Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering dijumpai pada anak. Kejadian asma meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju maupun negara berkembang. Peningkatan tersebut diduga karena pola hidup dan faktor polusi lingkungan. Di Indonesia, diperkirakan 10% anak usia 6-12 tahun menderita asma yang kemudian menurun menjadi 6,5 % pada usia 13-14 tahun. Asma dikelompokkan menjadi dua aspek yaitu aspek akut (biasa dikenal sebagai serangan asma) dan aspek kronik (dikenal sebagai asma di luar serangan). Serangan asma dibagi menjadi 3 yaitu asma serangan ringan, serangan sedang, dan serangan berat sedangkan aspek kronik dibagi dalam tiga kelompok juga yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera mungkin dan mengatasi hiperkarbia serta hipoksemia yang mungkin terjadi sedangkan pada tatalaksana di luar serangan lebih mengutamakan pada kualitas hidup yang tetap optimal. Tatalaksana serangan asma akut berkembang pesat dengan penggunaan terapi inhalasi sebagai penanganan awal, yang sebelumnya menggunakan obat sistemik baik oral maupun injeksi.
PEMBAHASAN
1. DEFINISI Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah engah dan berarti serangan napas pendek. Dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan gambaran klinis napas pendek tanpa memandang sebabnya, namun sekarang hanya ditujukan untuk keadaan keadaan yang menunjukkan respons abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas. Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. EPIDEMIOLOGI Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.
3. FAKTOR RESIKO Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik a. Hipereaktivitas b. Atopi/alergi bronkus c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik d. Jenis kelamin e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll) b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari) c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur) d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll) e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain) f. Ekpresi emosi berlebih g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas tertentu j. Perubahan cuaca
4. PATOGENESIS Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran napas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf. Pada asma terjadi mekanisme hiperesponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran napas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus. Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogren dan pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi. Sel mast juga mengeluarkan enzim tripase yang dapat memecah peptida yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator. Heparin berperan dalam mekanisme anti inflamasi, heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif. Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak, diaktivasi oleh IgE dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam proses infalamasi pada penderita asma. Adanya rangsangan imunologik (alergen) dan non-imunologik (virus, fisik, kimia) yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas akan ditangkap makrofag sebagai APC (antigen presenting cell). Setelah diproses, ia akan dipresentasikan oleh APC ke sel Th. Sel Th diaktifkan oleh APC melalui pelepasan IL-1, selanjutnya sel Th yang aktif akan memberikan sinyal pada sel B untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE dengan bantuan IL-2. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit, basofil, eosinofil, makrofag maupun trombosit. Pemaparan oleh bahan (alergen) yang sama untuk kedua kalinya akan menimbulkan : 1. Alergen yang masuk akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel
(mastosit, basofil) yang akan menyebabkan degranulasi. Degranulasi akan melepaskan sejumlah mediator seperti histamin, ECFA, NCF, triptase dan kinin (preform mediator). Pelepasan mediator (histamin) akan menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi segera
setelah pemaparan ( 10 menit)dan berakhir sekitar 1 jam sesudahnya. Reaksi ini disebut reaksi cepat atau reaksi akut. 2. Mastosit juga melepaskan sejumlah mediator lain yang berasal dari asam arakidonat
membran sel seperti prostaglandin, tromboksan ataupun leukotrin (newly generated). Mediator ini menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi setelah 4 24 jam kemudian. Reaksi ini disebut dengan reaksi lambat. Infiltrasi eosinofil di saluran napas merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Mediator yang dilepaskan oleh mastosit pada fase akut akan mengaktifkan eosinofil. Eosinofil akan mengeluarkan granul granul yang berisikan mediator mediator seperti MBP (Major Basic Protein), EDN, ECP, EPO. Di samping itu eusinofil melepas protein kristal Charcot Leyden. Atas pengaruh oksigen dapt juga terjadi oxydative burst dengan dilepasnya berbagai radikal metabolit sepeti radikal O2, Prostaglandin, Leukotrin dan PAF. Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diaktifkan oleh kerja. Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrienB4 (LTB4), dan PAF. Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi 2 yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. Limfosit T CD4 merupakan sel terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun. Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari bermacam macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa. Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan trakea dapat
membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic (12-HETE dan 15HETE). 15-HETE bersifat kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung saraf perifer langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi enzim yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak bradikinin dan substan-P. Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrien dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang kontraksi otot polos bronkus. Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran mikrovaskuler, hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari. Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmitter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran napas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi.
Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah.
5. KLASIFIKASI Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
Asma persisten
<1x/bulan
>1x/bulan
Sering
<1minggu
>1minggu
3 Intensitas serangan
Biasanya ringan
Biasanya sedang
Biasanya berat
4 Diantara serangan 5 Tidur dan aktifitas 6 Pemeriksaan fisik diluar serangan 7 Obat pengendali(anti inflamasi) 8 Uji faal paru(diluar serangan) 9 Variabilitas faal paru(bila ada serangan)
Tanpa gejala
Tidak tergganggu
Sering tergganggu
Sangat tergganggu
Tidak perlu
Perlu
Perlu
PEFatauFEV1>80%
PEFatauFEV1<6080%
PEVatauFEV<60%
Variabilitas>15%
Variabilitas>30%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi
Sedang
Berat
Sesak (breathless)
Posisi
Bisa berbaring
Bicara
Kalimat
Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran
Mungkin iritabel
Kebingungan
Sianosis Wheezing
Biasanya tidak
Biasanya ya
Ya
abdominal Retraksi Dangkal, retraksi interkostal Sedang, ditambah retraksi suprasternal Frekuensi napas Takipnu Takipnu Dalam, ditambah napas cuping hidung Takipnu Bradipnu Dangkal / hilang
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia normal per menit < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun 6-8 tahun Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi <60 < 50 < 40 < 30 Dradikardi Frekuensi napas
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia normal per menit 2-12 bulan 1-2 tahun 6-8 tahun Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis) Tidak ada (< 10 mmHg) Ada (10-20 mmHg) Ada (>20mmHg) < 160 < 120 < 110 Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator SaO2 % PaO2 PaCO2 >95% Normal <45 mmHg 91-95% >60 mmHg <45 mmHg >60% >80% 40-60% 60-80% <40% <60%, respon<2 jam 90% <60 mmHg >45 mmHg Frekuensi nadi
6. DIAGNOSIS
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan wheezing (mengi) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satusatunya gejala. Selama serangan asma, sesak nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat. Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna, Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh penderita.
Diagnosis asma tergantung dari perpaduan riwayat penyakit, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan laboratorium. Penyakit asma bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala yang bersifat episodik seperti batuk yang disertai dengan wheezing (mengi), sesak napas, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Gejala batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas fisik serta kadar kortikosteroid yang perodik rendah. Ada beberapa indikator untuk menegakkan asma : 1. 2. Adanya mengi / wheezing Adanya riwayat beberapa gejala seperti batuk, terutama malam hari, mengi
berulang, susah bernapas berulang, dada terasa sesak berulang. 3. 4. Batuk yang memburuk di malam hari. Gejala memburuk saat melakukan aktivitas fisik, infeksi virus, terpajan debu
rumah dan bulu binatang, perubahan emosi, perubahan cuaca, terhirup zat kimia dan terhirup asap rokok. 5. Adanya perubahan aliran saluran napas, yang diukur dengan menggunakan
arus puncak ekspirasi / APE (Peak Expiratory Flow / PEF) meter atau volume ekspirasi paksa 1 detik (Flow Expiratory Vorced / FEV I). PEF atau FEV 1 meningkat lebih dari 15% setelah inhalasi 15-20 menit dengan 132 agonis atau, PEF atau FEV1 variasinya lebih 20% dari pagi hari dan diukur setelah 12 jam memakai bronkodialtor atau, menurun lebih 15% setelah 6 menit berlari atau latihan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menegakkan asma : 1. 2. 3. 4. Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi / atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pada anak dan dewasa muda gejala asma sering terjadi akibat hiperaktivitas bronkus terhadap alergen, banyak di antaranya dimulai dengan adanya eksim, rinitis, konjungtivitis, atau urtikaria. Penderita asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun uji provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan asma sesudah infeksi saluran napas disebut asma idiosinkrasi. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakti alergi yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat berkembang menjadi alergi respiratorik. Penyakit penyerta seperti
otitis media, konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis, atau hiperplasia tonsil sering ditemukan.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan mengi dan fase ekspirasi yang memanjang. Namun pada penderita asimptomatik, pemeriksaan fisik dapat normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang terpenting untuk menentukan berat ringannya asma adalah uji faal paru. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan berat ringannya obstruksi saluran napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya serangan asma. Pemeriksaan standar yang telah diterima secara luas untuk menilai faal paru adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur standar. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP , 75% atau VEP1<80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE) Nilai APE diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). Adanya variasi pada APE 15% pada pagi dan sore hari, kenaikan 15% pada APE atau volume ekspirasi 1 detik (VEP1) setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji provokasi bronkus dapat mendukung diagnosa asma. Pada penderita dengan fungsi paru normal, mungkin diperlukan tes provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin untuk dapat menentukan derajat derajat beratnya hiperreaktivitas bronkus. Untuk uji provokasi dapat dilakukan inhalasi dengan histamin, metakolin, sulfur dioksis, air dingin, atau dengan latihan fisik. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergika, PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik. Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi IgE. Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya hipertrofi otot polos bronkus, peningkata sekresi mukus dalam lumen bronkus, edema pada mukosa saluran napas, inflamasi pada dinding dan lumen saluran napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan neutrofil.
7. PENATALAKSAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan lain penatalaksanaan asma : 1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah eksaserbasi akut 3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin 4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise 5. Menghindari efek samping obat 6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation ireversibel) 7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila : 1. Gejala minimal (atau tidak ada), termasuk gejala malam 2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal 4. Variasi harian APE kurang dari 20% 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
yang dapat
dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen : 1. Edukasi 2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala 3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang 5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Dalam menetapkan dan merencanakan pengobatan jangka panjang terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan : Medikasi (obat-obatan) Tahapan pengobatan Penanganan asma mandiri
Tatalaksana Medikamentosa Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernapasan. Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda disebut juga obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang kambuh. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan / penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asam Episodik Sering dan Asma Persisten.
Pelega (Reliever) Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan btuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperresponsif jalan napas. Obat yang termasuk golongan reliever adalah : Agonis beta-2 kerja singkat Antikolinergik Teofilin Kortikosteroid sistemik (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai) Adrenalin
Agonis beta-2 kerja singkat Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin, merupakan obat golongan simpatomimetik. Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari bronkodilator. Agonis beta-2 juga merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma.
Antikolinergik Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya ipratromium bromid dan tiotropium bromide dalam bentuk inhalasi. Ipratromium bromid mempunyai efek menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratromium inhalasi adalah rasa kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan dengan kerja obat agonis beta-2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratromium bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita yang disertai dengan bronkitis kronik.
Teofilin Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada orang dewasa biasanya diberikan 125200 mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem gastrointestinal seperti mual, muntha, rasa kembung dan nafsu makan berkurang. Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis
tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardia dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat.
Adrenalin Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respon dengan agonis beta-2 kerja singkat.pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskuler. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan,tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring)
Pengontrol (Controllers) Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk persisten. mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
Yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama Leukotrien modifiers Antihistamin aksi lambat
Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid menekan respons inflamasi dengna cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrien. Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitivitas otot pernapasan yang dipengaruhi oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari. Pemberian kortikosteroid per oral sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna
seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis, peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi, moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing sindrom, bullneck dan yang paling ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal. Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya perdnison, hidrokortison, atau metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral, kemudian diturunkan secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3mg/kgBB/6 jam. Metilprednisolon diberikan 50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang ini tersedia kortokosteroid dalam bentuk inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek sampng sistemik yang lebih kecil. Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa pemakaian budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru, dan kerusakan mukosa. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa pengguanaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa. Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping, maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntunganpemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortokosteroid inhalasi merupakan pilihan yang lebih baik.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) Sodium kromoglikat dapat mencegah bronkokonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma. sodium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru sodium kromoglikat menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai
tambahan poada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil yang optimal.
Metilsantin Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinfalmasi. Efek bronkodilatsi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagi obat pengontrol, berabgai studi menunjukan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (10 mg/kgBB/hari atau lebih). Gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang maupun kematian. Dianjurkan memonitor kadar teofilin serum penderita dalampengobatan jangka panjang.
Agonis beta-2 kerja lama Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol. Agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatsi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Tabel 4. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2 Onset Durasi (Lama Kerja) Singkat Cepat Fenoterol Prokaterol Salbutamol / Albuterol Terbutalin Pirbuterol Lambat Salmeterol Lama Formoterol
Leukotriene Modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-resptor leukotrien sisteinil pada sel target. Mekanisme kerja tersebut menghasikan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator juga mempunya efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan.
Metode alternatif pengobatan asma Selain pemberian obat pelega dan obat pengontrol asma, beberapa cara dipakai orang untuk mengobati asma, antara lain homeopati, pengobatan dengan herbal, ayuverdic medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi, buteyko, akupuntur, hypnosis dan lain-lain. Namun belum cukup bukti keefektifan metode-metode alternatif tersebut sebagai pengobatan asma. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari Berat Asma Asma Intermite n Asma Persisten Ringan Kombinaasi inhalasi glukokortikosteroi d (200-400ug atau Teofilin lambat Kromolin Leukotrien midifiers lepas Medikasi pengontrol harian Tidak perlu Alternatif/pilihan lain Alternati f lain
BD/hari ekivalennya)
Glukokortikosteroi d inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya)ditam bah Teofilin lepas lambat, atau
Ditamb ah agonis beta-2 kerja lama oral, atau Ditamb ah teofilin lepas lambat
BD/hari
beta-2 Glukokortikosteroi d inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya)ditam bah agonis beta-2 kerja lama oral, atau Glukokortikosteroi d inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya)ditam bah leukotrien modifiers atau, Glukokortikosteroi d inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya)ditam bah leukotrien modifiers, atau
Prednisolon/Metilpre dnisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama
dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah 1 di bawah ini : Teofilin lepas lambat Leukotrien modifiers Glukokortikoster oid oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
Medikasi
Sediaan obat
Dosis dewasa
Dosis anak
Keterangan
Kortikosteroid sistemik Metilprednisol on Tablet 4-40 0,25-2 mg/kgBB/h ari, dosis tunggal atau terbagi Tablet 5 Predison mg Shortcourse : 20-40 mg/hari dosis tunggal atau Shortcourse : 1-2 mg/kgBB/h ari Maks. 40
Pemakaian jangka panjang dosis 4-5 mg/hari atau 8-10 mg selang sehari untuk mengontrol asma, atau sebagai pengganti steroid
inhalsi pada kasus yang tidak dapat/ mampu menggunak an steroid inhalasi
Kromolin & Nedokromil Kromolin IDT 5 1-2 semprot, 1 semprot, 3-4x/hari Sebagai alternatif antiinflamas 2 semprot IDT 2 mg/hari 2-4x/hari 2 semprot, 2-4x/hari i Sebelum exercise atau pajanan alergen, profilaksis efektif dalam 1-2 jam Agonis beta-2 kerja lama Salmeterol IDT 25 mcg/sem prot Rotadisk 50 mcg 2-4 semprot, 1-2 2x/hari semprot, 2x/hari Digunakan bersama/ko mbinasi dengan steroid inhalasi untuk mengontrol asma
Metilxantin Aminofilin lepas lambat Tablet 225 mg 2x1 tablet -1 tablet, 2x.hari 2x125 300 mg 2 x 125 mg (>6 tahun)
(>12 tahun) dalam Teofilin lepas lambat Tablet 125, 250, 300 mg 2x/hari; serum 5-15 mcg/ml Monitoring kadar obat dalam 400 mg 200-400 mg 1x/hari Antileukotrin Zafirlukast Tablet 20 mg 2 x 20 mg/hari Pemberian bersama makanan mengurangi bioavailibili ti. Sebaiknya diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan Steroid inhalasi Flutikasone propionat IDT 50, 125 mcg/sem prot 125 500 mcg/hari 50-125 mcg/hari Dosis bergantung kepada derajat berat asma serum rutin
Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma Medikasi Agonis beta-2 kerja singkat Salbutamol IDT 100 mcg/semprot Nebules/ solutio 2,5 mg/2 ml, 5 mg/ml Tablet 2 mg, 4 mg Sirup 1 mg, 2 mg/5 ml Antikolinergik Ipratropium bromide IDT 40 mcg, 320 mcg, 34x/hari Diberikan kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, untk mengatasi serangan Inhalasi 200 mcg 3-4x/hari oral 1-2 mg, 3-4 x/hari 100 mcg 34x/hari 0,05 mg/kgBB/x, 3-4x/hari Untuk mengatasi eksaserbasi, dosis pemeliharaan 34x/hari Sediaan obat Dosis dewasa Dosis anak Keterangan
20mcg/semprot 4x/hari
Short course: 24-40 mg/hari dosis tunggal atau terbagi selama 3-10 hari
Short-course : 1-2
mg/kgBB/hari, mengontrol asma maksimum 40 mg/hari selama 3-10 hari pada terapi awal
Metilxantin Teofilin Aminofilin Tablet 130, 150 mg 3-5 3-5 mg/kgBB Kombinasi teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat meningkatkan efektiviti dengan efek samping minimal
Tujuan : Asma yang terkontrol Menghilangkan atau meminimalkan gejala kronik, termasuk gejala malam Menghilangkan / meminimalkan serangan Meniadakan kunjungan ke gawat darurat Meminimalkan penggunaan bronkodilator Aktiviti sehari-hari normal, temrsuk latihan fisis (olahraga) Meminimalkan / menghilangkan efek samping obat Faal paru (mendekati) normal Variasi diurnal APE <20% APE (mendekati) normal
Tujuan : mencapai kondisi sebaik mungkin Gejala seminimal mungkin Membutuhkan bronkodilator seminimal mungkin Keterbatasan aktivitas fisis minimal Efek samping obat sedikit
Faal paru terbaik Variasi diurnal APE minimal APE sebaik mungkin
Indikator asma tidak terkontrol : Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma Kunjungan ke gawat darurat / ke dokter karena serangan akut Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernafasan, atau exercise induced asthma)
Penanganan Asma Mandiri Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik / memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma.
Pelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri Hijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80 100% nilai dugaan/terbaik bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan
Pengobatan
dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi. Kuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/atau APE 60-80% prediksi/nilai terbaik Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi Merah Berbahaya Gejala asma terus-menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari APE <60% nilai dugaan/terbaik segera sebagai rencana
pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.
Definisi Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejalagejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bisa mulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat mengancam jiwa.
Tujuan tatalaksana serangan asma Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk : Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin Mengurangi hipoksemia Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan
Patofisiologi serangan asma Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratorik secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, udem mukosa karena inflamasi saluran respiratorik, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak merata di seluruh paru. Atelektasis segmental / submental dapat terjadi. Sumbatan saluran respiratorik menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik, terperangkapnya udara dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan saluran respiratorik yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi. Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran respiratorik yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran respiratorik, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningktan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi saluran respiratorik yang berat, akan terjadi kelelahan otot respiratorik dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walaupun nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal respiratorik (respiratory failure). Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga prosuksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.
Penilaian Derajat Serangan Asma Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Tabel 8. Penilaian Derajat Serangan Asma Parameter klinis, fungsi paru, laboratorium Sesak (breathless) Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan Bicara Kalimat Penggal kalimat Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, Kata-kata Berjalan Berbicara Istirahat Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas
kesadaran menurun Sianosis Wheezing Tidak ada Akhir ekspirasi paksa Penggunaan otot bantu respiratorik Biasanya tidak Tidak ada Akhir ekspirasi Ada Inspirasi dan ekspirasi Biasanya ya ya Gerakan paradok torakoabdominal Retraksi Dangkal, retraksi interkostal Sedang, ditambah retraksi Dalam, ditambah napas Dangkal / hilang Nyata Sulit / tidak terdengar
suprasternal cuping hidung Frekuensi napas Frekuensi nadi Pulsus paradoksus Tidak ada <10 mmHg Ada 10-20 mmHg Ada >20 mmHg Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik PEFR atau FEV1 Pra bronkodilat or Pasca bronkodilat or SaO2 % >95% 91-95% >80% 60-80% <60% Respons < 2 jam 90% >60% 40-60% <40% Normal Takikardi Takikardi Bradikardi Takipneu Takipneu Takipneu Bradipneu
PaO2 PaCO2
Pasien risiko tinggi Pasien tertentu mempunyai risiko tinggi untuk mengalami serangan berat yang dapat mengancam jiwa, diantaranya adalah : Serangan asma yang negancam nyawa Intubasi karena serangan asma Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama Penggunaan steroid sistemik Kunjungan ke UGD atau perawatan RS karena asma dalam setahun terakhir tidak teratur berobat sesuai rencana Berkurangnya persepsi tentang sesak napas Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
Penatalaksanaan Serangan Asma GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah oleh pasien sendiri dan di rumah sakit oleh dokter.
Penilaian awal Riwayat dan pemeriksaan fisis dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,saturasi O2). AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Pengobatan awal Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam 1 jam atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan Kortikosteroid sistemik : Serangan asma berat Tidak ada respon segera dengan bronkodilator Dalam kortikosteroid oral
Penilaian ulang setelah 1 jam Pem. Fisis, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi
Respons baik Respons baik dan stabil dalam 60 menit Pem.fisis normal APE>70% prediksi/nilai terbaik Saturasi O2 >90%
Respons tidak sempurna Risiko tinggi distres Pem. Fisis :gejala ringan-sedang APE >50% tetapi <70% Saturasi O2 tidak perbaikan
Respon buruk dalam 1 jam Risiko tinggi distres Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran menurun APE <30% PaCO2 >45 mmHg PaO2 <60 mmHg
Pulang Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta2 Membutuhkan kortikosteroid oral Edukasi penderita Memakai obat yang benar Ikuti rencana pengobatan
Dirawat di RS Inhalasi agonis beta-2 anti kolinergik Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi oksigen pertimbangan kanul nasal atau masker venturi Pantau APE1,Sat O2, nadi, kadar teofilin
Dirawat di ICU Inhalasi agonis beta-2 antikolinergik Kortikosteroid IV Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV Terapi oksigen menggunakan masker venturi Aminofilin drip Mungkin perlu
Perbaikan
Tidak perbaikan
Pulang Bila APE >60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi
Penilaian berat serangan Klinis : gejala (batuk, mengi, dada terasa berat) yang bertambah APE < 80% nilai terbaik / prediksi
Terapi awal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
Respons baik Gejala membaik Perbaikan dengan agonis beta-3 dan bertahan selama 4 jam. APE >80% prediksi / nilai terbaik
Respons buruk Gejala menetap atau bertambah berat APE <60% prediksi/ nilai terbaik Tambahkan kortikosteroid oral Agonis beta-2 diulang
Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap 3-4 jam untuk 24-48 jam Alternatif : bronkodilator oral setiap 6-8 jam Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi (bila sedang menggunakan steroid inhalasi) selama 2 minggu, kemudian kembali ke dosis sebelumnya
8. PENCEGAHAN
Asma terjadi akibat interaksi kuat yang terjadi antara faktor genetik dan lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan waktu lahir/usia sangat dini sangat menentukan dalam polarisasi Th yang mengarah ke reaksi Th2. Studi biopsi jaringan bronkus sudah menunjukkan tanda-tanda inflamasi. Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan yang benar. Untuk mencegah asma menjadi kronis, pencegahan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Pencegahan primer yaitu mencegah terjadinya sensitisasi, sebelum terekspos dengan faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit ini. Hal ini sulit dilakukan oleh karena sensitisassi terjadi in-utero. Dikenal istilah hygiene hypotesis yaitu paparan dengan kuman pada usia dini akan menurunkan penyakit alergi. Infeksi traktus respiratorius yang berulang pada usia dini sampai dengna usia sekolah dapat menurunkan resiko asma. Pencegahan primer dapat diberikan pada saat postnatal dengan pemberian imunomodulasi dengan imunoadjuvant Th 1, vaksin DNA, antigen yang berhubungan
dengan IL-12 atau interferon gamma atau pemberian probiotik. Pencegahan primer malah diharapkan dilakukan sebelum terjadi pembuahan (conception) dengan cara premarital counceling, ataupun rekayasa genetik, dengan demikian tumbuh embrio yang tidak berpotensi menjadi asma. Pencegahan sekunder dilakukan sesudah terjadi sensitisasi, namun belum menimbulkan gejala. Penggunaan antihistamin H1 dapat menurunkan onset wheezing pada anak-anak muda dengan dermatitis atopi. Studi lain mengatakan bahwa pemberian imunoterapi dengan allergen spesifik dapat menurunkan onset asma. Yang banyak dilakukan adalah pencegahan tesier, yaitu memberikan obat sepoerti yang dilakukan pada praktek sehari-hari. Asma yang sudah menjadi kronis dan menimbulkan remodeling (model lain atau rekonstruksi) yang irreversibel akan sulit ditangani dan menurunkan kualitas hidup secara bermakna. Hal tersebut sebaiknya dicegah dengan memberikan terapi yang benar dan sedini mungkin. Pencegahan tersier ini dilakukan dengan mengurangi paparan dengan pencetus asma unt