahdi ini secara jelas menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda. Imam Ahmad Ibn Hanbal ketika mengomentari sabda Rasulullah saw. tentang seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram mengatakan: dalam hadits ini terdapat lima sunnah. Demikian juga Aisyah ketika mengomentari hadits tentang barirah (budak wanita) mengatakan dalam barirah terdapat tiga sunnah.

Ketika menyandarkan suatu hadits kepada Anas Ibn Malik, Abu Dawud menyatakan: apabila hadits itu telah disandarkan kepada Rasul, maka tentulah demikian, tetapi menurut sunnah adalah begini. Subhi as-Shalih mencatat, ulama muhadditsin terkadang mengatakan: hadits ini menyalahi qiyas, sunnah, dan ijma. Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan secara jelas bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda. Dalam kaitan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy menyimpulkan bahwa hadits adalah amrun ilmiyun nawadhirun: berita yang merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun amaliyun: perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarkat Muslim walaupun mengetahuinya memerlukan riwayat. Senada dengan Hasbi ash-Shiddieqy, Syuhudi Ismail juga memberikan kesimpulan yang jelas tentang perbedaan hadits dan sunnah. Ia membagi kesimpulannya menjadi dua, pertama: bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadits berada di bawah sunnah, sebab hadits merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya sampai pada kita. Kedua: sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah. Meskipun keduanya berbeda, tetapi ditilik dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian keduanya adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasulullah saw. dengan dasar inilah jumhur ulama muhadditsin memandang identik antara sunnah dan hadits.

V. Sunnah dalam Syariat Islam a. Kedudukan Rasulullah dalam Syariat Islam Untuk mengetahui kedudukan sunah Rasulullah saw. dalam syariat Islam, kita perlu melihat dasar dasarnya dalam al-Quran yang menjelaskan kedudukan Rasulullah saw. Di dalam al-Quran kita bisa melihat bahwa Rasulullah mempunyai tugas dan peran sebagai berikut: 1. Menjelaskan Kitabullah Allah berfirman:


Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44). 2. Rasulullah merupakan Teladan Baik yang wajib dicontoh oleh setiap Muslim.


Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan ia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21) 3. Rasulullah wajib ditaati


Artinya: Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfal: 20)


Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah. (an-Nisa: 80)


Artinya: Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orangorang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisa: 69) 4. Rasulullah Saw mempunyai wewenang (kekuasaan) untuk membuat suatu aturan.

.
Artinya: Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang maruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah, Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kamu mendapatkan petunjuk. (al-Arof: 157-158) Dari keterangan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa taat kepada Rasulullah saw adalah suatu kewajiban, sebab taat kepada Allah juga disyaratkan taat kepada Rasulullah. Dan setelah Rasulullah wafat kataatan itu diwujudkan dalam menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu umat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai Sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebagai perwujudannya, hukum-hukum yang mereka terapkan sejak zaman Nabi tidak pernah menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu. b. Kedudukan Sunnah terhadap Al-Quran Sunnah berfungsi menopang al-Quran dalam menjelaskan syariat Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut: Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat al-Quran yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Quran yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Quran. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Quran adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain -lainnya. Misalnya, Imam Syafii menganggap bahwa hadits di bawah ini


Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad) Hadits ini menurut Imam Syafii, mentakhsis firman Allah:


Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa: 24) Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafii dalam kaitannya dengan hadits tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur. Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash alQuran. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuanketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah lian. Al-Quran telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu. Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Quran, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Quran. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan beberapa ketentuan tentang diyat. Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Quran saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syariah. Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Quran saja, tanpa memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Quran terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah. c. Kehidupan Keseharian Nabi Telah dijelaskan di depan bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan keputusan (ketetapan) Nabi. Dan tidak diragukan lagi, bahwa setiap perkataan dan keputusan nabi termasuk ajaran dan hujjah dalam agama. Jika begitu, apakah setiap perbuatan Nabi dalam hal pakaian dan makanan juga termasuk ajaran agama? Para ulama telah membagi perbuatan-perbuatan Nabi kepada tiga macam: Pertama, perbuatan yang menyangkut penjelasan syariat, seperti shalat, puasa, haji, aqad muzaraah (bagi hasil) dan hutang piutang yang dilakukan Nabi. Aneka ragam perbuatan Nabi semacam itu merupakan syariat yang harus diikuti. Misalnya, praktek-praktek jual beli yang dijalankan Nabi berarti menunjukkan bahwa jual beli tersebut hukumnya mubah. Dan, setiap perbuatan-perbuatan keagamaan (amal diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lain merupakan rincian terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih mujmal (global). Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan terhadap syariat terbagi dua macam : a. Perbuatan-perbuatan yang menjelaskan syariat yang masih mujmal b. perbuatan-perbuatan Nabi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya mubah. Kedua macam perbuatan ini, hukum-hukumnya berlaku umum, tidak hanya berlaku terbatas pada Nabi saja. Kedua, perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinannya yang lebih dari empat isteri.

Ketiga, perbuatan Nabi yang dikerjakan yang merupakan tuntutan tabiat kemanusiaan atau adat istiad at yang berlaku di negeri Arab, seperti memakai pakaian, makanan, dan barang-barang halal yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya. Itu semua merupakan perbuatan-perbuatan Nabi yang dilakukan sesuai dengan tabiat kemanusiaannya dan adat istiadat kaumnya. Diantara hal-hal yang masih diperdebatkan oleh sebagian ulama, dari segi apakah perbuatan atau kebiasaan Nabi itu termasuk dalam konteks menjelaskan hukum syara ataukah dalam konteks adat kebiasaan masayarakat Arab, seperti perbuatan Nabi merawat jenggot. Kebanyakan ulama menganggap bahwa perbuatan itu termasuk Sunnah yang harus diikuti. Mereka menguatkan pendapatnya itu dengan sabda Nabi saw:


Artinya: Cukurlah kumismu dan biarkanlah tumbuh panjang jenggotmu Dengan dalil hadits ini, mereka berpendapat bahwa mencukur kumis dan memelihara jenggot bukanlah merupakan adat, akan tetapi terkait dengan hukum syara. Sedang para ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi memelihara jenggot itu termasuk adat, bukan penjelasan hukum syara, mengemukakan alasan bahwa larangan (nahi) tidak mesti mengandung arti keharusan, berdasarkan ijma ulama. Perbuatan Nabi itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh hal lain, yaitu larangan menyerupai atau meniru orang Yahudi dan orang-orang ajam (non-Arab) yang memelihara kumis dan mencukur jenggot. Alasan ini memperkuat bahwa perbuatan Nabi itu dapat dilihat dari segi adat. VI. Kesimpulan Meskipun istilah Hadits dan Sunnah telah umum di kalangan umat Islam bukan berarti keduanya sudah dipahami dengan baik. Justru terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Hadits dan Sunnah. Hal itu Karena disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari para ulama. Antara ulama ahli Fiqh dan ulama ahli Hadits mempunyai definisi tersendiri yang berimplikasi pada penyikapan terhadap keduanya. Belum lagi perbedaan antara Hadits dan Sunnah yang juga terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian ada yang menyamakan antara keduanya dan sebagian yang lain membedakan keduanya dengan menyertai dalil masing-masing. Adapun kedudukan Sunnah dan Hadits dalam syariat Islam tidaklah banyak perbedaan pendapat. Jumhur ulama sepakat bahwa Sunnah-Hadits merupakan sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Quran. Hal itu sudah diakui oleh kalangan ulama Fiqh dan ulama Hadits, kecuali segelintir kelompok yang membantahnya, yaitu kelompok inkar-sunnah. Berdasarkan dalil-dalil al-Quran maupun Hadits sendiri, tidaklah benar hanya berpegang pada al-Quran tanpa mempertimbangkan Sunnah-sunnah Rasulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. (terj). (Surabaya: Dunia Ilmu) Al-Syafii. 1358/1940. ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo:) As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj). (Jakarta: Pustaka Firdaus) As Shiddieqy, M. Hasbi. 1967. Kriteria antara Sunnah dan Bidah. (Jakarta: Bulan Bintang)

As Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang) As Sibai, Musthafa. 1978. As Sunnah Wa Makanatuha fi At Tasyri Al Islami. (Cetakan kedua) (Dimasyq: al-Maktab al-Islami) Azami, Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: Islamic Teaching Centre) Azami, M.M. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus) Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. (terj). (Princeton: Princeton University

Press)

Ham, Mashadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam. (Semarang: Aneka Ilmu) Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang) Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. (Edisi Kedua). (Surabaya: Pustaka Progresif) Rahman, Fazlur. 1979. Islam. (edisi kedua). (Chicago: University of Chicago Press) Rahmat, Jalaluddin. Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam. (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996) Rasyid, Daud. 2002. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. (Jakarta: Akbar) Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. (cetakan ke-9) (Jakarta: Pustaka Firdaus) Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 242 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 20 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 15 Ibid., hlm 16 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: Islamic Teaching Centre, 1977), hlm. 1-2. Demikian pendapat al-Hafidh dalam Syarah al-Bukhari, M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit. hlm. 22

Ibid., hlm. 23 Jalaluddin Rahmat, Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996), hlm. 21-31 Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 33 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 23 Lisanul al-Arab: kata sunan Mukhtar al-Shihah, hlm. 339. Lihat Juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 24. Ibid, hlm. 24 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 16-18. Ibid., hlm. 14 Fazlurrahman, Islam M. Syuhudi Ismail, Pengantar, hlm. 7; lihat juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm.35 Ibid., hlm. 7-8 HR. Imam al-Bukhari HR. Imam al-Bukhari M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 37 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, op.cit. hlm. 20 Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit. hlm. 40. Hasbi ash-Siddieqy, op.cit. hlm.37 Ibid., hlm 41 M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 38 Subhiy as-Shaleh, op.cit. hlm. 6 M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 37

M. Syuhudi Ismail, Pengantar, op.cit., hlm. 16 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 2005 cetakan ke-9), hlm. 162 Al-Syafii, ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo: 1358/1940), hlm. 33 Terakhir Diperbaharui ( Rabu, 15 Desember 2010 08:43 ) http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=415:lebihdekat-dengan-al-hadist-dan-al-sunnah&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103

Memahami Hadits Terputusnya Amal Orang Yang Meninggal Kecuali 3 Hal


22 September 2010 Admin Leave a comment Go to comments Banyak orang salah mengartikan makna hadits berikut ini, dengan adanya salah penafsiran tersebut mereka mudah meng haramkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup yang ditujukan pahalanya untuk orang yang mati. Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasai dan Ahmad: : ) . , . ( ) ) :

Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendoakannya. Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingataa amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit ! Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafaat, hadiah bantuan doa dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh. Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdoa untuk orang yang masih hidup. Malah ada hadits Rasul- Allah saw. bahwa para Nabi dan Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt. didalam kuburnya. Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingataa intifauhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingataa

amaluhu (terputus amal- nya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamal kannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan <span>bukan</span> pahala amal si mayit itu. Banyak hadits Nabi saw. yang berarti bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah doa kaum muslimin untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya) yang mana doa ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta doa kaum muslimin untuk sesama muslimin baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 . Begitu juga pendapat sebagian golongan yang mengikat hanya doa dari anak sholeh saja yang bisa diterima oleh Allah swt. adalah pikiran yang tidak tepat baik secara naqli (nash) maupun aqli (akal) karena hal tersebut akan bertentangan juga dengan ayat ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. mengenai amalan-amalan serta doa seseorang yang bermanfaat bagi si mayit maupun bagi yang masih hidup. Mengapa dalam hadits ini dicontohkan doa anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya dimana orang-orang lain telah melupakan ayahnya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendoakan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh. Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti serta selalu (kontinu) menerima syafaat darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits ini, dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafaat darinya. Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya mem- batasi doa dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayyit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafaat/manfaat doa dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana doa kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya doa anak sholeh yang bermanfaat bagi si mayyit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit. Dalam Al-Majmu jilid 15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma ulama bahwa sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak .

Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab Ianatut Thalibin jilid 3/218: Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra: . ( ) . Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya . (HR Turmudzi). Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdoa : ( ) .

Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi menyembelihnya. (HR. Muslim) Begitu juga hadits yang senada diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah shalat Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau di- berikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban. Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat ber- qurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini. Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur. Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengkomentari hadits diatas tersebut dengan katanya; Doa Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya

kepada ummatnya dan ini merupa- kan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau saw. tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh. Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugur kan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda: Sekarang bisalah dingin kulitnya. (HR. Imam Ahmad). Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Quran tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya hadits dari Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat doa untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Quran pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya. Mohon maaf tulisan terlalu panjang utk ditampilkan di message ini. Anda bisa membacanya secara lengkap di Notes Pages KTB ini linknya: Pages Fb version: http://www.facebook.com/notes/kenapa-takut-bidah-community/memahamihadits-terputusnya-amal-orang-yang-meninggal-kecuali-3-hal/160195747329241 atau Blog Version: http://ktb-group.blogspot.com/2010/09/memahami-hadits-terputusnya-amalorang.html Wallahu alam bishshowab Sumber : http://www.facebook.com/?page=1&sk=messages&tid=461241399466 Muhammad Luqman Firmansyah September 17 at 9:09am http://octaxri.wordpress.com/2010/09/22/memahami-hadits-terputusnya-amal-orang-yangmeninggal-kecuali-3-hal/

Anda mungkin juga menyukai