Anda di halaman 1dari 20

PERCOBAAN II RUTE PEMBERIAN OBAT

TUJUAN PERCOBAAN 1. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat. 2. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya. 3. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya. 4. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan.

TINJAUAN PUSTAKA Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008). Jalur Enternal Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah

absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.

Jalur Parenteral Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal. Tabel 1 merupakan deskripsi cara pemberian obat, keuntungan, dan kerugiannya.

Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian dari Masing-masing Jalur Pemberian Obat.

Dskripsi

Keuntunagn

Kerugian Irtasi pada mukosa paru-

Aerosal Partikel halus atau tetesan yang dihirup

Langsung masuk ke paru-paru

paru atau saluran pernafasan, memerlukan alat khusus, pasien harus sadar.

Bukal Obat diletakkan diantara pipi dengan gusi Obat diabsorpsi menembus membran Tidak sukar, tidak perlu steril, dan efeknya cepat

Tidak dapat untuk obat yang rasanya tidak enak, dapat terjadi iritasi di mulut, pasien harus sadar, dan hanya bermanfaat untuk obat yang sangat non polar

Inhalasi Obat bentuk gas diinhalasi

Pemberian dapat terus menerus walaupun pasien tidak sadar Absorbsi cepat, dapat di berikan pada pasien sadar atau tidak sadar

Hanya berguna untuk obat yang dapat berbentuk gas pada suhu kamar, dapat terjadi iritasi saluran pernafasan Perlu prosedur steril, sakit, dapat terjadi infeksi di tempat injeksi Perlu prosedur steriil, sakit,

Intramuskular Obat dimasukkan kedalam vena

Intravena Obat dimasukkan ke dalam vena

Obat cepat masuk dan bioavailabilitas 100%

dapat terjadi iritasi di tempat injeksi, resiko terjadi kadar obat yang tinggi kalau diberikan terlalu cepat. Rasa yang tidak enak dapat mengurangi kepatuhan, kemungkinan dapat

Oral Obat ditelan dan diabsorpsi di lambung atau usus halus Mudah, ekonomis, tidak perlu steril

menimbulkan iritasi usus dan lambung, menginduksi mual dan pasien harus dalam keadaan sadar. Obat dapat mengalami metabolisme lintas pertama dan absorbsi dapat tergganggu dengan adanya makanan

Subkutan

Pasien dapat dalam

Perlu prosedur steril, sakit

Obat diinjeksikan dibawah kulit

kondisi sadar atau tidak sadar

dapat terjadi iritasi lokal di tempat injeksi Tidak dapat untuk obat

Sublingual Obat terlarut dibawah lidah dan diabsorpsi menembus membran

Mudah, tidak perlu steril dan obat cepat masuk ke sirkulasi sistemik

yang rasanya tidak ennak,dapat terjadi iritasi di mulut, pasien harus sadar, dan hanya bermanfaat untuk obat yang sangat larut lemak

Obat dapat Transdermal Obat diabsorpsi menembus kulit menembus kulit secara kontinyu, tidak perlu steril, obat dapat langsung ke pembuluh darah (Priyanto, 2008) Hanya efektif untuk zat yang sangat larut lemak, iritasi lokal dapat terjadi

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik b) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama c) Stabilitas obat di dalam lambung atau usus d) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute e) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f) Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacammacam rute g) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep.

ABSORPSI Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (umlut sampai dengan rectum), kulit, paru,otot, dan lain lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral dengan cara ini tempat absorbs utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorbsi yang sangat luas, yakni 200m2.(Anonim,2007) Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain: 1) Bentuk Sediaan Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.

2) Sifat Kimia dan Fisika Obat Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.

3) Faktor Biologis Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.

4) Faktor Lain-lain Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organorgan tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan. Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan absorbsinya kecil sehingga obat harus melarut dan diabsorbsi dengan sangant cepat, karena darah dari mulut langsung ke vena kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.(Anonim,2007) Pada pemberian obat melalui rektal misalnya untuk pasien yang tidak sadar atau muntah, hanya 50% darah dari rectum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama oleh hati juga hanya 50%. Akan tetapi, adsorpsi obat melui rectum sering kali tidak teratur dan tidak lengkap dan banyak obat menyebabkan iritasi rectum.(Anonim,2007)

HUBUNGAN ANTARA HEWAN UJI DENGAN MANUSIA Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan hewanuji terutama mencit. Penggunaan mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan iotu memiliki sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak digunakan untuk penelitian obat (Marbawati, 2009). Perbedaan antara tikus dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri. Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan farmakologi pada hewan coba dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan pengujian menunjukkan efek farmakologi yang sama.(Anonim,2007)

Ditinjau dari system pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, dimana factor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat / karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan yaitu: Hewan Liar Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka Hewan yang bebas kuman spesifik pathogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan system barrier ataut ertutup Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan system isolator(Sulaksono,M.E.,1992).

Semankin meningkat cara pemliharaan, semakin sempuran pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan dengan hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.( Sulaksono,M.E.,1992).

CARA MEMEGANG HEWAN ATAU HANDLING Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan perlu diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (iniakan menyullitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah) dan juga bagi orang yang memegangnya.(

Sulaksono,M.E.,1992)

INJEKSI Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, serbuk yang harus dilakukan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan secara merobek jaringan kedalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Pemberian injeksi merupakan prosedur infasif yang harus dilakukan dengan teknik steril. Pada umumnya injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses penyerapan atau absorpsi obat untuk mendapatkan efek obat yang cepat.

ALAT DAN BAHAN ALAT Alat suntik 1 ml ( jarum oral ) Jarum suntik n0.26,3/4-1 inchi (subkutan ) Jarum suntik no.27,3/4-3 inchi (intravena, intraperitoneal ) Jarum suntik no.26,1/2 inchi ( intramuscular ) Kateter logam (rectal )

BAHAN Mencit putih jantan Glibenclamide 5 mg/70 kg BB ( oral, subcutan, intraperitoneal ) Ibuprofen 400 mg/70 kg BB ( oral, subcutan, intraperitoneal )

PROSEDUR KERJA Ibuprofen 400 mg/70 kg BB ( intraperitoneal )

1. Mencit ditimbang 2. Mencari dosis dan konsentrasi untuk mencit 3. Berat tablet ditimbang, kemudian digerus 4. Menghitung bagian tablet yang ditimbang (x) C (mg) = Dosis obat manusia (mg) X (g) berat tablet (g)

5. Pembuatan suspense 10 ml 6. Pemberian obat dengan cara tengkuk mencit dipegang sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari pada kepala. Larutan obat yang telah dibuat disuntikkan kedalam abdomen kebawah dari mencit sebelah garis misdagital 7. Diamati selama 30 menit

10

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Dosis untuk mencit = 400 mg/70 kg BB x 0.0026 = 1.04 mg/20 g = 52 mg/kg BB C = 0.018 kg x 52 mg/kg BB 0.18 ml = 5.2 mg/ml = 52 mg/10 ml Berat tablet yang di timbang X = 52 mg/kg BB x 0.5318 g 400 mg/70 kg BB = 0.069 mg Na.CMC 1% = 1/100 x 10 ml = 0.1 g Air untuk suspense = 20 x 0.1 = 2 ml

Pengamatan efek obat terhadap mencit Awalnya diam Menit ke 4 mencari tempat bersandar Menit ke 5 gatal-gatal Menit 11 mengantuk Menit 17 gatal pada bagian yang disuntikan Menit 18 gatal pada bagian mulut Menut 21 gatal pada bagian telinga Menit 30 mencit kembali aktif

11

PEMBAHASAN Praktikum kali ini mempalajari tentang rute-rute pemberian obat dan pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh. Pada dasarnya rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, alat uji yang digunakan adalah tubuh hewan (uji in vivo). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Cara pemberian obat dilakukan dengan cara intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut). Cara ini jarang digunakan karena rentan menyebabkan infeksi. Keuntungan adalah obat yang disuntikkan dalam rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat terlihat. pemberian obat dengan cara Intraperitoneal waktu timbulnya efek lebih cepat dibandingkan dengan rute pemberian obat secara subkutan dan intravena. Hal ini dikarenakan obat yang disuntikkan dalam rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat terlihat. Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan pemberian obat secara intaperitoneal, ketika disuntikan Ibuprofen mecit terlihat langsung terlihat tenang. Setelah empat menit kemudian mencit terlihat sangat peka terhadap ibuprofen, yaitu mencit terlihat mencari tempat untuk bersandar, tidak tegak walaupun di beri rangasangan nyeri. Setelah menit ke lima mencit terlihat gatal-gatal. Kemudian, pada menit ke sebelas mencit terlihat mengantuk dan tidur. Pada menit ke tujuh belas mencit mengalami gatal pada bagian yang disuntikkan, kemudian pada menit delapan belas mencit gatal pada bagian mulut, serta gatal pada bagian telinga pada menit ke dua puluh satu. Pada menit ke tiga puluh mencit kembali aktif dikarenakan efek dari Ibuprofen telah habis.

12

Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan sehingga efek yang dihasilkan tidak sesuai dengan literatur. Hal ini dikarenakan cara penyuntikan yang salah dan pengambilan volume injeksi obat yang tidak sesuai. Selain itu, disebabkan juga karena kami disini belum begitu mahir dalam melakukan penyuntikan sehingga efek yang dihasilkan tidak sesuai.

13

KESIMPULAN Dari semua psroses percobaan diperoleh kesimpulan diantaranya : o Perlakuan dan Penanganan mencit dapat dilakukan secara baik dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kondisi hewan uji coba tersebut o Karakter mencit cenderung penakut dan lebih suka berkumpul dengan sesama. Pergerakannnya lebih banyak dibandingkan dengan tikus dan lebih susah ditangani ketimbang tikus. o Rute pemberian obat dilakukan dengan cara intraperitoneal o Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat. o Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama). o Kesalahan penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis yang diberikan kepada hewan uji, sehingga hasil yang diperoleh pun tidak akurat. o Dari data data hasil praktikum kelompok I, II, III, IV, V dan VI didapat kesimpulan bahwa pemberian obat secara Intraperitoneal lebih cepat

memberikan efek dibandingkan dengan pemberian obat secara oral dan subcutan.

14

JAWABAN PERTANYAAN 1. Jelaskan tentang cara-cara pemberian obat Jawaban : Intravena Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002). Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris. o Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action segera. o Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100% o Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh o Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh. o Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol. o Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati. o Adanya partikel dapat menyebabkan emboli. o Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.

Keuntungan rute ini adalah: jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC

15

cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat efek sistemik dapat segera dicapai level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.

Kerugiannya adalah meliputi : gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar perkembangan potensial trombophlebitis kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi septik, dan pembatasan cairan berair. Intramuskular Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002). Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha. o Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi pembawa air untuk minyak. o Larutan sebaiknya isotonis. o Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel o Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi. o Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudak terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan.

16

o Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain. Subkutan Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002). Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml. o Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris o Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal. o Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi. o Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan. o Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan Adrenaline (cukup 1:100.000-200.000) yang menyebabkan konsentriksi pembuluh darah local, sehiongga difusi obat tertahan atau diperlambat. contohnya injeksi Lidokaine Adrenaline untuk cabut gigi. o Sebaliknya, absorpi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menuyebabkan penyebaran dipercepat. o Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.

17

o Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secar i.v. o Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise. Intratekal Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995). intraperitonial Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

2. Jelaskan factor-faktor apa saja yang mempengaruhi efek dari suatu obat Jawab : Bentuk Sediaan Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. Sifat Kimia dan Fisika Obat Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.

18

Faktor Biologis Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi. Faktor Lain-lain Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.

19

DAFTAR PUSTAKA Anief, M., 1993, Farmasetika, Yogyakarta : Gadjah mada University Press Marbawati , Dewi., dan Bina Ikawati, Kolonisasi Mus musculus albino Di Laboratorium loka Litbang P2B2 Banjarnegara, Balaba Vol. 5, No.01

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Edisi II, Depok: Leskonfi

Tim Penyusun, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Jakarta : Departemen Farmakologi FKUI Sulaksono, M.E.,1987, Peranan,Pengelolaan dan pengembangan Hewan Percobaan , Jakarta

http://www.wartamedika.com/2008/02/obat-diazepam-valium.html diakses pada tanggal 30 Maret 2010, pada pukul 16:43 PM

http://www.farmasiku.com/index.php?target=products&product_id=29839 diakses pada tanggal 30 Maret 2010, pada pukul 16:43 PM

20

Anda mungkin juga menyukai