Anda di halaman 1dari 18

Tugas Ekologi Evolusi

Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Keanekaragaman hayati

Tomi Ariyanto 1306361141

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPOK 2013

1. Perubahan iklim 1.1 pengertian Perubahan iklim Perubahan iklim merupakan salah satu permasalahan terbesar global saat ini. Perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan suhu permukaan bumi dan perubahan curah hujan sangat berpengaruh terhadap seluruh kehidupan di permukaan bumi. Iklim yang berubah akan menyebabkan perubahan dalam berbagai proses dalam ekosistem yang secara langsung dapat menyebabkan gangguan terhadap kehidupan manusia dan seluruh keanekaragaman hayati. Menurut Parmesan dan Mattews (2006) secara umum, perubahan iklim disebabkan oleh perubahan peyimpanan dan penyebaran energi matahari di planet bumi. Radiasi matahari menuju bumi melewati atmosfer sebagai sinar UV gelombang pendek. Ketika gelombang pendek sinar UV mengenai bumi, gelombang tersebut akan berubah menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas tersebut dan sebagian lagi dipantulkan kembali ke atmosfer. Sebagian dari panas ini berwujud sebagai radiasi infra merah gelombang panjang yang menuju ke ruang angkasa. Keberadaan gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan energi panas tersebut terperangkap dan dipantulkan kembali ke permukaan bumi yang disebut sebagai efek rumah kaca. Gas-gas rumah kaca terdiri dari CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrogen dioksida), PFCS (perflurokarbon) dan lain-lain yang. Menurut Indrawan dkk (2007) secara alami efek rumah kaca menjaga bumii tetap hangat sehingga memungkinkan kehidupan di bumi. Namun saat ini akumulasi gas rumah kaca di atmosfer snagat tinggi sehingga menyebabkan bumi menjadi semakin panas dan memicu perubahan iklim. Peningkatan gas rumah kaca tersebut diakibatkan oleh aktifitas manusia yang menghasilkan emisi seperti transportasi, industri, pembukaan lahan dan peternakan. Salah satu dampak yang dihasilkan dari perubahan iklim adalah adanya peningkatan suhu permukaan bumi yang dikenal sebagai global warming atau pemanasan global (Indrawan dkk, 2007).

1.2. Pengukuran perubahan iklim Telah ditemukan beberapa fakta dan bukti mengenai perubahan faktor-faktor perubahan iklim. Menurut IPCC (2002) bukti-bukti hasil pengamatan telah menemukan beberapa hasil seperti perubahan pada komposisi atmosfer

(peningkatan konsentrasi karbondioksida dan metana di atmosefer), perubahan pada faktor ilkim bumi (perubahan suhu, curah hujan, tutupan es, permukaan laut, tingginya frekuensi cuaca ekstrem dan lain-lain) (tabel 1). Tabel 1. Indikator perubahan iklim yang telah diamati
Indikator Indikator konsentrasi 280 ppm periode 1000-1750, 368 ppm pada tahun Konsentrasi CO2 di Atmosfer 2000 (kenaikan 314%) 700 ppb periode 1000-1750 ke 1750 ppb pada tahun Konsentrasi CH4 di Atmosfer 2000 (kenaikan 15125%) 270 ppb periode 1000-1750 ke 315 ppb pada tahun Konsentrasi N20 di Atmosfer 2000 (kenaikan 175%) Menigkat 3515% dari tahun 1750 ke tahun 2000, Konsentrasi O3 di Troposferik bervariasi diantara regional Menurun Konsentrasi O3 di Stratosfer Indikator cuaca Suhu rata-rata global Suhu permukaan hemisfer utara Jumlah hari panas (heat index) Jumlah hari dingin (frost day) Curah hujan Meningkat antara 0.50.2 seama abad 20 Meningkat Meningkat Menurun selama abad 20 Meningkat 5-10% selama abad 20 di Hemisfer utara dan menurun di beberapa reginla seperti Afrika Utara, Afrika Barat dan di Mediterania dari tahun 1750-2000 bervariasi Perubahan yang teramati

berdasarkan ketinggian dan garis lintang

Sejak masa pra-idustri, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer meningkat seiring dengan aktifitas manusia, dimana gas tersebut mencapai titik tertinggi pada

tahun 1990-an dan sebagian besar terus meningkat. Selama periode 1750 sampai 2000 konsentrasi CO2 meningkat sebanyak 314% atau sebanyak 1,46 Wm-2. Penyebab utama dari peningkatan kadar karbondioksida tersebut adalah akibat dari pembakaran fosil, penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan. Hingga abad 19 dan abad 20, biosfer daratan global merupakan tempat sumber simpanan karbon (net carbon source) namun pada akhir abad 21 menjadi tempat hilangnya karbon ynag disebabkan karena kombinasi dari berbagai faktor. Peningkatan konsentrasi di atmosfer juga terjadi pada gas metana (CH4) dimana meningkat 15125% dari tahun 1750 sampai 2000 atau sebanyak 0,48 Wm-2 yang disebabkan oleh emisi dari pembakaran fosil, peternakan, pertanian dan lain-lain (IPCC, 2002).

Gambar 1. Catatan perubahan komposisi atmosfer selama satu mileniu terakhir yang menunjukkan peningkatan CO2 secara cepat yang menancai pertumbuhan industri sejak tahun 1750.

Selama abad 20 terdapat peningkatan panas pada daratan dan lautan secara konsisten. Pada 100 tahun terakhir, rata-rata terdapat peningkatan suhu permukaan bumi sebesar 0,60C (0,4-0,80C) (Parmesan dan Mattews, 2006). Penigkatan suhu terbesar terjadi di lintang tengah dan atas pada permukaan bumi bagian utara, permukaan tanah mengalami peningkatan lebih besar dari pada lautan dan suhu malam hari lebih meningkat dibandingkan pada siang hari. Sejak tahun 1950, peningkatan suhu permukaan laut setengah dari peningkatan rata-rata suhu permukaan tanah dan suhu minimum pada malam hari meningkat sebesar 0,20 C

per dekade dan dua kali lebih besar dari rata-rata peningkatan suhu maksimum di siang hari (IPCC, 2002). Curah hujan juga menunjukkan peningkatan selama abad 20 sebesar 5-10% di hemisfer utara tetapi di bagian subtropis mengalami penurunan sebesar 3%. Peningkatan suhu diperkirakan merupakan faktor yang menyebabkan perubahan curah hujan dan uap atmosfer karena adanya perubahan sirkulasi atmosfer, siklus hidrologi yang lebih aktif dan peningkatan kapasitas atmosfer dalam menyimpan air. Selain itu juga terjadi peningkatan frekuensi pada hujan lebat (50 mm dalam 24 jam) sebesar 2-4% pada hemisfer utara selama abad 20 (IPCC, 2002). Pengamatan perubahan iklim juga diketahui dengan adanya penurunan jumlah tutupan es, perubahan durasi beku pada danau dan sungai di bumi bagian utara dan peningkatan permukaan laut. Permukaan es di kutub utara yang diamati sejak tahun 1960-an mengalami penurunan sebesar 10% sedangkan penurunan durasi periode beku pada sungai dan danau di hemisfer utara sebesar 2 minggu. Selama abad 20 telah terjadi peningkatan permukaan air laut sebesar 1 -2 mm. Berdasarkan pengamatan peningkatan air laut tersebut sangat berhubungan dengan pemanasan global melalui ekspansi panas pada air laut dan berkurangnya tutupan es (IPCC, 2002). Selain itu perubahan iklim telah menyebabkan penurunan air di daerah aliran sungai di Niger, Danau Chad dan senegal sebesar 40-60%, kemunduran garis pantai berpasir sebesar 70% serta dapat menyebabkan hutan di Alaska mundur 100 Km ke arah utara untuk setiap kenaikan suhu 10C (McCarthy dkk, 2001). 2. Dampak Perubahan Iklim Pada Keanekaragaman Hayati 2.1. Keanekaragaman hayati dan Perubahan iklim Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman dari semua organisme hidup dari semua sumber, termasuk keanekaragaman diantara spesies, antar species maupun antar ekosistem. Keberadaan keanekaragaman hayati telah dibuktikan sangat berpengaruh dalam tingkat, besaran, arah dalam proses ekosistem esensial seperti polinasi, pengendalian penyakit dan hama pertanian, konservasi nutrient tanah dan penjernihan air (Guariguata, 2006). Keanekaragaman hayati memiliki peranan secara langsung dalam pengaturan iklim. Keanekaragaman hayati berpengaruh terhadap kemampuan eksosistem

daratan untuk menangkap karbon di atmosfer, pengaturan tingkat evapotranspirasi dan temperaturnya, yang semuanya berpengaruh terhadap iklim baik secara lokal maupun global. Keanekaragaman hayati mempengaruhi penyerapan karbon atmosfer yang utamanya ditentukan oleh karakteristik spesies. Karateristik species tersebut menentukan berapa banyak karbon yang mampu diserap dari atmosfer, berapa banyak karbon yang mampu ditahan dan berapa banyak karobon yang dilepaskan lagi ke dalam atmosfer (Guariguata, 2006). Hilangnya keanekaragaman hayati seperti melalui pembakaran dan

pembukaan hutan telah sangat berpengruh terhadap peningkatan pemanasan global melalui pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Sedangkan dengan adanya perubahan iklim juga dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dengan adanya perubahan distribusi, ukuran populasi, periode migrasi dan reproduksi, peningkatan hama dan penyakit bagi berbagai spesies (Guariguata, 2006). Menurut Boye dan Klingenstein (2006) perubahan iklim juga sangat berkaitan dengan peningkatan spesies invasive di Eropa Tengah. Sehingga keanekaragaman hayati dan perubahan iklim memiliki kaitan sangat erat dan saling mempengaruhi. 2.2. Dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati di ekosistem darat dan air tawar Perubahan iklim telah banyak berpengaruh terhadap pada keanekaragaman hayati baik secara biologis pada spesies maupun perubahan pada intensitas gangguan ekologis yang diterima. a) Perubahan pada komposisi ekosistem Hasil pengamatan di Jerman menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan komposisi vegetasi. Tumbuhan yang tumbuh di iklim Atlantis dengan musim dingin sedang akan dapat memperluas penyebarannya. Sebagai contoh tumbuhan English Holly (Ilex aquifolium) diperkirakan akan memperluas penyebarannya hingga dua kali lipat pada tahun 2050 dan dapat merubah vegetasi di hutan Jerman bagian timur. Perubahan pada komposisi vegetasi akan menyebabkan perubahan komposisi jenis tumbuhan dan hewan berdasarkan ketinggian. Beberapa jenis specialis di pegunungan atas di Alpin akan menghadapi kompetisi dengan beberapa jenis yang sebelumnya tidak ada di pegunungan atas (Walter dkk, 2005). Sebagai hasilnya jenis-jenis specialis pegunungan akan sangat terancam dan mengalami kepunahan. Hasil kedua adalah

hilangnya beberapa karakteristik tipe dan zonasi vegetasi secara biologis dan geografis (Boye dan Klingenstein, 2006). Salah satu permasalahan terhadap konservasi dari perubahan iklim adalah akan terjadinya peningkatan jenis-jenis asing dan invasive pada beberapa ekosistem. b) Perubahan periode biologis Perubahan dalam perubahan periode dalam berbagai proses biologis telah banyak diamati seperti perubahan pada periode reproduksi dan pertumbuhan pada spesies invertebrata yang secara normal hidup dalam kondisi sangat dingin akibat dari kondisi yang semakin menghangat pada musim gugur dan musim semi. Antara tahun 1978 dan 1984 terdapat dua jenis amphibi yang memulia musim bertelurnya lebih cepat 2 -3 minggu akibat peningkatan suhu lingkungan (IPCC, 2002). Brown dkk (1999) yang melakukan penelitian burung Aphelocoma ultramarina di Pegunungan Chiricuahua, sebeah selatan Arizona, menemukan bahwa antara 1971 hingga 1998 musim berbiak burung tersebut rata-rata maju 10 hari. Dunn dan

Walker (1999) melakukan penelitan pada lebih dari 3400 sarang Tachycineta bicolor untuk mengetahui waktu permulaan periode berbiak di 48 delapan bagian negara di Kanada. Dari data yang akurat yang dikumpulkan selama selama 24 tahun tersebut (1959-1991), terlihat bahwa waktu burung untuk bertelur memiliki korelasi yang kuat dengan temperatur rata-rata di bulan Mei dan rata-rata terjadi waktu peneluruan tersebut maju slama 9 hari. Salah satu periode biologis yang sangat terpengaruh dengan adanya perubahan iklim adalah perubahan waktu spesies migrasi. IPCC (2002) menyatakan bahwa pada serangga dan burung yang melakukan migrasi antara Amerika dan Eropa, komunitas tersebut terlalu cepat datang ke Amerika pada musim semi dan terlambat berangkat dari Eropa pada musim gugur. Di benua Asia dan Afrika juga terjadi beberapa kasus perubahan pola migrasi dari berbagai satwa. Parmesan dan Mattews (2006) juga mengungkapkan bahwa periode fenologi pada tumbuhan juga berubah yang sangat dipenagruhi oeh perubahan temperatur, perubahan photoperiode (jumlah hari cerah), perubahan pasang surut, iklim musiman (monsson) dan kedatangan spesies migran yang membantu penyerbukan. Memmott dkk (2007) melakukan simulasi pengaruh perubahan iklim terhadap

interaksi dalam penyerbukan menggunakan 1420 polinator dan 429 jenis tumbuhan.

Hasil dari penelitian tersebut bahwa terjadi perubahan fenologi dari tumbuhan dan mengacaukan waktu ketika terjadi overlapping antara bunga dan polinator. Hal tersebut meyebabkan 17-50% polinator mengalami kekurangan sumber daya pakan yang diprediksi akan menyebabkan kepunahan bagi polinator, tumbuahan yang diserbuki dan interaksi antara keduanya. c) Perubahan morfolgis, fisiologis dan perilaku Perubahan iklim juga telah dapat menyebabkan adanya perubahan morfologis, fisiologis dan perilaku. Sebagai contoh kura-kura tumbuh lebih besar dan matang seksual lebih cepat pada cuaca yang lebih panas, berat tubuh tikus kayu Neotoma sp di Amerika Utara mengalami penurunan bersamaan dengan peningakatan suhu selama delapan tahun. Selain itu bayi rusa merah Cevus elaphus di Skotlandia mengalami tumbuh lebih cepat pada musim semi yang hangat dan mendekati ukuran rusa dewasa, dan berbagai jenis kodok bersuara lebih sering dan lebih cepat untuk mencari pasangan pada suhu yang lebih hangat. (IPCC, 2002). Pada penelitian lalat Eropa (Drosophila subobscura), di negara-negara utara lalat tersebut memiliki sayap yang lebih panjang dari pada yang tinggal di negaranegara sebelah selatan. Setelah lalat tersebut dintroduksi ke Amerika Serikat bagian barat, lalat-lalat tersebut memiliki panjang yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa spesies liar dapat mengalami perubahan yang cepat sesuai dengan kondisi iklim lokal (Parmesan dan Mattews, 2006). d) Perubahan distribusi dan populasi Perubahan distribusi dan kepadatan populasi di hampir semua benua telah menunjukkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan perubahan iklim. Perubahan yang tercatat meliputi spesies dalam kelompok taksonomi mayor seperti mamalia, burung, amphibi dan insekta. Sebagai contoh daerah distribusi kupu-kupu di

Amerika Utara dan Eropa telah mengalami perubahan yaitu bergeser lebih kearah kutub dan lebih tinggi secara elevasi. Penelitian dari 35 jenis kupu-kupu non migran di Eropa menunjukkan bahwa lebih dari 60% telah bergeser ke arah utara sebesar 35-240 Km selama abad 20. Selain itu populasi kupu-kupu dan ngengat hutan di Eropa tengah telah mengalami pertumbuhan populasi yang cepat pada awal 1990-

an,termasuk ngengat gipsi (Lymantria dispar), seiring dengan ekspansi beberapa jenis capung (Odonata), kecoa, belalang (Orthoptera) ke arah kutub (IPCC, 2002). Di Kanada, rubah merah (Vulpes vulpes) telah melakukan ekspansi ke arah utara selama 70 tahun ketika rubah Arctic (Alopex lagopus) berkontraksi ke arah Samudra Arktik (Hersteinsson dan MacDonald, 1992). Waktu perubahan batas terjadi ketika musim panas. Pada awal ekspansi rubah merah ke arah utara

seringkali gagal karena rubah merah memiliki kondisi fisik yang menyulitkan untuk beradaptasi dengan lingkungan dingin (memiliki telinga dan tungkai yang lebih panjang) seperti rubah arktik. Ekspansi rubah merah menuju utara dapat dijadikan indikator bagi trend pemanasan global (Parmesan dan Mattews, 2006). e) Peningkatan hama dan penyakit Seperti berbagai jenis yang banyak bergeser ke arah kutub utara dan menuju ke elevasi yang lebih tinggi, organisme hama dan penyebab penyakit juga banyak yang bergeser ke arah tersebut. Sebagai contoh, ulat pucuk cemara akan mewabah lebih sering mengikuti musim kering dan musim panas di beberapa lokasi. Dinamika hama-inang sangat dipengaruhi oleh musim kering, dimana pada masa itu tumbuhan inang akan mnegalami stress dan jumlah cacing yang bertelu akan meningkat (pada suhu 250C jumlag cacing yang bertelur 50% lebih daripada pada suhu 150C). Jika musim semi datang terlambat maka populasi cacing tersebut akan membunuh semua pohon inang tersebut. berbagai

Penyebarab

penyakit infeksi baik yang ditularkan lewat hewan (contoh :dengue, malaria) maupun yang disebarkan oleh air (contoh: diare)
Gambar. 2. Perbandingan antar rusa yang sehat dan terkena penyakit cacing otak di St. Louis Country (Mike Schrage, Wildlife biologist)

telah lebih meluas akibat

dari perubahan iklim

(IPCC, 2002). Dampak perubahan iklim juga telah

mempengaruhi penyebaran penyakit cacing otak pada rusa di Ameria Serikat (Lenarz, dkk 2009) f) Perubahan pada ekologi perairan darat Perubahan pada ekologi perairan darat ditandai dengan berbagai perubahan aliran sungai, banjir, kekeringan, suhu air dan kualitas air yang dipengaruhi oleh kondisi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang disediakan. Aliran sungai puncak di Eropa timur, Rusia dan Amerika Utara telah berubah dari musim semi menjadi akhir musim dingin. Sedangkan di bagian dunia lain terjadi peningkatan frekuensi kekeringan dan banjir, seperti kekeringan di Sahel dan bagian utara dan selatan Brazil serta banjir di Kolombia dan Peru. Danau dan waduk , khususunya yang berada di lokasi semi gersang (seperti di Afrika) mengalami perubahan pada penyimpanan sehingga banyak mengalami kekeringan (IPCC, 2002). Perubahan intensitas dan frekuensi hujan yang dikombinasikan dengan perubahan penggunaan lahan di daerah aliran sungai telah meningkatkan erosi tanah dan kekeruhan sungai. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota di sungai sehingga terjadi hilangnya biodiversitas dan jasa lingkungan yang disediakan oleh biodiversitas tersebut seperti penurunan produksi ikan air tawar dan keluarnya air dari lahan basah (IPCC, 2002). 2.3. Dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati di ekosistem laut dan pesisir Pemanasan global banyak menimbulkan pengaruh pada iklim laut. Pemanasan global menyebabkan salju dan es mencair, data satelite sejak tahun 1978 menunjukkan bahwa lautan es menyusut 7.4% per dekade (IPCC, 2007). Penyusutan es dapat menigkatkan tinggi permukaan air laut. Perubahan curah hujan dan evapotranspirasi telah menurunkan salinitas laut di garis lintang ynag tinggi dan meningkatkan salinitas pada garis lintang yang rendah. Beberapa perubahan pada karakteristik air dapat merubah sirkulasi samudra dalam skala besar meskipun belum terlihat banyak bukti yang jelas.

a. Pengasaman laut Terdapat hubungan langsung antara konsentrasi CO2 dan pH dimana ketika CO2 meningkat maka pH akan turun (Caldeira dan Wickett, 2003). Hal ini merupakan gangguan yang sangat besar bagi organisme laut dan ekosistem. Selama 200 tahun terakhir, lautan telah menyerab kira-kira setengah CO2 yang dihasilkan oleh manusia dan saat ini sekitar 1 juta ton CO2 terserab ke laut setiap jam. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat penurunan pH laut 0,1 pada 200 tahun terakhir dan diperkirakan pH akan turun 0,3 0,5 pada 2100, tingkat penurunan tersebut 100 kali lebih cepat daripada tingkat penurunan selama jutaan milenium lalu (Brierley dan Kingsford, 2009). Tingkat penyerapan CO2 sangat bervariasi

tergantung pada suhu dan kekuatan angin. Pada air yang lebih dingin lebih mudah memecah CO2 daripada pada air yang lebih hangat, sehingga pada air dingin lebih mudah mengalami acidification (pengasaman) (Guinotte dan Fabry, 2008).

Gambar 3 .Dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut, (A,D,G) perubahan tangakapan dari didiminasi oleh udang (atas) dan berganti di dominasi oleh ikan cod karnea pergeseran distirbusi di Alaska. (B, C) Hutan Kelp raksasa dan tumbuhan bawah Pterygophora california sebelum sebelum El Nino 1983, (F) Hutan Kelp dan tumuhan bawah stelah El Nino 1983, (E) Terumbu karang Acropora yang masih asli, (H) Pemutihan pada trumbu karang (Brierley dan Kingsford, 2009)

Kondisi yang mengkhawatirkan terjadi di lautan selatan, dimana telah jenuh akan CO2 karena telah menyerap 7% dari CO2 yang dihasilkan oleh manusia dan mengurangi kemampuannya untuk melakukan penyerapan karbon di masa depan ketika atmosfer telah semakin panas. Pemanasan laut mungkin berlawanan dengan pengasaman laut, namun skala dampak yang akan tidak cukup untuk menaggulangi peningkatan CO2 dalam jangka panjang (Hoegh-Guldberg, dkk, 2007). Salah satu

dampak terbesar dari pengasaman laut pada kehidupan laut adalah interaksi antara keasaman laut dan ketersediaan carbonat. Keanekaragaman hayati laut terdiri dari berbagai spesies yang membutuhkan kalsium carbonat untuk memproduksi skeleton. Peningkatan keasaman akan mengurangi ketersediaan karbon dan dapat memberikan dampak pada seluruh komunitas laut (Brierley dan Kingsford, 2009). Pada saat ini, ion karbonat banyak terdapat di perairan dangkal dan penguraian meningkat seiring dengan tingkat kedalaman, batas kedalaman dimana ion carbonat terurai disebut lysocline. Lysocline tersebut akan semakin mendekati perairan dangkal ketika laut menjadi semakin asam sehingga mengurangi rentang sebaran kedalaman bagi organisme yang membutuhkan carbonat (Brierley dan Kingsford, 2009).

b. Pengurangan konsentrasi Oksigen Terlarut Konsentrasi oksigen yang rendah menyebabkan lingungan laut menjadi tidak ramah bagi organisme multiseluler. Tingkat kelarutan oksigen dalam air laut dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan oksigen di dunia telah semakin menurun sejak 1950an (Garcia dkk, 2005) sejak laut menjadi semakin hangat. Dalam rentang 0-15 C, konsentrasi oksigen terlarut di air laut berbanding lurus dengan rata-rata suhu namun oksigen tersebut akan mengalai penurunan 6% setiap kenaikan satu derajat. Sejalan dengan kenaikan kandungan CO2, maka zona-zona periaran laut yang kekurangan akan meningkat (Diaz dan Rosenberg, 2008). Perluasan zona akan menyebabkan penurunan produksi hasil laut sehingga berpengaruh dalam ekologi dan ekonomi.

c. Kenaikan permukaan air laut Peningkatan suhu telah mempengaruhi volume air dan es dan secara langsung meningkatkan permukaan air laut (Rahmstorf, 2007). Permukaan air laut mempengaruhi keberadaan habitat dan ekosistem pesisir . Kenaikan air laut pada tahun 2100 diperkirakan 0,5 sampai 1,4 m diatas permukaan air laut di tahun 1990. Kenaikan tersebut dapat menyebabkan hilangnya beberapa pulau dan negara kepualauan, mendorong spesiasi dan mempngaruhi keanekaragaman hayati (Fuji dan Raffaelli, 2008).

d. Perubahan pada terumbu karang akibat pemanasan suhu permukaan laut Peningkatan suhu permukaan iar laut telah dicatat di lautan tropis pada beberapa dekade terakhir. Kenaikan suhu permukaan air laut ini telah

mempengaruhi kehidupan terumbu karang. Pada kenaikan suhu permukaan air laut sebesar 10C diatas rata-rata suhu musiman maka akan terumbu karang akan menglami pemutihan dan pada kenaikan sebesar 30C akan menyebabkan kematian terumbu karang. Sebagai contoh saat terjadi EL Nino tahun 1997-1998 dimana suhu permukaan air laut mengalami kenaikan ekstrem (tertinggi sejak 95 tahun), Great Barrier Reef di Australia mengalami pemutihan secara massal dan dan kematian.

Pemutihan terumbu akrang juga berhubungan dengan polusi dan penyakit (IPCC, 2002). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang paling kaya di bumi. Di terumbu karang Great Barrier Reef yang memeiliki luas 0,1% luas permukaan lautan ternyata memiliki 8% dari semua jenis ikan di dunia (Indrawan dkk, 2007). Sehingga hilangnya terumbu karang dapat menyebabkan kepunahan

keanekaragaman hayati yang sangat besar. Selain itu terumbu karang merupakan sebuah ekosistem yang rentan karena hanya sedikit yang bisa kembali pulih. e. Penyakit dan toksisitas ekosistem pesisir Perubahan pada frekuensi dan intensitas hujan, pH, suhu air, angin, penguraian CO2 dan salinitas yang dikombinasikan dengan poluasi antropogenik, dapat memoengaruhi kualiatas air di daerah estuari dan laut. Beberapa spesies penyebab penyakit di laut dan berbagai jenis alga yang berasosiasi dengan toxic blooming sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut. Pada beberapa dekade belakangan ini telah dilaporkan bahwa terjadi peningkatan penyakit pada terumbu karang dan rumput laut, khususnya di Karibia dan lautan dingin. Peningkatan suhu air yang berasosiasi dengan El Nino juga berkorelasi dengan penyakit Dermo (yang disebabkan oleh parasit protozoa Perkinsus marinus) (IPCC, 2002). f. Penurunan populasi ikan laut Berbagai faktor iklim mempengaruhi elemen biotik dan abiotik mempengaruhi jumlah dan distribusi organisme laut, khususnya ikan. Variasi (dengan siklus 10-160 tahun atau lebih) pada biomassa organisme ikan tergantung pada suhu air dan faktor iklim lainnya. Sebagai contoh periode fluktuasi iklim dan hydrografik di Laur

Barents yang merefleksikan variasi produksi ikan komersial selama 100 tahun terakhir. Hal yang smaa jugaterjadi di lautan Atlantik utara yang menunjukan penangkapakn ikan Cod dalam periode 1600-1900 menunjukkan korelasi yang jelas dengan suhu air. Pada jangka waktu yang lebih pendek variasi ikan cod di Laut utara berhubungan dengan kombinasi dari penangkapan yang berlebihan dan pemanasan air laut dalam 10 tahun terakhir (IPCC, 2002). g. Perubahan pada mamalia besar dan burung laut Kelimpahan burung dan mamalia laut di lautan Pasifik dan Arktik telah dideteksi dan mungkin berhubungan dengan perubahan pada berbagai gangguan, variabilitas iklim dan kejadian ekstrem. Perubahan yang menetap pada ilkim dapat berpengaruh terhadap top predator dan akan mempengaruhi kelimpahan organisme di rantai makanan. Sebagai contoh, di Kepulauan Aleutian populasi ikan telah berubah seiring dengan perubahan iklim dan pemanfaatan yang berlebihan, sehingga menyebabkan perilaku dan ukuran populasi paus pembunuh dan anjing laut berubah. Kelimpahan burung laut tergantung pada jenis ikan spesifik, khususnya selama musim berbiak, dan mereka sangat sensitif terhadap perubahan kecil di ekosistem laut yang dihasilkan oleh perubahan iklim. Bagaimanapun juga, perubahan parameter populasi dan daerah jelajah burung laut terpengaruh dari pada perubahan populasi ikan mangsa dan pola migrasi, sehingga secara langsung sulit untuk menghubungkan dengan perubahan iklim dan perubahan ekosistem laut (IPCC, 2002). 3. Respon terhadap perubahan iklim pada keanekaragaman hayati Perubahan iklim merupakan permasalahan global yang memiliki skala sangat luas baik berdampak pada keanekaragaman hayati, seluruh ekosistem dan termasuk ke kehidupan manusia. Menurut Heller dan Zavaleta (2009) dalam menanggulangi permasalahan perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati tidak bisa dilakukan dnegan pendekatan strategi tunggal. Berkes (2006) menyatakan dibutuhkan kesatuan perencanaan dalam tingkat regional di bawah pemerintahan lokal dalam merespon perubahna ikil. Dalam skala global pengurangan emisi CO2 merupakan langkah penting untuk meminimalisasi pengaruh perubahan iklim terhadap masa depan bumi. Jika emisi CO2 terus

berlanjut hingga mencapai 1000 ppm sehingga berdampak pada peningkatan suhu hingga 5,50 C maka kepunahan berbagai jenis dapat terjadi (Romm, 2008). Perlindungan bagi beberapa kawasan yang dapat melepaskan karbon merupakan salah satu solusi yang dapat diambil untuk mengurangi emisi. Sebagai contoh adalah di Indonesia, sebagian besar emisi dilepaskan dari kebakaran hutan, khususnya lahan gambut, sehingga perlindungan terhadap kawasan tersebut sangat penting. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebakaran di lahan gambut sangat penting bagi total emisi dunia. Emisi yang dilepaskan dari lahan gambut ketika kebakaran 50 kali lebih besar daripada kebakaran pada vegetasi permukaan. Pada tahun 1994 proporsi lahan gambut yang terbakar hanya 3% dari total lahan yang terbakar di dunia namun menyumbangkan emisi sebesar 55% dari seluruh pembakaran lahan (Levine, 1999). Pada kebakaran tahun 1997, hasil karbon yang dilepaskan dari lahan gambut sebesar 480-2570 Teragram, sedangkan vegetasi permukaan hanya sebesar 19% dari jumlah tersebut (Page dkk, 2002) Menurut Parmessan dan Mattews (2006) terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim di masa depan. Beberapa contoh pendekatan adaptif yang dapat dilakukan antara lain : 1) Melakukan penilaian kembali terhadap spesies dan habitat berdasarkan kerentanannya terhadap perubahan iklim. Sebuah evaluasi terhadap kerentanan dari jenis-jenis terancam punah mungkin dapat memiliki skenario yang berbeda antara dengan atau tanpa perubahan iklim. 2) Membuat rancangan daerah perlindungan baru untuk mengikuti

pergeseren distribusi spesies target. Pergeseran distribusi mungkin dapat terjadi secara horisontal dan vertikal. 3) Mempromosikan koridor habitat asli diantara area perlindungan yang dapat digunakan oleh spesies untuk berpindah. 4) Membangun rencana pengelolaan konservasi yang dinamis, dimana rencana pengelolaan berdasarkan pada pendekatan empiris dan

observasi rutin. Hal tersebut dapat lebih berguna dibandingkan dengan membuat model skenario jangka panjang yang memiliki skala yang lebih besar dalam menanggulangi permasalahan lokal. Pengamatan perubahan cuaca seperti curah hujan, suhu, perubahan permukaan laut dan

pergersaran disribusi spesies berdasarkan penelitian lokal merupakan beberapa aspek yang dapat memberikan implikasi lebih besar. 5) Pengurangan dampak pada pengaruh non-iklim. Pada beberapa kasus diketahui bahwa lebih mudah menangani dan mengurangi dampak terhadap keanekaragaman hayati dari berbagai yang bersifat non-iklim. Sebagai contoh jika ancaman suatu spesies karena diakibatkan oleh pengeruh perubahan iklim dan spesies invasif maka, maka lebih efektif jika lebih fokus dalam menangani faktor spesies invasif tersebut. 6) Membuat berbagai model dan prediksi yang bersifat lokal dan khusus dari perubahan iklim global, seperti bagaimana menangani habitat dataran rendah yang hilang karena peningkatan air laut dan lain sebagainya.

Disamping berbagai usaha tersebut adanya komitmen yang kuat dari berbagai negara maju dan berkembang untuk mengurangi emisi baik dari perindustrian maupun perubahan tata guna lahan merupakan faktor kunci bagi penyelamatan keanekaragaman hayati dan kehidupan bumi yang terancam oleh perubahan iklim.

Daftar pustaka Berkes, F., Hughes, T.P., Steneck, R.S., Wilson, J.A., Bellwood, D.R.,Crona, B., Folke, C., Gunderson, L.H., Leslie, H.M., Norberg, J., et al. (2006). Globalization, roving bandits, and marine resources. Science 311:15571558. Boye, P dan Klingenstein F, 2006, Biodiversity and Climate Change : what do we know, what can we do? In : Migratory Species and Climate Change: Impacts of a Changing Environment on Wild Animals UNEP / CMS Secretariat, Bonn, Germany, hal 8:11. Brierley, A.S dan Kingsford, M.J, 2009. Impacts of Climate Change Review on

Marine Organisms and Ecosystems. Current Biology 19, R602R614, July 28, 2009. Brown J.L, Li S.H dan Bhagabatti, N. 1999. Long-term trend toward earlier breeding in American bird : A respons to global warming. National Academy of Science. USA Caldeira, K., and Wickett, M.E. 2003. Anthropogenic carbon and ocean pH. Nature 425, 365.

Diaz, R.J., and Rosenberg, R. 2008. Spreading dead zones and consequences for marine ecosystems. Science 321, 926929 Dunn, P.O dan Winkler D,W. 1999. Climate change has affected the breeding date of tree swallow throughout North America, Bio. London.266, 2487:2490. Fujii, T., and Raffaelli, D. 2008. Sea-level rise, expected environmental changes, and responses of intertidal benthic macrofauna in the Humber estuary, UK. Mar. Ecol. Progr. Ser. 371, 2335 Garcia, H.E., Boyer, T.P., Levitus, S., Locarnini, R.A., and Antonov, J. (2005). On the variability of dissolved oxygen and apparent oxygen utilization content for the upper world ocean: 1955 to 1998. Geophys. Res. Lett. 32, LO9604 Guariguata, M, 2006. Interlinkages between Biodiversity and Climate Change di Migratory Species and Climate Change: Impacts of a Changing Environment on Wild Animals UNEP / CMS Secretariat, Bonn, Germany, hal 8:11. Guinotte, J.M., and Fabry, V.J. 2008. Ocean acidification and its potential effects on marine ecosystems. Ecol. Cons. Biol. 1134, 320342. Heller, N.E., and Zavaleta, E.S.2009. Biodiversity management in the face of climate change: a review off 22 years of recommendations. Biol. Conserv. 142, 1432. Hersteinsson .P dan MacConald. D.W. 1992. Interspecific competition and the geographical distribution of red and arctic foxes Vulpes vulpes and Alopex lagopus. Oikos, 64: 505-515 Hoegh-Guldberg, H., Mumby, P.J., Hooten, A.J., Steneck, R.S., Greenfield, P., Gomez, E., Harvell, C.D., Sale, P.F., Edwards, A.J., Caldeira, K., et al.2007. Coral Reefs under rapid climate change and ocean acidification.Science 318, 17371742. Indrawan. M, Primarck, R.B, Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi; Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta IPCC, 2002, Climate change and Biodiversity (editor :Gitay.H, Suarez .A, Watson .J, Dokken .D.J).IPCC, WMO dan UNEP Lenarz. M.S, Nelson M.E, Schrage, M.W. dan Edwards A.J.2009.Temperature mediated moose survival in northeastern Minnesota: Journal of Wildlife Management, v. 73, no. 4, p. 503510. Levine ,J.S.1999.The 1997 fires in Kalimantan and Sumatra, Indonesia: gaseous and particulate emissions.Geophysical Research Letters 26:815818.

McCarthy, J. J., O. F. Canziani, N. A. Leary, D. J. Dokken and K. S. White. 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, UK. Memmott.J, Craze P.G, Waser N.M, dan Price M.V.2007. Global warming and the disruption of plantpollinator interactions. Ecology Letters.10.1-8. Page.S.E, Siegert F, Rieley .J.O, Bohm H.D.V, Jaya .A, Limin .S.2002.The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420:6165 Parmesan C. dan Mattews J. 2006. Biological impact of climate change dalam Principles of Conservation Biology : third edition (edt :Groom J, M, Meffe G.K, Carrol C.R. Sinauer Associates, Inc. USA. Rahmstorf, S.2007. A semi-empirical approach to projecting future sealevel rise. Science 315, 368370. Walther, G.-R., S. Berger dan M.T. Sykes.2005.An ecological 'footprint of climate change. Proceedings of the Royal Society: Biological Sciences 272: 14271432 IPCC,

Anda mungkin juga menyukai