Anda di halaman 1dari 20

Tata Kelola Pemerintahan Baru (New Public Governance) dan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

Oleh: Irsyad Zamjani Abstrak Tulisan ini akan mengurai sejauh mana prinsip-prinsip new public governance (NPG) dikembangkan dalam kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Desentralisasi pendidikan pada dasarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari desentralisasi pemerintahan yang berlangsung di Indonesia sejak Reformasi bergulir. Desentralisasi pendidikan dijabarkan dalam konsep-konsep seperti manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yang menjadi standar pengelolaan lembaga pendidikan. Namun, desentralisasi pada dasarnya hanyalah cara. Ide sesungguhnya adalah mendorong adanya suatu tata kelola pendidikan yang profesional dan akuntabel. Profesional dalam arti memenuhi standar mutu dan kompetensi, akuntabel dalam arti aspiratif dan transparan. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi ide dasar NPG. Pada perkembangannya, pelaksanaan desentralisasi pendidikan memang memberikan dampak positif. Adanya kontrol masyarakat lewat komite sekolah, misalnya, membuat sekolah lebih kompetitif dan transparan. Namun, desentralisasi juga menghadapi banyak kendala. Kontestasi politik yang ramai di berbagai daerah menjadikan pendidikan sangat rentan terhadap politisasi. Kata kunci: desentralisasi, governance, pendidikan, publik 1. Pendahuluan

1.1. Latar belakang Krisis ekonomi di Asia pada 1997 telah membawa perubahan penting bagi Indonesia. Selain berkontribusi meruntuhkan rezim otoritarian, krisis ini juga merangsang perubahanperubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan di dalam negeri. Berbagai usaha perubahan diselenggarakan di bawah proyek Reformasi. Para penyelenggara negara yang baru mengubah sistem politik yang lebih demokratis nonsentralistik, mereformasi penegakan hukum agar lebih transparan, merestrukturisasi perekonomian agar lebih kompetitif non-monopolistik, dan mendorong pemerataan pembangunan. Perubahan-perubahan dilakukan melalui transformasi perilaku, pembuatan peraturan-peraturan baru, hingga amandemen konstitusi. Arus besar masyarakat sipil baik domestik maupun internasional menyebabkan proses perubahan ini berjalan lebih cepat.

Staf pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional

Masyarakat sipil menjelma menjadi kekuatan baru yang kini mengimbangi kekuatan sosial politik yang dulu tersentralisir dalam aktivitas politik negara. Salah satu produk penting dari Reformasi adalah lahirnya apa yang disebut sebagai desentralisasi dan otonomi daerah. Hanya setahun setelah pergantian rezim, pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua undangundang tersebut dibuat untuk mengubah pola kebijakan yang bersifat yang sentralistik (top down) dan untuk lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat di masing-masing daerah. Dengan adanya desentralisasi diharapkan kue pembangunan akan terbagi rata dan pengawasan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan akan lebih efektif sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Semangat desentralisasi ini juga berdampak pada perubahan pengelolaan pendidikan nasional. Pada 2003, pemerintah mengundangkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mulai memasukkan prinsip-prinsip desentralisasi dalam bidang pendidikan. Dua konsep penting, manajemen berbasis sekolah (MBS) dan otonomi pendidikan tinggi mulai diperkenalkan sebagai metode baru tata kelola lembaga pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi dalam pengelolaan institusi dan urusan publik tidak bisa dilepaskan dari munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan birokrasi modern. Pendekatan-pendekatan ini berpijak dari kritik terhadap kelemahan-kelemahan birokrasi tradisional yang sentralistik, tambun, dan berbiaya tinggi. Berbagai pendekatan ini juga menandai perubahan dari suatu kecenderungan pengelolaan birokrasi yang berpusat pada pemerintah menuju suatu kecenderungan baru yang mulai melihat secara apresiatif peranperan publik. Pada awal tahun 1990an mulai diperkenalkan apa yang disebut New Public Management (NPM). NPM juga disebut sebagai post-bureaucratic paradigm. NPM mengadaptasikan prinsip-prinsip pengelolaan institusi swasta ke dalam institusi publik. Pada perkembangannya, seiring dengan pertumbuhan demokrasi dan diakuinya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan, muncul pendekatan baru yang disebut New Public Governance (NPG). Dengan pendekatan ini proses penyelenggaraan organisasi dan partisipasi publik mendapat titik tekan. Berbagai pendekatan ini menyebar dan digunakan di banyak negara. Namun, persebarannya berlangsung dalam konteks konstelasi sistem dunia yang mendefinisikan

hubungan antara negara-negara dunia di satu sisi dan institusi-institusi internasional nonnegara di sisi yang lain. Sebagai konsekuensi adanya sistem dunia global ini, kebijakan suatu negara tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kekuatan yang bekerja di ranah global. Saat globalisasi melahirkan wacana tentang persaingan, setiap negara dituntut memiliki acuan yang seragam agar bisa terlibat dalam kancah persaingan tersebut. Indonesia tentu saja bukan negara yang pertama menerapkan MBS, misalnya. Sistem ini telah diberlakukan di berbagai negara lain sejak puluhan tahun sebelumnya, meskipun Indonesia memiliki ciri dan karakternya sendiri dalam menerapkan model-model internasional ini. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana NPG diterapkan dalam kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah Beberapa masalah yang akan diurai dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Apa pengertian tata kelola pemerintahan baru (new public governance) dan bagaimana konsep ini berkembang? 2) Bagaimana perkembangan model tata kelola pemerintahan baru (new public governance) memberi pengaruh bagi terciptanya kebijakan desentralisasi

pemerintahan, umumnya, dan desentralisasi pendidikan, khususnya, di Indonesia? 3) Apa kontribusi yang diberikan dan kendala yang dihadapi oleh kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan Tulisan ini dibuat dengan tujuan khusus dan tujuan umum. Secara umum, tulisan ini bertujuan untuk mengurai bagaimana model tata kelola pemerintahan baru (new public governance) berkontribusi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pascareformasi. Sedangkan secara khusus, tulisan ini dibuat untuk melihat sejauh mana model tata kelola pemerintahan baru ini diterapkan dalam kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia pascareformasi. Tulisan ini juga akan melihat dampak positif sekaligus kendala yang dihadapi pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia. 3

2.

Kajian Literatur dan Pembahasan

2.1. Dari New Public Management menuju New Public Governance Dalam sistem birokrasi tradisional, pemerintah biasanya melakukan tiga tugas yang terkait dengan penyediaan barang dan jasa: (1) Produksi domestik melalui instansi dan perusahaan publik; (2) pembiayaan anggaran melalui pajak dan cukai; dan (3) Pembuatan regulasi publik oleh lembaga-lembaga pemerintahan (Lane, 2000: 4). Reformasi sektor publik pada tahun 1980an dan 1990an di sejumlah negara berusaha mengubah sistem ini dengan memperkenalkan sejumlah perbedaan antara peran-peran yang beragam dari pemerintah: sebagai pembeli, penyedia, kontraktor, regulator, dan arbitrator. Menyediakan barang dan layanan bagi masyarakat membutuhkan tugas-tugas yang berbeda yang tidak harus dilakukan semuanya oleh satu aktor, yaitu pemerintah. Pemerintah tidak harus berperan secara langsung dalam tata kelola publik, apapun bentuknya. Pemerintah bisa bersandar pada agen yang bekerja menangani manajemen sektor publik untuk hal itu. Maka, dalam manajemen publik modern, pemerintah adalah yang principal sementara kepala instansinya atau CEO-nya adalah para agen. Istilah New Public Management (NPM) mulai muncul dalam berbagai literatur kebijakan publik sejak awal 1990an. Ia merujuk kepada perubahan organisasi dan manajemen birokrasi pemerintahan yang mulai dirintis di Inggris dan dikembangkan lebih lanjut di Selandia Baru, Amerika, Eropa, negara-negara Skandinavia, hingga beberapa negara di Asia dan Afrika. Beberapa penulis menyebutkan bahwa NPM adalah perpaduan antara dua kerangka ide; generic managerialism dan perkembangan baru dalam teori ekonomi. Prinsipnya, NPM ingin mengadaptasikan prinsip-prinsip pengelolaan lembaga privat ke dalam lembaga-lembaga publik. Hoods (1991: 4-5) menyebutkan tujuh doktrin fundamental dari NPM, yaitu: 1) Penyelenggaraan manajemen profesional yang memungkinkan seorang manajer untuk mengatur. Hal ini dicirikan oleh kontrol aktif, terbuka, dan lentur terhadap organisasi dengan menekankan pada kekuasaan dan tanggung jawab yang terkonsentrasi daripada kekuasaan yang tersebar sebagaimana dalam tipe administrasi publik lama. 2) Standar dan ukuran kinerja yang eksplisit diperoleh melalui klarifikasi tujuan, target, dan indikator keberhasilan

3) Pembalikan fokus dari kontrol input dan prosedur birokratis menjadi fokus pada aturan-aturan yang bersandar pada kontrol output yang diukur oleh indikator kinerja yang bersifat kuantitatif 4) Perpindahan dari sistem manajemen terpadu kepada disagregasi atau desentralisasi unit-unit dalam sektor publik, terutama dalam hal pemisahan implementasi kebijakan dari proses pembuatan kebijakan 5) Adanya persaingan dalam setiap kegiatan instansi publik melalui intensifikasi kontrak dalam rangka mengurangi biaya dan mendapatkan standar yang lebih tinggi, baik di antara berbagai instansi dalam sektor publik maupun antara organisasi publik dan perusahaan swasta 6) Penekanan pada praktik manajemen ala swasta (private-sector-style management) yang mencakup hal-hal seperti adanya kontrak kerja jangka pendek, pengembangan rencana perusahaan, kesepakatan kinerja, dan pernyataan misi 7) Penekanan pada pemotongan biaya, efisiensi, penghematan dalam penggunaan sumber daya, dan bekerja dengan prinsip melakukan secara maksimal dengan biaya minimal (do more with less) Sistem NPM ini didasarkan pada suatu teori tentang kegagalan pemerintah (government failure). Teori ini menyatakan bahwa karena berbagai kelemahan dalam birokrasi, lembagalembaga publik tidak mampu mengamankan tujuan-tujuan ekonomi, sosial, dan aspek-aspek kebijakan lain yang diinginkan. Oleh karena itu, penting kiranya mengadaptasikan cara kerja organisasi swasta ke dalam penyelenggaraan urusan publik. NPM mendorong terciptanya deregulasi dan delegislasi dengan memberikan kewenangan penuh kepada para manajer untuk mengelola organisasinya secara mandiri dan profesional. Penyelenggaraan manajemen publik berlangsung di dalam dua wilayah: (1) organisasi sektor publik; dan (2) organisasi pelayanan publik, baik yang ada dalam organisasi publik, swadaya, maupun swasta. Yang dimaksud sebagai organisasi sektor publik adalah lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan, sedangkan organisasi pelayanan publik adalah instansi-instansi yang menyelenggarakan pelayanan hajat publik seperti rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lain sebagainya.

Pada perkembangannya, seiring perkembangan demokrasi dan meningkatnya kontrol masyarakat dalam negara-negara demokrasi, prinsip-prinsip manajemen organisasi dalam NPM ini digantikan dengan paradigma yang lebih luas mengenai tata kelola publik (public governance). Prinsip-prinsip umum NPM tetap digunakan, namun new public governance (NPG) menambahkan aspek yang sangat krusial, yakni proses dan partisipasi. Lantas, bagaimana kita memahami NPG? Secara terminologis, governance adalah perkembangan lebih lanjut dari management. Menurut Kooiman (1993: 4), kata kunci dari governance adalah interaksi. Ia bukan semata-mata lalu lintas satu arah (one-way traffic) dari yang mengatur (governing) kepada yang diatur (governed), tapi lebih menyangkut lalulintas dua arah (two-way traffic) di mana aspek, kualitas, problem, dan kesempatan yang dimiliki oleh baik sistem yang mengatur maupun sistem yang diatur sama-sama dipertimbangkan. Oleh karenanya, jika NPM memberikan perhatian yang besar diberikan kepada pengukuran hasil, baik individual maupun organisasi, maka tata kelola publik (public governance) menekankan pada bagaimana berbagai organisasi yang berlainan berinteraksi dalam rangka meraih suatu tingkat yang lebih tinggi dari hasil yang diharapkan, dalam hal ini outcome yang dicapai oleh warganegara dan para pemangku kepentingan. Lebih jauh, dalam tata kelola publik, cara di mana putusan diambil yakni proses di mana para pemangku kepentingan berinteraksi itu sendiri juga dipandang sebagai hal yang utama, apapun output atau outcome yang dihasilkan (Bovaird dan Loffler, 2003: 8). Diskursus tentang governance ini pada gilirannya lebih akrab bagi publik dibandingkan NPM. Dalam konteks ini, NPM digantikan oleh paradigma baru bernama corporate governance. Yang terakhir ini merujuk pada sistem dengan mana suatu perusahaan dikelola dan dikendalikan. Prinsip corporate governance dijadikan sebagai rujukan bagi negara-negara yang sedang membangun demokrasi. Prinsip ini kemudian ditransformasikan ke dalam label good governance. Organisasi-organisasi internasional seperti PBB, OECD, dan Bank Dunia telah menerbitkan panduan bagaimana corporate governance ini diterapkan dalam organisasi pemerintahan negara-negara demokrasi. Dalam buku Governance: the World Banks Experience (1994) dijelaskan: Good governance is epitomized by predictable, open and enlightened policy-making, a bureaucracy imbued with a professional ethos acting in furtherance of the public good, the rule of law, transparent processes, and a strong civil society participating in public affairs. Poor governance (on the other hand) is characterized by arbitrary policy making, unaccountable bureaucracies, unenforced or unjust legal systems, the

abuse of executive power, a civil society unengaged in public life, and widespread corruption. Negara-negara berkembang dan baru membangun demokrasi mereka seperti Indonesia umumnya sangat menggantungkan diri pada bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga internasional. Penerapan good governance adalah agenda kampanye sekaligus prasyarat yang menentukan apakah suatu bantuan diberikan ataukah tidak. Seperti yang diungkapkan dalam pengertian yang diberikan oleh Bank Dunia, good governance dengan demikian bukan hanya bagaimana menerapkan prinsip-prinsip NPM dalam birokrasi, namun juga bagaimana melibatkan masyarakat luas dalam proses pembuatan kebijakan publik. Jadi, jika manajemen birokrasi klasik dikendalikan oleh tuntutan memenuhi prosedur dan aturan (legislativedriven) dan NPM berorientasi pada strategi pelayanan konsumen yang efektif-efisien (service driven), maka New Public Governance (NPG) didorong oleh hasrat melibatkan warganegara dalam mengawasi penyelenggaraan birokrasi (citizen-driven) demi menyerap aspirasi kehendak publik sekaligus mewujudkan tata kelola organisasi yang transparan dan akuntabel (lihat gambar 1). Yang patut dicatat, dalam era globalisasi, apa yang disebut sebagai masyarakat luas bukan hanya kelompok masyarakat yang secara terbatas hidup di dalam suatu negara bersangkutan, namun, tak bisa dielakkan, juga masyarakat global yang memiliki perhatian yang sama. Dalam hal ini, organisasi-organiasi internasional adalah bagian darinya. Hal ini telah menjadi standar umum bagi penyelenggaraan organisasi sektor publik maupun organisasi pelayanan urusan publik seperti pendidikan di seluruh dunia. Pada bagian

berikutnya akan dilihat bagaimana new public governance bekerja dalam kebijakan tentang pendidikan.
Gambar 1 Tahap-tahap perkembangan manajemen birokrasi modern

Legislative driven

Service driven

Citizen driven

Sumber: (Bovaird dan Loffler, 2003: 19)

2.2. New Public Governance dan Otonomi Pendidikan di Indonesia Reformasi pendidikan nasional segera dilakukan oleh para penyelenggara negara secara simultan dengan adanya reformasi berbagai bidang terutama sejak 1998. Berbagai produk regulasi pendidikan telah mengintrodusir pola NPM dan NPG dalam pengelolaan pendidikan nasional. Beberapa isu yang bisa diketengahkan dalam kaitannya dengan reformasi berbasis NPM dan NPG dalam kebijakan pendidikan di Indonesia dapat kita identifikasi dalam tiga kelompok yang saling terkait; (1) desentralisasi dan otonomi pendidikan; (2) manajemen pengelolaan satuan pendidikan; dan (3) peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga isu ini pada dasarnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, namun kita bisa memilah-milahnya demi membuat permasalahan lebih sederhana. Salah satu buah penting reformasi pendidikan adalah amandemen UUD 1945 Pasal 31 dan pengesahan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sebelum amendemen, Pasal 31 UUD 1945 hanya memuat dua ayat tentang pendidikan yang menyebutkan hak warganegara mendapatkan pengajaran dan kewajiban pemerintah menyelenggarakan sistem pengajaran. Sedangkan setelah amendemen, Pasal 31 UUD 1945 memuat lima ayat yang secara lebih tegas mengatur hak warganegara, kewajiban pemerintah membiayai pendidikan, adanya sistem pendidikan nasional, pembiayaan pendidikan, dan tujuan pendidikan. Amandemen tersebut memang tidak secara tegas menunjukkan karakter NPM. Amandemen tersebut justru menunjukkan peran negara yang sangat dominan dalam pengelolaan pendidikan nasional. Namun, Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang secara lebih spesifik menunjukkan perubahan arah kebijakan pengelolaan pendidikan nasional. Sebelumnya, sistem pendidikan nasional diatur melalui UU No. 2 tahun 1989. Kedua undang-undang ini tentu memiliki perbedaan karakter yang signifikan. UU No. 2 tahun 1989 dibuat di masa sistem pemerintahan yang sentralistik di mana proses penyelenggaraan pendidikan dikontrol secara langsung oleh pemerintah. Pengelolaan pendidikan dalam UU No. 2 tahun 1989, misalnya, tidak diatur secara spesifik dan hanya diserahkan kepada menteri (Pasal 49). Sedangkan UU No. 20 tahun 2003 telah memperinci mekanisme pengelolaan pendidikan yang menerapkan prinsip otonomi. Dalam UU yang baru tersebut, pemerintah daerah, para pengelola lembaga pendidikan, dan masyarakat umum memiliki hak untuk turut serta dalam menentukan proses penyelenggaraan pendidikan. UU Sisdiknas dan peraturan-

peraturan lain yang mengikutinya telah mengadopsi model baru dari public governance, yang berorientasi pada pelibatan sebesar-besarnya peran jaringan masyarakat. Selain itu, berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya merupakan bagian dari apa yang oleh Holger Daun (2007: 12) disebut sebagai model dunia (world model). Dalam konteks NPG, isu otonomi dan desentralisasi pendidikan adalah di antara isu sentral. Desentralisasi pendidikan akan memudahkan unit-unit pelaksana pendidikan untuk melakukan manajemen pendidikan secara efektif dan mengembangkan inovasi secara kreatif. Secara teoritik, desentralisasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai: The process of delegating or devolving authority and responsibility concerning the distribution and the use of resources (e.g., finance, human and physical resources) by the central government to local schools (Zadja dan Gamage, 2009: xv). Zadja dan Gamage juga menambahkan bahwa isu terpenting dari desentralisasi pendidikan adalah kebutuhan untuk memahami siapa yang mengontrol dan yang seharusnya mengontrol pendidikan dalam hal administrasi, anggaran, dan perencanaan kurikulum. Sebelum menjawab hal itu terlalu jauh, ada baiknya kita memahami ruang lingkup dari suatu proses pendelegasian wewenang yang disebut desentralisasi tersebut. Hanson (2006: 10) membagi tiga kategori dari desentralisasi; 1) Dekonsentrasi, yaitu transfer sejumlah wewenang administratif kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau instansi pemerintah pusat; 2) Delegasi, yaitu penugasan otoritas pengambilan keputusan tertentu, yaitu transfer wewenang manajerial terkait fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah lokal; dan 3) Devolusi, yaitu transfer kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada

kota/kabupaten, provinsi, atau negara-negara bagian. Di Indonesia, kebijakan desentralisasinya cenderung mengambil pola yang terakhir. Itulah mengapa sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia dikenal dengan nama otonomi daerah. Daerah-daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, mendapatkan otonomi untuk penyelenggaraan sebagian besar kewenangan yang dulu dimiliki oleh pusat. Secara umum, desentralisasi politik ini merupakan salah satu treatment penting dari reformasi birokrasi, yaitu untuk meringkas prosedur dan mendekatkan pelayanan

pemerintah kepada masyarakat. Dalam hal pendidikan, kebijakan desentralisasi pendidikan juga mengikuti pola ini. Kebijakan otonomi pendidikan juga menjadi salah satu paket reformasi pendidikan di Indonesia. Terkait dengan masalah ini, beberapa peraturan perundang-undangan telah dibuat seperti UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Reformasi pendidikan yang menekankan adanya otonomi pendidikan diselenggarakan dalam dua tingkatan: a) pelimpahan wewenang untuk mengelola pelayanan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; b) pelimpahan wewenang secara signifikan kepada tingkatan sekolah sebagaimana

direpresentasikan oleh penerapan manajemen berbasis sekolah (Ace Suryadi, et.al., 2007: 22). Terkait dengan yang pertama, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 dan 50 yang mengatur hal tersebut. Dalam Pasal 49 Ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan Pasal 50 Ayat (3), (4), dan (5) UU tersebut mengatur pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) yang menyatakan bahwa: Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sementara itu, secara lebih spesifik, lingkup kerja pemerintah propinsi dalam hal pendidikan diatur dalam ayat (4) yang berbunyi: Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan pendidikan dasar dan menengah. Tugas pemerintah daerah di tingkat kabupaten, secara lebih spesifik lagi, dijabarkan dalam ayat (5) yang berbunyi: lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat

10

Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar

dan pendidikan

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal Sementara menyangkut aspek desentralisasi pada level satuan pendidikan diatur dalam Pasal 51 UU No. 20 tahun 2003. Pelaksanaan kewenangan pengelolaan yang lebih otonom dilakukan baik dalam tingkat pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah (sekolah) maupun pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Menyangkut pengelolaan di level sekolah, ayat (1) pasal 51 tersebut secara tegas menyatakan bahwa model pengelolaannya disebut sebagai manajemen berbasis sekolah (MBS). Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Sedangkan otonomi Perguruan Tinggi ditegaskan dalam ayat (2) yang berbunyi: pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana pengelolaan pendidikan ini diselenggarakan akan diberikan pada bagian berikutnya. Namun demikian, yang menjadi khas dalam penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah kedudukan masyarakat sebagai sentral. Pada wilayah administratif pemerintahan, pelimpahan wewenang yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tidak bersifat mandiri. Tuntutan reformasi di dalam negeri dan arus demokratisasi global menempatkan peran masyarakat sipil lebih ke tengah. Oleh karena itu, pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah juga dilengkapi oleh pelembagaan peran masyarakat sipil di berbagai tingkatan. Pasal 56 UU No. 20/2003 telah menyebutkan keberadaan dua lembaga baru sebagai wujud dari adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengawasan pendidikan. Keduanya adalah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. Dewan Pendidikan adalah institusi pendamping pemerintah, sementara Komite Sekolah bekerja bersama-sama pendidik dan tenaga kependidikan sebagai bagian dari sistem tatakelola baru bernama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dewan Pendidikan dibentuk dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Seperti diatur dalam Pasal 56 UU No. 20/2003 dan Pasal 192 PP 17/2010, Dewan Pendidikan merupakan institusi independen yang berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan 11

pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sedangkan tugas Dewan Pendidikan adalah menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan. Karena merupakan representasi masyarakat sipil, keanggotaan Dewan Pendidikan ini direkrut dari kalangan masyarakat yang memiliki kepedulian pada dunia pendidikan. Pasal 192 Ayat (6) PP 17/2010 menyebutkan delapan kriteria anggota Dewan Pendidikan untuk semua tingkatan wilayah administratif; pakar pendidikan, penyelenggara pendidikan, pengusaha, organisasi profesi, pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosial budaya, pendidikan bertaraf internasional, pendidikan berbasis keunggulan lokal, dan organisasi sosial kemasyarakatan. Sementara itu, peran komite sekolah akan dijabarkan dalam bagian berikutnya karena ia sangat erat kaitannya dengan sistem manajemen berbasis sekolah.

2.3. Manajemen Berbasis Sekolah dan Pelembagaan Peran Masyarakat Manajemen Berbasis Sekolah adalah wujud desentralisasi wewenang dari pemerintah pusat kepada tingkatan sekolah. Caldwell (2009: 55) secara lebih spesifik menjelaskan bahwa MBS adalah desentralisasi yang bersifat sistematik dan konsisten menyangkut wewenang dan tanggung jawab kepada sekolah untuk membuat putusan mengenai hal-hal penting terkait penyelenggaraan sekolah dalam hal tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Sedangkan Barrera-Osorio dkk. (2009: 15) menyatakan bahwa dalam MBS, tanggung jawab dan otoritas pengambilan keputusan atas urusan sekolah ditransfer kepada kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan kadang kepada siswa atau anggota komunitas sekolah yang lebih luas. Meski demikian, para aktor di tingkat sekolah ini tetap menyesuaikan dengan standar kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Penjelasan UU No. 20/2003 sendiri mendefinisikan manajemen berbasis sekolah/madrasah sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Diskursus tentang MBS ini mulai menghangat di Indonesia sejak awal Reformasi Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia terhitung terlambat dalam menerapkan MBS (Amirrachman, 2009: 143; Sidi, 2001: 37). Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, 12

Selandia Baru, dan beberapa negara lain telah lama menerapkan sistem ini. Sejak pertengahan 1970an, sistem ini telah menjadi bagian dari sistem global yang diterapkan di sejumlah negara. Pada periode 2000-2006, 10% dari program pendidikan Bank Dunia diperuntukkan bagi pengembangan MBS di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski digunakan di banyak negara, bentuk MBS ini berbeda-beda di tiap negara. Perbedaan ini terutama berlaku baik dalam hal siapa yang memiliki kuasa untuk membuat putusan maupun dalam hal derajat pengambilan putusan yang didelegasikan kepada sekolah. Di beberapa negara, MBS hanya berupa transfer otoritas kepada kepala sekolah, sementara sejumlah negara lain telah memberikan kesempatan berpartisipasi kepada orang tua dan masyarakat, yakni dalam bentuk komite sekolah atau dewan sekolah. Dalam konteks ini, menurut BarreraOsorio dkk (2009: 5), terdapat empat model MBS: 1) MBS dengan kontrol administratif (administrative-control SBM), yaitu ketika kewenangan diberikan hanya kepada kepala sekolah 2) MBS dengan kontrol profesional (professional-control SBM), yaitu ketika guru menjadi pemegang kebijakan utama karena pengetahuan profesional mereka tentang sekolah dan para siswanya 3) MBS dengan kontrol masyarakat (community-control SBM), yaitu ketika orang tua siswa menjadi pemegang kebijakan utama 4) MBS dengan kontrol yang berimbang (balanced-control SBM), yaitu ketika otoritas pemegang kebijakan dibagi secara merata di antara para guru dan orang tua siswa Lantas, aspek-aspek apa saja yang menjadi wewenang para pemangku kebijakan dalam MBS? Secara umum, wewenang yang dimiliki dalam MBS mencakup salah satu atau lebih dari antara hal-hal seperti: anggaran (alokasi anggaran), manajemen personel (mengangkat dan memecat guru serta staf sekolah yang lain), pedagogi (mengembangkan kurikulum), pemeliharaan dan infrastruktur (menyediakan buku dan bahan ajar lainnya, meningkatkan sarana dan prasarana), pengawasan dan evaluasi (mengawasi dan mengevaluasi kinerja guru dan prestasi belajar siswa). Berdasarkan tingkat otonominya, yakni bagaimana kewenangan manajemen benar-benar didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada tingkat lokal, Bank Dunia mengklasifikasi praktik penerapan MBS di berbagai negara dalam kategori lemah, moderat, kuat, hingga sangat kuat (lihat bagan 1)

13

Kategori lemah adalah ketika sekolah hanya memiliki otonomi yang terbatas, biasanya hanya menyangkut wilayah metode pengajaran atau rencana pengembangan sekolah. Kategori moderat adalah ketika dewan sekolah atau komite sekolah mulai dibentuk, namun hanya memiliki peran sebagai penasehat. Kategori kuat adalah ketika komite sekolah bersifat lebih otonom mendapatkan dana langsung dari pemerintah, baik pusat atau daerah; memiliki wewenang mengangkat atau memecat guru dan kepala sekolah; serta menyusun kurikulum. Sedangkan kategori sangat kuat adalah ketika orang tua memiliki pilihan dan kontrol menyeluruh terhadap seluruh pengambilan keputusan dalam proses pendidikan; di mana sekolah adalah unit yang mandiri dan di mana seluruh keputusan menyangkut manajemen operasional, keuangan, dan pendidikan sekolah dibuat oleh dewan sekolah atau administratur sekolah. Dalam kasus ini, orang tua atau anggota masyarakat lain bisa mendirikan sekolah swasta yang benar-benar otonom namun dibiayai oleh negara, seperti di Denmark dan Belanda.

Bagan 1 Klasifikasi MBS yang Diterapkan di Berbagai Negara


Lemah Otonomi terbatas atas urusan-urusan sekolah terutama terkait perencanaan dan pengajaran Moderat Komite sekolah telah dibentuk, namun dengan peran hanya sebagai penasehat Relatif kuat Komite memiliki otonomi mengangkat dan memecat guru dan kepala sekolah serta menyusun kurikulum Kuat Kontrol penuh orang tua atau masyarakat terhadap sekolah Sangat kuat ... dan bisa memilih model sekolah, di mana orang tua dan masyarakat bisa membangun sekolah sendiri

... dan mengontrol sumbersumber penting (misalnya, dana)

Republik Ceko, Meksiko

Brazil, Kanada, Thailand, Virginia (USA)

Florida (USA)

Benin, Kamboja, Indonesia, Israel, Kenya, Mozambik, Senegal

Chicago (USA), New York (USA), Spanyol, Inggris (LM)* Gambia

Australia, El Savador, Guatemala, Ghana, Honduras, Hongkong, Cina, Madagaskar, Selandia Baru, Nikaragua, Rwanda

Nigeria, Inggris (GM)*

Denmark, Belanda

* Di Inggris terdapat dua sistem yang berbeda, yakni locally managed school (LM) dan grant-maintained school (GM) Sumber: Barrera-Osorio, 2009

Dalam kategorisasi tersebut, Indonesia yang baru menerapkan MBS sejak 2001 merupakan negara dengan klasifikasi moderat. Penyelenggaraan MBS di Indonesia telah diamanatkan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 14

19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Namun, pedoman yang lebih rinci mengenai tata kelola sekolah/madrasah baru diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan dan PP No. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Permendiknas 19/2007 tersebut telah

diintroduksikan secara rinci aspek-aspek teknis manajemen umum ke dalam sistem tata kelola sekolah, yaitu (a) perencanaan program (memuat visi, misi, tujuan, rencana kerja sekolah/madrasah); (b) pelaksanaan rencana kerja (mencakup pedoman sekolah/madrasah, struktur organisasi sekolah/madrasah, pelaksanaan kegiatan sekolah/madrasah, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan sekolah/madrasah, peran serta masyarakat dan kemitraan sekolah/madrasah); (c) pengawasan dan evaluasi (melingkupi program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan kurikulum, evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan, akreditasi sekolah/madrasah); (d) kriteria dan tugas kepala sekolah; (e) sistem informasi manajemen; dan (f) penilaian khusus. Indonesia pada dasarnya menerapkan balanced-control SBM di mana kewenangan guru dan orang tua siswa dibagi secara merata. Dalam sistem MBS di Indonesia, komite sekolah telah dibentuk dan hanya memiliki kewenangan pengawasan dan pertimbangan untuk menjamin akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Pasal 196 PP 17 tahun 2010 menjelaskan fungsi komite sekolah dalam hal peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Anggota komite sekolah terdiri dari 15 (lima belas) orang yang terdiri dari unsur: orang tua/wali murid (50%), tokoh masyarakat (30%), dan pakar pendidikan yang relevan (30%). Anggota-anggota ini dipilih secara demokratis dengan mekanisme musyawarah mufakat dalam rapat orang tua/wali murid satuan pendidikan. Sistem MBS di Indonesia memang lebih menekankan pada aspek manajemen internal sekolah, yakni bagaimana para pendidik dan tenaga kependidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen publik dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Permendiknas No. 19/2007. Sebagai pengawas penyelenggaraan pendidikan di sekolah, komite sekolah dilibatkan dalam setiap tahapan proses; dari perencanaan program hingga evaluasi. Pendapat-pendapat mereka dijadikan masukan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan oleh manajemen sekolah.

15

Rangsangan berarti bagi penguatan fungsi pengawasan komite sekolah terjadi ketika pemerintah menggulirkan kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada tahun 2005. Program BOS adalah membagi-bagikan hibah (block grant) kepada seluruh sekolah di Indonesia berdasarkan formula jumlah individu siswa. Dalam program ini, komite sekolah ditugaskan membantu penyeleksian siswa yang mendapat beasiswa dan mengawasi penggunaan dana BOS oleh manajemen sekolah. Sistem MBS di Indonesia memang tidak memungkinkan komite sekolah melakukan hal-hal yang fenomenal seperti memecat guru atau mengontrol seluruh biaya belanja sekolah. Komite sekolah hanya memiliki kontrol atas belanja operasional di luar gaji. Namun demikian, survey Bank Dunia pada 2008 (Barrera Osorio dkk, 2009: 68) menunjukkan bahwa program BOS yang menekankan pada pengawasan masyarakat lewat komite sekolah memberi kontribusi pada peningkatan beberapa hal penting. Survey tersebut menyatakan bahwa dari 1250 sekolah yang disurvei, 68 persen di antaranya menyatakan bahwa mereka telah menerapkan MBS. Dari jumlah itu, 95% di antaranya menyatakan bahwa mereka mendapatkan keuntungan positif. Beberapa sekolah melaporkan bahwa mereka melihat peningkatan dalam nilai evaluasi para siswa (66%), tingkat kehadiran para siswa (29%), dan disiplin para siswa (43%).

3.

Simpulan dan Saran

New Public Governance telah menjadi paradigma bagi cetak biru reformasi pendidikan nasional. Pendekatan ini mendorong adanya suatu tata kelola pendidikan yang profesional dan akuntabel. Profesional dalam arti memenuhi standar mutu dan kompetensi, akuntabel dalam arti aspiratif dan transparan. Dengan diterapkannya NPG ini, terdapat hubungan timbal balik yang bersifat konstan antara penyedia jasa pendidikan dan para konsumennya. Para pendidik dan tenaga kependidikan akan bekerja maksimal untuk mendidik para peserta didik karena mereka diawasi. Sementara masyarakat sebagai pemangku kepentingan akan juga bekerja keras untuk menjamin bukan hanya tertunaikannya kewajiban pendidik namun juga terpenuhinya hak-hak mereka. Oleh karena itu, masyarakat juga didorong untuk memberikan insentif tertentu kepada lembaga pendidikan agar proses penyelenggaraan pendidikan bisa berjalan lebih maksimal. Meski demikian, kebijakan pendidikan berparadigma NPG juga tidak lepas dari cerita yang kurang menggembirakan. Penelitian Amirrachman dkk. (2009: 143-144), misalnya, 16

melaporkan bahwa terbuka lebar-nya peran masyarakat dalam pendidikan justru menghadirkan politisasi pendidikan. Penelitian yang dilakukan di Kalimantan Timur itu melaporkan bahwa pembentukan dewan sekolah dan komite sekolah di daerah tersebut memunculkan faksi-faksi politik, dalam kasus ini, antara pengusaha dan penguasa. Penelitian Bjork (2006: 145) juga mencatat adanya tegangan antara konsep desentralisasi pendidikan yang tertulis dalam dokumen kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dan persepsi umum yang berkembang di lapangan. Partisipasi orang tua dimaknai sebagai memberikan sumbangan finansial kepada sekolah, sedangkan otonomi guru dalam bekerja dimaknai sebagai hanya kemampuan memodifikasi kurikulum dan mata pelajaran, bukan mengubah perilaku murid. Warisan sentralisasi yang masih kuat dan tingginya ketergantungan masyarakat kepada pemerintah membuat kinerja komite sekolah tidak efektif di beberapa tempat. Selain itu, reformasi pendidikan juga dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai jalan menuju privatisasi pendidikan, sesuatu yang bertentangan dengan Konstitusi. Heru Nugroho (2002) dan HAR Tilaar (2003) menyebutnya sebagai McDonaldisasi pendidikan. Beberapa hambatan di atas muncul, di antaranya, karena kurangnya harmoni antara idealitas yang dibawa oleh standar internasional dengan situasi lokal di dalam negeri, baik yang bersifat politik, legal, maupun sosiologis. Pertama, secara politik, desentralisasi pendidikan yang berjalan selaras dengan desentralisasi politik sangat rentan terhadap politisasi. Pemerintah daerah yang kini bersifat lebih mandiri, misalnya, memiliki wewenang untuk menempatkan para pejabat di bidang pendidikan setempat yang memiliki aspirasi politik yang sama meski tanpa menimbang kompetensi dan kapasitas yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, desentralisasi pendidikan sebagai implementasi public governance yang menuntut keseimbangan antara profesionalitas dan akuntabilitas menjadi dipertanyakan. Terkait dengan hal ini, penting untuk dipertimbangkan suatu mekanisme yang mampu mengontrol muatan-muatan yang sangat politis dalam pendidikan. Di daerah-daerah tertinggal yang memiliki sumber daya manusia berkualitas sangat terbatas, upaya menjaga quality control bagi pengambil kebijakan ini bersifat sangat fundamental. Kedua, secara legal, payung hukum bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang berbasis pada NPM dan NPG pada dasarnya telah relatif memadai. Baik PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP No. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, maupun Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan telah memuat berbagai ketentuan yang bersifat fundamental. Namun, 17

perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu aturan yang memberi kewenangan maksimal kepada Dewan Pendidikan untuk melakukan terobosan penting bagi penyelenggaraan otonomi pendidikan di masing-masing tingkatan. Untuk lebih menjamin kemandirian, Dewan Pendidikan, misalnya, dipilih dan ditetapkan oleh pejabat yang lebih tinggi daripada yang telah dipersyaratkan oleh Pasal 193, 194, dan 195 PP 17/2010. Dewan Pendidikan semestinya juga diberi beban untuk membuat tinjauan outlook pendidikan di masing-masing daerah setiap akhir tahun sebagai laporan pengawasan mereka. Laporan itu akan menjadi dokumen sebagai pertimbangan bagi penyusunan kebijakan pendidikan di tahun berikutnya. Sedangkan, ketiga, secara sosiologis, otonomi pendidikan sebagai terobosan yang prestisius belum berjalan seiring dengan perkembangan yang ada di masyarakat itu sendiri. Harus diakui bahwa kebijakan ini adalah resep organisasi dan konsultan internasional sebagai bagian dari proyek demokratisasi di Indonesia. Selama puluhan tahun sentralisasi dan hidup dalam tradisi di mana institusi pendidikan merupakan simbol prestise sosial, sebagian masyarakat Indonesia nampaknya membutuhkan waktu untuk menyerap dengan sempurna ide desentralisasi ini. Sebagaimana dikatakan oleh Bjork (2006: 144), pergeseran kepada sistem pendidikan yang dikelola oleh lokal tidak hanya membutuhkan perbaikan terhadap praktik yang sudah ada; hal itu juga memerlukan pemancangan sebuah fondasi baru. Sebagian orang tua dalam masyarakat kita mungkin akan tercengang ketika mereka diberi hak yang sama dengan para guru yang sebelumnya sangat mereka hormati untuk mengelola sekolah secara bersama-sama dan dalam posisi sosial yang setara. Persoalan ini mungkin tidak banyak muncul di daerah-daerah urban di mana tingkat pendidikan masyarakatnya relatif tinggi. Namun, di kawasan pedesaan di mana kesenjangan pendidikan masyarakatnya masih menjulang, pengawasan oleh para orang tua yang mungkin kurang berpendidikan terhadap para guru yang terpelajar bisa menimbulkan problem sosial tersendiri. Untuk itu, amat dibutuhkan kebijakan yang bersifat afirmatif terhadap beberapa daerah yang memiliki persoalan-persoalan semacam itu.

18

DAFTAR PUSTAKA Amirrachman, Alpha, et.al. Decentralising Indonesian Education: the Promise and the Price, dalam Joseph Zajda dan David T. Gamage (eds.). Decentralisation, SchoolBased Management, and Quality. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2009. pp. 141158 Barrera-Osorio, Felipe, et.al. Decentralized Decision-Making in Schools: The Theory and Evidence on School-Based Management. Washington DC: the World Bank. 2009 Bjork, Christopher. Transferring Authority to Local School Communities in Indonesia: Ambitious Plans, Mixed Results dalam Christopher Bjork. Educational Decentralization: Asian Experiences and Conceptual Contributions. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2006. pp. 129-147 Bovaird, Tony and Lffler, Elke (eds.). Public Management and Governance. London and New York: Routledge, 2003 Caldwell, Brian J. Centralisation and Decentralisation in Education: A New Dimension to Policy, dalam Joseph Zajda dan David T. Gamage (eds.). Decentralisation, SchoolBased Management, and Quality. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2009. pp. 5366 Daun, Holger (ed.). School Decentralization in the Context of Globalizing Governance: International Comparison of Grassroots Responses. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2007 Gamage, David T and Zajda, Joseph. Decentralisation and School-Based Governance: A Comparative Study of Self-Governing School Models, dalam Joseph Zajda dan David T. Gamage (eds.). Decentralisation, School-Based Management, and Quality. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2009. pp. 3-22 Goldfinch, Shaun F. dan Wallis, Joe L (eds.). International Handbook of Public Management Reform. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar. 2009 Hanson, E Mark. Strategies of Educational Decentralization: Key Questions and Core Issues, dalam Christopher Bjork (ed.). Educational Decentralization: Asian Experiences and Conceptual Contributions. Dordrecth, the Netherlands: Springer. 2006. pp. 9-26 Hood, Christopher. A Public Management for All Seasons. Journal of Public Administration, No. 1/1991. pp. 3-19 Kooiman, Jan. Social-Political Governance: Introduction dalam Modern Governance: New Government-Society Interaction. London: Sage. 1993. pp 1-8 Lane, Jan-Erik. New Public Management. London dan New York: Routledge, 2000 Nugroho, Heru. McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Kanisius. 2002 19

Sidi, Indra Jati. Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan, dan Lingkungan, Vol. 3, No. 1, 2001. pp. 36-46 Suryadi, Ace, et.al. EFA Mid Decade Assessment Indonesia. Jakarta: EFA Secretariat Ministry of National Education, Republic of Indonesia. 2007 Tilaar, HAR. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Indonesia Tera. 2003 World Bank. Governance: The World Banks Experience. Washington DC: the World Bank. 1994 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan

20

Anda mungkin juga menyukai