Anda di halaman 1dari 82

1

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Letak tanah air Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudra,
merupakan posisi strategis dan rawan dilihat dari kepentingan keamanan,
politik, ekonomis, sosial dan budaya.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan adanya
peranan jasa pengangkutan untuk menghubungkan antara pulau yang satu
dengan pulau yang lain.
Dalam bidang perdagangan, pengangkutan merupakan hal yang mutlak,
sebab barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik-pabrik dapat
sampai di tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan jalan pengangkutan,
dan seterusnya dari pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga
menggunakan jasa pengangkutan.
1

Peranan jasa pengangkutan, baik darat, laut dan udara sangat besar
peranannya dalam memindahkan dan memperlancar hubungan antara orang-
orang atau barang yang berada di dalam wilayah Indonesia, demikian juga
halnya dalam hubungan internasional.


1
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, buku ketiga, Djambatan, 1981,
hal 1


2
Penyelenggaraan pengangkutan udara tidak selamanya berjalan dengan
lancar, sebab tidak jarang pula terjadi peristiwa/kejadian yang tidak diinginkan
oleh penyelenggaranya sendiri.
Misalnya rusaknya pesawat sehingga mengakibatkan batalnya suatu
penerbangan atau terjadinya kecelakaan pada misi penerbangan yang
dilakukan.
Permasalahan tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi
penumpang sering terjadi dalam pelaksanaan penerbangan. Agar penyelesaian
ganti rugi dilaksanakan dengan tertib, maka hukum dipakai sebagai penunjang
utama penyelesaian masalah tersebut.
Hukum yang berfungsi sabagai sarana untuk penyelesaian masalah
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh para pakar hukum antara lain
Mochtar Kusumaatmadja. Beliau mengatakan bahwa agar pembangunan
berjalan dengan tertib, maka hukum berfungsi sebagai sarana penunjangnya.
2

Peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tanggung jawab
pengangkut terhadap bagasi penumpang diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan ini adalah untuk menunjang kepastian hukum
pelaksanaan transportasi yang mempunyai peranan penting dan strategis
dalam memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh
ketahanan nasional dan mempererat hubungan antar bangsa. Pelaksanaan


2
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung : Majalah Padjajaran, No. 1 jilid III, 1970) hal 6-7. (http://www.hukum-
online.com/catalogue.nla.gov.au/Record/780670)


3
transportasi yang terus dikembangkan potensinya sebagai penghubung
wilayah nasional dan internasional merupakan penunjang pendorong dan
penggerak pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat.
3

Tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan adalah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional melalui
penataan penyelenggaraan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
Selanjutnya mampu
mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat
kebutuhan dan tersedianya angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar dan
tertib.
4

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan ini mengatur
tentang tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang,
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 144, dan pasal 146 antara lain.
pasal 144 menyebutkan bahwa


Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang
diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat
berada dalam pengawasan pengangkut.
5









3
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, (Bandung : Citra
Umbara, 2009),hal 1


4
Ibid, pasal 3 huruf (a,b,c)


5
Ibid, Pasal 144



4
Pasal 146 bahwa :



Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena
keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali
apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
6




Mengenai permasalahan yang kemungkinan berasal dari suatu kecelakaan
pesawat terbang misalnya yang berhubungan dengan tanggung jawab
pengangkut, batas-batas tanggung jawab pengangkut serta masalah ganti rugi
yang harus dibayarkan oleh pengangkut. Pengaturan besarnya ganti rugi atau
santunan menjadi perhatian utama bagi penulis, mengingat peraturan
mengenai ganti rugi itu sendiri masih mangacu pada ordinansi zaman
penjajahan yaitu Ordinansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1939.
Pertimbangan pengaturan OPU tahun 1939 dalam Konvensi Warsawa tanggal
12 Oktober 1929 adalah menyamakan beberapa ketentuan dalam
pengangkutan udara internasional,
7
dalam konvensi Warsawa antara lain
diatur tentang dokumen angkutan, tanggung jawab dan beberapa ketentuan
secara umum.
8

Aturan dalam pasal I Ordinasi Pengangkutan Udara (OPU) menentukan
bahwa:


6
Ibid, Pasal 146


7
ORDINASI PENGANGKUTAN UDARA, Ketentuan-ketentuan Tentang Pengangkutan Udara
Dalam Negeri (Ord. 9 Maret 1939.) S. 1939-100 jo. 101 (mb. 1 Mei 1939)


8
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa
Masalah Lain dalam bidang Penerbangan, penerbit alumni, Bandung, 1979, halaman 19.



5


Ketentuan-ketentuan ordonansi ini berlaku bila tidak berlaku
ketentuan-ketentuan lain menurut traktat yang diadakan di Warsawa
pada tanggal 12 Oktober 1929 dan yang mulai berlaku di Indonesia
pada tanggal 29 September 1933, yaitu perjanjian untuk
menyeragamkan beberapa ketentuan dalam hal pengangkutan udara
internasional (S. 1933-347), yang selanjutnya disebut traktat.
9


Tujuan pengaturan Ordinasi Pengangkutan Udara adalah untuk mengisi
kekosongan hukum apabila terjadi masalah yang berkaitan dengan tanggung
jawab pengangkutan udara. Ordinasi Pengangkutan Udara mengatur tentang
dokumen angkutan dan tanggung jawab pengangkut dalam hal pengangkutan
udara secara detail.
10

Bagian Ordinasi Pengangkutan Udara II 1939 mengatur tentang hak dan
kewajiban pengangkut dan penumpang yang membawa bagasi. Kewajiban
pengangkut dapat berupa membayar ganti rugi apabila terjadi kehilangan atau
kerusakan bagasi, sedangkan hak penumpang adalah menerima pembayaran
ganti rugi apabila terjadi kerusakan atau kehilangan bagasi.
11

Ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena barang atau bagasi
hilang seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan dengan harga barang yang
sama jenis dan sifatnya di tempat tujuan, pada waktu barang atau bagasi
seharusnya diserahkan, dengan dikurangi jumlah uang yang karena kehilangan
itu tidak perlu dibayarkan untuk biaya-biaya dan untuk pengangkutan.
12



9
ORDINASI PENGANGKUTAN UDARA, op. cit., Pasal I


10
E. Suherman, op. cit., halaman 84


11
ORDINASI PENGANGKUTAN UDARA, op. cit., Pasal 24 ayat (1)

12
Ibid., Pasal 26


6
Terjadinya kerusakan atau kehilangan bagasi tidak dengan sendirinya
merupakan tanggung jawab dari pengangkut, tetapi harus memenuhi
persyaratan-persyaratan. Persyaratan tersebut antara lain tentang kewajiban
penumpang memegang tiket.
Pasal 6 angka 1 dan 3 OPU 1939 menentukan bahwa: penumpang harus
menyerahkan tiket bagasi untuk mengambil bagasinya. Tiket bagasi tersebut
harus dibuat dengan rangkap dua, satu untuk penumpang, dan satu lagi untuk
pengangkut udara. Tidak adanya tiket bagasi, merupakan suatu kesalahan di
dalamnya atau hilangnya bagasi tidak akan mempengaruhi adanya atau
berlakunya perjanjian pengangkutan udara.
13
Akan tetapi pengangkutan
dibebani kewajiban, sesuai dengan pasal 6 ayat 5 yaitu ia tidak berhak
mempergunakan ketentuan dalam OPU 1939 ini meniadakan atau membatasi
tanggung jawab pengangkut.
14

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengangkut tersebut diatur dalam
Pasal 6 OPU Ayat 4 Huruf d, f, dan h. Pasal 6 Ayat 4 Huruf d, menyatakan
bahwa tiket bagasi harus memuat nomor dari tiket penumpang.
Pasal 6 Ayat 4 Huruf f menentukan bahwa tiket bagasi harus memuat jumlah
dan beratnya barang-barang.
15
Pasal 6 Ayat 4 Huruf h menentukan bahwa
tiket bagasi harus memuat Pemberitahuan, bahwa pengangkutan bagasi ini
tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab, yang diatur


13
Ibid, Pasal 6 angka 5


14
Ibid,


15
Ibid, Pasal 6 ayat (4) huruf F


7
dalam OPU 1939 atau perjanjian (Warsawa).
16

Hak dari penumpang yang memiliki bagasi menuntut tanggung jawab
pengangkut. Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi apabila tiket bagasi
sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 6 Ayat 4 Huruf d,
f, dan h.
Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi antara lain
akibat kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang yang terjadi
selama pengangkutan berlangsung. Untuk penggantian kerugian tersebut
ditentukan oleh pengangkut sendiri tanpa memiliki pedoman yang jelas. Hal
tersebut menimbulkan tidak adanya kepastian hukum untuk melindungi
penumpang (konsumen)
Berlatar belakang dari hal-hal tersebut diatas, maka penulis merasa perlu
melakukan penulisan skripsi mengenai masalah TINJAUAN YURIDIS
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP
BAGASI PENUMPANG PADA P.T GARUDA INDONESIA, hal ini
menyebabkan penulis merasa kurangnya pengetahuan dan informasi yang
diterima oleh masyarakat tentang tanggung jawab pengangkutan udara
khususnya di P.T Garuda Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah sebagai berikut :


16
Ibid, Pasal 6 ayat (4) huruf h


8
1. Bagaimanakah ketentuan hukum dalam mengatur tanggung jawab
pengangkut udara terhadap bagasi penumpang bila terjadi kehilangan
dalam pengangkutan ?
2. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang terjadi antara P.T Garuda
Indonesia dengan penumpang apabila terjadi sengketa (dr. Budiyanto)
C. Ruang Lingkup Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini dan berdasarkan permasalahan-permasalahan
diatas, maka penulis membatasi ruang lingkup agar tidak menyebar ke topik
lain yang tidak ada hubungannya dengan topik penulisan ini.
Agar penulis dapat lebih fokus pada obyek permasalahan, penulis
membatasi hanya lingkup pertanggung jawaban pengangkutan udara bagasi
penumpang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Penulisan skripsi ini juga menjelaskan bagaimana prosedur pertanggung
jawaban pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

D. Maksud dan Tujuan Penulisan
1. Maksud Penulisan :
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum dalam mengatur tanggung jawab
pengangkut udara terhadap bagasi penumpang baik secara teoritis
maupun dalam pelaksanaannya khususnya di P.T Garuda Indonesia.


9
b. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa antara P.T Garuda
Indonesia dengan penumpang bila terjadi sengketa.
2. Tujuan Penulisan :
a. Salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana srata satu (S1) yaitu
sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta.
b. Untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan penulis dalam
bidang hukum pengangkutan.
c. Untuk memberikan sumbangsih kepada pihak yang memerlukan
informasi hukum tentang tanggung jawab pengangkutan udara terhadap
bagasi penumpang.

E. Kerangka Teori Dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Berdasarkan judul yang penulis ajukan untuk dijadikan objek
penelitian, maka penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai
tanggung jawab pengangkutan secara umum baik dari perundang-
undangan maupun dari teori-teori para pakar yang berhubungan dengan
pengangkutan udara.
Menurut Konvensi Warsawa tahun 1929 yang dimaksud dengan
Pengangkutan Udara adalah :

Meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada dalam
pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam


10
pesawat udara atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di
luar pelabuhan udara.
17


Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 yang dimaksud
dengan Pengangkutan udara adalah :


Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, bagasi, kargo, dan pos untuk satu kali
perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang
lain.
18



Menurut Pasal 466 Kitab Undang-Undang Hukum dagang :


Pengangkut dalam arti bab ini adalah barang siapa yang mengikat diri,
baik dengan carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan,
maupun dengan suatu perjanjian lain, untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang seluruhnya atau sebagian melalui laut.
19


P.T Garuda Indonesia adalah badan usaha milik negara yang bergerak
di bidang transportasi angkutan udara. Menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1992 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan
Pelaku usaha adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara


17
Konvensi Warsawa Tahun 1929, (www.google.com/konvensi-warsawa)


18
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, op cit., ,hal 1


19
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, (WetboekVan Koophandel),
(www.hukumonline.com), Pasal 466


11
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha.
20

Untuk menyelenggarakan pengangkutan ini, terlebih dulu harus ada
perjanjian antar pengangkut dengan penumpang. Perjanjian pengangkutan
selalu diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen-dokumen yang
nanti akan membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian.
Menurut E. Suherman perjanjian pengangkutan udara adalah:



Perjanjian pengangkutan udara dalam arti sempit adalah suatu
perjanjian antara seorang pengangkut udara dengan pihak penumpang
atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang
dengan pesawat udara. Dan dalam arti luas sebagai suatu perjanjian
angkutan udara yang dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian
pemberian jasa dengan pesawat udara.
21


Sedangkan menurut Abdulkadir Muhamad yang dimaksud perjanjian
pengangkutan udara adalah :


Persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim
atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.
22






20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perlindungan Konsumen,
(www.hukumonline.com), Pasal 1 ayat (3)


21
E. Suherman, op. cit., halaman 87


22
Abdulkadir Muhammad, Hukum pengankutan Darat, Laut, dan Udara, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1994), hal 20


12
Dari pengertian tersebut diatas, pengangkutan udara menurut penulis
adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan penumpang
dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tertentu
dengan keadaan selamat, menggunakan pesawat terbang, sedangkan
penumpang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
2. Kerangka Konseptual
Dalam hal permasalahan terhadap judul yang penulis teliti, maka yang
menjadi objek penelitian penulis adalah pengangkutan udara, tanggung
jawab angkutan udara, kargo, penumpang, dan pada khususnya bagasi
penumpang dan hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab
pengangkutan udara.
a. Pengangkutan udara :

Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, bagasi, kargo, dan pos untuk satu kali
perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara
yang lain.
23

b. Tanggung jawab angkutan udara
Kewajiban perusahaan pengangkutan udara untuk mengganti
kerugian yang diderita penumpang dan/atau barang yang akibat dari
kelalaian pihak pengangkut dalam penyelenggaraan pengangkutan.
24

c. Kargo


23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, op cit., Pasal 13


24
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,., op cit., Pasal 1 ayat (22)


13
Setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara berupa hewan,
tumbuhan, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, dan barang
yang tidak bertuan.
25

d. Penumpang
Menurut G. Kartasapoetra dan E. Roekasih :
Orang yang memiliki dokumen angkutan sebagai realisasi
persetujuan antara penumpang dengan pihak pengangkut atau
perusahaan penerbangan/angkutan udara, dalam hal ini disebut
penumpang yang sah.
26

e. Bagasi
Terbagi atas dua bagian, bagasi tercatat dan bagasi kabin
Menurut pasal 1 ayat (24) dan (25) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan
1). Bagasi Tercatat
Barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada
pengangkut untuk diangkut dengan pesawat yang sama.
2). Bagasi Kabin
barang yang dibawa oleh penumpang dan berda dalam
pengawasan penumpang sendiri.
27



25
Ibid, Pasal 1 ayat (23)


26
G. kartaspoetra dan E. Roekasih, Segi-Segi Hukum Dalam Charter dan Asuransi Angkutan
Udara, (Bandung : Amico, 1982) hal 32


27
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, op cit., Pasal 1 ayat (24) dan
(25)


14
Berdasarkan definisi-definisi diatas maka penulis mencoba untuk
melakukan analisis mengenai permasalahan yang terjadi pada praktek
dilapangannya, dalam tanggung jawab pengangkutan udara terhadap
bagasi penumpang khususnya di P.T Garuda Indonesia.

F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan panelitian deskriptif analisis, yaitu penelitian
yang menggambarkan dan menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada
tentang hukum mengenai tanggung jawab pengangkutan udara terhadap
bagasi penumpang pada P.T Garuda Indonesia.
1. Studi Kepustakaan ( Library Research )
Dilakukan dengan cara pengumpulan data pustaka baik melalui
penelusuran peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan
dokumen-dokumen dan penelitian para pakar yang sesuai dengan obyek
penelitian serta permasalahan yang akan diteliti dan diperoleh dari data
sekunder.
Data yang dijadikan sumber data utama dalam penelitian terdiri atas:
a. Bahan hukum primer antara lain terdiri dari peraturan perundang-
undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WetboekVan
Koophandel), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang


15
Perlindungan Konsumen, Ordinasi Pengangkutan Udara
(Luchtvervoer Ordonannti Staatblad 1939 100), Konvensi
Warsawa Tahun 1929.
b. Bahan hukum sekunder antara lain berupa tulisan-tulisan dari para
pakar dengan permasalahan yang diteliti ataupun yang berkaitan
dengan bahan hukum primer meliputi literatur-literatur yang berupa
buku, makalah, jurnal dan hasil penelitian.
c. Bahan hukum tersier antara lain berupa bahan-bahan yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
kamus bahasa, artikel-artikel pada koran atau surat kabar, dan
majalah.
2 . Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data mengenai
tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang pada
P.T Garuda Indonesia. Dalam penelitian ini, penunjang data sekunder
diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang bersangkutan
baik dari pihak pengangkut maupun dari pihak penumpang (konsumen).
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai tanggung jawab
pengangkutan udara terhadap bagasi penumpang. Untuk mempermudah
pembaca dalam membaca penulisan skripsi ini, maka penulisan ini dibagi
dalam lima bab. Adapun pembagian bab-bab tersebut adalah sebagai
berikut :


16
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, ruang limgkup permasalahan, tujuan
penulisan, mamfaat penulisan, kerangka teori dan kerangka
analisis, metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TENTANG PENGANGKUTAN UDARA
Bab ini menjelaskan tentang pengertian umum pengangkutan
Udara, pengangkut penumpang, dan bagasi serta tentang
perjanjian pengangkutan. Manfaat dan fungsi pengaturan
tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi
penumpang. Penyelesaian sengketa baik secara letigasi
maupun non litigasi.

BAB III : TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA
TERHADAP BAGASI PENUMPANG
Bab ini menjelaskan dan menguraikan tentang tanggung jawab
pengangkutan dalam hukum pengangkutan udara yang
melibatkan PT Garuda Indonesia dengan dr. Budiyanto dan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia sebagai pihak ketiga
dalam penyelesaian sengketa.



17
BAB IV : ANALISIS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN
UDARA TERHADAP BAGASI PENUMPANG PADA P.T
GARUDA INDONESIA
Bab ini penulis akan mejelaskan ketentuan hukum dalam
mengatur tanggung jawab pengangkutan udara terhadap
bagasi penumpang dalam pengangkutan dan tata cara
penyelesaian sengketa yang terjadi antara P.T Garuda
Indonesia dengan penumpang.

BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang
menjelaskan tentang kesimpulan dan saran dari penulis
tentang tanggung jawab pengangkutan udara terhadap bagasi
penumpang.











18


BAB II
TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG PENGANGKUTAN UDARA

A. Pengertian Pengangkutan Udara, Pengangkut, Penumpang, Bagasi, dan
Perjanjian Pengangkutan Udara
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
yang dimaksud dengan angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos
untuk satu kali perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara
yang lain atau beberapa bandar udara.
28


Pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti angkat dan
bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat
dan membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan.
Pengangkutan artinya pengangkatan dan pembawaan barang atau
orang, pembuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau
orang yang diangkut. Jadi dalam pengertian ini tersimpul suatu proses
kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke tempat yan lain.
29


Untuk menyelenggarakan pengankutan ini, terlebih dahulu harus ada
perjanjian antara pengangkut dan penumpang. Perjanjian pengangkutan selalu


28
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan, op cit, Pasal 1 ayat (13)


29
Abdulkadir Muhammad, Hukum pengankutan Darat, Laut, dan Udara, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1994), hal 19
18


19
diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen-dokumen pengangkutan
yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi.
Menurut E. Suherman dalam bukunya yang berjudul Masalah
Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah lain
dalam Bidang Penerbangan. bahwa:

Perjanjian pengangkutan udara dalam arti sempit adalah sebagai suatu
perjanjian antara seorang pengangkut udara dengan pihak penumpang
atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang
dengan pesawat udara. Dalam arti yang lebih luas sebagai suatu
perjanjian angkutan udara yang dapat merupakan sebagian dari suatu
perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.
30



Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian pengangkutan udara adalah:


Persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
meneyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpangdari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim
atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.
31



Menurut R. Soekardono perjanjian pengangkutan Udara adalah:



Perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke
tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima,
pengirim atau penerima, penumpang), berkeharusan untuk menunaikan
pembayaran tertentu untuk pengangkutan tersebut.
32





30
E. Suherman, op. cit., halaman 87


31
Abdulkadir, op, cit., hal 20


32
R. Sekardono, Hukum Dagang Indonesia, Cet. 2, (Jakarta : CV. Rajawali, 1986),hal 8



20

Menurut R. Subekti perjanjian pengangkutan udara adalah: Suatu
perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa
orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain tempat, sedangkan
pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos.
33

Menurut Purwosutjipto Defenisi pengangkutan adalah:


perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan
barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan keadaan selamat, sedangkan pihak pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.
34


Dari pengertian tersebut diatas, perjanjian pengangkutan udara
menurut penulis adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
penumpang dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tertentu
dengan selamat, menggunakan pesawat terbang, sedangkan penumpang
mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.
Menurut Konvensi Warsawa yang dimaksud dengan pengangkutan udara
adalah :


Meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada dalam
pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam


33
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1985), hal 69


34
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku Ke-3, op cit., hal 2.


21
pesawat udara, atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di
luar pelabuhan udara.
35


Menurut G. Kartasapoetra dan E. Roekasih, Yang dimaksud dengan
pengangkut adalah luas dan tidak terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada
crew saja, melainkan perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang
atau barang.
36

Menurut Pasal 466 KUHD,



Pengangkutan dalam arti bab ini adalah barangsiapa yang, baik dengan
persetujuan charter menurut waktu atau charter menurut perjalanan,
baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikutkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang, yang seluruhnya atau
sebagian melalui lautan.
37



Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UU No.8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen), yang dimaksud
pelaku usaha (selanjutnya pengangkut juga dapat disebut pelaku usaha)
adalah:

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjalanan meyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
38



35
Konvensi Warsawa Tahun 1929, Pasal 18 ayat (2)


36
G. kartaspoetra dan E. Roekasih, Segi-Segi Hukum Dalam Charter dan Asuransi Angkutan
Udara, (Bandung : Amico, 1982), hal 4


37
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Terjemahan R. Subekti, Cet 27, (Jakarta : Pradnya
Paramitha, 2002), Pasal 466



22
Setiap pengangkutan adalah pelaku usaha karena pengangkutan adalah
sebuah kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang jasa dan sebagian besar
sahamnya dimiliki pemerintah.
Pengertian pengangkutan dapat disimpulkan bahwa pengankutan adalah
pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan keadaan
selamat.
Berdasarkan Pasal 1 butir (1) Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan. Yang dimaksud dengan penerbangan adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar
udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta
kegiatan dan fasilitas penunjang lainnya.
39

Dalam rancangan perbaikan Konvensi Warsawa yaitu Draft Convention
September 1964, penumpang passenger berarti setiap orang yang diangkut
dalam pesawat terbang kecuali orang-orang yang merupakan anggota awak
pesawat, termasuk pramugara/pramugari.
40

Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 tidak memberikan definisi tentang
penumpang tetapi pada penerbangan diatur yang dimaksud penumpang adalah
setiap orang yang diangkut oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian
angkutan dengan atau tanpa bayaran.


38
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, Pasal 1 ayat
(3), (www.hukumonline.com/UUPK)


39
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, op cit., Pasal 1
butir (1)


40
E. Suherman, op. cit., halaman 34


23
Menurut pasal 1 ayat (2) UUPK, yang dimaksud dengan konsumen
(selanjutnya penumpang juga disebut konsumen) adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
41

Menurut G. Kartasapoetra dan E. Roekasih Yang dimaksud dengan
penumpang:

Orang yang memiliki dokumen angkutan sebagai realisasi
persetujuan angkutan antara orang itu dengan pihak pengangkut
atau perusahaan penerbangan/angkutan udara dengan demikian
orang tersbut adalah penumpang sah.
42




Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penumpang adalah orang
yang memiliki dokumen angkutan atas namanya sebagai realisasi persetujuan
angkutan antara orang itu dengan pihak pengangkut atau perusahaan
penerbangan/angkutan udara dengan demikian orang tersebut adalah
penumpang yang sah.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa tiket penumpang merupakan syarat
dalam perjanjian pengangkutan udara tetapi bukan syarat mutlak sebab tidak
adanya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan
udara.
Pasal 5 ayat (2) Ordinansi Pengangkutan Udara tahun 1939 menyebutkan
bahwa:


41
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Kontsumen, op cit., Pasal 1 ayat (2)


42
G. kartasapoetra dan E. Roekasih, op. Cit., hal 32


24


Tidak adanya tiket penumpang, kesalahan di dalamnya atau hilangnya
tiket tersebut tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian
pengangkutan udara, yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan
dalam Ordinansi ini.
43




Menurut pasal 1 ayat (4) UUPK, yang dimaksud barang (selanjutnya
bagasi juga dapat disebut barang ) adalah:

Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
manfaatkan oleh konsumen.
44




Definisi bagasi dalam Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 adalah
Semua barang kepunyaan atau dibawah kekuasaan penumpang yang olehnya
atau namanya, sebelum ia menumpang pesawat terbang diminta untuk
diangkut melalui udara.
45

Bagasi demikian lazim disebut bagasi tercatat. Yang tidak termasuk
dalam pengertian bagasi adalah barang-barang kecil untuk penggunaan pribadi
yang ada pada/di bawa oleh penumpang sendiri.
Selain Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 ada juga konvensi Warsawa
yang mengatur ketentuan tentang tanggung jawab pengangkut dalam hal
bagasi tercatat dan kargo. Terdapat dalam pasal 18 ayat (1) Konvensi


43
H.M.N. Purwosujipto, op cit., hal 144


44
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, op cit., Pasal 1 ayat (4)


45
Ordinansi Pengangkutan Udara, op cit., Pasal 6 ayat (2)


25
Warsawa, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat
kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi tercatat atau kargo jika
peristiwa yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi selama dalam
pengangkutan udara.
46

Dalam Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 terdapat 2 sistem tanggung
jawab, satu untuk penumpang, bagasi tercatat, dan barang dan satu sistem
untuk bagasi tangan. Bagi penumpang, bagasi tercatat dan barang berlaku
sistem berdasarkan prinsip anggapan bahwa pengangkut selalu bertanggung
jawab dan prinsip bahwa tanggung jawab terbatas. Berdasarkan sistem ini
pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang
ditimbulkan karena penumpang luka atau meninggal dunia, karena bagasi
tercatat atau hilang, musnah atau rusak. Pihak yang tidak dirugikan tidak harus
membuktikan kesalahan atau kelalaian pengangkut, yang harus dibuktikan
hanyalah besarnya kerugian yang diderita.
B. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara
Suatu perjanjian pada umumnya bersifat kosensual, artinya perjanjian
dianggap ada sejak tercapainya kesepakatan di antara para pihak mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian itu, misalnya pada perjanjian jual-beli,
dimana perjanjian ini dianggap sudah lahir dengan segala akibat hukumnya,
apabila telah terjadi kesepakatan antara penjual dengan pembeli mengenai
harga dan barang.


46
Kovensi Warsawa Tahun 1929, Pasal 18 ayat (1)


26
Perjanjian pengangkutan udara pun mempunyai sifat yang konsensual,
oleh karena perjanjian ini dianggap lahir pada saat terjadinya kesepakatan
antara pengangkut dan/atau pengirim barang mengenai jasa dan harga akan
tetapi walaupun perjanjian pengangkutan ini sudah dianggap lahir pada saat
terjadinya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa pelaksanaan perjanjian
itupun terjadi pada saat yang sama karena pelaksanaannya sering
ditangguhkan terlebih dahulu.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soegijatno
Tjakranegara, yaitu:


Perjanjian pengangkutan ini adalah concelsuil (timbal balik) dimana
pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu dan pengirim
barang membayar ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui
bersama.
47




Saat mulai terjadinya pengangkutan pada perjanjian pengangkutan barang
kiriman dan pengangkutan bagasi adalah sama, yaitu ketika barang kiriman
atau bagasi berada di bawah pengawasan pengawasan pengangkut. Pada
pengangkutan barang kiriman, pemuatan dan penyerahannya dapat terjadi
diluar lapangan terbang, bahkan menurut ketentuan dalam pasal 25 ayat (3)
Ordinansi Pengangkutan Udara 1939, dapat pula meliputi pengangkutan darat,
pengangkutan laut dan pengangkutan sungai, sepanjang hal itu dilaksanakan
dalam hubungannya dengan pemuatan, penyerahan atau pemindahan muatan.


47
Soegijatna Tjakranegara, Hukum pengangkutan Barang dan Penumpang, (Rineka Cipta,
1995), hal 67


27
Maksud kalimat diatas pemuatan dan penyerahan meliputi pengangkutan darat
yaitu apabila daerah tujuan barang kiriman tersebut tidak dapat dijangkau oleh
pesawat terbang, karena tujuan itu merupakan daerah terpencil, jadi harus
menggunakan pengangkutan darat yang dapat menjangkau hingga sampai
tujuan, demikian pula dengan penyerahan yang meliputi pengangkuatan laut
dan sungai. Sedangkan pengangkutan bagasi, pemuatan dan penyerahannya
selalu terjadi dilapangan terbang, kecuali apabila terjadi pendaratan diluar
lapangan terbang.
Melihat pengertian terjadinya suatu pengangkutan udara dapat bermacam-
macam maka untuk menentukan saat mulai dan berakhirnya pengangkutan
udara, terlebih dahulu perlu diketahui apakah pengangkutan itu terjadi dalam
perjanjian pengangkutan penumpang dan/atau bagasi. Pengangkutan bagasi
terjadi selama barang-barang penumpang berada dalam pengawasan
pengangkutan, yaitu mulai pada saat penumpang menyerahkan barangnya
kepada pengangkut untuk diangkut ketempat tujuan dan berakhir pada saat
tiba ditempat tujuan, maka saat itu pula berlaku tanggung jawab pengangkut
atas bagasi.
Demikian juga dengan pengangkutan penumpang yang terjadi pada saat
penumpang mulai menyerahkan atau menunjukkan tiket kepada pengangkut
dan menaiki pesawat terbang untuk diangkut ke tempat tujuan, dan
berakhirnya pada saat pengangkut menurunkan penumpang ke tempat tujuan


28
Ada delapan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam pasal 4 UUPK,
sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu
adalah sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang disajikan;
3. Hak atas informasi yang jelas, benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atau barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hal untuk diberlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, jika
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lain.
48



48
Indonesia, Undang-Undang Pelindungan Konsumen, op cit., Pasal 4


29
Hak-hak penumpang terhadap pengangkut antara lain adalah:
1. Hak untuk diangkut dengan pesawat udara hingga sampai di tempat tujuan
yang telah diperjanjikan dengan selamat, aman dan sesuai dengan waktu
perjalanan yang telah direncanakan.
2. Hak untuk menuntut dan memperoleh pembayaran ganti kerugian atas
kerugian-kerugian akibat kecelakaan yang menimpa dirinya (seperti: luka-
luka, kematian atau penderitaan badani lainnya) yang berhubungan dengan
pengangkuta dan bukan akibat kesalahan, atau akibat kerugian pada
bagasi, atau akibat kelambata atau akibat penundaan pemberangkatan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan isi perjanjian.
3. Hak untuk membawa barang bawaan bagasi.
4. Hak untuk memperoleh tiket penumpang.
Selain memperoleh hak-hak dari perjanjian angkutan udara, penumpang
juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pengangkut sebagai berikut:
1. Membayar biaya angkutan udara (harga tiket penumpang), kecuali bila
terdapat perjanjian lain atau pertimbangan lain, seperti pembayaran bukan
dengan uang, atau tiket cuma-cuma yang diberikan kepada relasi
pengangkut.
2. Mentaati semua petunjuk atau peraturan yang ditetapkan oleh pengangkut
atau pegawai-pegawainya.
3. Meminta kepada penumoang untuk menunjukkan tiket penumpangnya
setiap saat bila diperlukan, dan berhak menolak setiap penumpang yang


30
tidak bisa menunjukkan tiket penumpangnya dan yang tidak bisa
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
4. menolak tuntutan ganti kerugian dengan mambuktikan bahwa pihaknya
telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan
kerugian atau dapat membuktikan adanya kesalahan atau turut bersalahnya
penumpang pada kerugian tersebut.
5. menentukan pembebasan tanggung jawab atas kerugian akibat pembatalan
dan/atau kelambatan pengangkutan.
6. membebaskan diri dari tanggung jawab untuk sebagian atau seluruhnya
atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan udara, atau menetapkan
ketentuan-ketentuan tentang pembatasan tanggung jawab.
Kewajiban utama dari pengangkut udara antara lain adalah:
1. menyelenggarakan pengangkutan penumpang dengan pesawat udara
sampai ke tempat tujuan yang telah diperjanjikan dengan selamat, nyaman
dan aman
2. Bertanggung jawab atas segala kerugian yang menimpa penumpang
dan/atau sebagai akibat kesalahannya, atau akaibat kelambatan atau
penundaan keberangkatan bila diperjanjikan, serta membayar tuntutan
ganti rugi yang diajukan oleh penumpang atau ahli warisnya sesuai
ketentuan undang-undang yang berlaku dan ketentuan perjanjian.
3. Memberikan tiket penumpang dan tiket bagasi kepada pihak penumpang.
Di dalam penerbangan juga mengenal sistem asuransi. Asuransi disini
adalah asuransi yang berkenaan dengan barang-barangdalam transit atau


31
barang-barang yang sedang ditangani perusahaan pengangkutan.biasanya
yang diasuransikan bukan hanya barang yang diangkut saja, tetapi
termasukjuga alat-alat pengangkutnya.
Jenis-jenis asuransi ini dapat dibedakan kedalam tiga macam klasifikasi
pokok yaitu :
1. Ocean marine insurance, yaitu asuransi yang berkenaan dengan resiko
yang timbul pada transportasi melalui laut.
2. Inland marine insurance, yaitu asuransi yang berkenaan dengan resiko
yang timbul pada transportasi melalui darat.
3. Aviation insurance, yaitu asuransi yag berkenaan dengan resiko yang
timbul pada transportasi melalui udara.
49



Avition insurance adalah asuransi pengangkutan udara adalah asuransi
yang objek pertanggungannya adala pesawat udara dan muatannya
(penumpang dan barang) terhadap kemungkinan bahaya yang
menimpanya baik yang terjadi di bandar udara maupun penerbangan.
50


Adapun yang menjadi jenis-jenis asuransi pengangkutan udara adalah
sebagai berikut :

1. Asuransi muatan udara
a. Jaminan/asuransi keselamatan penumpaang
Undang-undang menentukan bahwa pengangkut dalam pengangkutan
udara diwajibkan untuk menutup asuransi atas tanggung jawabnya
terhadap penumpang yang mencakup :
1) Tanggung jawab atas keselamatan penumpang ketika menaiki
pesawat udara, selama berada di dalam pesawat udara dan ketika
turun dari pesawat udara. Yang dijamin hanya penumpang yang
memounyai tiket yang sah dan penjaminnya PT Jasa Raharja.
2) Tanggung jawab atas kerugian bagasi penumpang (kecuali yang
dibawa sendiri). Untuk itu pengangkut harus mengasuransikan ke
perusahaan asuransi kerugian.


49
Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Asuransi, (Jakarta : Salemba
Empat, 2003), hal 179


50
Ibid., hal 195


32
b. Asuransi kargo udara
Merupakan asuransi atas barang-barang (bukan bagasi penumpang)
yang diangkut pesawat udara, yang melindungi pemilik barang
terhadap kemungkinan bahaya yang menimbulkan kerugian atau
kerusakan. Termasuk kerugian atau kerusakan karena pesawat
pengangkutnya tertimpa bahaya.
51


Sedangkan yang menjadi objek pertanggungan dalam asuransi pesawat
udara adalah :


Pesawat udara itu sendiri, yang meliputi kerangka pesawat, baling-
baling, motor dan semua peralatan yang merupakan bagian dari
pesawat udara, termasuk perlengkapan yang dapat dilepas, seperti
kompas, radio, perlengkapan kabin, dan sebagainya.
52




C. Manfaat Dan Fungsi Pengaturan Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
Terhadap Hilangnya Bagasi Penumpang
Sebagai salah satu komponen sistem transportasi nasional pada
hakekatnya angkutan udara mempunyai peranan yang penting dalam
menyediakan jasa pelayanan angkutan di dalam negeri maupun di luar negeri,
dan dalam rangka menghubungkan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan
angkutan lain secara cepat dan efisien untuk jarak tertentu.
Fungsi pengangkutan menurut H.M.N Purwosujipto ialah memindahkan
barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk
meningkatkan daya guna dan nilai.
53
Disini dijelaskan, meningkatnya daya


51
Ibid., hal 196


52
Ibid.


53
H.M.H. Purwosujipto, op cit., hal 1


33
guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya
guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu
diadakan sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang.
Fungsi pengaturan adalah agar angkutan udara dapat diselenggarakan
secara selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan
biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya masyarakat, dan mampu berperan
dalam menunjang dan mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.

Manfaat Pengaturan:
1. Terpeliharanya ketertiban dalam masyarakat, khususnya antara pihak
pengangkut dengan masyarakat pengguna jasa angkutan udara (konsumen)
sehingga tercapainya keharmonisan dan keteraturan hubungan yang saling
menguntungkan
2. Terjaminnya kepastian hukum. Untuk mencapai ketertiban diperlukan
adanya kepastian hukum, di mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
masing-masing pihak dapat diketahui dan dimengerti secara pasti.
3. Tercapainya rasa keadilan, baik bagi pengangkut maupun bagi masyarakat
pengguna jasa angkutan udara.
54




Pada dasarnya fungsi pengawasan bukan merupakan wewenang Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, melainkan merupakan tugas dan wewenang
pemerintah, yaitu mencakup berbagai departemen dan instansi yang berkaitan
dengan tugas pengawasan.
Tugas YLKI hanyalah sebagai monitor atau pemantau, mediator dan
sosial kontrol baik terhadap barang atau jasa maupun terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, khususnya yang langsung maupun yang tidak
langsung berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen pada umumnya.


54
Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1983, Bab IV Subsektor Hukum, butirb.2


34
Peranan YLKI dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen adalah YLKI melakukan fungsi sebagai mediator dan sosial kontrol
untuk membantu menyelesaikan suatu kasus. Untuk itu, YLKI juga menerima
pengaduan dari konsumen dan YLKI tidak langsung memvonis kepada
produsen, tetapi menerima dan membuktikan kebenarannya dari permasalahan
ini. Kalau produsen tidak memberikan tanggapan barulah YLKI melakukan
suatu langkah-langkah yaitu bisa melalui jalur hukum. Hal ini tidak hanya
mengenai makanan saja tetapi seluruh pengaduan yang diterima YLKI.
Peranan dan tugas YLKI dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen adalah melindungi konsumen juga menyadarkan produsen
terhadap suatu gugatan dari konsumen serta mendorong pemerintah untuk
memasyarakatkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sudah ada
agar mereka mengetahui hak-hak dan kewajibannya.
Pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 42 Tahun 1999. Tujuan perlindungan konsumen
terhadap pasal 1 angka 1 antara lain dikatakan bahwa perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang perlindungan konsumen ini
diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia selaku konsumen untuk
menyadari akan segala tanggung jawab yang dimiliki para pelaku usaha, di
mana dikatakan dalam Undang-Undang ini bahwa untuk meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen


35
untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangan sikap pelaku usaha
yang bertanggung jawab.
55


Perlindungan konsumen bertujuan antara lain:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menimbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam
usaha.
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan konsumen.
56



Menurut Direktorat Perlindungan Dalam Negeri tujuan pengaturan
perlindungan konsumen dimaksud untuk:
1. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan sehat antara pelaku
usaha dan konsumen.
2. Menciptakan iklim usaha yang sehat yaitu dengan memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur atas barang dan/atau jasa yang diproduksi atau
diperdagangkan yang merupakan hak-hak bagi konsumen untuk
memperolehnya.


55
www.blogspot.com/ylki-penjelasan/Record/780670


56
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, op cit., Pasal 3


36
3. mendorong iklim usaha yang sehat yang juga memungkinkan lahirnya
perusahaan yang tangguh dalam mengahadapi persaingan baik di pasar
dalam negeri maupun pasar tujuan eksport melalui penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas.
D. Penyelesaian Sengketa
1. Litigasi
Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan
untuk menggantikan konflik sesungguhnya, di mana para pihak memberikan
kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi
merupakan proses yang sangat dikenal bagi para lawyer dengan karakteristik
adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan solusi
diantara para pihak yang bersengketa.
Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan.
57
Dalam
mengambil alih keputusan dari para pihak, dalam batas tertentu litigasi
sekurang-kurangnya menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi
hasil dan dan dapat menjamin ketentraman sosial. Sebagai suatu ketentuan
umum dari proses gugatan, litigasi sangat baik untuk menentukan kesalahan-
kesalahan dan masalah-masalah posisi pihak lawan. Litigasi juga memberikan
suatu standar prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada
para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan.
Selain menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan
untuk didengar, menyelesaikan sengketa, dan menjaga ketertiban umum,


57
http://www.nugadhit.blogspot.com/2009/10/litigasi-atau-non-litigasi.html



37
adjudikasi publik juga memiliki kebaikan atau keuntungan dalam membawa
nilai-nilai masyarakat yang terkadang dalam hukum untuk menyelesaikan
sengketa. Jadi, adjudikasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga
menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang-undang,
baik secara eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian, adjudikasi publik mengenai sengketa pribadi pada taraf
tertentu merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan masyarakat, dalam
sistem hukum di mana keputusan pengadilan merupakan preseden, adjudikasi
publik mungkin lebih bernilai. Akan tetapi litigasi memiliki banyak
kekurangan. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrem
dan memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi
keputusan. Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, baik
persoalan materi (subtansi) maupun prosedur, untuk persamaan kepentingan
dan mendorong para pihak melakukan penyidikan fakta.


Litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris atau
sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan, dan
beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian. Proses-proses litigasi
mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga
para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap
membuat keputusan.
58


2.Non Litigasi
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh
kesempatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan sengketa dapat saja


58
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Dasar-Dasar Hukum
Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), hal 6


38
dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain
atau pihak ketiga yang bersifat netral, dan sebagainya.
Dewasa ini penyelesaian sengketa/konflik sudah beralih dari penyelesaian
dengan cara non litigasi yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa
Alternatif atau Alternatif Dispute Resolution (ADR).
Pada dasarnya, keberadaan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diakui
sejak tahun 1970, yaitu dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dirubah menjadi
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan
pasal 3 ayat (1) ini menyatakan : Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara dilakukan diluar pengadilan negara melalui perdamaian
atau arbitrase.
Di antara bentuk penyelesaian sengketa alternatif yaitu : negosiasi,
mediasi, dan arbitrase lebih banyak digunakan oleh para usahawan (dalam
dunia bisnis) Indonesia untuk menyelesaikan perselisihan terutama dalam
perjanjian kerjasama dengan orang asing karena yang dituntut oleh dunia
bisnis adalah penyelesaian yang bersifat sederhana, cepat, dan berbiaya
ringan. Selama ini, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi sangat
lamban, berbiaya mahal, tidak resposif, keputusannya tidak menyelesaikan
masalah, dan kemampuan hakim pun bersifat generalis. Oleh karena itu,
penyelesaian alternatif ini perlu dikembangkan dan dimantapkan, supaya
semua perkara tidak harus diselesaikan lewat pengadilan.
59



59
http://www.nugadhit.blogspot.com/2009/10/litigasi-atau-non-litigasi.html


39
Bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan :
a. Negosiasi
Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering kita dengar padanannya
dengan istilah berunding atau bermusyawarah. Kata negosiasi berasal
dari kata negotiation yang berarti perundingan. Sedangkan orang yang
mengadakan perundingan disebut negosiator. Secara umum negosiasi dapat
diartikan sebagai suatu bentuk upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif. Di sini, para pihak
berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan
yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka.
Menurut Joni Emirson, dalam bukunya menjelaskan bahwa :

Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian
dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis
dan bervariasi, serta bernuansa sebagaimana keadaan atau yang dapat
dicapai orang.
60


b.Mediasi
Mediasi atau dalam bahasa inggris disebut mediation adalah penyelesaian
sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang menjadi
penengah.
61

Adapun mediasi menurut Joni Emirson adalah :



60
Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,
Konsolidasi, dan Arbitrase), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 44


61
Sadad Fahmi, Kamus Inggris-Indonesi, Indonesia-Inggris, (Surabaya : Karya Ilmu, 1990),
hal 377.


40


Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi atau
pihak ketiga yang dapat diterima tidak berpihak dan netral yang tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai
kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang
disengketakan.
62


Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu perselisihan sebagai penasehat.
63
Dari beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak
dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
fasilisator untuk terlaksananya dialog para pihak dengan suasana keterbukaan,
kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain,
proses mediasi pemecahan masalah adalah proses dimana pihak luar yang
tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
c. Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu usaha mempertemukan keinginan pihak yang
berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan.
64

Konsolidasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang


62
Joni Emirson, op cit., hal 67


63
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), hal 223


64
Joni Emirson, op cit., hal 90


41
bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak
secara negoisasi.
65

Menurut Oppenheim, konsolidasi adalah :

Proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu
komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan
fakta-fakta (biasanya setelah mendengar para pihak dan
mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat
usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut
tidak mengikat.
66




d. Arbitrase (Arbitration)
Joni Emirson dalam bukunya Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase) menjelaskan
bahwa :

Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh
seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama
ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan
lewat pengadilan.
67


Dengan demikian pada dasarnya arbitrase ini merupakan suatu proses
penyelesaian sengketa antar para pihak yang dilakukan secara musyawarah
dengan menunjuk pihak ketiga sebagai penegah atau wasit, berikutnya
dituangkan dalam salah satu bagian kontrak. Dan selanjutnya diatur dalam


65
Ibid.


66
Ibid, hal 91


67
Ibid, hal 97


42
Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa.
Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999, Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa atau perkara perdata di luar pengadilan yang
berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
68



















68
Indonesia, Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, (www.legalitas.org/), Pasal 1 angka (1)


43


BAB III
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA
TERHADAP HILANGNYA BAGASI PENUMPANG
A. Sengketa Yang Timbul Antara PT. Garuda Indonesia Dengan dr.
Budiyanto
Angkutan udara dewasa ini semakin berkembang karena angkutan udara
dinilai merupakan alat transportasi yang cepat dan efisien. Tetapi disamping
kelebihan tersebut terdapat juga kekurangan yaitu sering terjadi kehilangan
bagasi yang dibawa penumpang, hal ini disebabkan karena kesalahan petugas
dari pengangkutan udara karena kurang teliti menjaga barang penumpang.
Kesalahan tersebut tidak hanya terjadi pada dr. Budiyanto sebagai penumpang
tetapi juga terhadap penumpang yang lain. Hal itu dikemukakan dr. Budiyanto
dalam warta konsumen
69
Pada hari Kamis tanggal 20 April 2006 dr. Budiyanto beserta rekan
berangkat ke Medan dengan pesawat GA 194, pukul 17.00 (kode booking
Q7HPRQ). Waktu check-in kami sepakat menyatukan bagasi kami atas satu
nama. Alangkah menjengkelkan saat di Medan Ternyata satu bagasi berisi
pakaian dan buku penumpang tidak ditemukan. dr. Budiyanto lalu
mengadukan kehilangan bagasinya. Setelah mengisi formulir kehilangan


69
Keluhan Konsumen, Warta Konsumen, Seri Konsumen Dengan Judul Garuda Indonesia
Telat Berangkat, Jakarta, Mei 2006
43


44
bagasi, petugas tidak dapat memberikan informasi yang jelas kemana bagasi
yang lenyap
Sama halnya dengan bagian Loss and Found di Jakarta dan Garuda
Centre yang tak satupun mengetahui keberadaan bagasi saya. Padahal bagasi
itu berisi sebagian buku dan pakaian yang akan digunakan keesokan harinya.

B. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sebagai Pihak Ketiga Dalam
Penyelesaian Sengketa Antara PT. Garuda Indonesia Dengan dr.
Budiyanto
70

Dalam penyelesaian sengketa antara PT. Garuda Indonesia dengan dr.
Budiyanto, juga melibatkan pihak ketiga yaitu Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) sebagai penengah dalam mendamaikan kedua belah pihak.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 UU No.8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
71
proses serta mekanisme penanganan
pengaduan di YLKI melalui beberapa cara:
Pertama, cara yang dapat dilakukan untuk mengadu adalah melalui
telepon, surat atau dating langsung. Pengaduan melalui telepon dikategorikan
menjadi dua, yaitu (1) hanya meminta informasi atau saran, maka telepon itu
cukup dijawab secara lisan pula dan diberikan saran pada saat itu dan selesai
(2) pengaduan untuk ditindaklanjut. Jika konsumen meminta pengaduannya
ditindaklanjuti, maka si penelepon diharuskan mengirimkan surat pengaduan


70
Hasil wawancara dengan YLKI, Lampiran III


71
Indonesia, Undang- Undang Perlindungan Konsumen, op.cit., Pasal 47


45
secara tertulis kepada YLKI yang berisi: (a) kronologis kejadian yang dialami
sehingga merugikan konsumen (b) wajib mencantumkan identitas dan alamat
lengkap konsumen. Kalau ada nomor telepon perlu disertakan juga dengan
tujuan untuk memudahkan komunikasi. Jika dalam proses administrasi ada
yang tidak lengkap, konsumen dapat segera diberitahu untuk melengkapinya.
Pengadu/konsumen juga harus mencantumkan nama dan alamat pelaku usaha
jika ada; dan (c) menyertakan barang bukti atau fotocopy dokumen pelengkap
lainnya.
Kedua setelah surat masuk ke YLKI, resepsionis meregister semua surat-
surat yang masuk secara keseluruhan (register I). Selanjutnya surat diberikan
kepada Pengurus Harian untuk didisposisi ke masing-masing bidang di YLKI.
Untuk surat pengaduan konsumen, isi disposisi dari Pengurus Harian
setidaknya ada tiga yaitu (a) ditndaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti (b) bukan
sengketa konsumen (c) bukan skala prioritas. Untuk surat pengaduan
didisposisi ke bidang Pengaduan dan dilakukan register II khusus untuk
pangaduan konsumen sebagai data pengaduan. Adapun register tersebut
meliputi nomor urut, nomor register dan komoditas pengaduan konsumen,
nama dan alamat konsumen, nama dan alamat pelaku usaha, permasalahan dan
keterangan. Selanjutnya surat pengaduan yang sudah deregister tersebut
diserahkan kepada personil masing-masing yang menangani komoditi
tersebut.
Ketiga, setelah surat sampai ke personil yang menangani maka dilakukan
seleksi administrasi oleh personil pengaduan. Seleksi administrasi disini


46
berupa kelengkapan secara administrasi yaitu nama dan alamat lengkap
konsumen, data atau dokumen yang disertakan. Jika hal ini belum lengkap,
maka personil melakukan kontak melalui telepon atau korespondensi ke
konsumen untuk melengkapinya. Jika memang sudah lulus seleksi
administrasi dan dirasa cukup, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh
personil Bidang Pengaduan adalah seleksi substansi dari pengaduan tersebut
dan lebih memprioritaskan kepada (a) pengaduan konsumen akhir. Adapun
dasar hukum yang digunakan YLKI untuk mendefinisikan konsumen akhir
adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 UUPK Nomor 8
Tahunkonsumen akhir adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2
UUPK Nomor 8 Tahun 1999 yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/ataau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik untuk kepentingan
dirinya sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
72
(b) bukan masalah persaingan bisnis (c) konsumen yang
tidak mampu secara sosial ekonomi dan tidak mempunyai akses informasi
yang cukup (d) konsumen tidak melibatkan pihak ketiga. Artinya dalam
penyelesaian kasus ini konsumen tidak menggunakan jasa pengacara. (e) jika
diketahui konsumen menggunakan atau didampingi pengacara, maka YLKI
menyampaikan kepada konsumen kembali. Dengan demikian YLKI dapat
menangani kasus lain.
Langkah yang selanjutnya setelah proses administrasi dan analisis
substansi, yaitu korespondensi kepada pelaku usaha dan istansi yang terkait


72
Ibid., Pasal 1 butir (2).


47
sehubungan dengan pengaduan konsumen. Pada tahap pertama korespondensi
biasanya adalah meminta tanggapan dan penjelasan mengenai kebenaran dari
pengaduan konsumen tersebut. Di sini YLKI memberikan kesempatan dan
mendengarkan dari kedua belah pihak yaitu versi konsumen dan versi pelaku
usaha. Tidak jarang juga dengan adanya korespondensi ini kasus dapat
diterima masing-masing pihak dengan memberikan jawaban surat secara
tertulis kepada YLKI, yang isinya permintaan maaf kepada konsumen dan
sudah dilakukan penyelesaian langsung kepada konsumennya. Bila demikian,
maka kasus dinyatakan selesai setelah mendapat informasi dari pihak yang
bersengketa.
Namun demikian,. Tidak menutup kemungkinan dalam korespondensi ini
masing-masing pihak tidak menjawab persoalan dan bersikukuh dengan
pendapatnya. Dalam kondisi seperti ini YLKI dituntut agar dapat mengambil
inisiatif dan pro aktif untuk menjadi mediator. YLKI kemudian membuat surat
surat untuk mediasi kepada para pihak yang bersengketa untuk mencari solusi
terbaik. Inisiatif untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan
YLKI sebagai fasilitator, bisa juga berasal dari pelaku usaha atau konsumen
dengan memperhatikan kasus per kasus.
Yang menjadi dasar hukum digunakannya proses mediasi terdapat dalam
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa sengketa dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternative penyelesaian sengketa
73
, maksudnya dalam
hal ini mediasi. Pada saat proses mediasi dibuka, sebelumnya sebagai


73
Indonesia, Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, op. cit., Pasal 6
ayat (1).


48
mediator, YLKI menanyakan siapa saja yang akan hadir pada saat mediasi
dari masing-masing pihak.
74

Sasaran pertama yang dituju adalah pelaku usaha. YLKI akan
menanyakan siapa yang ditujnjuk sebagai wakil pelaku usaha dalam proses
mediasi, apa jabatan/posisinya, dan apakah wakil tersebut punya kapasitas
untuk mengambil keputusan dalam kasus tersebut. Jika ternyata sang wakil
tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengambil keputusan, maka untuk
menghindari terjadinya kesalahan intepretasi, akan dilakukan sebagai
konsultasi/ pembicaraan agar pelaku usaha menghadirkan wakil yang
mempunyai kapasitas sebagai pengambil keputusan. Dengan demikian, kasus
dapat diharapkan dapat selesai dengan hanya satu pertemuan saja, melalui
opsi- opsi yang diputuskan dan disepakati bersama oleh para pihak yang
bersengketa.
Setelah YLKI mendapat nama dan alamat dari para pihak yang
bersengketa serta bertemu dengan mereka, selanjutnya sebagai mediator,
YLKI akan menjelaskan kepada para pihak apa itu mediasi dan tujuan
diadakannya mediasi tersebut. Setelah duduk bersama, YLKI kemudian
memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan
duduk perkara yang sebenarnya tanpa boleh dipotong oleh pihak lain sebelum
pihak pertama selesai memberikan penjelasan. Setelah masing-masing pihak
selesai menyampaikan masalahnya, maka YLKI memberikan waktu untuk


74
Hasil wawancara dengan YLKI.


49
klarifikasi dan koreksi tentang apa yang telah disampaikan oleh masing-
masing pihak.
Setelah permasalahannya diketahui, maka masing-masing pihak berhak
menyampaikan opsi atau tuntutan yang diinginkan, sekaligus melakukan
negosiasi untuk mencapai kesepakatan. Apabila telah dicapai kesepakatan,
maka isi kesepakatan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara
Kesepakatan.
75
Tahap akhir dari proses mediasi adalah mengimplementasikan
hasil kesepakatan.
Dalam melakukan penyelesaian kasus secara mediasi, ada dua
kemungkinan yang bisa terjadi yaitu (1) kesepakatan tercapai artinya selesai;
(2) tidak terjadi kesepakatan alias deadlock. Namun proses mediasi lebih
efektif dan memudahkan untuk segera terselesaikannya kasus yang ada.

C. Prosedur Penuntutan Ganti Kerugian Penumpang kepada PT. Garuda
Indonesia
PT. Garuda Indonesia yang bergerak dibidang angkutan udara
memberikan pelayanan angkutan udara mulai dari keberangkatan dan
kedatangan orang-orang yang menggunakan jasa penerbangan. Pelayanan
dibidang ini tidak bias dianggap mudah, sebab melayani orang-orang yang
beraneka ragam latar belakangnya.
Kekeliruan pelayanan terhadap penumpang terutama terjadi pada bagasi
mereka. Khususnya bagasi yang diserahkan pada pihak Perusahaan


75
Indonesia, Undang-undang Arbitrase Dan Alternatif penyelesaian Sengketa, op. cit., Pasal
6 ayat (2


50
Pengangkutan Udara terkadang sulit untuk dapat diterima oleh pengguna jasa
tersebut.
Seringkali kedapatan bagasi penumpang hilang, tertukar, label, salah kirim,
label bagasi tidak ada, atau isi bagasinya hilang atau kurang. Biasanya mereka
langsung menuntut pada Airlines yang mereka gunakan. Dalam hal ini yang
bertanggung jawab adalah bagian Lost and Found yang bertugas menagani
bagasi penumpang.
Kerugian dengan terjadi klaim bagasi, selain harus mengganti biaya
kehilangan ataupun kerusakan bagsivpenumpang, juga mengakibatkan kesan
yang kurang baik di kemudian hari.
PT. Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang bergerak dibidang jasa
angkutan udara, terus meningkatkan mutu pelayanan dan kemampuan serta
disiplin para pegawainya dalam menangani bagasi penumpang, kemungkinan
bagasi hilang atau rusak dan lain sebagainya dapat lebih ditekan. Sehingga
pelayanan jasa terhadap para wisatawan yang akan dating lebih baik dan
menimbulkan kesan yang baik pula. Hal ini sangat penting bagi pengguna jasa
penerbangan pada umumnya.
Macam-macam bagasi menurut Felix Hadi Mulyanto, adalah sebagai
berikut :
1. Checked Baggage
Bagasi yang di check atau dicatat, dan diserahkan kepada airlines
(pengangkut) untuk ditimbang dan dimasukkan kedalam ruang


51
bagasi. Bagasi ini menjadi tanggung jawab pengangkut yang mana
dikeluarkan labl bagasi tertentu atau tercatat sebagai tanda terima.
2. Unchecked Baggage
Bagasi yang boleh dibawa masuk kedalam cabin pesawat untuk
keselamatan dan kegunaan penumpang, pada waktu check in
diberitahu untuk tidak membawa bagasi cabin lebih dari satu
potong sebagai pembatasan. Setiap bagasi cabin yang dibawa
penumpang untuk masuk didalam cabin harus melewati security
check terlebih dahulu. Setiap bagasi cabin besarnya tidak boleh
lebih dari 115 cm/45 cm yaitu dengan perincian ukuran 56 cm + 36
cm + 23 cm ( panjang + tinggi + lebar ) sehingga dapat diletakkan
dibawah kursi penumpang atau dibagian atas ditempat
penyimpanan tas. Dengan begitu akan membuat penumpang lebih
nyaman duduk sehingga dapat menikmati perjalanan.
3. Carry On Baggage
Bagasi yang boleh dibawa penumpang masuk kedalam pesawat (
cabin) selain bagasi yang telag disebutkan diatas, abarang-barang
tersebut antara lain :
a. Sebuah tas tangan wanita, dompet wanita
b. Sebuah mantel, slayer, atau selimut
c. Payung atau tongkat untuk alat Bantu
d. Kamera kecil atau sepasang teropong
e. Beberapa buku bacaan untuk dibaca selama penerbangan


52
4. IATA ( International Air Transport Association)
Free artcle atau barang-barang yang boleh dibawa masuk kedalam
cabin menurut peraturan IATA adalah :
a. Tas tangan wanita, buku bacaan saku, dompet
b. Bahan bacaan yang masuk akal untuk dibaca selama
penerbangan
c. Patung atau tongkat untuk jalan
d. Baju tebal atau selimut
e. Makanan bayi untuk persediaan selama perjalanan

Adapun prosedur-prosedur untuk melacak bagasi yang
dilaporkan hilang memerlukan tindakan-tindakan berikut :
1. Gunakan formulir standar PIR untuk mencatat data mengenai
bagasi yang kurang atau hilang
2. Catatlah keterangan-keterangan yang terperinci mengenai
penumpang, rute perjalanannya bagasi yang dinyatakan hilang
serta klaim tag yang relevan
3. Gunakan daftar pengenalan bagasi atau airline baggage
indentifikation chart untuk mengenali bagasi yang kurang atau
hilang dan mempersilahkan penumpang yang bersangkutan untuk
mengenali bagasi dan selanjutnya kita catat nomor sandi
pengenal bagasi bersangkutan pada formulir PIR


53
4. sebelum mengirim berita kehilangan, terlebih dahulu diadakan
pengecekkan kembali dipesawat dan sekitarnya, areal
penerimaan bagasi penumpang maupun gudang penerimaan
barang muatan kargo.
5. mengirim berita keseluruh stasiun udara yang berhubungan
dengan rute perjalanan penumpang dari stasiun udara
keberangkatan, termasuk stasiun-stasiun udara sepanjang rute
perjalanan.
PT. Garuda Indonesia memberikan pelayanan jasa kepada
penumpang dan bagasinya yang disebut dengan Post Flight Service.
Adapun pelayanan ini meliputi :
1. Disembarking (Pendaratan)
Setelah pesawat mendarat, penumpang memasuki exit gate menuju
arrival hall untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan di
Post Health and Immigration Counter, dan pada saat yang sama
bagasi telah diturunkan dan diletakkan pada ban berjalan (convoyer
belt).
2. Baggage Delivery (Penyerahan Bagasi)
Penumpang mengambil bagasinya masing-masing, selanjutnya
mereka
Memeriksa bagasinya pada Bea dan Cukai. Penumpang dapat


54
menggunakan jalur hijau jika penumpang tidak membawa barang
yang tidak perlu diberitahukan, dan jika membawa melalui jalur
merah.

Dalam praktek seorang penumpang melalui ketidakberesan terhadap
bagasinya, PIR akan dikeluarkan sebagai bukti bahwa penumpang
tersebut telah melaporkan tentang kehilangan bagasi atau kerusakan lain. Bila
sampai batas waktu tertentu penumpang belum mendapatkan bagasinya yang
hilang, maka PIR tersebut merupakan bukti untuk melaksanakan ketentuan
ganti kerugian kepada perusahaan penerbangan.
Adapun syarat-syarat pengisian PIR adalah sebagai berikut :
1. Nomor Baggage claim tag
2. Nomor passenger ticket
3. Nomor excess baggage tiket bila diperlukan
4. Penumpang terdaftar dimanifest penumpang
5. Pada saat klaim diajukan, penumpang belum meninggalkan terminak
kedatangan
Dalam praktek yang lama diketahui adalah ketidakberesan bagasi harus
dilaporkan sebelum meninggalkan ruang kedatangan. Bila telah keluar dari
tempat ini, maka pengaduan akan ditolak. Dalam pengisian PIR diperlukan
tiga lembar, yang berfungsi untuk :
1. lembar 1 berwarna putih untuk bagian Claim Department Jakarta
2. lembar 2 berwarna merah muda untuk penumpang


55
3. lembar 3 berwarna hijau untuk data Lost and Found
Setelah membuat PIR, penumpang menunggu pengurusan bagasi, apakah
bagasi tersebut hilang, tertukar, salah label, dan lain-lain. Apabila sudah jelas
bagasi tidak dapat ditemukan, maka penumpang yang bersangkutan diberikan
ganti rugi. Adapun ganti rugi yang diberikan Lost and Found PT. Garuda
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan bagasi
Ganti rugi diberikan berdasarkan kelas dan system dengan berat
per kilogram. Dan batas waktu pencarian bagasi adalah 15 hari dari
tanggal pelaporan. Adapun penggantian kehilangan sebesar :
a. untuk sektor Domestik maksimal IDR 100.000/kg
b. untuk sector Internasional US $ 20/kg
Untuk selanjutnya dalam batas waktu yang ditentukan, penumpang berhak
membuat tuntutan ke perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Apabila
penumpang berkeberatan atas penggantian biaya tersebut, maka diminta
menulis surat untuk diteruskan ke JKTLZGA untuk mendapat persetujuan
keberatan tersebut. Apabila disetujui, penumpang dapat mengambil
penggantian tersebut kebagian Baggage Department dengan menunjukkan
copy PIR, tiket, dan paspor.
2. Kerusakan bagasi
Untuk penumpang yang bagasinya rusak, dan kerusakannya memang
disebabkan selama pengangkutan berlangsung, maka penggantiannya
sama dengan kehilangan bagasi, yaitu :


56
a. untuk sektor Domestik maksimal IDR 100.000/kg
b. untuk sector Internasional US $ 20/kg
3. Kehilangan sebagian isi dari bagasi
Bagian Lost and Found PT. Garuda Indonesia akan memberikan biaya
penggantian dengan menimbang kembali apakah benar berat bagasi
befrkurang atau tidak, sesuai dengan berat yang tertera di claim tag.
Apabila ternyata isi bagasi kurang maka akan diberikan biaya penggantian
sesuai dengan ketentuan :
a. untuk sektor domestik, selisih dari berat bagasi yang hilang maksimal
IDR 100.000/kg
b. untuk sektor internasional, selisih dari berat bagasi yang hilang US $
20/kg
4. Bagasi terlambat
Bagasi yang terlambat yang disebabkan pada waktu check in atau saat
bagasi diturunkan dari kompartemen bagasi. Bila bagasi penumpang sudah
ditemukan, maka staff Lost and Found akan menginformasikan kepada
penumpang tersebut dan mengirimkannya ke alamat sesuai permintaan.
Setelah bagasi diterima, maka penumpang akan diminta menandatangani
formulir penyerahan bagasi.






57


BAB IV
ANALISIS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN
UDARA TERHADAP BAGASI PENUMPANG PADA PT
GARUDA INIDONESIA

A. Ketentuan Hukum Dalam MengaturTanggung Jawab Pengangkutan
Udara Terhadap Bagasi Penumpang Dalam Pengangkutan
Adapun ketentuan hukum yang terkait dengan tanggung jawab
pengangkut udara terhadap hilangnya bagasi penumpang.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
a. Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat dan untuk tidak berbuat sesuatu.
b. Pasal 1236KUHPerdata, yaitu pengangkut wajib memberi ganti rugi
atas biaya dan rugi bunga yang layak harus diterima, bila tidak dapat
menyerahkan atau tidak merawat sepantasnya untuk menyelamatkan
barang-barang angkutan
c. Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
57


58
3) Suatu hal tertentu,
4) Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis berpendapat bahwa KUHPerdata
memberikan dasar hukum berkaitan dengan tanggung jawab pengangkutan
melalui perikatan/perjanjian antara dua pihak. Apabila keduanya sepakat
dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalm KUHPerdata
maka terjadilah perjanjian keduanya dan sah di mata hukum.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen:
a. Pasal 1 ayat (1) perlindungan konsumen yaitu segal sesuatu yang
menjaminadanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan
kepada konsumen.
b. Pasal 4 tentang hak konsumen adalah:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/ jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atau barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;


59
6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminaif;
8) Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yamg lain .
c. Pasal 5 tentang kewajiban konsumen adalah :
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melaukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
d. Pasal 6 tentang hak pelaku usaha :
1). Hak untuk menerima pembyaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2). Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;


60
3). Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di
dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4). Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5). Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
e. Pasal 7 tentang kewajiban pelaku usaha :
1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;


61
7). Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian dan/atau
jasa yang diteirma atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
f. Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 49 ayat (1) jo. Pasal 52 butir a
tentang penyelesaian sengketa konsumen.
Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen memberikan kepastian hokum dan
perlindungan kepada konsumen, namun konsumen harus memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999. Apabila kewajiban dipenuhi maka hak konsumen dilindungi.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan :
a. Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan bahwa badan usaha
Bandar udara yang melakukan kegiatan angkutan udara bertanggung
jawab atas kematian atau lukanya penumpang yang diangkut dan
musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut serta
keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut
apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
b. Pasal 240 ayat (3) menyatakan bahwa resiko atas tanggung jawab
terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1)
wajib diasuransikan.





62
4. Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara :
a. Pasal 42 menyatakan bahwa perusahaan angkutan udara yang
melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung
jawab atas :
1). Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut,
2). Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut,
3). Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang
diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan
pengangkut.
b. Pasal 44 ayat (1) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat,
termasuk kerugian karena kelambatan dibatasi setinggi-tingginya
Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.
c. Pasal 44 ayat (2) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin,
karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya
Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap penumpang
d. Pasal 44 ayat (3) yaitu jumlah ganti rugi untuk kerugian kargo, termasuk
kerugian karena kelambatan, kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-
tingginya Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.
5. Ordinansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonantie-Staatblad 1939
Nomor 100.
a. Pasal 25 ayat (1) yaitu pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian
yang terjadi sebagai akibat dari kemusnahan, kehilangan atau kerusakan


63
bagasi atau barang bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu
terjadi selama pengangkutan udara.
b. Pasal 25 ayat (2) yaitu pengangkutan udara seperti yang dimaksud oleh
ayat diatas, meliputi juga waktu bagasi atau barang tersebut berada
dibawah pengawasan pengangkut; baik dilapangan terbang atau dimana
saja dalam hal pendaratan diluar lapangan terbang, atau dalam pesawat
terbang.
c. Pasal 25 ayat (3) yaitu waktu pengangkutan udara tidak meliputi
pengangkutan di darat, laut atau sungai, yang dilaksanakan diluar suatu
lapangan terbang. Akan tetapi bila pengangkutan semacam ini
dilakukan untuk melaksakan suatu persetujuan pengangkutan udara,
dalam hubungan dengan pemuatan, penyerahan atau pemindahan
muatan, maka pengangkut bertanggung jawab untuk semua kerugian,
seolah-olah kerugian ini timbul sebagai akibat dari suatu kejadian
selama pengangkutan udara; kecuali pengangkut dapat membuktikan
bahwa kerugian itu adalah akibat dari suatu kejadian yang tidak terjadi
selama pengangkutan udara.
d. Pasal 26 yaitu ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena
barang atau bagasi hilang seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan
dengan harga dari barang yang sama macam dan sifatnya ditempat
tujuan, pada waktu barang atau bagasi seharusnya diserahkan, dengan
dikurangi jumlah uang yang karena kehilangan itu tidak perlu
dibayarkan untuk biaya-biaya dan untuk pengangkutan.


64
e. Pasal 27 yaitu pada kerusakan barang atau bagasi harus dibayarkan
sebagai ganti kerugian jumlah uang, yang diperoleh dengan mengurangi
harga yang dumaksudkan dalam pasal 26 dengan harga barang yang
rusak dan beda ini dikurangi dengan jumlah uang yang karena
kerusakan ini tidak usah dibayarkan dengan biaya-biaya dan untuk
pengangkutan. Ordinansi Pengangkutan Udara 1939 memberikan
pembatasan pertanggung jawaban kepada pengangkut, dan juga
mengenai hak penumpang yang dirugikan.
Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ketentuan-
ketentuan tersebut sudah dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pengangkut dan penumpang dalam hal hilangnya bagasi penumpang
karena ketentuan tersebut diatas telah mengatur mengenai hak dan
kewajiban para pihak, yaitu baik pengangkut maupun penumpang.
Selain itu, penulis juga melihat adanya keharmonisan antara satu
ketentuan dengan ketentuan lain sehingga tidak ada tumpang tindih atau
bertentangan satu sama lainnya yang dapat melemahkan salah satu
ketentuan tersebut.
B. Cara Penyelesaian Sengketa Yang Terjadi Antara PT. Garuda Indonesia
Dengan dr. Budiyanto
76

Berdasarkan kasus posisi yang dikemukakan berikut dapat dilihat dari
proses yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa. Penumpang Garuda
Indonesia turun dari pesawat, setelah mengurus surat-surat pada Port Health


76
Lihat hasil wawancara dengan YLKI


65
and Imigration, ia menuju Conveyor-belt untuk mengambil bagasi. Setelah
hamper semua meninggalkan terminal, ternyata bagasi penumpang tersebut
memang tidak ada. Kehilangan bagasi seperti diatas dapat terjadi karena
berbagai sebab, antara lain :
1. Kesalahan memasang label
2. Tag hilang
3. Tidak ada tag di tempat tujuan
4. Dimuat dalam container dan pesawat yang salah
5. Mengapalkan barang dalam waktu singkat
6. Perjalanan yang tidak bersambung
7. Kesalahan mengambil oleh penumpang lain
8. Check in di saat check in counter akan ditutup
Setelah bagian lost and found menerima pengaduan dari dr. Buditanto dan
telah memenuhi prosedur maka petugas lost and found akan melakukan
pencarian atas bagasi yang hilang tersebut. Dan apabila hasil tracing
menyatakan bahwa bagasi tersebut tidak ditemukan maka penumpang akan
diberikan ganti kerugian oleh PT Garuda Indonesia.
Adapun prosedur penanganan kehilangan bagasi yang dilakukan oleh
pengangkut adalah sebagai berikut :
Tindakan yang harus dilakukan adalah :
Ketika penumpang melaporkan kehilangan bagasi di Arrival Hall tempat
tujuan, ia harus melaporkan kebagian Lost and Found yang bersangkutan
secepatnya, yaitu :


66
1. Mengisi PIR,
2. Memulai pemeriksaan pada ruangan bagasi setempat di tempat penyortiran
bagasi,
3. Jika pencarian di sekitar tanpa hasil maka kirimkan pesan kehilangan
bagasi ke asal stasiun dimana bagasi dikirimkan dan ke stasiun-stasiun
lain. Jika bagasi masih belum ditemukan maka menginformasikan kepada
penumpang melalui telepon untuk memberitahukan bahwa ia harus segera
mengisi formulir tuntutan dan dikembalikan setelah ditandatangani
sebagaimana mestinya.
Dokumen untuk menuntut bagasi disertai dengan :
1. Formulir tuntutan atau surat tuntutan yang ditandatangani oleh
penumpang,
2. PIR
3. Tiket asli dan daftar nama penumpang,
4. Baggage claim tag asli
5. Semua salinan telex pencarian bagasi,
Setelah tuntutan disetujui oleh Airlaines, dilengkapi dengan :
f. Formulir pernyataan pembebasan barang,
g. Kwintansi (jumlah ganti yang dibayarkan)
Pada kenyataannya setelah dilakukan pencarian melalui mesin telex. Ada
dua kemungkinan jawaban terhadap penumpang yang mengalami kehilangan
bagasi, yaitu ditemukan atau hilang sama sekali. Tidak diketemukannya
bagasi kemungkinan bias terjadi karena:


67
1. Salah mengambil atau tertukarnya bagasi oleh penumpang lain dan karena
alasan-alasan tertentu ia tidak mengembalikan bagasi tersebut.
2. Bagasi dicuri orang.
3. Label hilang sama sekali \, biasanya barang yang berbentuk koper, bila
labelnya hilang akan sulit untuk mengidentifikasinya.
Bila saja sampai batas waktu yang telah ditentukan dan bagasi belum
ditemukan juga maka sesuai prosedur yang berlaku, penumpang yang
bersangkutan boleh mengajukan tuntutan. Untuk bagasi yang
diketemukan, secara normal bagasi itu dikirimkan melalui pesawat udara
yang akan mendarat di stasiun pengiriman pesan dengan dicantumi label
Rush. Langkah selanjutnya petugas Lost and Found memberikan
informasi kepada penumpang yang bersangkutan untuk mengambil
bagasinya melalui telepon atau surat.
Beberapa syarat yang harus diperhatikan untuk pengambilan bagasi
tersebut antara lain:
1. Membawa paspor (untuk penumpang Internasional) sebagai
identitas diri
2. Membawa salinan PIR yang diberikan pada waktu penumpang
melapor kehilangan bagasi.
3. Membawa surat kuasa bila pengambilan bagasi diwakilkan orang
lain.


68
4. Bila bagasi dalam bentuk koper, diharuskan membawa kunci
bagasinya, sebab sebelum keluar Arrival Hall, bagasi tersebut
harus diperiksa oleh petugas Bea Cukai.
Seperti halnya penanganan penumpang di bandara, penanganan bagasi
juga dilakukan pada saat keberangkatan (Baggage Handling Departurel)
ataupun pada saat kedatangan (Baggage Handling Arrival).
1. Penanganan bagasi keberangkatan
Penanganan bagasi keberangkatan dimulai pada saat penumpang tersebut
melakukan check in di Airport. Setelah bagasi ditimbangan dan dicatat lalu
dimasukkan kedalam system, kita harus menempelkan label tujuan dan nomor
claim tag bagasi tersebut. Bila bagasi itu ada label lama kita harus mencabut
label tersebut dan mengganti dengan label tujuan yang baru.
Jika dalam penimbangan beratbagasi penumpang ada yang melebihi dari
yang diizinkan, maka penumpang tersebut dikenakan biaya excess baggage
atau bagasi lebih. Untuk kelebihan bagasi ini penumpang diberikan excess
baggage tiket yang memuat berat total bagasi, berat yang diizinkan, dan berat
yang dikenakan biaya dari bagasi penumpang tersebut. Tiket bagasi lebih
tersebut tidak hanya diberikan kepada penumpang, copy dari tiket tersebut
nantinya akan dilaporkan kedalam laporan penjualan dokumen angkutan
domestic, untuk dikirim ke bagian administrasi dikantor kota. Bagasi-bagasi
tersebut setelah ditimbang dan diberi claim tag serta diberi label sesuai
tujuannya, kemudian diserahkan kepada porter untuk diangkut keatas baggage
cart untuk menunggu saat loading.


69
Bagan penjelasan diatas sebagai berikut :




























2. Penanganan Bagasi Kedatangan
Penanganan bagasi pada saat kedatangan dimulai ketika pesawat sudah
mendarat dalam posisi blok on, yaitu pesawat dalam keadaan tidak bergerak
dan ganjalan roda (whellchocks) telah terpasang. Selain itu pintu kopartemen
dapat segera dibuka dan semua barang-barang angkutan baik bagasi, kargo,
Baggage Handling
Departure
Baggage
Cargo
Mail
ATP

LOADING
SMU
AWB
Check-in Counter
Gudang A/P
Manifest Muatan
Timbang
Label and Tag


70
atau mail segera dikeluarkan (unload) kemudian diangkut ke atas baggage
cart.
Bagasi-bagasi yang diturunkan ini setelah diangkut keatas baggage cart
langsung dibawa ke bagian claim area, yaitu suatu ruangan dimana para
penumpang dapat mengambil bagasinya. Penumpang yang hendak mengambil
bagasi dapat menunjukkan claim tag yang dimilikinya untuk diberikan kepada
petugas agar bagasinya segera diberikan.

Baggage Handling
Arrival



Arrival


Unloading














Setiap penumpang yang bepergian dengan pesawat udara baik domestik
maupun internasional mendapatkan hak untuk membawa sejumlah barang
tertentu atau bagasi tanpa di pungut biaya. Bagasi untuk penumpang
Baggage
Claim
Gudang
Airport
Directly Pick By
Mail Officer
Bagasi Kargo Mail


71
dibedakan menjadi dua yaitu bagasi yang dibawa sendiri ke kabin (cabin
baggage) dan bagasi yang dimuat dalam pesawat (checked baggage).
Setiap penyerahan bagasi oleh penumpang kepada petugas perusahaan
penerbangan, penumpang tersebut mendapat sebuah label disebut baggage tag
(label bagasi) yang menyebutkan kota tujuan dari penumpang tersebut.
Baggage tag ini merupakan bukti bagi penumpang atas barang yang sudah
diserahkan kepada perusahaan penerbangan sehingga tanggung jawab ada
pada perusahaan sampai dengan kota tujuan terakhir.
Tidak jarang seorang penumpang setelah tiba dibandara tujuan
melaporkan bahwa bagasinya tidak ditemukan (lost). Yang pertama dilakukan
apabila ada penumpang yang melaporkan bagasinya hilang adalah dengan
memeriksa kompartemen pesawat atau area sekitarnya, karena mungkin
bagasi tersebut belum diturunkan. Bila ternyata bagasi tidak ditemukan, maka
penumpang yang kehilangan bagasi itu harus memenuhi beberapa prosedur
sebelum petugas melekukan pencarian atas bagasi yang hilang terebut
(tracing).
Ada kehilangan bagasi yang menjadi tanggung jawab perusahaan
penerbangan dan ada pula yang buka merupakan tanggung jawab perusahaan,
artinya menjadi tanggung jawab penumpang itu sendiri. Pada kejadian dimana
koper penumpang ternyata dibongkar oleh petugas bongkar muat, maka
tanggung jawab terletak pada perusahaan penerbangan dan kepada penumpang
diberikan ganti rugi.


72
Petugas Lost and Found dalam menangani masalah ini dilihat dahulu
apakah penumpang yang kehilangan bagasi itu masih berada dilokasi
kedatangan atau belum keluar dari area tersebut dan petugas memeriksa
dahulu arrival hall dan baggage sorting.
Perusahaan penerbangan Garuda Indonesia menggunakan sistem
BAHAMAS (Baggage Handling Management System) dan WTC (Wolrd
Tracer) dalam proses pencarian barang yang hilang.berpusat di Atlanta
(ATL).
Penanganan yang tepat sesuai dengan prosedur yang berlaku, sedikit
banyaknya akan membantu mencegah terjainya barang penumpang. Berikut
ini langkah-langkah yang dilakukan bagian Lost and Found dalam menangani
bagasi yang hilang :
a. Penumpang melapor kebagian Lost and Found
b. Mencatat nomor label bagasi
c. Bila tidak ditemukan dibuatkan laporan hilang dengan mengisi formulir
Property Irregularity Report (PIR) dengan mencatat :
1) Nama, alamat penumpang, bagasi dan rute perjalannya
2) Ciri-ciri bagasi
3) Mencatat isi bagasi sesuai dengan daftar nama-nama barang yang
dibawa oleh penumpang
4) Nomor bagasi yang hilang
d. Mengirim berita kehilangan bagasi keseluruh stasiun yang berhubungan
dengan penerbangan penumpang.


73
e. Menghimpun bukti-bukti berita pelacakan sampai bagasi ditemukan atau
tidak ditemukan
Setelah data mengenai bagasi yang hilang sudah lengkap, petugas lost
and found dapat memulai tracing dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membuat AHL (Adyise Handling Lunggage), yaitu sebuah entry untuk
dikirim ke beberapa bandara dimana bagasi tersebut diperkirakan berada.
Entry ini berisi data-data lengkap mengenai bagasi tersebut, seperti tag
number, nama pemilik, serta deskripsi fisik dari bagasi tersebut.
b. Menunggu info dari bandara-bandara yang dikirimkan AHL.
c. Bila ternyata ada bandara yang memberitahukan ada kelebihan bagasi
ditempatnya yang sesuai dengan deskripsi AHL tadi, maka petugas
dibandara yang membuat AHL segera mengirimkan pesan untuk ke
bandara yang kelebihan tersebut dengan enrty ROH (Request On Hand
Baggage).
d. Menunggu kiriman bagasi tersebut sesuai dengan yang dijadwalkan oleh
bandara yang menemukan bagasi,
e. Setelah bagasi tersebut sampai di bandara yang kehilangan bagasi dan
pemilik bagasi telah menerimanya, maka petugas harus membuat sebuah
entry penutup (pada sistem komputer yang dimaksud), yang disebut CAH
(Close AHL File), yang menyatakan kasus tersebut telah selesai.
Sedangkan bila kita menemukan bagasi lebih (Found Baggage),
langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :


74
a. Membuat pesan atau entry yang disebut OHB (On Hand Baggage),
yang menyatakan bahwa stasiun kita memiliki bagasi lebih beserta
deskripsi bagasi tersebut.
b. Bila ada data AHL yang sesuai dengan OHB yang kita buat, maka
kita harus mengirim bagasi tersebut (forward) atas permintaan dari
bandara yang membuat AHL (ROH)
c. Bila kita mendapatkan pesan bahwa bagasi yang kita kirim diterima
dengan baik, maka kita harus melakukan enrty penutup yang disebut
COH (Close OHB File), yang sama tujuannya dengan CAH.
Untuk penumpang yang bagsinya hilang, batas waktu pencarian
adalah 15 hari dari tanggal melapor, bila bagasi selama 15 hari bagasi
tidak juga ditemukan, maka akan mendapat penggantian sebesar :
a. Penumpang yang ada pada saat kedatang tidak menerima atau
menemukan bagasi (tertinggal ditujuan lain, terlambat diterima),
diberikan First Need Compensation sebesar :
1. Penumpang pemegang tiket F (First) sebesar USD.100
2. Penumpang pemegang tiket C (Business) sebesar USD.75
3. Penumpang pemegang tiket Y (Economy) sebesar USD.50
b. Pemegang tiket internasional yang bagasinya dinyatakan hilang akan
mendapat ganti rugi berdasarkan kilogram sebesar USD.20/kilogram
c. Penumpang pemegang tiket domestik yang bagasinya dinyatakan
hilang atau rusak akan mendapat ganti rugi sebesar
Rp.100.000/kilogram


75
Untuk bagasi yang ditemukan, secara normal bagasi itu dikirimkan melalui
pesawat yang akan mendarat di stasiun pengirim pesan dengan dicantumkan label
Rush Tag, langkah selanjutnya petugas lost and found memberikan informasi
kepada penumpang yang bersangkutan untuk mengambil bagasinya melalui
telepon atau surat. Beberapa syarat yang harus diperhatikan untuk pengambilan
bagasi tersebut antara lain :
a. Membawa paspor (untuk internasional) sebagai identitas diri
b. Membawa salinan PIR yang diberikan pada waktu penumpang melapor
kehilangan bagasi
c. Membawa surat kuasa bila pengambilan bagasi diwakilkan
d. Bila bagasi dalam bentuk koper, harus membawa kunci bagasi sebab
sebelum keluar dari arrival hall bagasi tersebut harus diperiksa oleh
petugas Bea Cukai.
3. Proses penyelesaian Dalam Hal Penumpang Kehilangan Bagasi
Bila penumpang telah sampai di tempat tujuannya tidak menemukan
bagasinya maka penumpang harus melaporkan ke petugas Lost and Found yang
sedang berada di tempat pengambila bagasi penumpang dan akan langsung
menanyakan tentang asal dan tujuan penumpang tersebut dan petugas akan
melihat apakah kompartemen pesawat masih ada yang tertinggal, bila tidak ada
maka petugas akan membuatkan PIR (Property irregularity Report).
Selanjutnya memasukkan PIR tersebut kedalam sistem dan sistemnya akan
mencari sendiri, batas waktu pencarian bagasi tersebut adalah 15 hari dari
tanggal kehilangan. Sistem ini akan diterima oleh seluruh perusahaan


76
penerbangan yang berhubungan dengan Garuda Indonesia yang telah
melakukan kerjasama. Bila bagasi tersebut berada di stasiun lain maka stasiun
ini akan mengirimi ke stasiun yang mencarinya, dan jika tidak ada maka
penumpang dapat mengklain/menuntut ganti rugi ke perusahaan penerbangan
dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh perusahaan yang
dituntut.
Persyaratn yang harus dibawa untuk mengklaim/menuntut ganti rugi ke
pihak Garuda Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Menyerahkan Property irregularity Report (PIR)
b. Photo copy cover tiket, boarding pass dan copy tracing
c. Claim tag
d. Missing baggage questionnaire (berlangsung tanya jawab kepada
penumpang dan petugas yang mengisinya)
e. Claim Correspondence
f. Final release (surat pernyataan)
g. Voucher pembayaran
h. Claim settlement form (klaim yang harus ditanda tangani oleh Distric
Manager atau Station Manager).
Setelah penumpang memenuhi persyaratan diatas maka petugas mengisi
formulir penyelesaian klaim (clain settlement form). Berikut ini adalah contoh
pengisian formulir penyelesaian klaim :
a. Tanggal pembuatannya
b. Nomor klaim


77
c. Nama penuntut
d. Alamat penuntut
e. Bentuk klaim (kehilangan, keterlambatan, kerusakan, kecurian, dan
keluhan).
f. Merujuk nomor arsip
g. Nomor penerbangan yang gunakan penuntut
h. Tanggal penerbangan
i. Asal keberangkatan
j. Tempat tujuan
k. Berat bagasi pada waktu ditimbang di tempay check-in
l. Total uang klaim
m. Total uang dibayar
n. Konversi ke US $
o. Penjelasan tentang alasan penyelesaian klaim
p. Disiapkan oleh (tanda tangan staff)
q. Disetujui oleh (tanda tangan orang yang berwenang
Setelah penumpang melengkapi persyaratan yang telah ditentukan, maka
penumpang membawa persyaratan tersebut ke PT Garuda Indonesia
Gunung Sahari di bagian administrasi, disana penumpang akan
memndapatkan uang ganti rugi yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak.




78



BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
1. Ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab pengangkutan udara
terhadap bagasi penumpang adalah Undang-Undang No.1 Tahun 2009
tentang Penerbangan, Ordinansi Pengangkutan Udara Stb 1939-100
KUHPerdata pasal 1234, 1236 dan 1320 tentang Syarat sah perikatan dan
tanggung jawab pengangkutan dan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.40 Tahun 1995. selain itu perlindungan diberikan pula kepada
penumpang dengan mengikutsertakan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia sebagai lembaga yang menerima keluhan dari masyarakat
khususnya pengguna jasa angkutan udara.
2. Cara peneyelesaian sengketa yang terjadi antara PT Garuda Indonesia
dengan dr. Budiyanto dilakukan dengan cara mediasi. Dengan menggunakan
bantuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), karena pada
awalnya dr. Budiyanto menyampaikan keluhannya ke YLKI, setelah
melakukan pengaduan ke YLKI dan YLKI melakukan surat-menyurat
78


79
dengan PT Garuda Indonesia akhirnya ditanggapi dan kedua belah pihak
melakukan beberapa kali mediasi hingga tercapai kata sepakat atau damai
dan dr. Budiyanto mendapatkan ganti rugi sebesar Rp.1.000.000,00. atas
kerugian yang diderita. Hal ini mencerminkan bahwa pengangkutan udara
bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan.

B. Saran
1. Perlunya sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara karena masih banyak pengguna jasa angkutan yang tidak
tahu haknya dan kemana harus mengadu jika barang atau bagasinya hilang
2. Perlunya sosialisasi tentang tata cara pengaduan konsumen
3.YLKI harus lebih pro-aktif dalam kasus-kasus yang menimpa konsumen
khususnya pada bidang pengangkutan udara.
4. Perlunya pengetahuan yang lebih luas kepada petugas Lost and Found jika
ada penumpang yang kehilangan bagasinya dan bagaimana cara
menanganinya
5. Perusahaan pengangkutan udara hendaknya lebih tanggap jika ada keluhan
dari penumpang.






80

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Abdulkadir Muhammad., Hukum pengankutan Darat, Laut, dan Udara,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994)
G. kartaspoetra dan E. Roekasih., Segi-Segi Hukum Dalam Charter dan
Asuransi Angkutan Udara, (Bandung : Amico, 1982)
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Dasar-
Dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1995)
Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase), (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, buku
ketiga, (Jambatan, 1981)
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1985)
Suherman, E., Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara
dan Beberapa Masalah Lain dalam bidang Penerbangan,
(Kumpulan Karangan), (Bandung: penerbit alumni, 1979)
Soegijatna Tjakranegara., Hukum pengangkutan Barang dan Penumpang,
(Rineka Cipta, 1995)
Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Asuransi,
(Jakarta : Salemba Empat, 2003), hal 179


81

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
_______, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlindungan
Konsumen,
_______, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara.
_______, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
_______, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WetboekVan
Koophandel),
Garis Besar Haluan Negara,
Ordinasi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonannti Staatblad 1939
100),
Konvensi Warsawa Tahun 1929.

C. ARTIKEL
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, (Bandung : Majalah Padjajaran, No, ! jilid III,
1970, http://www.hukum-online.com/catalogue.nla.gov.au/Record/780670)










82
D. KAMUS

Sadad Fahmi, Kamus Inggris-Indonesi, Indonesia-Inggris, (Surabaya :
Karya Ilmu, 1990
E. INTERNET

http://www.hukum-online.com/catalogue.nla.gov.au/Record/780670)
http://www.nugadhit.blogspot.com/2009/10/litigasi-atau-non-litigasi.html
www.blogspot.com/ylki-penjelasan/Record/780670
www.indoskripsi.com
www.legalitas.org/

Anda mungkin juga menyukai